2.
Argumentasi dari pendapat yang kedua adalah sebagai
berikut:
- Bahwa asuransi tidak terdapat nash al-Qur’an atau hadits yang
melarang asuransi. Oleh karena itu, selama perbuatan tersebut tidak
digariskan kehalalan dan keharaman yang ada di kedua sumber tersebut, sah
untuk dilakukan. Karena menginggat prinsip dalam qawaid al-fiqhiyyah yang
berbunyi:
الاصل في
المعاملات الاباحة
Artinya: asal hukum sesuatu
didalam hal mu’amalah adalah mubah (boleh).
- Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan
kerelaan antara kedua belah pihak. Dalam istilah fiqih dikenal dengan
prinsip ان تراض منكم (sama ridho, tidak ada keterpaksaan). Dengan
berdasarkan prinsip tersebut, transaksi asuransi menjadi sah, karena
didasarkan kesepakatan tersebut.
- Asuransi saling menguntungkan kedua belah
pihak. Artinya seorang klien dan perusahaan asuransi mendapatkan laba dari
transaksi tersebut. Seorang klien mendapatkan ganti rugi barangnya yang
hilang misalnya, sedangkan perusahaan tersebut juga mendapatkan laba dari
usahannya.
- Asuransi mengandung kepentingan umum, sebab
premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan.
Dengan alasan kemaslahatan maka asuransi dapat meringgankan beban orang
lain, dapat membantu golongan orang yang lemah. Oleh karena itu, hukum
asuransi menjadi mubah (boleh).
- Asuransi termasuk akad mudharobat antara
pemegang polis dengan perusahaan asuransi.
- Asuransi termasuk syirkat ta’awuniyat usaha
bersama yang didasarkan pada prinsip tolong menolong.
1.
Pendapat ketiga menyatakan
bahwa asuransi diperbolehkan, asal yang bersifat social dan mengharamkan
asuransi yang semata-mata bersifat komersial. Dalil yang memperkuat argument
tersebut tidak jauh beda dengan yang dikemukakan oleh kedua kelompok yang
diatas, akan tetapi pendapat yang ketiga ini mengambil jalan tengah dari kedua
“perselisihan” tersebut.
Pada
dasarnya, pendapat ke tiga ini ditopang dengan argumentasi yang kemaslahatan.
Bahwa didalam asuransi terdapat kemadharatan akan tetapi disisi lain
terdapat kemaslahatan yang perlu diperhatikan. Kelompok ini membuang
kemadharatan yang ada dan hanya mengambil kemaslahatan saja.
2.
Golongan keempat menyatakan
syubhat, karena tidak ada dalil-dalil syar’i baik dalam al-qur’an maupun hadits
yang secara jelas mengharamkan ataupun menghalalkan asuransi, dan apabila hukum
asuransi di kategorikan syubhat. konsekuensinya kita dituntut bersikap
hati-hati menghadapi asuransi dan kita baru diperbolehkan mengambil asuransi,
apabila kita dalam keadaan darurat (emergency) atau hajat/kebutuhan (necessity).
A. Analisis Dalil dan Argumentasi (مناقشة الأدلة)
Setelah
diuraikan pendapat-pendapat para ulama beserta dalil-dalilnya. Langkah
selanjutnya adalah melakukan analisis pada dalil-dalil tersebut. Analisis ini
diperlukan guna memperoleh diantaranya dalil-dalil yang terkuat.
Langkah pertama dalam menganalisis dalil
tersebut, akan didiskukan dalil-dalil aqli terlebih dahulu yang ada dan mencari
dalil yang lebih kuat. Maka dalam hukum asuransi semua pendapat menyatakan
bahwa tidak ada dalil eksplisit dari al-Qur’an maupun hadits, dan juga tidak ditemukan
dalam kehidupan Rasulullah SAW. Namun, pendapat ulama ada yang memperbolehkan
asuransi karena dalam prakteknya asuransi sejalan dengan nilai-nilai universal
al-Qur’an seperti tolong-menolong (ta’awun), juga termasuk dalam aqad mudharabah,
dan juga syirkah. Dan menginggat hukum asal dari mu’amalah adalah
boleh (الاصل في المعاملات الاباحة) dan didukung
adanya prinsip saling suka rela maka berdasarkan ini ulama memperbolehkan
adanya asuransi.
Akan
tetapi, dalam prakteknya ternyata asuransi menimbulkan beberapa masalah,
dianggapnya asuransi termasuk dalam kategori judi, ghoror dan riba. Akan
tetapi perlu diingat, penulis akan membedakan apakah asuransi termasuk dalam
kategori judi atau tidak. Selama ini yang dipahama bahwa judi karena asuransi
bertujuan mengurangi resiko (reducing of risks) dan bersifat sosial dan
membawa muslahah bagi diri dan keluarga; sedangkan judi justru
menciptakan resiko (creating of risks), tidak sosial, dan bisa membawa
malapetaka bagi yang terkait dan keluarganya. Adapun asuransi juga sebagaimana
dinyatakan dalam pendapat ulama bahwa, asuransi termasuk dalam kategori riba
dan ghoror, ini sangat dimungkinkan sekali, mengingat bahwa seorang
klien diwajibkan membayar premi setiap bulannya, dan seorang klien tidak akan
mendapat uang (sebagai ganti) jika barang yang diasuransikan tidak rusak,
ataupun hilang. Maka para ulama melarang karena dikhawatirkan terjadi hal yang
demikian.
Sedangkan
beberapa ulama menyatakan asuransi dalam kategori syubhat, karena tidak jelas
akan dalil-dalilnya, hal ini mempunyai sebuah konsekuensi bahwa seseorang harus
berhati-hati menghadapi asuransi hanya dalam keadaan tertentu boleh menggunakan
asuransi seperti dalam keadaan darurat dan karena kebutuhan. Para ulama mungkin
memilih keluar dari permasalahan dengan dasar kehati-hatian.
Jika
ditinjau dari segi kemaslahatannya, asuransi dinilai mempunyai kemaslahatan
bagi social, kemaslahatan inilah yang dipergunakan dalil untuk memperbolehkan
asuransi, seperti asuransi yang digunakan oleh masyarakat umum dan asuransi
seperti ini tidak mempunyai tujuan untuk memperkaya diri sendiri akan tetapi
lebih mengutamakan kepentingan social. Seperti wawancara di Seputar Indoensia
yang ditayangkan disalah satu stasiun televisi swasta (Minggu, 17/06/2011,
pukul 15.00) menuturkan bahwa seorang sopir bus adalah salah satu klien dari
asuransi konvensional, ia merasa mendapat keuntungan dari asuransi tersebut.
Dijelaskan bahwa seorang sopir bus tersebut pernah mengalami kecelakaan dan
koma selam 17 hari, sehingga membutuhkan biaya perawatan yang cukup besar,
biaya perawatan tersebut sebagian besar ditanggung oleh perusahaan asuransi
sebesar 28 juta, yang dirinya sendiri tidak mungkin bisa menanggungnya. Cerita
tersebut, setidaknya menggambarkan manfaat dari asuransi.
Akan
tetapi asuransi dalam praktiknya oleh sebagian orang maupun lembaga digunakan
sebagai alat untuk memperkaya diri dan mengabaikan kepentingan atau
kemaslahatan social. Tentu hal inilah yang dilarang oleh Islam.
Selanjutnya,
mengenai asuransi dikatakan sebagai akad mudharabat, karena uang yang
disetor oleh klien dipergunakan sebagai usaha lain, sehingga memperoleh
keuntungan. Pada dasarnya, perlu diperhatikan terlebih dahulu akad pertama
dalam asuransi tersebut, apabila tidak terdapat akad tersebut ataupun pihak klien
tidak mengetahuinya, maka tidak sah akadnya. Kemudian, apabila terdapat akad
tersebut, dalam konsep mudharabah diharuskan adanya pembagian laba yang
rata antara kedua belah pihak, apakah hal semacam ini sudah dilaksanakan, dalam
anggapan penulis akad tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan, menginggat klien
yang tidak bisa membayar preminya akan hilang atau dikurangi premi yang telah
dibayarnya, hal ini tidak sejalan dengan prinsip mudharabah.
Dan
lagi, sangat besar kemungkinan pembagian yang dilakukan oleh pihak asuransi
akan tidak adil. Disatu sisi, para pengelola mendapatkan laba yang lebih
dibandingkan dari klien, dan sebaliknya klien terkadang mendapat laba yang
lebih dari pengelola. Dikarenakan, dalam prakteknya terkadang seorang klien
yang sangat hati-hati menjaga barangnya, sehingga tidak terjadi apa-apa, maka
klien tersebut tidak dapat menerima uang ganti, dan seterusnya.
B. Pendapat
Terpilih (الرأي المختار)
Setelah
melakukan analisis terhadap dalil-dalil dan argument para ulama, tahap
selanjutnya adalah menentukan pendapat yang terkuat dan didukung oleh argument
dan dalil yang shohih. Tentu dalil yang dihasilkan setelah dilakukannya munakosah
al-adillat.
Penulis
dalam memilih pendapat ini didasarkan atas kemaslahatan, artinya pendapat mana
yang lebih membawa kemaslahatan itulah yang dipakai, akan tetapi perlu digaris
bawahi bahwa kemaslahatan disini adalah kemaslahatan yang dianggap benar oleh
syariat.
Setelah
melakukan analisis, berdasarkan pertimbangan dalil-dalil qowaid al-fiqhiyyah
dibawah ini,
-
الاصــل في المعاملات الاباحــة
-
الاصل في
العقـود والمعاملات الصحة حتى يقوم الدليـل على
بطــلان
Maka penulis berkesimpulan bahwa asuransi termasuk
dalam kategori mu’amalah yang mubah, kecuali apabila terdapat
unsur-unsur yang dilarang oleh syariat. Karena menginggat tidak ada dalil dari
al-Qur’an dan hadits yang melarangnya. Selanjuntya, terkait dengan maslahah,
agaknya perlu dipertanyakan terlebih dahulu, dalam arti apakah kriteria
penggunaan kemaslahatan sebagai dasar penetapan hukum sudah terpenuhi?
Sampai saat ini, penulis masih berkesimpulan bahwa, asuransi adalah bentuk
mu’amalah yang dapat dirasakan kemaslahatannya oleh masyarakat dan mengandung
nilai-nilai ajaran al-Qur’an yaitu ta’awanu ala al-birri. Sedangkan
prinsip kemaslahatan yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum adalah
kemaslahatan yang sudah pasti, bukan asumtif, dan hipotetif yang berlaku secara
umum.
Kesimpulannya, bahwa sebatas asuransi hanya ada
manfaatnya bagi orang lain. Karena permasalahannya boleh jadi, maslahat bagi
orang satu belum tentu maslahat bagi orang lain. Oleh karena itu, penulis lebih
cenderung berpegang pada pendapat ketiga yang dikemukakan oleh Abu Zahrah,
bahwa asuransi diperbolehkan asal bersifat social dan mengharamkan asuransi
yang semata-mata bersifat komersiat.
C. Rekomendasi
Setelah
melakukan pemilihan dalil yang dianggap lebih kuat, maka diketahui bahwa hukum
asuransi diperbolehkan asal bersifat social dan tidak bersifat komersial. Sesungguhnya,
islam jauh sebelum itu sudah mempunyai konsep dalam mensejahterakan umat,
menjamin dari kecelakaan atau musibah yaitu melalui sistem zakat, sistem ini
lebih ampuh diabndingkan dengan asuransi konvensional, karena sejak
didirikannya bertujuan untuk kepentingan social dan bantuan kemanusiaan. Namun
sayangnya, sistem zakat ini tidak dikembangkan dengan baik. Sedangkan orang
non-islam yang tidak mempunyai konsep seperti ini mereka-reka untuk menciptakan
sistem seperti itu, wal hasil jadinya asuransi konvensional.
Sejauh
yang ada, asuransi konvensional sangat begitu rawan dengan adanya praktik ghoror
dan riba. Prinsip yang dianggap ta’awun tidak begitu tampak,
bahkan yang lebih nampak adalah praktek jual-beli antara nasabah dengan
perusahaan asuransi.
Prinsip
asuransi yang sejalan dengan nilai-nilai syariah adalah yang bersifat ta’awun
(tolong menolong), tidak bersifat ghoror, dan riba. Sistem dalam
pembayaran premi tetap menjadi milik klien, perusahaan hanya sebatas yang
pemegang amanah yang menjalankan uang tersebut.
Oleh
karena itu, sekarang sudah dibuka asuransi syariah. Asuransi syariah adalah
asuransi yang berdasarkan nilai-nilai syariah bersifat ta’awun dan dalam
konsepnya tidak terdapat riba, ghoror ataupun perjudian. Kedepan harapan
kita asuransi syariah dapat menggantikan asuransi konvensional. Semoga.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwasanya
terdapat empat pendapat ulama dalam asuransi, pertama memperbolehkannya
secara mutlak, kedua mengharamkan secara mutlak, ketiga, memperbolehkan
dengan syarat bersifat social dan tidak komersial. Sejauh ini, berdasarkan dari
analisis yang telah dilakukan. Mengambil kesimpulan bahwa, asuransi hukumnya
diperbolehkan, karena menginggat hukum asal dari mu’amalah adalah mubah, juga
tidak terdapat dalam al-Qur’an dan hadits.
Asuransi
yang sejalan dengan nilai-nilai prinsip syariah adalah yang bersifat
tolong-menolong, terhindar dari perjudian, riba dan ghoror. Nasabah atau klien
tidak kehilangan uang yang dibayar setiap bulannya. Dan perusahaan hanya
bersifat amanah sebagai pengelola uang.
Bahwa
menginggat asuransi pada saat ini cukup mempunyai peran yang signifikan, maka
disarankan untuk memilih asuransi yang sejalan dengan syariah, yaitu asuransi
syariah. Adalah sebagai solusi problema bagi umat.
B. Saran
Meskipun
demikian, penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan.
Makalah yang akan datang hendaknya lebih mengkaji mendalam tentang permasalahan
ini dan dengan menggunakan waktu penulisan yang relatif lama sehingga akan
memunculkan pemahaman yang komprehensif lagi, dan yang pasti didukung dengan
beberapa referensi, jika diperlukan untuk bisa melakukan observasi kepada sejumlah
perusahaan-perusahaan asuransi konvensional dan juga para nasabahnya untuk
mendapatkan data-data yang valid dan original.
Daftar
Pustaka
Antonio, Syafi’i.
2004. EPILOG: Buku Asuransi Syariah (Life & General) Konsep dan Sistem
Operasional,
Arfan, Abbas. 2011.
Prospektif dan Tantangan Bisnis Asuransi Umum di Indonesia;Sebuah Analisa
Ekonomi, Sosiologi, Kultur Budaya dan Agama. (Online), (http://blog.uin-malang.ac.id/baraja/2011/03/,
diakses pada tanggal 19 Juni 2011)
Buku bahan ajar
masail Fiqhiyyah Fakultas Syariah 2011