Andrias
Widiantoro untuk kemajuan bangsa
Hukum
Asuransi Menurut Fatwa Ulama Kontenporer
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Permasalahan kontemporer yang selama ini masih menjadi
perdebatan dan masih hangat adalah seputar dunia mu’amalah yaitu asuransi
konvensional. Dewasa ini, asuransi sudah menjadi bagian bahkan sebagian orang
menjadi kebutuhan. Akibatnya, banyak para umat islam yang memilih menggunakan
asuransi untuk menjamin barang bahkan hidup mereka.
Dalam perjalanannya, para ulama menemukan beberapa indikaasi
keharaman dan madharat bagi nasabah (klien). Oleh karena itu, terjadi
pertentangan dikalangan para fuqoha. Perbedaan ini juga disebabkan karena
didalam al-qur’an sendiri tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai hal
tersebut, dan dihadist pun tidak ada.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dipaparkan dalil para
ulama tentang asuransi, kemudian melakukan analisis dari dalail tersebut untuk
memilih dalil yang dianggap kuat.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana pendapat ulama kontemporer mengenai hukum
asuransi konvensional?
2.
Dalil-dalil apa yang dipergunakan dalam menentukan
hukum asuransi konvensional?
3.
Bagaimana mendiskusikan dalil tersebut?
4.
Pendapat mana yang lebih kuat dibanding yang lain?
C. Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk mengetahui pendapat ulama kontemporer mengenai
hukum asuransi konvensional.
2. Untuk mengetahui
Dalil-dalil apa yang dipergunakan dalam menentukan hukum asuransi konvensional.
3. Untuk mengetahui
cara mendiskusikan dalil tersebut.
4. Untuk mengetahui
dalil yang paling kuat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendahuluan
Jika
kita mengamati perkembangan seputar dunia mu’amalah, tentu banyak disana kasus
yang terjadi, bahkan sebagian besar kasus-kasus tersebut belum pernah ditemui
dalam masa Rasulullah. Akhir-akhir abad ke 19, ulama-ulama kontemporer ramai
membincangkan seputar hukum asuransi konvensional. Dan sampai sekarang masih
terjadi perbedaan pendapat tentang hukum asuransi tersebut. Dalam makalah ini
akan dibahas mengenai hukum asuransi, agar lebih mempermudah dalam memahami,
terlebih dahulu akan diuraikan pengertian dan seputar asuransi.
Asuransi
adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk
memberikan kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai
konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti
rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau
terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai
imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara
kontan dari klien/nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi
(muammin) di saat hidupnya. [1]
Berdasarkan
definisi di atas dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan salah satu cara
pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil
dari iuran premi seluruh peserta asuransi. Ada beberapa unsur dalam asuransi,
yaitu: tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau
berkepentingan atas harta benda. Dan penanggung, dalam hal ini Perusahaan
Asuransi, merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari tertanggung dan
menanggung risiko atas kerugian/musibah yang menimpa harta benda yang diasuransikan.
Konsep
dasar asuransi yang dibenarkan syariah adalah tolong menolong dalam kebaikan
dan ketakwaan (al birri wat taqwa). Konsep tersebut sebagai landasan
yang diterapkan dalam setiap perjanjian transaksi bisnis dalam wujud tolong
menolong (akad takafuli) yang menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar
yang saling menanggung satu sama lain di dalam menghadapi resiko, yang kita
kenal sebagai sharing of risk, sebagaimana firman Allah SWT yang
memerintahkan kepada kita untuk taawun (tolong menolong) yang berbentuk al
birri wat taqwa (kebaikan dan ketakwaan) dan melarang taawun dalam
bentuk al itsmi wal udwan (dosa dan permusuhan). [2]
Adapun
perbedaan pendapat yang terjadi dalam kalangan ulama selama ini berkutat bahwa
mereka menemukan adanya beberapa unsur yang dilarang dalam transaksi asuransi,
diantaranya ada yang mengatakan terdapat unsur ghoror (Penipuan),
dan juga adanya unsur perjudian. Maka jika suatu transaksi terdapat unsur
demikian, hukumnya menjadi haram. Dan
bahkan ada yang mengatakan bid’ah, karena tidak ditemukan dalam
kehidupan rasulullah. [3]
Terlepas
dengan adanya itu, Asuransi banyak memiliki manfaat yang luas dan kompleks
(secara mikro dan makro). Asuransi adalah sebuah ekosistem perputaran ekonomi
yang saling membutuhkan antar pelaku ekonomi (simbiosis mutualisme). Kenapa?,
Karena disamping asuransi mampu memberikan perlindungan dan jaminan pada
nasabah, asuransi juga menawarkan berbagai manfaat antara lain mendapatkan
masukan-masukan yang berguna untuk meminimalisasi terjadinya risiko. Karena
umumnya, perusahaan asuransi memiliki tim survei yang sudah berpengalaman dengan
itu dapat memberikan rekomendasi untuk memperkecil terjadinya risiko terhadap
kepentingan yang diasuransikan.
Pada
kesempatan ini, akan dikemukakan perbedaan pendapat ulama Kontemporer dalam
masalah hukum asuransi. Selanjutnya dari pendapat tersebut akan dianalisis
menggunakan metode Tarjihi sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Yusuf
Qhordhawi, dimaksudkan dalam melakukan analisis ini hanya untuk mengambil dalil
terkuat dari kedua pendapat tersebut. Adapun dalam melakukan analisis ini,
penulis lebih menekankan kepada maslahat yang ditimbulkan dari adanya hukum
tersebut. Jadi didalam prosesnya penulis lebih menekankan kepada maslahat ummat
yang nantinya akan didapat. Selanjutnya untuk lebih jelas akan dilakukan
beberapa metode. Sebagaimana yang akan dipaparkan nantinya.
[1] http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/402162.html,
diakses pada tanggal 19 Juni 2011
[2]
Abbas Arfan, Prospektif dan Tantangan Bisnis Asuransi Umum di
Indonesia;Sebuah Analisa Ekonomi, Sosiologi, Kultur Budaya dan Agama, (http://blog.uin-malang.ac.id/baraja/2011/03/2008),
(Online). Diakses pada tanggal 19 Juni 2011
[3]
Ibid,
A. Pandangan
Ulama Kontemporer Mengenai Asuransi(أراء
الفقهاء)
Ulama
Fiqih dalam menghadapi masalah kontemporer seperti masalah asuransi terbagi
menjadi empat kelompok besar, diantaranya yaitu:
a. Mengharamkan asuransi secara mutlak, termasuk asuransi
jiwa. Yang berpendapat seperi ini adalah Yusuf al-Qardlawi dan Isa ‘Abduh.
Menurut mereka, bahwa pada asuransi yang ada pada sekarang ini terdapat
unsur-unsur yang diharamkan seperti judi,[1]
karena ketergantungan akan mengharapkan sejumlah harta tertentu seperti halnya
dalam judi. Dan juga mengandung ketidak jelasan dan ketidak pastian (jahalat
dan ghoror) dan riba. [2]
b. Membolehkan
secara mutlak, tanpa terkecuali. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah
Musthofa Ahmad Zarqo dan Muhammad Al-Bahi. [3]
c. Membolehkan asuransi yang bersifat social dan
mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial. Mereka yang
berpendapat adalah Muhammad Abu Zahrah. [4]
d.
Golongan keempat, adalah menyatakan bahwa asuransi
merupakan kategori syubhat sebab tidak diketemukan dalil yang secara
tegas mengharamkan dan tidak adapula yang melarangnya.[5]
[1]
Baca “Solusi Problematika Aktual Hukum Islam; Keputusan Muktamar, Munas dan
Kombes NU dari tahun 1926-1999” (Surabaya: Diantama, 2004), hlm. 307-311
[2]
Sayid sabiq, Fiqh al-Sunnah (Baerut-Lebanon: Dar al-Fath, 1995) Juz
III, hlm. 301-304.
[3]
Buku panduan dalam perkulaiahan Masail Fiqhiyyah; lihat pada bab IV pada judul Muhammadiyah
dan Beberapa Masalah Fiqh Kontemporer, hal 137
[4] Ibid,
[5] Ibid
A. Dalil-Dalil
Yang Dipergunakan Para Ulama Kontemporer (أدلة المذاهب)
Dari
beberapa pendapat diatas, terdapat dalil-dalil yang dipergunakan oleh ulama
untuk menguatkan argument atau pendapatnya. Dalam bab ini akan diuraikan
dalil-dalil tersebut. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut.
1.
Dalil mengenai pendapat pertama tentang keharaman asuransi,
diantaranya memakai dalil aqli dan naqli. Berikut uraiannya:
a.
Secara eksplisit, hukum mengenai asuransi tidak
tertuang dalam al-Qur’an ataupun as-Sunnah. Namun, didalam seorang mukmin
dituntut didalam melakukan sebuah transaksi (perjanjian) tidak mengandung
sesuatu yang secara garis besar telah diharamkan di nash maupun hadits.
Selanjutnya, menurut ulama yang berpengang pada pendapat ini menemukan bahwa
asuransi sama dengan judi, karena tertanggung akan mengharapkan sejumlah harta
tertentu seperti halnya dalam judi. [1]
Oleh karena itu, dengan alasan inilah
asuransi dilarang. Seperti yang terdapat dalam surat al-maidah ayat 90 yang
berbunyi;
Hai
orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
b.
Asuransi mengandung ketidak jelasan dan ketidakpastian
(jahalat dan ghoror), karena si tertanggung diwajibkan membayar
sejumlah premi yang telah ditentukan, sedangkan berapa
jumlah yang dibayarkan tidak jelas, lebih dari itu belum ada kepastian apakah
jumlah tertentu itu akan diberikan kepada tertanggung atau tidak. Hal ini
sangat tergantung pada kejadian yang telah ditentukan. Mungkin ia akan
seluruhnya, tapi mungkin juga tidak memperoleh sama sekali.[1]
Maka dari sini dapat di ambil kesimpulan
bahwa, didalam asuransi mengandung unsur ketidak jelasan dan ketidakpastian.
Yang mana dalam prinspi mu’amalah hal ini tidak diperbolehkan.
[1]
Buku panduan dalam perkulaiahan Masail Fiqhiyyah
c.
Asuransi mengandung unsur riba, karena mungkin tertanggung
akan memperoleh sejumlah uang yang jumlahnya sama besar dari pada premi yang
dibayarnya. Sedangkan dalam islam riba telah nyata dilarang sebagaimana
dinyatakan dalam al-qur’an surat al-baqoroh 275:
orang-orang
yang Makan (mengambil) ribatidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,
lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada
Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
[1]
Syafi’I Antonio, EPILOG: Buku Asuransi Syariah (Life & General) Konsep
dan Sistem Operasional.
2.
Argumentasi dari pendapat yang kedua adalah sebagai
berikut:
- Bahwa asuransi tidak terdapat nash al-Qur’an atau hadits yang melarang asuransi. Oleh karena itu, selama perbuatan tersebut tidak digariskan kehalalan dan keharaman yang ada di kedua sumber tersebut, sah untuk dilakukan. Karena menginggat prinsip dalam qawaid al-fiqhiyyah yang berbunyi:
الاصل في
المعاملات الاباحة
Artinya: asal hukum sesuatu
didalam hal mu’amalah adalah mubah (boleh).
- Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pihak. Dalam istilah fiqih dikenal dengan prinsip ان تراض منكم (sama ridho, tidak ada keterpaksaan). Dengan berdasarkan prinsip tersebut, transaksi asuransi menjadi sah, karena didasarkan kesepakatan tersebut.[1]
- Asuransi saling menguntungkan kedua belah pihak. Artinya seorang klien dan perusahaan asuransi mendapatkan laba dari transaksi tersebut. Seorang klien mendapatkan ganti rugi barangnya yang hilang misalnya, sedangkan perusahaan tersebut juga mendapatkan laba dari usahannya.
- Asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan. Dengan alasan kemaslahatan maka asuransi dapat meringgankan beban orang lain, dapat membantu golongan orang yang lemah. Oleh karena itu, hukum asuransi menjadi mubah (boleh).
- Asuransi termasuk akad mudharobat antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi.
- Asuransi termasuk syirkat ta’awuniyat usaha bersama yang didasarkan pada prinsip tolong menolong.
1.
Pendapat ketiga menyatakan
bahwa asuransi diperbolehkan, asal yang bersifat social dan mengharamkan
asuransi yang semata-mata bersifat komersial. Dalil yang memperkuat argument
tersebut tidak jauh beda dengan yang dikemukakan oleh kedua kelompok yang
diatas, akan tetapi pendapat yang ketiga ini mengambil jalan tengah dari kedua
“perselisihan” tersebut.
Pada
dasarnya, pendapat ke tiga ini ditopang dengan argumentasi yang kemaslahatan.
Bahwa didalam asuransi terdapat kemadharatan akan tetapi disisi lain
terdapat kemaslahatan yang perlu diperhatikan. Kelompok ini membuang
kemadharatan yang ada dan hanya mengambil kemaslahatan saja.
2.
Golongan keempat menyatakan
syubhat, karena tidak ada dalil-dalil syar’i baik dalam al-qur’an maupun hadits
yang secara jelas mengharamkan ataupun menghalalkan asuransi, dan apabila hukum
asuransi di kategorikan syubhat. konsekuensinya kita dituntut bersikap
hati-hati menghadapi asuransi dan kita baru diperbolehkan mengambil asuransi,
apabila kita dalam keadaan darurat (emergency) atau hajat/kebutuhan (necessity).[2]
A. Analisis Dalil dan Argumentasi (مناقشة الأدلة)
Setelah
diuraikan pendapat-pendapat para ulama beserta dalil-dalilnya. Langkah
selanjutnya adalah melakukan analisis pada dalil-dalil tersebut. Analisis ini
diperlukan guna memperoleh diantaranya dalil-dalil yang terkuat.
Langkah pertama dalam menganalisis dalil
tersebut, akan didiskukan dalil-dalil aqli terlebih dahulu yang ada dan mencari
dalil yang lebih kuat. Maka dalam hukum asuransi semua pendapat menyatakan
bahwa tidak ada dalil eksplisit dari al-Qur’an maupun hadits, dan juga tidak ditemukan
dalam kehidupan Rasulullah SAW. Namun, pendapat ulama ada yang memperbolehkan
asuransi karena dalam prakteknya asuransi sejalan dengan nilai-nilai universal
al-Qur’an seperti tolong-menolong (ta’awun), juga termasuk dalam aqad mudharabah,
dan juga syirkah. Dan menginggat hukum asal dari mu’amalah adalah
boleh (الاصل في المعاملات الاباحة) dan didukung
adanya prinsip saling suka rela maka berdasarkan ini ulama memperbolehkan
adanya asuransi.
Akan
tetapi, dalam prakteknya ternyata asuransi menimbulkan beberapa masalah,
dianggapnya asuransi termasuk dalam kategori judi, ghoror dan riba. Akan
tetapi perlu diingat, penulis akan membedakan apakah asuransi termasuk dalam
kategori judi atau tidak. Selama ini yang dipahama bahwa judi karena asuransi
bertujuan mengurangi resiko (reducing of risks) dan bersifat sosial dan
membawa muslahah bagi diri dan keluarga; sedangkan judi justru
menciptakan resiko (creating of risks), tidak sosial, dan bisa membawa
malapetaka bagi yang terkait dan keluarganya. Adapun asuransi juga sebagaimana
dinyatakan dalam pendapat ulama bahwa, asuransi termasuk dalam kategori riba
dan ghoror, ini sangat dimungkinkan sekali, mengingat bahwa seorang
klien diwajibkan membayar premi setiap bulannya, dan seorang klien tidak akan
mendapat uang (sebagai ganti) jika barang yang diasuransikan tidak rusak,
ataupun hilang. Maka para ulama melarang karena dikhawatirkan terjadi hal yang
demikian.
Sedangkan
beberapa ulama menyatakan asuransi dalam kategori syubhat, karena tidak jelas
akan dalil-dalilnya, hal ini mempunyai sebuah konsekuensi bahwa seseorang harus
berhati-hati menghadapi asuransi hanya dalam keadaan tertentu boleh menggunakan
asuransi seperti dalam keadaan darurat dan karena kebutuhan. Para ulama mungkin
memilih keluar dari permasalahan dengan dasar kehati-hatian.
Jika
ditinjau dari segi kemaslahatannya, asuransi dinilai mempunyai kemaslahatan
bagi social, kemaslahatan inilah yang dipergunakan dalil untuk memperbolehkan
asuransi, seperti asuransi yang digunakan oleh masyarakat umum dan asuransi
seperti ini tidak mempunyai tujuan untuk memperkaya diri sendiri akan tetapi
lebih mengutamakan kepentingan social. Seperti wawancara di Seputar Indoensia
yang ditayangkan disalah satu stasiun televisi swasta (Minggu, 17/06/2011,
pukul 15.00) menuturkan bahwa seorang sopir bus adalah salah satu klien dari
asuransi konvensional, ia merasa mendapat keuntungan dari asuransi tersebut.
Dijelaskan bahwa seorang sopir bus tersebut pernah mengalami kecelakaan dan
koma selam 17 hari, sehingga membutuhkan biaya perawatan yang cukup besar,
biaya perawatan tersebut sebagian besar ditanggung oleh perusahaan asuransi
sebesar 28 juta, yang dirinya sendiri tidak mungkin bisa menanggungnya. Cerita
tersebut, setidaknya menggambarkan manfaat dari asuransi.
Akan
tetapi asuransi dalam praktiknya oleh sebagian orang maupun lembaga digunakan
sebagai alat untuk memperkaya diri dan mengabaikan kepentingan atau
kemaslahatan social. Tentu hal inilah yang dilarang oleh Islam.
Selanjutnya,
mengenai asuransi dikatakan sebagai akad mudharabat, karena uang yang
disetor oleh klien dipergunakan sebagai usaha lain, sehingga memperoleh
keuntungan. Pada dasarnya, perlu diperhatikan terlebih dahulu akad pertama
dalam asuransi tersebut, apabila tidak terdapat akad tersebut ataupun pihak klien
tidak mengetahuinya, maka tidak sah akadnya. Kemudian, apabila terdapat akad
tersebut, dalam konsep mudharabah diharuskan adanya pembagian laba yang
rata antara kedua belah pihak, apakah hal semacam ini sudah dilaksanakan, dalam
anggapan penulis akad tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan, menginggat klien
yang tidak bisa membayar preminya akan hilang atau dikurangi premi yang telah
dibayarnya, hal ini tidak sejalan dengan prinsip mudharabah.
Dan
lagi, sangat besar kemungkinan pembagian yang dilakukan oleh pihak asuransi
akan tidak adil. Disatu sisi, para pengelola mendapatkan laba yang lebih
dibandingkan dari klien, dan sebaliknya klien terkadang mendapat laba yang
lebih dari pengelola. Dikarenakan, dalam prakteknya terkadang seorang klien
yang sangat hati-hati menjaga barangnya, sehingga tidak terjadi apa-apa, maka
klien tersebut tidak dapat menerima uang ganti, dan seterusnya.
B. Pendapat
Terpilih (الرأي المختار)
Setelah
melakukan analisis terhadap dalil-dalil dan argument para ulama, tahap
selanjutnya adalah menentukan pendapat yang terkuat dan didukung oleh argument
dan dalil yang shohih. Tentu dalil yang dihasilkan setelah dilakukannya munakosah
al-adillat.
Penulis
dalam memilih pendapat ini didasarkan atas kemaslahatan, artinya pendapat mana
yang lebih membawa kemaslahatan itulah yang dipakai, akan tetapi perlu digaris
bawahi bahwa kemaslahatan disini adalah kemaslahatan yang dianggap benar oleh
syariat.
Setelah
melakukan analisis, berdasarkan pertimbangan dalil-dalil qowaid al-fiqhiyyah
dibawah ini,
-
الاصــل في المعاملات الاباحــة
-
الاصل في
العقـود والمعاملات الصحة حتى يقوم الدليـل على
بطــلان
Maka penulis berkesimpulan bahwa asuransi termasuk
dalam kategori mu’amalah yang mubah, kecuali apabila terdapat
unsur-unsur yang dilarang oleh syariat. Karena menginggat tidak ada dalil dari
al-Qur’an dan hadits yang melarangnya. Selanjuntya, terkait dengan maslahah,
agaknya perlu dipertanyakan terlebih dahulu, dalam arti apakah kriteria
penggunaan kemaslahatan sebagai dasar penetapan hukum sudah terpenuhi?
Sampai saat ini, penulis masih berkesimpulan bahwa, asuransi adalah bentuk
mu’amalah yang dapat dirasakan kemaslahatannya oleh masyarakat dan mengandung
nilai-nilai ajaran al-Qur’an yaitu ta’awanu ala al-birri. Sedangkan
prinsip kemaslahatan yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum adalah
kemaslahatan yang sudah pasti, bukan asumtif, dan hipotetif yang berlaku secara
umum.
Kesimpulannya, bahwa sebatas asuransi hanya ada
manfaatnya bagi orang lain. Karena permasalahannya boleh jadi, maslahat bagi
orang satu belum tentu maslahat bagi orang lain. Oleh karena itu, penulis lebih
cenderung berpegang pada pendapat ketiga yang dikemukakan oleh Abu Zahrah,
bahwa asuransi diperbolehkan asal bersifat social dan mengharamkan asuransi
yang semata-mata bersifat komersiat.
C. Rekomendasi
Setelah
melakukan pemilihan dalil yang dianggap lebih kuat, maka diketahui bahwa hukum
asuransi diperbolehkan asal bersifat social dan tidak bersifat komersial. Sesungguhnya,
islam jauh sebelum itu sudah mempunyai konsep dalam mensejahterakan umat,
menjamin dari kecelakaan atau musibah yaitu melalui sistem zakat, sistem ini
lebih ampuh diabndingkan dengan asuransi konvensional, karena sejak
didirikannya bertujuan untuk kepentingan social dan bantuan kemanusiaan. Namun
sayangnya, sistem zakat ini tidak dikembangkan dengan baik. Sedangkan orang
non-islam yang tidak mempunyai konsep seperti ini mereka-reka untuk menciptakan
sistem seperti itu, wal hasil jadinya asuransi konvensional.
Sejauh
yang ada, asuransi konvensional sangat begitu rawan dengan adanya praktik ghoror
dan riba. Prinsip yang dianggap ta’awun tidak begitu tampak,
bahkan yang lebih nampak adalah praktek jual-beli antara nasabah dengan
perusahaan asuransi.
Prinsip
asuransi yang sejalan dengan nilai-nilai syariah adalah yang bersifat ta’awun
(tolong menolong), tidak bersifat ghoror, dan riba. Sistem dalam
pembayaran premi tetap menjadi milik klien, perusahaan hanya sebatas yang
pemegang amanah yang menjalankan uang tersebut.
Oleh
karena itu, sekarang sudah dibuka asuransi syariah. Asuransi syariah adalah
asuransi yang berdasarkan nilai-nilai syariah bersifat ta’awun dan dalam
konsepnya tidak terdapat riba, ghoror ataupun perjudian. Kedepan harapan
kita asuransi syariah dapat menggantikan asuransi konvensional. Semoga.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwasanya
terdapat empat pendapat ulama dalam asuransi, pertama memperbolehkannya
secara mutlak, kedua mengharamkan secara mutlak, ketiga, memperbolehkan
dengan syarat bersifat social dan tidak komersial. Sejauh ini, berdasarkan dari
analisis yang telah dilakukan. Mengambil kesimpulan bahwa, asuransi hukumnya
diperbolehkan, karena menginggat hukum asal dari mu’amalah adalah mubah, juga
tidak terdapat dalam al-Qur’an dan hadits.
Asuransi
yang sejalan dengan nilai-nilai prinsip syariah adalah yang bersifat
tolong-menolong, terhindar dari perjudian, riba dan ghoror. Nasabah atau klien
tidak kehilangan uang yang dibayar setiap bulannya. Dan perusahaan hanya
bersifat amanah sebagai pengelola uang.
Bahwa
menginggat asuransi pada saat ini cukup mempunyai peran yang signifikan, maka
disarankan untuk memilih asuransi yang sejalan dengan syariah, yaitu asuransi
syariah. Adalah sebagai solusi problema bagi umat.
B. Saran
Meskipun
demikian, penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan.
Makalah yang akan datang hendaknya lebih mengkaji mendalam tentang permasalahan
ini dan dengan menggunakan waktu penulisan yang relatif lama sehingga akan
memunculkan pemahaman yang komprehensif lagi, dan yang pasti didukung dengan
beberapa referensi, jika diperlukan untuk bisa melakukan observasi kepada sejumlah
perusahaan-perusahaan asuransi konvensional dan juga para nasabahnya untuk
mendapatkan data-data yang valid dan original.
Daftar
Pustaka
Antonio, Syafi’i.
2004. EPILOG: Buku Asuransi Syariah (Life & General) Konsep dan Sistem
Operasional,
Arfan, Abbas. 2011.
Prospektif dan Tantangan Bisnis Asuransi Umum di Indonesia;Sebuah Analisa
Ekonomi, Sosiologi, Kultur Budaya dan Agama. (Online), (http://blog.uin-malang.ac.id/baraja/2011/03/,
diakses pada tanggal 19 Juni 2011)
Buku bahan ajar
masail Fiqhiyyah Fakultas Syariah 2011
Nahdhatul
Ulama. 2004. Solusi Problematika
Aktual Hukum Islam; Keputusan Muktamar, Munas dan Kombes NU dari tahun
1926-1999. Surabaya: Diantama.
Sabiq, Sayid. 1995. Fiqh al-Sunnah, Baerut-Lebanon: Dar
al-Fath, Juz III.
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/402162.html,
diakses pada tanggal 19 Juni 2011
2 komentar:
terimakasih dah share bang. sangat bermanfaat untuk menambah referensi. salam
Terima Kasih Atas paparan Hukum Asuransi Menurut Fatwa Ulama Kontenporernya, sangat berguna yang sedang atau akan memilih atau mengetahui info asurasi, manfaat, dan perusahan asuransi, khususnya asuransi kesehatan, pendidikan :)
Baca juga ya paparan saya mengenai Review Produk Perlindungan Asuransi Kesehatan Dengan Unit Link Commonwealth Life
Posting Komentar