Andrias untuk kemajuan bangsa
Oleh: Jamal Ma’mur Asmani
“Kalau argumen Masdar tentang haji
dalam tiga gelombang wuquf berdasar karena adanya masyaqqah, masyaqqah sendiri
ada batas-batasnya [al-hudud]. Secara faktual, yang menjadi masyaqqah itu
justru bukan pelaksanaan wuquf, namun pada sabil [jalan]. Sehingga solusi dari
tumpukan manusia bisa dilakukan dengan pelebaran sabil [jalan], pengembangan
terirorial atau dengan menggunakan lif, atau aneka ragam teknologi modern
sekarang ini, bukan dengan menghilangkan otentisitas dan orisinalitas
pelaksanaan haji sejak Nabi Ibrahim sampai Nabi Muhammad dan sekarang ini”.
Abdurrahman Wahid [Gus Dur] mendefinisikan reaktualisasi
sebagai upaya penafsiran kembali yang memiliki validitasnya sendiri. Ia harus
dilakukan untuk menampung kebutuhan hidup yang terus berkembang. Konsfigurasi
antara nilai-nilai normatif dan reaktualisasi ajaran agama akan tetap menjadi
kebutuhan yang nyata, selama kaum Muslimin tetap pada pendirian untuk tidak
‘melangkahi’ ketentuan tekstual, tetapi juga tidak bersedia menarik diri dari
pola kehidupan yang senantiasa berubah [Abdurrahman Wahid dalam kata pengantar
Ensiklopedi Ijma’, Pustaka Firdaus & P3M, 1987:xvi].
Masdar Farid Mas’udi [Wakil Katib Syuriyah PBNU dan Direktur
P3M Jakarta] sudah lama terkenal sebagai sosok lokomotif pembaharu dalam tubuh
NU yang dikenal kritis, analitis, progresif, dan kadang kala mengagetkan. Dua
bukunya, Agama Keadilan, Risalah Zakat [Pajak] Dalam Islam, dan Reproduksi
Wanita adalah salah satu bukti konsistensinya dalam lapangan pembaharuan
pemikiran. Pemikiran Masdar inipun banyak yang menular ke bawah. Ulil Abshar,
tokoh muda NU dan lokomotif JIL dalam bukunya Membakar Rumah Tuhan menceritakan,
ketika Lakpesdam NU mengadakan program pelatihan bagi para kiai muda NU dari
seluruh Jawa, ternyata, banyak dari mereka yang sudah mempunyai pemikiran
progresif, semisal KH. Husein Muhammad dari Arjawinangun, Cirebon, dan KH. Moh.
Ishom Hadizq [al-maghfurlah] dari Tebuireng Jombang. Mereka sudah terbiasa
dengan pikiran-pikiran Moh. Arkoun dan Fazlur Rahman. Bedanya, pembaharuan
mereka dilakukan secara diam-diam, menghindari ‘tabrakan’ para kiai sepuh.
Dalam istilah Ulil menirukan Aswab Mahasin, disebut sebagai ‘pembaharuan tanpa
dentuman besar’ atau silent modernism, modernisme yang diam-diam, tak gegap
gempita. Ini juga sejalan dengan filosofi pesantren, al muhafadhatu alal
qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah, mempertahankan yang lama yang
masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik [Ulil Abshar-Abdalla, Membakar
Rumah Tuhan, Rosda Karya, Bandung, 1999:181].
Pemandangan ini sangat berbeda dengan gaya pembaruannya
Masdar dan Ulil sendiri. Kedua orang ini tidak memakai silent modernism, tapi
hard and clear modernism, modernisme yang jelas dan keras. Artinya, pembaruan
keduanya sangat jelas [memakai media cetak/elektronik, atau dengan statemen
kontroversial di forum-forum ilmiah] sehingga menyebabkan iklim intelektualitas
[utamanya kalangan Nahdliyin tradisionalis] menjadi keras dan panas dibuatnya.
Contoh terkininya adalah [selain gagasan Ulil yang heboh di Kompas]
gagasan terbaru Masdar [yang katanya sudah mulai disosialisasikan mulai tahun
–80-an di Majalah Tempo], yang dimuat Jawa Pos [JP/18/1]. Banyak para kiai,
santri dan umat Islam yang saya hubungi pascapemuatan gagasan itu menjadi
berang. Mereka menilai Masdar sudah kelewat batas. Ada yang apologi subyektif
sehingga menilai negatif, ada juga yang berusaha menilai obyektif dengan
mengedepankan kajian argumentatif. Inti pemikiran Masdar adalah menjadikan haji
menjadi tiga gelombang, sehingga wuquf di arafah tidak hanya [tidak wajib]
dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah [hari arafah] sebagaimana ketentuan yang
berlaku. Namun setiap bulan [Syawal, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah] bisa
sendiri-sendiri, sehingga ada kloter Syawal, kloter Dzulqa’dah, dan kloter
Dzulhijjah. Hal ini selain sesuai dengan petunjuk ayat AlHajju Asyhurun
Ma’lumat, haji adalah pada bulan-bulan yang sudah diketahui juga untuk
menghindari masyaqqah [kecapean, kerawanan, dan kesulitan]
Problem Pemahaman
Problem yang disampaikan Masdar tentang pertautan antara Alhajju
Asyhurun Ma’lumat [Alquran] dengan Alhajju Arafah [Hadits] sebenarnya
adalah sebuah misunderstanding, salah pemahaman. Masdar salah memahami bahwa
antara dua hal itu tidak ada kontradiksi [al-tanaqudl]. Yang satu
–alhajju asyhurun ma’lumat menjelaskan tentang miqat zamani haji, sedangkan
yang kedua, al-hajju arafah- menjelaskan rukun haji. Lebih lengkapnya begini,
Asyhurun adalah bentuk plural dari syahr, sedangkan ma’lumat adalah qoyyid
lazim [batasan tetap] dalam ilmu balaghah. Artinya, haji itu pada bulan-bulan
yang sudah sangat maklum. Dari mana maklum di situ? maklum disini adalah
kebiasaan atau tradisi yang sudah berlaku selama berabad-abad sebelum turunnya
ayat tersebut. Dan kita ketahui bersama, tradisi orang arab adalah pada waktu
syawwal, dzulhijjah, dan dzulqa’dah. Oleh sebab itulah, kemujmalan [teks global
yang butuh penjelasan, ma kaana muhtajan ila bayani fa mujmalun –lihat
Abdul Hamid ibn Muhammad Ali Quds dalam kitab Lathaiful Isyarah hlm.
39-40] lafadz asyhurun disitu sudah tidak ada. Tidak hanya waktu haji,
seluruh perilaku haji [termasuk waktu wuquf di arafah] juga sudah masuk dalam
ayat tersebut. Hadits Nabi ‘Alhajju Arafah’ hanya sekedar menguatkan tradisi
yang sudah ada. Jadi, mubayyan-nya [sesuatu yang menjelaskan] adalah
syar’u man qablana, syariat orang sebelum turunnya ayat. Disinilah pentingnya
studi sejarah dan kultur lokal arab dalam memahami proses nuzulul wahyi.
Syariat ini kemudian diteruskan Nabi Muhammad Saw. [sebagaimana kita tahu,
seringkali dalam Alquran ada ayat an ittabi’ millata Ibrahima hanifa,
supaya engkau mengikuti syariat Ibrahim yang lurus]. Walaupun begitu tetap saja
syariat Nabi Muhammad berdiri sendiri, Wa likullin Ja’alna kum Syir’atan Wa
Minhaja, masing-masing Nabi kami jadikan jalan dan metode [yang berdiri
sendiri-sendiri].
Karena khawatir ummatnya macam-macam Nabi dengan tegas
bersabda, Khudzuu ‘Anni Manasikakum, ambillah dariku bagaimana cara
beribadah hajimu. Hadits ini sama dengan hadits “Shallu Kama Raaitumuni
Ushalli” shalatlah seperti kamu semua melihatku shalat. Disini ada dimensi
ta’abbudi [tunduk mengikuti syari’ah]. Dalam ta’abbudi titik konsentrasinya
adalah fadhai’lul a’mal [keutamaan perbuatan], dan hikmah al-tasyri’ wa
falsafatuhu [hikmah dan kandungan filosofis disyariatnya sebuah hukum, seperti
mengingat sejarah penyembelihan Ibrahim dengan Ismail dan pertemuan Adam dengan
Hawa]. Bukan datang dengan tujuan sekedar isqatul uhdatul [menggugurkan
kewajiban]. Nuansa spiritualitas dan religisiusitasnya sangat tinggi. Ingat
sebelum haji Allah memperingatkan agar para jamaah haji memperhatikan zad
[bekal], namun yang disuruh Allah bukan bekal berupa materi, namun taqwa [Watazawwadu
fainna khaira al-zadi attaqwa –ayat sesudah alhajju asyhurun ma’lumat,
QS. Al-Baqarah, 178]. Artinya, hampir mustahil seseorang yang berangkat haji
menjadi seorang muttaqin [ahli taqwa] kalau sebelum berangkat tidak
mempersiapkan bekal taqwa. Karena orientasi taqwa, maka ketundukan, kepasrahan,
kekhudhu’an, kekhusyu’an, dan kenikmatan beribadah menjadi sangat berarti.
Kalau haji hanya sekedar dihitung secara fikih an-sich, tidak ada rasa penghambaan
kepada Allah, niscaya kwalitas haji seperti itu kosong dari nilai substansial
yang akan membentuk dirinya menjadi sosok haji mabrur. Kalau hanya karena
masyaqqah sedikit saja [umpamanya] orang sudah tidak mau lagi, berarti dimensi
fikihnya [dhohir] sangat menonjol, kekuatan kejiwaaannya [tasawwuf] amat
rendah. Allah hanya minta sekali saja dalam hidup ini untuk wuquf di Arafah.
Arafah
Dalam kitab-kitab klasik atau yang terkenal dengan kitab
kuning [classical books] hadits AlHajju Arafah, Arafah di situ berarti Mu’dhomi
arkanil hajji al-wuqufu bi arafata, rukun haji yang paling agung adalah
wuquf di Arafah [Bajuri, Juz I, hlm. 312]. Kapan waktunya, Imam Bukhari dalam
kitabnya, Shahihul Bukhari, Darul Fikri, Juz II, hlm. 175, Imam Syuyuthi
dalam Syarh Sunan Tirmidzi, Darul Fikri, Juz 5, hlm. 256-257, Imam
Muhammad Ibn Yusuf [yang terkenal dengan Abi Hayyan] dalam kitabnya Tafsir
Al-Bahr Al-Muhid, Darul Fikri, Juz II, hlm. 95, Muhammad Ali Al-Shabuni
dalam Rawai’ul Bayan, Jilid Awal, hlm. 255-256, dan seluruh kitab Fikih
seperti I’anah al-Thalibin, Iqna’, Bajuri, Wahhab, Syarqawi, dan Mughnil
Muhtaj, menjelaskan bahwa wuquf adalah mulai tergelincirnya matahari pada
hari arafah [tanggal sembilan Dzulhijjah] sampai terbitnya fajar pada hari nahr
[tanggal 10 Dzulhijjah].
Salah satu Ibarat dalam kitab Syarh Sunan Tirmidzi karangan
Imam Suyuthi [seorang ahli fikih, ahli hadits, ahli tafsir, ahli nahwu, dan
hampir seluruh cabang ilmu dikuasainya, karangannya hampir mencapai 500 kitab]
sebagai berikut “Akhbarana A’maq ibn Ibrahim Qala Anbaana Waki’, Qala
Haddatsana Sufyan An Bakir bin ‘Atha an Abdirrahman bin Ya’mar, Qaala “Syahidtu
Rasulallah Shallallahu Alaihi Wasallam, Fa ataahu Nasun, Fasa’aluu Anil Hajji
Faqaala Rasulullah, Al-Hajju Arafah Faman Adraka Lailata Arafah Qabla Thulu’il
Fajri Min Lailati Jam’in Faqad Tamma Hajjuhu. Hadits diceritakan dari A’maq
bin Ibrahim, dia berkata, Waki’ menceritakan kepada kita, dia berkata,
menceritakan kepada kita Sufyan bin Bakir bin Atha dari Abdurrahman bin Ya’mar,
dia berkata, “Saya melihat Rasulullah Saw, didatangi manusia ditanya soal Haji,
Rasulullah kemudian menjawab ‘[rukun] Haji [paling agung] adalah wuquf di
Arafah, barang siapa yang menemukan [wuquf] pada malam arafah [tanggal 9
Dzulhijjah, di sini sangat jelas] sebelum terbitnya fajar dari malam jam’u
[malam berkumpulnya jama’ah haji -malam 10 Dzulhijjah-] maka, sungguh hajinya
telah sempurna [Syarh Sunan Tirmidzi, Juz 5, hlm. 256].
Ali Al-Shabuni menyitir hadits yang diriwayatkan dari Ahmad
dan Ashabus Sunan yang berbunyi, Al-Hajju Arafah, Man Jaa Lailata Jam’in
Qabla Tulu’il Fajri Faqad Adraka, rukun haji yang paling mulia adalah wuquf
di Arafah, barang siapa yang datang pada waktu malam jam’u [malam nahr -tanggal
10 Dzulhijjah- ketika jama’ah haji di Muzdalifah] maka dia telah
mendapatkannya. – Rawai’ul Bayan, Jilid I, hlm. 255-256-.
Bahkan ada cerita, ketika Habbar ibn Aswad datang pada hari
nahr [tanggal 10 Dzulhijjah] berkata pada umat, Wahai Pemimpin umat Islam, kita
salah menghitung hari, kami mengira ini adalah hari arafah, Umar kemudian
menjawab, pergilah ke Makkah, Tawaflah kamu dan yang menyertaimu. Berkorbanlah
jika ada, potonglah, dan kembalilah. Nanti tahun depan hajji lagi [Dr. Musthofa
Dib al-Bagha, Al-Tazhib Syarh Bulughul Maram, Beirut, hlm. 119].
Sebenarnya, secara implisit, hal ini juga diterangkan dalam
ayat sesudahnya, yakni, Fa Idza Afadltum Min Arafatin Faz Kurullaha Indal
Mas’aril Harami, Wadzkuruhu Kama Hadakum Wain Kuntum Min Qablihi Lamina
al-Dhalimin [QS. Al-Baqarah, 2:198]. Hadits ini menerangka bahwa wuquf ini
dilakukan disamping Masy’aril Haram, sebuah tempat disekitar Arafah. Masy’aril
Haram ini ternyata ramai ketika musim kurban, yaitu tanggal 10, 11, 12, dan
13 Dzulhijjah. Maka wuquf dilaksanakan sebelum pelaksanaan kurban sehingga para
haji tidak terganggu dan dapat menikmatinya [Hasyim Abbas, 2004].
Dari sini dapat disimpulkan bahwa waktu wuquf pada hari
arafah adalah manshus [sesuatu yang langsung dinash oleh Nabi]. Atau dalam
bahasa ushul fikihnya manthuq, eksplisit, sesuatu yang tidak membutuhkan
al-nadhar, analisa mendalam, apalagi kreatifitas yang keluar dari akarnya.
Ketentuan ini kemudian menjadi ijma para Ulama yang ma’lumun
min al-din bil dharurah, sesuatu yang sudah jelas tanpa perlu dipikir,
dianalisa, atau bahkan direkayasa [dharuri]. Bagi orang yang mengingkarinya
hukukmya adalah kafir secara pasti [qat’an], karena ada tendensi membohongi
Syari [tidak percaya kepada Allah dan Rasulnya] [lihat- Syeikh Abdul Hamid bin
Muhammad Ali dalam kitabnya Lathaiful Isyarah, hlm. 48, Maktabah Thoha Putra
Semarang].
KH. MA. Sahal Mahfudz [Rais Am Syuriyah PBNU dan Ketua Umum
Pusat MUI] dan KH. A. Musthofa Biysri [Rais Syuriyah PBNU] dalam terjemahan
kitab Mausu’atil Ijma’ [Ensiklopedi Ijma’] menjelaskan sebagai berikut :
“Waktu wuquf di Arafah adalah antara saat lingsir matahari
di Hari Arafah dan menyingsingnya fajar di Malam Nahr, menurut pendapat segenap
ulama kecuali Ahmad. Beliau mengatakan, waktu wuquf adalah antara
menyingsingnya fajar di Hari Arafah dan menyingsingnya lagi di Hari Nahr. Ulama
juga telah sepakat bahwa wukuf tidak sebelum dhuhur pada hari ke sembilan
[tanggal 9] Dzulhijjah dan tidak Hari Nahr, bagi mereka yang tahu bahwa itu
hari Nahr, dan sesudahnya. Berdasar ini, ulama sepakat bahwa orang yang
berhenti di arafah pada Malam Nahr, sekira dari berhentinya itu sempat salat
subuh dengan imam, ia dianggap telah wuquf. Barang siapa berhenti di siang hari
dan bertolak sebelum tenggelamnya matahari, dan tidak kembali ke arafah waktu
siangnya, itu telah mencukupi sebagai wuqufnya, dan hajinya sah menurut semua
ulama, kecuali Malik. Beliau berkata; “Yang muktamad dalam wuquf di Arafah
adalah malam hari; kalau tidak mengalami sedikitpun dari malam, maka
tertinggalah haji [haji terlepas darinya].” Ini juga salah satu riwayat dari
Imam Ahmad. Juga telah disepakati bahwa orang yang wuquf di Arafah sebelum
tergelincir matahari dan bertolak dari sana sebelum tergelincir matahari,
wuqufnya tidak dianggap. Dan bila tidak kembali dan wuquf setelah tergelincir
atau wuquf pada sebagian malamnya, sebelum menyingsingkan fajar, maka haji
terlepas darinya” [Kesepakatan Ulama dalam Hukum Islam, Ensiklopedi Ijma, Sa’di
Abu Habieb, Hakim Agama di Damaskus, Direktur Lembaga Hukum Islam pada Rabithah
‘Alam Islami, kerjasama P3M [Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat]
dan Pustaka Firdaus Jakarta, cet. Pertama, April 1987 hlm. 159-160].
Kalau argumen Masdar karena ada masyaqqah, masyaqqah sendiri
ada batas-batasnya [al-hudud]. Dan kalau ada masyaqqah [semisal orang yang haji
kalau dipaksa wuquf akan mati umpamanya –al-khaufu ala al-nafs- lihat
Al-Suyuthi dalam Asybah Wa Al-Nadlair, Maktabah Usaha Keluarga Semarang,
hlm. 58], namun solusinya bukan dengan mengubah jadwal haji, melainkan dengan
banyak cara, diantaranya, melaksanakan wuquf tidak pada waktu fadilah [malam
tanggal sepuluh Dzuhijjah], namun mencari waktu yang longgar melaksanakannya,
begitu juga dengan pelaksanaan ramyul jimar. [yang dibatasi dalam haji hanya
wuquf, walaupun begitu syara’ memberi kelonggaran, karena dalam wuquf dimanapun
sepanjang masih di tanah arafah, baik siang maupun malam, walaupun sebentar
adalah sah, lihat Rawai’ul Bayan, Ibid, hlm. 256, Al-Ghazali dalam Al-Wajiz,
Darul Fikri, Juz I, hlm. 73]. Jika tetap tidak mampu [sakit keras misalnya]
bisa menyuruh orang lain untuk menggantinya [istinabah] dengan
syarat-syaratnya. Secara faktual, yang menjadi masyaqqah itu justru bukan
pelaksanaan wuquf, namun pada sabil [jalan]. Sehingga solusi dari tumpukan
manusia bisa dilakukan dengan pelebaran sabil [jalan], pengembangan terirorial
atau dengan menggunakan lif, atau aneka ragam teknologi modern sekarang ini,
bukan dengan menghilangkan otentisitas dan orisinalitas pelaksanaan haji sejak
Nabi Ibrahim sampai Nabi Muhammad dan sekarang ini.
Posisi Turats
Sebelum mengakhiri catatan ini, ada sebuah cerita menarik,
ketika Muhammad Najib, perwakilan dari RMI [asosiasi pondok pesantren] Malang
bertanya kepada Nurcholis Madjid [Cak Nur] pada waktu Muktamar Pemikiran Islam
NU di Situbondo 3-5 Oktober 2003 yang lalu, “Cak Nur, mengapa Cak Nur kalau
menulis buku, makalah, opini di media atau ketika diwawancarai selalu mengutip
pendapat ulama sana dan ulama sini, mana pendapat Cak Nur sendiri” Peserta
Muktamar dibuat geger dengan pertanyaan menggelitik ini. Dengan tenang, mantap
dan penuh hikmah, Cak Nur menjawab pertanyaan anak muda NU yang baru gandrung
studi filsafat ini. “Mengapa saya selalu merujuk kitab-kitab dalam semua
tulisan saya, karena ada sebuah qaidah, “Al-ashlu fil ibadah al-tahrim illa
ma dalla al-dalilu ala ibahatihi, wal ashlu fil mu’amalati al-ibahati illa ma
dalla al-dalilu ala tahrimiha”. Asal dari semua ibadah [hubungan vertikal
transendental] adalah haram kecuali kalau ada dalil yang memperbolehkannya, dan
asal dari mu’amalah [hubungan sosial horisontal] adalah boleh kecuali kalau ada
dalil yang mengharamkannya. Oleh sebab itulah saya selalu mengutip
maqalah-maqalah para ulama di berbagai kitab, hadits, fikih, tafsir, tajwid,
nahwu, dan lain-lain. Tidak mungkin dalam masalah ibadah kita ngawur [tidak
berlandaskan teks, murni hasil imaginasi dan kreasi rasio], jadi harus ada
landasan teks atau sumber yang jelas, yang autentik [mu’tamad alaihi].
Demikian statemen Cak Nur di hadapan para calon pemikir NU masa depan, dan pada
waktu itu hadir Masdar Farid Mas’udi atas nama Syuriyah PBNU.
Kalau Cak Nur sebagai seorang cendekiawan muslim Indonesia
yang dikenal sebagai pembaharu saja masih menempatkan turats, warisan ulama
masa lalu, berupa lautan kitab kuning [classical books] sebagai pedoman
utama dalam merumuskan agenda pembaharuannya, sehingga Cak Nur begitu lihai
mengutip dalil dari sumber klasik [hadits, tafsir, nahwu, tajwid, fiqh,
tasawuf, dll], berbeda dengan Masdar Farid Mas’udi. Disinilah perbedaan Cak Nur
dengan Masdar. Kalau Cak Nur begitu apresiatif dengan kitab kuning sebagai
kekayaan intelektual yang sangat berharga, sedangkan Masdar [yang notabene
adalah wakil Katib Syuriyah PBNU-sebuah jabatan bergengsi] dalam lontaran
pemikirannya tidak mempunyai landasan teks yang autektik, terkesan mengabaikan
kitab-kitab kuning [classical books] yang menjadi rujukan utama NU dan
pesantren khususnya. Sangat heran kalau Masdar dinobatkan anak-anak muda NU
sebagai tokoh post tradisionalisme, yaitu aliran yang melakukan pembaharuan
namun tetap berpijak dengan kekuatan tradisi [al-kutub al-shafra’] yang kuat.
Karena kenyataannya Masdar terlalu lemah bangunan tradisinya [lihat Tashwirul
Afkar, Post Tradisionalisme, Epistemologi dan Metodologi, Lakpesdam Jakarta,
Edisi No. 9 Tahun 2000].
Siapakah yang keluar sebagai pemenang nantinya, proses
sejarahlah yang akan menentukan. Namun, menurut Abdurrahman Wahid dalam kata
pengantar bukunya Masdar [Agama Keadilan, ibid, hlm. xix] ujian yang paling
menentukan dari setiap pemikiran, bukanlah dari sudut argumen formal yang
semata-mata bersifat teoritik, melainkan ujian dari sudut materialnya yang
bersifat empirik. Suatu pemikiran atau ide boleh cumlaude dari sudut teoritik,
tapi jika kandas dalam pembuktian empirik, dalam arti tidak jelas manfaat dan
kemaslahatannya bagi kehidupan manusia, tidaklah banyak maknanya.
Kalau Masdar mengatakan pemikiran genuine ini sudah
dilontarkannya mulai tahun 1980-an di Majalah TEMPO, mengapa sampai sekarang
belum menampakkan pengaruh signifikan, baik dalam gelanggang intelektualitas
apalagi dalam realitas faktual, apakah karena masyarakat ini terlalu kolot,
para kiai dan tokoh agama terlalu konservatif, rigid, eksklusif, eternal dan
ekstrim dalam memahami persoalan hukum, atau karena Masdar sendiri yang pondasi
dalilnya rapuh, kurang representatif [hanya sekedar Alquran, Qaidah Ushul Fikih
dengan mengabaikan ratusan bahkan ribuan karya ulama masa lalu yang begitu
kayanya], atau memang sebuah pemikiran membutuhkan alih generasi untuk bisa
diterima dan dilaksanakan, atau mungkin, menurut Cak Nur, kita tidak boleh
terlalu kreatif dalam masalah ibadah, karena sudah ada ketentuan jelas dan baku
dari Syari’, atau mungkin saja umat ini perlu uswah hasanah, artinya Masdar
harus memberikan contoh dulu, berangkat haji seperti konsep yang ditawarkan,
sepanjang belum dilakukan sendiri oleh Masdar maka sangat sulit mengharapkan
orang lain untuk percaya? Wallahu A’lam Bis Shawab.
Jamal Ma’mur Asmani Alumnus Mathali’ul Falah Kajen
Pati, Peneliti pada CePDeS, Center for Pesantren And Democracy Studies, dan
Staf Pengajar PP Mahasiswa Al-Aqobah Kwaron Diwek Jombang.
0 komentar:
Posting Komentar