BAB VI
Marhaenisme
AKU baru berumur 20 tahun ketika
suatu ilham politik yang kuat menerangi pikiranku. Mula‐mula ia hanya berupa kuncup dari suatu pemikiran yang mengorek‐ngorek otakku, akan tetapi tidak lama kemudian ia menjadi landasan
tempat pergerakan kami berdiri. Di kepulauan kami terdapat pekerja – pekerja yang
bahkan lebih miskin daripada tikus gereja dan dalam segi keuangan terlalu
menyendihkan untuk bisa bangkit di bidang sosial, politik dan ekonomi.
Sungguhpun demikian masing‐masing
menjadi majikan sendiri. Mereka tidak terikat kepada siapapun. Dia menjadi
kusir gerobak kudanya, dia menjadi pemilik dari kuda dan gerobak itu dan dia
tidak mempekerjakan buruh lain. Dan terdapatlah nelayan – nelayan yang bekerja
sendiri dengan alat‐alat
— seperti tongkat kail, kailnya dan perahu — kepunyaan sendiri. Dan begitupun
para petani yang menjadi pemilik tunggal dari sawahnya dan pemakai tunggal dari
hasilnya. Orang‐orang
semacam ini meliputi bagian terbanyak dari rakyat kami. Semua menjadi pemilik dari
alat produksi mereka sendiri, jadi mereka bukanlah rakyat proletar. Mereka
punya sifat khas tersendiri.
Mereka tidak termasuk dalam salah
satu bentuk penggolongan. Kalau begitu, apakah mereka ini sesungguhnya? Itulah
yang menjadi renunganku berhari ‐ hari,
bermalam‐malam dan berbulan‐bulan.
Apakah sesungguhnya saudaraku bangsa Indonesia itu? Apakah namanya para pekerja
yang demikian, yang oleh ahli ekonomi disebut dengan istilah "Penderita
Minimum"? Di suatu pagi yang indah aku bangun dengan keinginan untuk tidak
mengikuti kuliah, ini bukan tidak sering terjadi. Otakku sudah terlalu penuh
dengan soal‐soal politik, sehingga tidak mungkin
memusatkan perhatian pada studi.
Sementara mendayung sepeda tanpa
tujuan —sambil berpikir — aku sampai di bagian selatan kota Bandung, suatu
daerah pertanian yang padat dimana orang dapat menyaksikan para petani mengerjakan
sawahnya yang kecil, yang masing‐masing
luasnya kurang dari sepertiga hektar. Oleh karena beberapa hal perhatianku
tertuju pada seorang petani yang sedang mencangkul tanah miliknya. Dia seorang
diri. Pakaiannya sudah lusuh. Gambaran yang khas ini kupandang sebagai
perlambang dari pada rakyatku. Aku berdiri disana sejenak memperhatikannya
dengan diam. Karena orang Indonesia adalah bangsa yang ramah, maka aku
mendekatinya. Aku bertanya dalam bahasa Sunda, "Siapa yang punya semua
yang engkau kerjakan sekarang
ini?".
Dia berkata kepadaku, "Saya,
juragan."
Aku bertanya lagi, "Apakah
engkau memiliki tanah ini bersama‐sama
dengan orang lain?".
"O, tidak, gan. Saya sendiri
yang punya."
"Tanah ini kaubeli?".
"Tidak. Warisan bapak kepada
anak turun temurun."
Ketika ia terus menggali, akupun
mulai menggali ..... aku menggali secara mental. Pikiranku mulai bekerja. Aku
memikirkan teoriku. Dan semakin keras aku berpikir, tanyaku semakin bertubi‐tubi pula. "Bagairnana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi
apa ka'il kepunyaanmu juga?"
"Ya, gan."
"Dan cangkul?"
"Ya, gan."
"Bajak?"
"Saya punya, gan."
"Untuk siapa hasil yang kaukerjakan?"
"Untuk saya, gan."
"Apakah cukup untuk
kebutuhanmu?"
Ia mengangkat bahu sebagai membela
diri. "Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk seorang isteri
dan empat orang anak?"
"Apakah ada yang dijual dari
hasilmu?" tanyaku.
"Hasilnya sekedar cukup untuk
makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual."
"Kau mempekerjakan orang
lain?" "Tidak, juragan. Saya tidak dapat membayarnya."
"Apakah engkau pernah
memburuh?"
"Tidak, gan. Saya harus
membanting tulang, akan tetapi jerih payah saya semua untuk saya."
Aku menunjuk ke sebuah pondok kecil,
"Siapa yang punya rumah itu?"
"Itu gubuk saya, gan. Hanya
gubuk kecil saja, tapi kepunyaan saya sendiri."
"Jadi kalau begitu,"
kataku sambil menyaring pikiranku sendiri ketika kami berbicara, "Semua
ini engkau punya?"
"Ya, gan."
Kemudian aku menanyakan nama petani
muda itu. Ia menyebut namanya. "Marhaen." Marhaen adalah nama yang
biasa seperti Smith dan Jones. Disaat itu sinar ilham menggenangi otakku. Aku
akan memakai nama itu untuk rnenamai semua orang Indonesia bernasib malang
seperti itu! Semenjak itu kunamakan rakyatku rakyat Marhaen. Selanjutnya di
hari itu aku mendayung sepeda berkeliling mengolah pengertianku yang baru. Aku
memperlancarnya. Aku mempersiapkan kata‐kataku
dengan hati‐hati. Dan malamnya aku memberikan
indoktrinasi mengenai hal itu kepada kumpulan pemudaku. "Petani‐petani kita mengusahakan bidang tanah yang sangat kecil sekali.
Mereka adalah korban dari sistim
feodal, dimana pada mulanya petani pertama diperas oleh bangsawan yang pertama
dan seterusnya sampai ke anak cucunya selama berabad‐abad. Rakyat yang bukan petanipun menjadi korban daripada
imperialisme perdagangan Belanda, karena nenek mojangnya telah dipaksa untuk
hanya bergerak di bidang usaha yang kecil sekedar bisa memperpanjang hidupnya.
Rakyat yang menjadi korban ini, yang meliputi hampir seluruh penduduk
Indonesia, adalah Marhaen." Aku menunjuk seorang tukang gerobak,
"Engkau ... engkau yang di sana. Apakah
engkau bekerja di pabrik untuk orang lain?",
Tidak," katanya.
"Kalau begitu engkau adalah
Marhaen."
Aku menggerakkan tangan ke arah
seorang tukang sate.
"Engkau ... engkau tidak punya pembantu,
tidak punya majikan engkau juga seorang Marhaen.
Seorang Marhaen adalah orang yang
mempunyai alat‐alat yang sedikit, orang kecil
dengan milik kecil, dengan alat‐alat
kecil, sekedar cukup untuk dirinya sendiri. Bangsa kita yang puluhan juta jiwa,
yang sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang
bekerja untuk dia. Tidak ada penghisapan tenaga seseorang oleh orang lain.
Marhaenisme adalah Sosialisme Indonesia dalam
praktek." Perkataan "Marhaenisme" adalah lambang
dari penemuan kembali kepribadian nasional kami. Begitupun nama tanah air kami
harus menjadi lambang. Perkataan "Indonesia" berasal dari seorang
ahli purbakala bangsa Jerman bernama Jordan, yang belajar di negeri Belanda. Studi
khususnya mengenai Rantaian Kepulauan kami. Karena kepulauan ini secara
geografis berdekatan dengan India, ia namakanlah "Kepulauan dari
India". Nesos adalah bahasa Yunani untuk perkataan pulau‐pulau, sehingga menjadi Indusnesos yang akhirnya menjadi Indonesia.
Ketika kami merasakan perlunya untuk
menggabungkan pulau‐pulau
kami rnenjadi satu kesatuan yang besar, kami berpegang teguh pada nama ini dan
mengisinya dengan pengertian‐pengertian
politik hingga iapun menjadi pembirnbing dari kepribadian nasional. Ini terjadi
ditahun 1922‐1923. Dalam tahun‐tahun inilah, ketika kami sebagai bangsa yang dihinakan
diperlakukan seperti sampah di atas bumi oleh orang yang menaklukkan kami.
Karni tidak dibolehkan apa‐apa.
Ditindas dibawah tumit pada setiap kali, bahkan kami dilarang mengucapkan
perkataan "lndonesia". Telah terjadi sekali ditengah berapi‐apinya pidatoku, kata "lndonesia" melompat dari mulutku.
"Stop .... stop .....
"perintah polisi. Mereka meniup peluitnya. Mereka memukulkan tongkatnya.
"Dilarang sama sekali mengucapkan perkataan itu ...... hentikan
pertemuan." Dan pertemuan itu dengan segera dihentikan. Di Surabaya aku
tak ubah seperti seekor burung yang mencari‐cari
tempat untuk bersarang. Akan tetapi di Bandung aku sudah menjadi dewasa. Bentuk
fisikku berkembang dengan sewajarnya. Bintang matinee Amerika yang menjadi
idaman di jaman itu adalah Norman Kerry dan, supaya kelihatan lebih tua dan
lebih ganteng, aku memelihara kumis seperti Kerry. Tapi sayang, kumisku tidak
melengkung ke atas pada ujung‐ujungnya
seperti kumis bintang itu. Dan isteriku menyatakan, bahwa Charlie Chaplinlah
yang berhasil kutiru. Akhirnya usahaku satu‐satunya
untuk meniru seseorang berakhir dengan kegagalan yang menyedihkan dan semua
pikiran itu kemudian kulepaskan segera dari ingatan. Di tahun 1922 aku untuk
pertama kali mendapat kesukaran. Ketika itu diadakan rapat besar di suatu
lapangan terbuka di kota Bandung. Seluruh lapangan menghitam oleh manusia. Ini
adalah rapat Radicale Concentratie, suatu rapat raksasa yang diorganisir oleh
seluruh organisasi kebangsaan sehingga wakil wakil dari setiap partai yang ada
dapat berkumpul bersama untuk satu tujuan, yaitu memprotes berbagai persoalan sekaligus.
Setiap pemimpin berpidato. Dan aku, aku baru seorang pemuda. Hanya mendengarkan.
Akan tetapi tiba‐tiba
terasa olehku suatu dorongan yang keras untuk mengucapkan sesuatu. Aku tidak
bisa mengendalikan diriku sendiri. Mereka semua membicarakan omong kosong.
Seperti biasa mereka meminta‐minta. Mereka tidak menuntut. Naiklah tangan yang berapi‐api dari Sukarno, mercusuar dari Perkumpulan Pemuda, untuk minta
izin ketua agar diberi kesempatan berpidato dihadapan rapat. "Saya ingin
berbicara," aku berteriak. "Silakan," ketua berteriak kembali.
Disana ada P.I.D., Polisi Rahasia Belanda, yang bersebar di segala penjuru
Tepat di mukaku berdiri seorang polisi bermuka merah mengancam dan berbadan
besar. Ini adalah alat yang berkuasa yaitu kulit putih. Hanya dia sendiri yang
dapat menyetopku. Dia seorang dirinya, dapat membubarkan rapat. Dia seorang
dirinya, dengan kekuasaan yang ada padanya dapat mencerai‐beraikan pertemuan kami dan menjebloskanku ke dalam tahanan. Akan
tetapi aku masih muda, tidak mau peduli dan penuh semangat. Jadi naiklah aku ke
mimbar dan mulai berteriak, "Mengapa sebuah gunung seperti gunung Kelud
meledak? Ia meledak oleh karena lobang kepundannya tersumbat Ia meledak oleh
karena tidak ada jalan bagi kekuatan‐kekuatan
yang terpendam untuk membebaskan dirinya. Kekuatan‐kekuatan yang terpendam itu bertumpuk sedikit demi sedikit dan
..... DORRR. Keseluruhan itu meletus. "Kejadian ini tidak ada bedanya
dengan Gerakan Kebangsaan kita Kalau Belanda tetap menutup mulut kita dan kita
tidak diperbolehkan untuk mencari jalan keluar bagi perasaan‐perasaan kita yang sudah penuh, maka saudara‐saudara, nyonya‐nyonya
dan tuan‐tuan, suatu saat akan terjadi pula ledakan dengan kita. "Dan
rnanakala perasaan kita meletus, Den Haag akan terbang ke udara. Dengan ini
saya menantang Pemerintah Kolanial yang membendung perasaan kita.
Dari sudut mataku aku melihat
Komisaris Polisi itu menuju ke depan untuk mencegahku terus berbicara, akan
tetapi aku begitu bersemangat dan menggeledek terus. "Apa gunanya kita
puluhan ribu banyaknya berkumpul disini jikalau yang kita kerjakan hanya
menghasilkan petisi? Mengapa kita selalu merendah diri memohon kepada
'Pemerintah' untuk meminta kebaikan hatinya supaya mendirikan sebuah sekolah untuk
kita? Bukankah itu suatu Politik Berlutut? Bukankah itu suatu politik memohon
dengan mendatangi Yang Dipertuan Gubernur Djendral Hindia Belanda, yang dengan
rnemakai dasi hitam menerima delegasi yang membungkuk‐bungkuk dan menunjukkan penghargaan kepadanya dan menyerahkan
kepada pertimbangannya suatu petisi? Dan merendah diri memohon pengurangan
pajak? Kita merendah diri ...memohon, merendah diri, memohon ..... Inilah kata‐kata yang selalu dipakai oleh pemimpin‐pemimpin kita.
"Sampai sekarang kita tidak
pernah menjadi penyerang. Gerakan kita bukan gerakan yang mendesak, akan tetapi
gerakan kita adalah gerakan yang meminta‐minta.
Tak satupun yang pernah diberikannya karena kasihan. Marilah kita sekarang
menjalankan politik percaya pada diri sendiri dengan tidak mengemis‐ngemis. Hayo kita berhenti mengemis. Sebaliknya, hayo kita
berteriak, "Tuan Imperialis, inilah yang kami TUNTUT !” Kemudian, polisi‐polisi yang maha kuasa dan maha kuat ini, yang punya kekuasaan untuk
menghentikan rapat ini, bertindak. Mereka menyetop rapat dan menyetopku. Heyne,
Kepala Polisi Kota Bandung, sangat marah. Sambil menyiku kanan‐kiri melalui rakyat yang berdiri berjejal‐jejal, ia melompat ke atas mimbar, menarikku ke bawah dan
mengumumkan, "Tuan Ketua, sekarang saya menyetop seluruh pertemuan. Habis.
Tamat. Selesai. Tuan‐tuan
semua dibubarkan. Sernua pulang sekarang. KELUAR !". Begitu pertama kali
Sukarno membuka mulutnya, ia segera harus berhubungan dengan hukum. Dengan
cepat aku menjadi buah tutur orang dan setiap orang mengetahui nama Sukarno.
Aku memperoleh inti pengikut yang kuat. Akan tetapi, sayang, akupun
mengembangkan pengikut yang banyak diantara polisi Belanda. Kemanapun aku pergi
mereka ikuti.
Maka menjalarlah dari mulut ke mulut:
"Di Sekolah Teknik Tinggi ada seorang pengacau. Awasi dia." Dengan
satu pidato si Karno — yang pendiam, yang suka menarik diri dan dicintai
membuat musuh‐musuh jadi geger dan selama 20 tahun
kemudian aku tak pernah dicoret dari daftar hitam mereka. Prestasiku yang
pertama ini menimbulkan kegemparan hebat, sehingga aku segera dipanggil ke
kantor Presiden universitas. "Kalau engkau ingin melanjutkan pelajaran
disini," Professor Klopper memperingatkan, Engkau harus bertekun pada
studimu. Saya tidak keberatan jika seorang mahasiswa mempunyai cita‐cita politik, akan tetapi haruslah diingat bahwa ia pertama dan
paling utama memenuhi kewajiban sebagai seorang mahasiswa. Engkau harus
berjanji, mulai hari ini tidak akan ikut campur dalam gerakan politik. "Aku
tidak berdusta kepadanya. Aku menerangkan persoalanku dengan jujur.
"Professor, apa yang akan saya janjikan ialah, bahwa saya tidak akan
melalaikan pelajaran‐pelajaran
yang tuan berikan dalam kuliah." Bukan itu yang saya minta kepadamu."
Hanya itu yang dapat saya janjikan, Professor.
Akan tetapi janji ini, saya berikan
dengan sepenuh hati. Saya berjanji dengan kesungguhan hati untuk menyediakan
lebih banyak waktu pada studi saya." Ia sangat baik mengenai hal ini.
"Apakah kata‐katamu
dapat saya pegang, bahwa engkau akan berhenti berpidato dalam rapat umum selama
masih dalam studi?" "Ya, Professor," aku berjanji, "Tuan
memegang ucapan saya yang sungguh‐sungguh.
"Dan janji ini kupegang teguh. Berbicara di hadapan massa bagiku lebih
daripada segala‐galanya
untuk mana aku hidup. Oleh karena aku tidak dapat berbicara membangkitkan
semangat rakyat jelata dalam keadaan sesungguhnya maka kulakukanlah ini dalam
khayalan. Pada suatu malam rumah Inggit yang disediakan juga untuk bayar makan
penuh dan kami terpaksa membagi tempat. Aku membagi tempat tidurku dengan
seorang pelajar.
Di tengah malam aku diserang oleh
suatu desakan untuk berpidato dengan nafsu yang bernyala‐nyala, seakan‐akan
aku berbicara dihadapan 10.000 orang yang bersorak‐sorai dengan gegap gempita. Sambil berdiri tegak aku menganggap
tempat tidurku sebagai mimbar dan aku mulai menggegap geletar. "Engkau
tahu apakah Indonesia?" aku berteriak ke punggung temanku setempat tidur.
"Indonesia adalah pohon yang kuat dan indah ini. Indonesia adalah langit
yang biru dan terang itu. Indonesia adalah mega putih yang lamban itu.
Indonesia adalah udara yang hangat ini." Saudara‐saudaraku yang tercinta, laut yang menderu memukul‐mukul ke pantai di cahaya senja, bagiku adalah jiwanya Indonesia
yang bergerak dalam gemuruhnya gelombang samudera. Bila kudengar anak‐anak ketawa, aku mendengar Indonesia. Manakala aku menghirup bunga‐bunga, aku menghirup Indonesia. Inilah arti tanah air kita bagiku. "Setelah
beberapa jam mendengarkan perkataanku yang membakar hati, Djoko Asmo lebih
memerlukan tidur daripada mendengarkan golakan perasaanku. Jam dua tengah malam
dia tertidur nyenyak ditengah tengah pidatoku yang mencacau. Aku kehabisan
tenaga sama sekali sehingga ditengah pidato pembelaanku yang bersemangat akupun
terhempas lena. Esok paginya kami baru tahu, bahwa kami lupa mematikan lampu.
Kelambu kami hampir hangus sama sekali. Lampu itu menyala sepanjang malam sampai
menjilat ke bagian bawah dan kami kedua‐duanya
hampir kelemasan oleh udara dan asap yang hebat. Tapi untunglah. Kami tidak
turut terbakar. Terpikir olehku, kalau seseorang hendak menjadi Juru selamat
dari pada bangsanya di kemudian hari untuk membebaskan rakyatnya, haruslah ia menyelamatkan
dirinya sendiri lebih dulu. Aku masih terlalu banyak mencurahkan waktu untuk
pemikiran politik, jadi tak dapatlah diharapkan akan menjadi mahasiswa yang
betul‐betul gemilang. Kenyataan bahwa aku masih dapat melintasi batas
nilai sedang sungguh mengherankan. Siapa yang belajar? Bukan aku. Tidak pernah.
Aku mempunyai ingatan seperti bayangan gambar dan dalam pada itu aku terlalu sibuk
memompakan soal‐soal
politik ke kepalaku, sehingga tidak tersisa waktuku untuk membuka buku sekolah.
Dewi dendamku adalah ilmu pasti. Aku tidak begitu kuat dalam ilmu pasti.
Menggambar arsitektur bagiku sangat
menarik, akan tetapi kalkulasi bangunan dan komputasi jangan tanya. Kleinste
Vierkanten atau yang dinamakan Geodesi, semacam penyelidikan tanah secara ilrnu
pasti dimana orang mengukur tanah dan belajar membaginya dalam kaki persegi,
dalam semua ini aku gagal. Untuk ujian ilmu pasti kuakui, bahwa aku bermain
curang. Tapi hanya sedikit. Kami semua bermain curang dengan berbagai jalan.
Ambillah misalnya pelajaran menggambar konstruksi bangunan. Aku kuat dalam
pelajaran ini. Dalam waktu ujian dosen berjalan pulang‐balik diantara meja‐meja
memperhatikan setiap orang. Segera setelah ia berada di bagian lain dalam ruangan
ketika menghadapkan punggungnya pada kami, salah seorang yang berdekatan
mendesis, "Ssss, Karno, buatkan bagan untukku, kau mau?"
Aku bertukar kertas dengan dia. dengan terburu‐buru membuat gambar yang kedua dan dengan cepat menyerahkan kembali
kepadanya. Kawan‐kawanku
membalas usaha ini dalam pelajaran Kleinste Vierkanten kalau Professor membuat
tiga pertanyaan di papan tulis dan hanya memberi kami waktu 45 menit untuk
mengerjakannya. Kawan‐kawan
menempatkan kertasnya sedemikian rupa di sudut bangku, sehingga aku dapat
dengan mudah menyalin jawabannya. Sudah tentu aku mencontoh dari mahasiswa yang
lebih pandai dalam ilmu pasti.
Cara ini bukanlah semata‐mata apa yang dinamakan orang berbuat curang. Di Indonesia ini
adalah wajar jika digolongkan dalam apa yang kami sebut kerja‐sama yang erat. Gotong‐royong.
Alasan mengapa aku gagal dan hanya memperoleh nilai tiga adalah karena pada
suatu kali sang Professor melakukan taktik licik terhadap kami. Ia mengejutkan
kami dengan ujian lisan, dimana kami menempuhnya satu persatu. Hanya Professor
dan seorang mahasiswa yang ada dalam ruangan. Aku karenanya jatuh.Semua kuliah diajarkan
dalam bahasa Belanda. Aku berpikir dalam bahasa Belanda. Bahkan sekarangpun aku
memakimaki dalam bahasa Belanda. Kalau aku mendoa kehadirat Tuhan Yang
MahaKuasa, maka ini kulakukan dalam bahasa Belanda. Kurikulum kami disesuaikan
menurut kebutuhan masyarakat penjajahan Belanda. Pengetahuan yang kupelajari
adalah pengetahuan teknik kapitalis. Misalnya, pengetahuan tentang sistem irigasi.
Yang dipelajari bukanlah tentang bagaimana caranya mengairi sawah dengan jalan
yang terbaik. Yang diberikan hanya tentang sistem pengairan tebu dan tembakau.
Ini adalah irigasi untuk kepentingan Imperialisme dan Kapitalisme. Irigasi
dipelajari tidak untuk memberi makan rakyat banyak yang kelaparan, akan tetapi
untuk membikin gendut pemilik perkebunan. Pelajaran kami dalam pembuatan jalan
tidak mungkin dapat menguntungkan rakyat. Jalan‐jalan yang dibuat bukan melalui hutan dan antar‐pulau sehingga rakyat dapat berjalan atau bepergian lebih mudah.
Kami hanya diajar merencanakan jalan‐jalan
tambahan sepanjang pantai dari pelabuhan ke pelabuhan, jadi pabrik‐pabrik dengan demikian dapat mengangkut hasilnya secara maksimal
dan komunikasi yang cukup antara kapalkapal yang berlayar. Ambillah ilmu pasti.
Universitas manapun tidak memberi pelajaran rantai ukuran. Kami diberi. Ini
adalah sebuah pita yang panjangnya 20 meter yang hanya dipakai oleh para
pengawas di perkebunan‐perkebunan.
Diruangan bagan, kalau kami membuat
rencana kota teladan, kamipun harus menunjukkan tempat kedudukan
"Kabupaten", yaitu tempat tinggal Bupati yang mengawasi rakyat desa
membanting tulang. Di minggu terakhir ketika diadakan pelantikan, aku mempersoalkan
ini dengan Rector Magnificus dari Sekolah Teknik Tinggi ini, Professor Ir. G.
Klopper M.E. "Mengapa kami diisi dengan pengetahuan pengetahuan yang hanya
berguna untuk mengekalkan dominasi Kolonial terhadap kami?'' tanyaku. "Sekolah
Teknik Tinggi ini," ia menerangkan, didirikan terutama untuk memajukan
politik Den Haag di Hindia. Supaya dapat mengikuti kecepatan ekspansi dan
eksploitasi, pemerintah saya merasa perlu untuk mendidik lebih banyak insinyur
dan pengawas yang berpengalaman."Dengan perkataan lain, kami mengikuti
perguruan tinggi ini untuk memperkekal polilik Imperialisme Belanda disini? "Ya,
tuan Sukarno, itu benar," ia menjawab. Dan begitulah, sekalipun aku harus
mempersembahkan seluruh hidupku untuk menghancurkan kekuasaan Kolonial, rupanya
aku harus berterima‐kasih
pula kepada mereka atas pendidikan yang kuterima. Dengan dua orang kawan bangsa
Indonesia yang berhasil bersama‐sama
denganku, maka pada tanggal 25 Mei 1926 aku memperoleh promosi dengan gelar
"Ingenieur". Ijazahku dalam jurusan teknik sipil menentukan, bahwa
aku adalah seorang spesialis dalam pekerjaan jalan raya dan pengairan. Aku
sekarang diberi hak untuk menuliskan namaku: Ir. Raden Soekarno. Ketika ia memberi
gelar sarjana teknik kepadaku, Presiden universitas berkata, "Ir. Sukarno,
ijazah ini dapat robek dan hancur menjadi abu di satu saat. Ia tidak kekal.
Ingatlah, bahwa satu‐satunya
kekuatan yang bisa hidup terus dan kekal adalah karakter dari seseorang. Ia
akan tetap hidup dalam hati rakyat, sekalipun sesudah mati." Aku tak
pernah melupakan kata‐kata
ini.
0 komentar:
Posting Komentar