BAB VIII
Mendirikan
P.N.l.
WAKTUNYA sudah tepat bagiku untuk
mendirikan partaiku sendiri. Ada dua faktor. Di tahun 1917 dinasti dari
Hohenzollern terpecah‐pecah
di Jerman, Franz Josef jatuh, Czar Alexander goyah. Sepihan‐sepihan dari mahkota‐mahkota
dunia yang telah dibinasakan itu melayang‐layang
melalui telinga Ratu Wilhelmina dan geledek dari revolusi yang berdekatan
menggulung‐gulung melalui pekarangannya. 1917 membawa
pemberontakan Bolsjewik dari Lenin dan lahirnya Uni Soviet. Bela Kun memimpin
suatu pemberontakan di Hongaria. Buruh Jerman mendirikan Republik Weimar. Di
sebelah kanan Negeri Belanda dan disebelah kirinya menganga jurang chaos.
Sedang ia sendiri setelah tiga tahun peperangan hancur dalam segi materil dan
spirituil. Karena hubungan antara Negeri Belanda dan Hindianya terputus akibat
gangguan peperangan dan perhubungan laut yang hampir sama sekali tidak ada,
maka bagian terbesar dari kekayaannya —kekayaan yang berasal dari anak tirinya
Indonesia — punah.
Pun di bidang politik ia lumpuh. Kebutuhannya
yang besar menjebabkan kekosongan yang serius, yang segera diisi oleh ketidakpuasan
dan kekacauan. Untuk melengkapi nasib sialnya, maka seorang Sosialis bernama
Dr. Pieter Jelles Troelstra mengadakan gerakan revolusioner proletariat.
Pertama perang, kemudian timbulnya
revolusi, menyebabkan negeri Belanda menjadi lemah. Digerakkan oleh peristiwa‐peristiwa ini nasionalisme di Hindia Belanda tumbuh bagai bisul‐bisul. Orang Belanda menyadari, bahwa mereka harus melunakkan hati
penduduknya yang berkulit sawo matang disepanjang katulistiwa, oleh karena
Belanda sudah cukup banyak menghadapi kesukaran di pekarangan muka rnereka
sendiri, hal mana tidak memberi kemungkinan untuk bisa memadamkan pemberontakan
bila berkobar di Indonesia. Hindia adalah gabusnya tempat Belanda mengapung
Dengan segala daya upaya mereka perlu membelenggu terus "saudara‐saudara" mereka yang berkulit sawo matang secara patuh. Karena
negeri dibalik pematang itu terlalu lemah untuk menggunakan kekuatan, maka
udara dari peristiwa‐peristiwa
dunia membawa mereka kepada janji Nopember sebagai jalan untuk menenangkan
keadaan.
Di bulan Nopember tahun 1918
Gubernur Djendral, Graaf van Limburg Stirum, menjanjikan kepada kami hak‐hak politik yang lebih luas, kebebasan yang lebih besar,
kemerdekaan untuk mengadakan rapat‐rapat
umum, hak bersuara di Dewan Rakyat.
Segera kami menyadari, bahwa Negeri
Belanda tidak mempunyai maksud untuk menepati janji‐janji yang terkenal busuk dan pendek umurnya itu. Dalam setahun
Belanda mengkhianati kami dengan mengangkat Gubernur Djendral Dirk Fock, Yang
paling reaksioner dari segala jaman. Secara perbandingan maka rezim‐rezim sebelumnya adalah moderat. Akan tetapi Fock sikapnya lebih
menindas dan mengurangi hak‐hak
yang telah pernah diberikan. Ia menekan, mengejar‐ngejar dan mengadakan undang‐undang
yang mengurangi kebebasan apapun juga yang kami peroleh sebelumnya.
Kalau seseorang mengeluarkan celaan, sekalipun "tersembunyi", dapat
menyebabkannya masuk penjara. Dengan perkataan lain, kalau engkau seorang diri
dalam sebuah gua dan ucapanmu yang mengigau dalam pengasingan itu dilaporkan kepada
polisi, engkau dapat dijatuhi hukuman enam tahun. Engkau bahkan masuk penjara
karena berbicara dalam mimpi! Pemerintahan ini memberikan peluang bagi
pemakaian "Undang‐undang
Luar biasa", yang menyebabkan demikan banyak saudara kami laki‐laki dan perempuan dikirim ke tempat tempat yang membikin berdiri
bulu roma.
Undang‐undang itu memberi kekuasaan untuk menginternir atau mengeksternir
seorang Bumiputera masuk penjara atau pengasingan tanpa diadili terlebih dulu. Pada
waktu Negeri Belanda memperoleh kekuatan, maka keadaan semakin memburuk. Fock
yang keterlaluan itu digantikan oleh De Graeff yang lebih jahat lagi. Waktunya
sudah datang untuk mendesakkan nasionalisme. Tapi bagaimana?
Kami tidak mempunyai satu partaipun
yang kuat. Sarekat Islam pecah dua. Pak Tjokro tetap memegang kendali dari
bagian yang sudah lemah, sedang bagian yang lain merobah namanya menjadi
Sarekat Rakyat. Dengan dalih perselisihan maka Komunisme menyusup ke dalam
Sarekat Rakyat. Dalam tahun 1926 mereka merencanakan dan menjalankan
"Revolusi Fisik Besar untuk Kemerdekaan dan Komunisme". Pemberontakan
ini menemui kegagalan yang menyedihkan. Belanda menindasnya dengan serta‐merta dan lebih dari 2.000 pemimpin diangkut dengan kapal ke perbagai
tempat pengasingan. 10.000 orang lagi dipenjarakan. Akibat selanjutnya adalah
chaos. Serekat Rakyat dinyatakan terlarang.
Mereka yang memilih Sarekat Rakyat
sekarang tidak punya apa‐apa.
Mereka yang semakin tidak puas dengan Tjokropun tidak punya apa‐apa. Tidak ada lagi inti gerakan nasional yang kuat. Dalam pada itu
aku sudah menemukan pegangan dalam bidang politik. Pada setiap cangkir kopi
tubruk, di setiap sudut dimana orang berkumpul nama Bung Karno menjadi buah‐mulut orang. Kebencian umum terhadap Belanda dan kepopuleran Bung
Karno memperoleh tempat yang berdampingan dalam setiap buah tutur.
Pada tanggal empat Juli 1927, dengan
dukungan dari enam orang kawan dari Algemeene Studieclub, aku mendirikan
P.N.I., Partai Nasional Indonesia. Rakyat sudah siap. Bung Karno sudah siap.
Sekarang tidak ada yang dapat menahan kami — kecuali Belanda. Tujuan dari pada
P.N.I. adalah kemerdekaan sepenuhnya. SEKARANG. Bahkan pengikut‐pengikutku yang paling setia gemetar oleh tujuan yang terlalu
radikal ini, oleh karena organisasi‐organisasi
sebelumnya selalu menyembunyikan sebagian dari tujuannya, supaya Belanda tidak
mengganggu mereka. Denganku, tidak ada yang perlu disembunyikan, tanpa tedeng
aling‐aling. Dalam perdebatan di ruangan yang tertutup, beberapa orang
mencoba menggelincirkanku dari rel itu. "Rakyat belum lagi siap,"
kata mereka. "Rakyat SUDAH siap," jawabku dengan tajam. "Dan
menjadi semboyan kita adalah: 'Indonesia merdeka SEKARANG.'
Kukatakan 'Indonesia merdeka
SEKARANG." Ini tidak mungkin dilakukan, Bung," mereka memotong
"Tuntutan Bung Karno terlalu keras. Kita akan dihancurkan sebelum mulai.
Memang massa rakyat mendengarkan
Bung Karno, mengikuti Bung Karno secara membabi‐buta, akan tetapi Indonesia merdeka SEKARANG adalah terlalu
radikal. Pertama kita harus mencapai persatuan nasional terlebih dahulu."
Kita tidak bersatu. Betul. Kita terlalu banyak mempunyai ideologi. Setuju. Kita
harus memperoleh persatuan nasional. Ya. Akan tetapi kita tidak lagi berjalan
pelahan‐lahan. 350 tahun sudah cukup pelahan! "Mereka mencoba
menerangkan pandangannya yang hebat. "Pertama kita harus mendidik rakyat
kita yang jutaan. Mereka belum dipersiapkan supaya dapat mengendalikan diri
sendiri. Kedua, kita harus memperbaiki kesehatan mereka supaya dapat berdiri
tegak. Lebih baik kalau segala sesuatu sudah lengkap dan selesai terlebih
dahulu." Satu‐satunya
saat kalau segala sesuatu sudah lengkap dan selesai ialah bilamana kita sudah
mati," aku berteriak. "Untuk mendidik mereka secara pelahan akan memakan
waktu beberapa generasi. Kita tidak perlu menulis thesis atau membasmi malaria
sebelum kita memperoleh kemerdekaan. Indonesia merdeka SEKARANG!.
Setelah itu baru kita mendidik,
memperbaiki kesehatan rakyat dan negeri kita. Hayolah kita bangkit sekarang."
Tentu Belanda akan menangkap kita." Belandapun akan mempunyai respek
sedikit terhadap kita. Sudah menjadi sifat manusia untuk meludahi yang lemah,
akan tetapi sekalipun kita menghadapi lawan yang gagah berani, setidak‐tidaknya kita merasa bahwa dia pantas menjadi lawan. "Aku memandang
diriku sebagai seorang pemberontak. Kupandang P.N.I. sebagai tentara
pemberontak.
Di tahun 1928 aku mengusulkan. agar
semua anggota memakai pakaian seragam. Usulku ini menimbulkan polemik yang
hebat. Seorang wakil yang setia dari Tegal berdiri dan menyatakan, "Ini
tidak sesuai dengan kepribadian nasional. Seharusnya kita memakai sarung tanpa
sepatu atau sandal. Hendaklah kita kelihatan seperti orang‐orang revolusioner sebagaimana kita seharusnya. "Aku tidak setuju.
"Banyak orang yang kaki ayam, akan tetapi mereka bukan orang yang
revolusioner. Banyak orang yang berpangkat tinggi memakai sarung, tapi mereka bekerja dengan
sepenuh hati untuk kolonialis. Yang menandakan seseorang itu revolusioner
adalah bakti yang telah ditunaikannya dalam perjuangan. Kita adalah suatu
tentara, saudara‐saudara.
"Selanjutnya saya menganjurkan untuk tidak memakai sarung, sekalipun
berpakaian preman. Pakaian yang kuno ini menimbulkan pandangan yang rendah. Di
saat orang Indonesia memakai pantalon, disaat itu pula ia berjalan tegap
seperti; setiap orang kulit putih. Akan tetapi begitu ia memasangkan lambang
feodal disekeliling pinggangnya ia lalu berjalan dengan bungkukan badan yang
abadi. Bahunya melentur ke muka. Langkahnya tidak jantan. Ia beringsut dengan merendahkan
diri. Pada saat itupun ia bersikap ragu dan sangat hormat dan tunduk.
" Sungguhpun begitu," Ali Sastroamidjojo S.H.
membalas, yang ketika itu mendjadi ketua Cabang P.N.I. dan kemudian ditahun
lima puluhan menjadi Dutabesar Indonesia yang pertama di Amerika Serikat,
"Sarung itu sesuai dengan tradisi Indonesia." Tradisi Indonesia
dimasa yang lalu, "betul," aku meledak, "Akan tetapi tidak sesuai
dengan Indonesia Baru dari masa datang.
Kita harus melepaskan diri kita dari
pengaruh‐pengaruh masa lampau yang merangkak‐rangkak seperti pelayan, jongos dan orang dusun yang tidak bernama
dan tidak berupa. Mari kita tunjukan bahwa kita sama progressif dengan orang
Belanda. Kita harus tegak sama tinggi dengan mereka. Kita harus memakai pakaian
modern."Ali berdiri lagi. "Untuk memperoleh pakaian seragam perlu
biaya yang besar, sedangkan kita tidak punya uang." Kita akan usahakan
pakaian yang paling murah," aku menyarankan. Cukup dengan baju lengan
pendek dan pantalon. Supaya kita kelihatan gagah dan tampan tidak perlu biaya
yang besar. Kita harus berpakaian yang pantas dan kelihatan sebagai
pemimpin." Ada yang memihak kepadaku. Sebagian lagi menyokong Ali. Aku
kalah.
Sungguhpun demikian keinginan untuk
berpakaian seragam ini tidak pernah hilang dari pikiranku. Dan begitulah,
setelah mengambil sumpah sebagai Presiden di tahun 1945 aku mulai memakai
uniform. Pers asing kemudian mengeritikku. Mereka mengejek. Uhhh, Presiden
Sukarno memakai kancing dari emas. Uhhh! Dia pakai uniform hanya untuk melagak.
"Cobalah pertimbangkan, aku seorang ahli ilmu jiwa massa. Memang ada
pakaianku yang lain. Akan tetapi aku lebih suka memakai uniform setiap muncul dihadapan
umum, oleh karena aku menyadari bahwa rakyat yang sudah diinjak‐injak kolonialis lebih senang melihat Presidennya berpakaian gagah.
Taruhlah Kepala Negaranya muncul dengan baju kusut dan berkerut seperti seorang
wisatawan dengan sisi topinya yang lembab dan penuh keringat, aku yakin akan
terdengar keluhan kekecewaan. Rakyat Marhaen sudah biasa melihat pakaian
semacam itu dimanamana. Pemimpin Indonesia haruslah seorang tokoh yang
memerintah. Dia harus kelihatan berwibawa.
Bagi suatu bangsa yang pernah
ditaklukkan memang perlu hal‐hal
yang demikian itu. Rakyat kami sudah begitu terbiasa melihat orang‐orang asing kulit putih mengenakan uniform yang hebat, yang dipandangnya
sebagai lambang dari kekuasaan. Dan merekapun bagitu terbiasa melihat dirinya
sendiri pakai sarung, seperti ia jadi tanda dari rasa rendah diri.
Ketika aku diangkat menjadi Panglima
Tertinggi, aku menyadari bahwa rakyat menginginkan satu tokoh pahlawan.
Kupenuhi keinginan mereka. Pada mulanya aku bahkan memakai pedang emas di
pinggangku. Dan rakyat kagum. Sebelum orang lain menyebutnya, akan kukatakan
padamu lebih dulu. Ya, aku tahu bahwa aku kelihatan lebih pantas dalam pakaian
seragam. Akan tetapi terlepas daripada kesukaan akan pakaian necis dan rapi,
kalau aku berpakaian militer maka secara mental aku berpakaian dalam selubung kepercayaan.
Kepercayaan ini pindah kepada
rakyat. Dan mereka memerlukan ini.1928 adalah tahun propaganda dan pidato.
Bandung kubagi dalam daerah‐daerah
politik: Bandung Utara, Bandung Selatan, Bandung Timur, Barat, Tengah, daerah
sekitar dan sebagainya. Di tiap daerah itu aku berpidato sekali dalam seminggu,
sehingga aku diberi julukan sebagai "Singa Podium". Kami tidak
mempunyai pengeras suara, karena itu aku harus berteriak sampai parau. Di waktu
sore aku memekik‐rnekik
kepada rakyat yang menyemut di tanah lapang. Di malam hari aku membakar hati
orang‐orang yang berdesak‐desak
sampai berdiri dalam gedung pertemuan. Dan di pagi hari aku menarik urat leher
dalam gedung bioskop yang penuh sesak dengan para pencinta tanah air. Kami
pilih gedung bioskop untuk pertemuan pagi, oleh karena pada jam itu kami dapat
menyewanya dengan ongkos murah. Lalu berdatangan pulalah para pejoang
kemerdekaan dari segala penjuru pulau Jawa ke Bandung untuk mendengarkan aku
berpidato.
Seorang laki‐laki mengadakan perjalanan dari Sumatra Selatan untuk mendengarkan
pidato dari Singa Podium yang, katanya, "sungguh‐sungguh menyentuh tali hati setiap orang seperti pemain kecapi".
Kenyataan ini adalah kesan yang sangat luar biasa baginya, oleh karena ia tidak
mempunyai uang. Aku terpaksa meminjam uang segobang untuk membelikannya nasi.
Keadaan kami terlalu melarat, sehingga uang sepeserpun ada harganya. Aku tidak
punya uang supaya dapat membantunya sekalipun hanya sekian.
Akan tetapi kesetiaan dari patriot
utama ini patut dihargai. Setelah dua tahun ia kukirim kembali untuk menjalankan
tugas di daerahnya sendiri. Kamaruddin ini menjadi salah seorang kawan
seperjuanganku yang akrab sekarang. Masa ini jaman nya kerja keras. Jaman yang
memberikan kegembiraan sebesar besarnya yang pernah kualami. Membikin
keranjingan massa rakyat sampai mereka mabuk dengan anggurnya ilham adalah
suatu kekayaan yang tak ternilai bagiku, untuk mana aku mempersembahkan hidup
ini. Bagiku ia adalah zat hidup.
Apabila aku berbicara tentang
negeriku, semangatku berkobar‐kobar.
Aku menjadi perasa. Jiwaku bergetar. Aku dikuasai oleh getaran jiwa ini dalam
arti yang sebenar‐benarnya
dan getaran ini menjalar kepada orang‐orang
yang mendengarkan. Sayang, diantara pendengarku semakin banyak anggota polisi.
Mereka selalu berada dimana saja,
kalau aku berpidato dan menguraikan siasatku dengan teliti. Memang ada cara‐cara untuk mengelabui orang‐orang‐asing sehingga mereka tidak bisa menangkap setiap insinuasi. Engkau
dapat menggunakan peribahasa daerah atau menyatakan suatu pengertian dengan gerak.
Rakyat mengerti. Dan mereka bersorak.
Di jaman kami, kami tidak membalas
dendam kepada polisi. Taruhlah kami dapat berbuat sedemikian, akan tetapi
hasilnya jauh lebih menyenangkan dengan mempermainkannya. Kalau aku berhadapan dengan
wajah baru yang. Mengikutiku dari belakang setelah selesai berpidato, sikapku
selalu ramah. Aku tidak pernah membesarkan suara dan mengeledek, "Hee, apa‐apaan kamu mengikuti aku, ha?" Tidak pernah sekasar itu.
Dengan senyum yang menyenangkan aku seenaknya membiarkannya melakukan pengejaran
di belakangku dalam teriknya sinar matahari menuju salah satu daerah pesawahan
di pinggir kota. Dari pesawat terbang maka daerah pesawahan dengan petak‐petak kecil kelihatan menghampar bagai selimut yang ditambal‐tambal. Dan pematang‐pematang
yang mengelilingi tiap petak merupakan dinding penahan air supaya tetap tinggal
dalam petak itu dan menggenangi benih. Kubiarkan orang itu mengikuti jejakku ke
pinggir daerah pesawahan, kuletakkan sepeda diatas rumput dan berlari sepanjang
pematang ke rumah seorang kawan. Karena tiba‐tiba
timbul dalam pikiranku hendak mengunjunginya. Sudah tentu aku memilih kawan
yang tinggal cukup jauh dari jalan dan kira‐kira
setengah mil melalui pematang sawah.
Aku tahu betul, bahwa orang Belanda
yang gemuk dan goblok itu tidak boleh meninggalkan sepeda mereka di pinggir
jalan kalau tidak ada yang menjaga. Dan adalah tugas kewajiban mereka untuk tidak
membiarkan lawan seperti Bung Karno lepas dari pandangannya. Jadi, apa akal
orang Belanda terkutuk itu? Tiada akal mereka lain selain memikul sepeda yang
berat itu, lalu berjalan dengan terhuyung hunyung merencahi air sawah atau
meniti pematang yang kecil itu sebisa‐bisanya.
Memandangi orang orang ini berkeringat, memusatkan tenaga dan terhunyung‐hunyung itu memberikan kegembiraan kepadaku yang tak ada taranya.
Cobalah bayangkan ketegangan dari masa ini. Kami adalah pelopor pelopor revolusi.
Bersumpah untuk menggulingkan Pemerintah. Dan Sukarno — menjadi duri yang
paling besar. Setiap hari tajuk rencana menentangku dan tak pernah terluang
waktu barang sejam dimana aku tidak dikejar‐kejar
oleh dua orang detektif atau beberapa orang mata‐mata semacam itu. Aku menjadi sasaran utama bagi Belanda. Mereka
mengintipku seperti berburu binatang liar. Mereka melaporkan setiap gerak‐gerikku. Sangat tipis harapanku agar bisa luput dari intipan ini.
Kalau para pemimpin dari kota lain datang, aku harus mencari tempat rahasia
untuk berbicara. Seringkali aku mengadakan pertemuan penting dibagian belakang
sebuah mobil dengan merundukkan kepala. Dengan begini polisi tidak dapat mendengar
atau melihat apa yang terjadi.
Kami harus menjalankan cara penipuan
yang demikian itu. Aku memikirkan siasat gila‐gilaan untuk membikin bingung polisi.
Tempat lain yang kami pergunakan
untuk pertemuan ialah rumah pelacuran. Aduh, ini luar biasa bagusnya. Hanya
semata‐mata untuk memenuhi kepentingan tugasku. Kemana lagi seseorang yang
dikejar‐kejar harus pergi, supaya aman dan bebas dari kecurigaan dan dimana
kelihatannya seolah‐olah
kepergiannya itu tidak untuk menggulingkan pemerintah? Coba .... dimana lagi?
Jadi berapatlah kami disana, di tempat pelacuran, sekitar jam delapan dan
sembilan malam, yaitu waktu yang tepat untuk itu. Kami pergi sendiri‐sendiri atau dalam kelompok kecil. Setelah memperoleh kebulatan
kata kami bubar; seorang melalui pintu depan, dua orang lagi melalui pintu
samping, aku mengambil jalan belakang dan seterusnya. Selalu pada hari
berikutnya aku harus berurusan dengan Komisaris Besar Polisi, Albrechts.
Setelah memeriksa tentang gerak‐gerikku ia menyerang "Sekarang dengarlah, tuan Sukarno,
kami tahu dengan pasti, bahwa tuan ada di sebuah rumah pelacuran semalam.
Apakah tuan mengingkarinya?"
"Tidak, tuan" jawabku dengan
suara rendah sambil memandang seperti orang yang berdosa,
“hal mana sepantasnya
bagi orang yang sudah kawin”. "Saya
tidak dapat berdusta kepada tuan. Tuan mengetahui saya, saya kira."
Kemudian ia menarik mulutnya kebawah
ke dekat mulutku dan bersuara seperti menyalak, "Untuk apa? Kenapa tuan
pergi kesana?"
Lalu kujawab, "Apa maksud tuan?
Bukankah saya seorang lelaki? Bukankah umur saya lebih dari 16 tahun?"
Nah," ia meringis, memandang kepadaku dekat‐dekat. "Kami tahu. Apa tuan pikir kami bodoh? Lebih baik
terus terang. Tuan dapat menceritakan kepada kami mengapa tuan kesana. Apa
alasannya?"
Yaaahhh, dugaan tuan untuk apa saya
kesana?"
Kataku agak kemalu‐maluan.
"Untuk bercintaan dengan seorang perempuan, itulah alasan ya."
, "Saya akan buat laporan lengkap mengenai ini."
“ Untuk siapa? Isteri saya?"
“Tidak, untuk Pemerintah,"
dia membentak.
"O," kataku terengah mengeluarkan keluhan yang
bersuara, "Baiklah". Pelacur adalah matamata yang paling baik di
dunia.
Aku dengan segala senang hati
menganjurkan ini kepada setiap Pemerintah Dalam gerakan P.N.I.‐ku di Bandung terdapat 670 orang dan mereka adalah anggota yang
paling setia dan patuh dari pada anggota lain yang pernah kuketahui. Kalau
menghendaki mata‐mata
yang jempolan, berilah aku seorang pelacur yang baik. Hasilnya mengagumkan
sekali dalam pekerjaan ini. Tak dapat dibayangkan betapa bergunanya mereka ini.
Yang pertama, aku dapat menyuruh mereka menggoda polisi Belanda. Jalan apa lagi
yang lebih baik supaya melalaikan orang dari kewajibannya selain mengadakan
percintaan yang bernafsu dengan dia. 'kan? Dalam keadaan yang mendesak aku
menunjuk seorang polisi tertentu dan membisikkan kepada bidadariku, "Buka
kupingmu. Aku perlu rahasia apa saja yang bisa kaubujuk dari babi itu."
Dan betul‐betul ia memperolehnya. Polisi‐polisi yang tolol ini tidak pernah mengetahui, dari mana datangnya keterangan
yang kami peroleh. Tak satupun anggota partai yang gagah dan terhormat dari
jenis laki‐laki dapat mengerjakan tugas ini
untukku! Masih ada prestasi lain yang mengagumkan dari mereka ini.
Perempuan‐perempuan lacur adalah satu‐satunya
diantara kami yang selalu mempunyai uang. Mereka menjadi penyumbang yang baik
apabila memang diperlukan. Anggota‐anggotaku
ini bukan saja penyumbang yang bersemangat, bahkan menjadi penyumbang yang
besar. Sokongannya besar ditambah lagi dengan sokongan tambahan. Aku dapat
menggunakannya lebih dari itu. Sudah tentu tindakanku ini mendapat kecaman
hebat karena memasukkan para pelacur dalam partai. Sekali lagi Ali yang berbicara.
"Sangat memalukan," keluhnya. "Kita merendahkan nama
dan tujuan kita dengan memakai perempuan sundal — kalau Bung Karno dapat
mema'afkan saya memakai nama itu. Ini sangat memalukan.”
"Kenapa?" aku menentang. "Mereka jadi orang revolusioner yang terbaik.
Saya tidak mengerti pendirian Bung Ali yang sempit."
“Ini melanggar susila", katanya menyerang.
"Apakah Bung Ali pernah menanyakan alasan
mengapa saya mengumpulkan 670 orang perempuan lacur?" tanyaku kepadanya. "Sebabnya ialah karena saya menyadari,
bahwa saya tidak akan dapat maju tanpa suatu kekuatan. Saya memerlukan tenaga manusia,
sekalipun tenaga perempuan. Bagi saya persoalannya bukan soal bermoral atau
tidak bermoral. Tenaga yang ampuh, itulah satu‐satunya yang kuperlukan." Kita
cukup mempunyai kekuatan tanpa mendidik wanita .....
" wanita
ini," Ali memprotes. "P.N.I.
mempunyai cabang‐cabang
di seluruh tanah air dan semuanya ini berjalan tanpa anggota seperti itu. Hanya
di Bandung kita melakukan semacam ini."
"Dalam
pekerjaan ini maka gadis‐gadis
pesanan —pelacur atau apapun nama yang akan diberikan kepadanya— adalah orang‐orang penting,"
jawabku. "Anggota lain dapat kulepaskan. Akan tetapi melepaskan
perempuan lacur — tunggu dulu. Ambillah misalnya Mme. Pompadour —dia seorang
pelacur. Lihat betapa masyhurnya dia dalam sejarah. Ambil pula Theroigne de
Merricourt, pemimpin besar wanita dari Perancis. Lihat barisan roti di
Versailles. Siapakah yang memulainya? Perempuan‐perempuan lacur". Kupu‐kupu malam ini yang jasanya diperlukan untuk mengambil bagian hanya
di bidang politik, ternyata memperlihatkan hasil yang gilang gemilang pun di
bidang lain.
Mereka memiliki daya‐ menarik seperti besi berani. Setiap hari Rabu cabang partai
mengadakan kursus politik dan anggota‐anggota
dari kaum bapak akan datang berduyun‐duyun
apabila dapat melepaskan pandang pada tentaraku yang cantik‐cantik itu. Jadi, aku tentu harus mengusahakan supaya mereka datang
setiap minggu. Tidak saja musuh‐musuhku
yang datang bertamu kepada gadis‐gadis
itu guna memenuhi kebutuhannya, akan tetapi dari anggota kami sendiripun ada
juga. Dan menjadi tanggung‐jawab
yang paling besarlah untuk membasmi anasir‐anasir
dalam partai — baik laki‐laki
maupun perempuan— yang tidak bisa menyimpan rahasia. Kamipun harus membasmi cecunguk‐cecunguk, yaitu orang yang dibayar untuk memata‐matai partainya sendiri. Setiap tempat mempunyai cecunguk‐cecunguk. Untuk meyakinkan, apakah agen‐agen kami jujur dan dapat menutup mulutnya, kami menguji mereka.
Selama enam bulan sampai setahun gadis‐gadis
pelacur itu menjadi "Calon Anggota". Ini berarti bahwa, sementara
kami memberi bahan dan mengawasinya, mereka tetap sebagai calon. Kalau sudah
diangkat menjadi mata‐mata
yang diakui kecakapannya, maka itu tandanya kami sudah yakin ia dapat dipercaya
penuh. Sebagai perempuan jalanan seringkali mereka harus berurusan dengan hukum
dan dikenakan penjara selama tujuh hari atau denda lima rupiah. Akan tetapi aku
mendorongnya supaya menjalani hukum kurungan saja.
Suatu kali diadakan razia dan
seluruh kawanan dari pasukan Sukarno diangkat sekaligus. Karena setia dan patuh
kepada pemimpinnya, maka ketika hakim meminta denda mereka menolak, "Tidak,
kami tidak bersedia membayar”.
Keempat puluh orangnya dibariskan
masuk penjara. Aku gembira mendengarnya, oleh karena penjara adalah sumber
keterangan yang baik. Tambahan lagi, ada baiknya untuk masa yang akan datang
sebab mereka sudah mengenal para petugas penjara. Kemudian kusampaikanlah
instruksi yang kedua untuk dijalankan nanti setelah bebas. Misalkan setelah itu
armadaku mencari sasarannya di suatu malam. Umpamakan pula di saat yang
bersamaan kepala rumah penjara sedang berjalan‐jalan makan angin menggandeng isterinya. Pada waktu ia melalui
salah seorang bidadari pilihanku ini, si gadis harus tersenyum genit kepadanya
dan menegur dengan merdu, "Selamat malam" sambil menyebut nama
Belanda itu. Beberapa langkah setelah itu tak ragu lagi tentu ia akan
berpapasan dengan gadisku yang lain dan diapun akan menyebut namanya dan
merayu. "Hallo .... Selamat malam untukmu." Isterinya akan
gila oleh teguran ini. Muslihat ini termasuk dalam perang urat syaraf kami.
Di jaman P.N.I. ini orang telah
mengakuiku sebagai pemimpin, akan tetapi keadaanku masih tetap melarat. Inggit
mencari penghasilan dengan menjual bedak dan bahan kecantikan yang dibuatnya
sendiri di dapur kami. Selain itu kami menerima orang bayar makan, sekalipun
rumah kami di Jalan Dewi Sartika 22 kecil saja. Orang yang tinggal dengan kami
bernama Suhardi, seorang lagi Dr. Samsi yang memakai beranda muka sebagai
kantor akuntan dan seorang lagi kawanku Ir. Anwari. Kamar tengah menjadi biro arsitek
kami. Sewa rumah seluruhnya 75 sebulan. Uang makan Suhardi kira‐kira 35 rupiah. Kukatakan "kira‐kira" oleh karena
selain jumlah itu aku sering meminjam beberapa rupiah ekstra. Bahkan Inggit sendiripun
meminjam sedikit‐sedikit
dari dia. Adalah suatu rahmat dari Tuhan Yang Maha Pengasih, bahwa kami diberi‐Nya nafkah dengan jalan yang kecil‐kecil. Kalau ada kawan mempunyai uang kelebihan beberapa sen, tak
ayal lagi kami tentu mendapat suguhan kopi dan peuyeum yang merupakan makanan
khas Bandung. Sekali aku menjanjikan kepada Sutoto kawan sekelas, bahwa aku
akan mentraktirnya, oleh karena ia sering mengajakku minum. Di sore berikutnya
ia datang bersepeda untuk berunding dengan pemimpinnya. Rupanya ia kepanasan
dan payah setelah mendayung sepedanya dengan cepat selama setengah jam. Dan pemimpin
dari pergerakan nasional terpaksa menyambutnya dengan, "Ma'af, Sutoto,
aku tidak dapat bertindak sebagai tuan rumah untukmu. Aku tidak punya
uang." Kemudian Sutoto mengeluh, "Ah, Bung selalu tidak punya
uang." Selagi kami duduk‐duduk
dengan muka suram di tangga depan, seorang wartawan lewat bersepeda."Heee,
kemana?" aku memanggil. “Cari tulisan untuk koranku," ia
berteriak menjawab. "Aku akan buatkan untukmu".
“Berapa?" tanyanya mengendorkan jalan sepedanya. "10 rupiah!".
Wartawan itu seperti hendak mempercepat jalan sepedanya. "Oke, lima
rupiah." Tidak ada jawaban. Aku menurunkan tawaranku. "Dua
rupiah bagaimana? Akan kuberikan padamu”. Pendeknya cukuplah untuk bisa
mentraktir kopi dan peuyeum. "Setuju ?"
“Setuju!" Kawanku itu menyandarkan sepedanya ke dinding rumah dan sementara
dia dan Sutoto duduk di samping aku menulis seluruh tajuk. Tambahan lagi dengan
pena. Tak satupun yang kuhapus, kucoret atau kutulis kembali. Begitu banyak persoalan
politik yang tersimpan di otakku. sehingga selalu ada saja yang akan
diceritakan. 15 menit kemudian kuserahkan kepadanya 1.000 perkataan. Dan dengan
seluruh uang bayaranku itu aku membawa Sutoto dan Inggit minum kopi dan
menikmati peyeum. Bagi kami kemiskinan itu bukanlah sesuatu yang patut dimalukan.
Akan kuceriterakan padamu, bagaimana
kami hidup di tahun‐tahun
dua puluhan. Pada akhir liburan Natal saudara J.A.H. Ondang, seorang kawan,
datang ke rumah di larut malam. "Bung," katanya. "Aku
dalam kesulitan. Apa Bung mau menolongku?".
“Tentu, akan
kutolong, Bung", aku tersenyum.
"Kecuali
kalau perlu uang jangan tanya padaku, karena kami sendiripun butuh uang”.
“
Dengarlah," ia
menerangkan, "Aku pulang dalam libur ini dan kembali kesini dua hari
lebih cepat daripada dugaan semula. Rupanya nyonya tempatku bayar rnakanpun
pergi berpakansi (liburan) dan dia belun pulang. Aku tidak bisa masuk ke
rumah."
“Ke hotel saja”, saranku.
"Tidak bisa. Aku tidak sanggup
membayarnya. Isi kantongku cuma dua rupiah. Itulah seluruh milikku. Aku
sesungguhnya tidak mau mengganggu Bung, akan tetapi hanya Bung satu‐satunya yang kukenal baik di Bandung ini. Apa bisa aku bermalam
disini?"
“Boleh saja,
cuma rumah kami yang kecil ini sudah penuh. Kalau tidak keberatan sekamar
dengan kami laki‐isteri
dan kalau mau tidur di tikar, ya, dengan senang hati kami terima Bung menginap
disini." Bukan main!
Dia berterima‐kasih. Selama tiga malam ia tinggal
dengan kami. Kami saling bantu‐membantu
di hari‐hari ini. Seringkali kami mendapat tamu. Para simpatisan yang
berada dalam pengawasan polisi ketika masih belajar di Negeri Belanda, dengan
diam‐diam diselundupkan ketanah air dan dibawa ke rumahku untuk minta
pertimbangan.
Kadang‐kadang bermalam di tempat kami orang yang membawa "Indonesia
Merdeka" yang terlarang, yaitu berkala yang dicetak oleh kawan‐kawan di Negeri Belanda, dan tidak boleh beredar di tanah air. Karena
itu kawan‐kawan di Amsterdam menggunting
artikel‐artikel yang penting dan menyisipkannya ke dalam majalah yang tidak
terlarang. Dengan jalan demikian banyak bahan keterangan yang dapat dikirimkan
pulang‐pergi melalui samudra luas. Pada tanggal 28 Oktober tahun 1928
Sukarno dengan resmi mengikrarkan sumpah khidmat: "Satu Nusa, Satu
Bangsa, Satu Bahasa”. Di tahun 1928 untuk pertama kali kami menyanyikan
lagu Kebangsaan "Indonesia Raya". Dan di tahun 1928 itu
pulalah aku didakwa di depan Dewan Rakyat. Gubernur Jendral yang menyatakan
kegiatanku sebagai persoalan yang serius, memperingatkan, bahwa ia sangat
menyesalkan sikap non‐kooperasi
dari P.N.I.," yang katanya mengandung unsur‐unsur yang bertentangan dengan kekuasaan Belanda. "Bulan
Desember 1928 aku berhasil mengadakan suatu federasi dari partaiku sendiri
—Partai Nasional Indonesia— dengan semua partai‐partai utama yang berhaluan kebangsaan. Permufakatan Perhimpunan ‐ Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia ini, yang disingkat P.P.P.
K.I., memungkinkan kami bergerak dengan satuan kekuatan yang lebih besar
daripada yang pernah terjadi sebelumnya. Dan badan inipun memberikan kemungkinan
bahaya yang lebih besar pula kepadaku sebagai ketua daripada yang pernah
kuhadapi sebelumnya. Maka mulailah Pemerintah Hindia Belanda mengadakan
pengawasan yang tak kenal ampun terhadap P.N.I. dan P.P.P.K.I. Pengaruh dari
ucapan‐ucapanku yang sanggup menggerakkan rakyat banyak merupakan ancaman
yang nyata bagi Belanda. Apabila Sukarno berpidato, rakyat tentu berkumpul
seperti semut.
Dengan tuntutanku, kami
selegggarakan kegiatan bersama di seluruh pulau. Rapat‐rapat yang diadakan pada umumnya dikendalikan oleh pembicara‐pembicara dari P.N.I. dalam mana Sukarno menjadi tokoh penarik yang
paling banyak diminta. Pemerintah Hindia Belanda menjamin apa yang dinamakannya
kemerdekaan berbicara, asal pertemuan itu diselenggarakan "di dalam
ruangan dan tidak dapat didengar dari luar" dan asal rapat diadakan
"dibawah satu atap dan dibatasi oleh empat dinding" dan asal yang mendengarkan
"di atas umur 18 tahun". Merekapun menghendaki, supaya setiap
pengunjung memperlihatkan surat undangan. Jadi, kami cetaklah sendiri undangan
itu dan dengan diam‐diam
membagikannya pada waktu orang masuk. Uang untuk biaya diterima dari orang‐orang yang tidak dikenal. Seperti misalnya dari amtenar bangsa
Indonesia yang bersimpati dan secara diam‐diam
menyerahkan sumbangannya kepada kami. Untuk mengadakan rapat umum di lapangan
terbuka kami harus minta izin dari Pemerintah seminggu sebelumnya.
Aturan yang menggelikan ini patut
dihargai oleh karena kami dapat minta izin untuk mengutuk pemerintah. Aku
teringat akan peristiwa di suatu hari Minggu di Madiun. Seperti biasanya kalau
Bung Karno berbicara, lapangan rapat begitu sesak sehingga ada diantaranya yang
jatuh pingsan. Di bagian depan, diatas kursi yang keras dengan sandarannya yang
tegak kaku, duduklah empat orang inspektur polisi. Sudah menjadi kebiasaanku
untuk memanaskan hadirin terlebih dulu dengan pidato orang lain sebelum tiba
giliranku. Kalau aku akan berbicara selama satu jam, maka pembicara sebelumku
hanya berpidato lima menit. Apabila aku berbicara pendek saja, orang yang
berpidato sebelumku mengambil waktu 45 menit. Ali juga hadir. Kutanyakan
kepadanya, apakah dia akan menyampaikan pidato pokok. "Tidak Bung,
tidak!", jawabnya menolak.
"Bung tahu
saya baru keluar dari penjara. Saya harus menjaga gerak‐gerik saya. Kalau tidak begitu, polisi akan bertindak lagi. Biarlah saya duduk saja dan mendengarkan Bung
Karno. Terlalu berbahaya kalau saya bangkit dan berbicara, sekalipun hanya mengucapkan beberapa
perkataan”. Lautan manusia
menunggu giliranku. Mereka menunggu dengan hati berdebar‐debar. Aku duduk dengan tenang di atas panggung, mendo'a' seperti
masih kulakukan sekarang sebelum mulai berpidato. Ketua memperkenalkanku, aku meminum
air seteguk dan melangkah menuju mimbar. "Saudara‐saudara," kataku. "Di
sebelah saya duduk salah seorang dari saudara kita yang baru saja keluar dari
penjara, tidak lain karena ia berjuang untuk cita‐cita.
Tadi dia menyampaikan kepada saya keinginannya untuk menyampaikan beberapa
pesan kepada saudara‐saudara”.
Rakyat gemuruh menyambutnya. Ali sendiri hampir mau mati. Mata hari
menyinarkan panas yang menghanguskan akan tetapi Ali berkeringat lebih daripada
itu. Aku tidak mau menjerumuskannya ke dalam kesukaran. Akan tetapi secara
psychologis hal ini penting buat yang hadir, supaya mereka melihat wajah salah
seorang dari pemimpinnya yang telah meringkuk dalam penjara karena
memperjuangkan kejakinannya dan masih saja mau mencoba lagi. Dengan hati yang
berat Ali bangkit. Ia mengucapkan beberapa patah kata. Lalu duduk kembali
dengan segera. Keempat inspektur Polisi itu tidak mau melepaskan pandangannya
dari wajah Ali. Kemudian aku berdiri dan mengambil alih ketegangan dari Ali dan
menggelorakan semangat untuk berontak.
"Senjata imperialisme yang paling jahat
adalah politik "Divide et Impera".
Belanda telah berusaha memecah‐belah
kita menjadi kelompok yang terpisah‐pisah
yang masing‐masing membenci satu sama lain.
“Kita harus
mengatasi prasangka kesukuan dan prasangka kedaerahan dengan menempa suatu
keyakinan, bahwa suatu bangsa itu tidak ditentukan oleh persamaan warna kulit
ataupun agama. Ambillah misalnya Negara Swiss. Rakyat Swiss terdiri dari orang
Jerman, orang Perancis dan orang Italia, akan tetapi mereka ini semua bangsa
Swis. Lihat bangsa Amerika yang terdiri dari orang‐orang yang berkulit hitam, putih, merah, kuning. Demikian juga
Indonesia, yang terdiri dari berbagai macam suku.,"Sejak dunia terkembang,
para pesuruh dari Yang Maha Pencipta telah mengetahui bahwa hanya dalam
persatuanlah adanya kekuatan. Mungkin saya ini seorang politikus yang berjiwa
romantik, yang terlalu sering memainkan kecapi dari pada idealisme. Ketika
orang Israel memberontak terhadap Firaun, siapakah yang menggerakkan kesaktian?
Yang menggerakkan kesaktian itu adalah Musa. Nabi Musa 'alaihissalam. Beliaupun
bercita‐cita tinggi.
Dan apakah yang dilakukan oleh Nabi Musa? Nabi Musa telah mempersatukan seluruh
suku menjadi satu kekuatan yang bulat”.
"Nabi Besar Muhammad sallallahu 'alaihi wasallam pun berbuat
demikian. Nabi Besar Muhammad adalah seorang organisator yang besar. Beliau
mempersatukan orang‐orang
yang percaya, menjadikannya satu masyarakat yang kuat dan secara gagah perwira
melawan peperangan peperangan, pengejaran pengejaran dan melawan penyakit dari
jaman itu”. Saudara‐saudara,
apabila kita melihat suatu gerakan di dunia, mula mula kita lihat timbulnya
perasaan tidak senang. Kemudian orang bersatu di dalam organisasi. Lalu
mengobarkan revolusi! Dan bagaimana pula dengan pergerakan kita? Pergerakan
kitapun demikian juga. Maka oleh karena itu, saudara‐saudara, marilah kita ikuti jejak badan kita yang baru, yaitu P.P.P.K.I.,
yang meliputi seluruh tanah air. Hayolah kita bergabung menjadi keluarga yang
besar dengan satu tujuan yang besar: menggulingkan Pemerintah Kolonial.
Melawannya bangkit bersama‐sama
dan .....''.
Inspektur Polisi yang memakai
tongkat memukulkan tongkatnya sambil berteriak, "Stop .... Stop.....''
Kemudian keempat‐empatnya
melompat dari tempat duduk mereka. Rakyat yang sudah tegang pikirannya berada
dalam suasana berbahaya karena polisi mengancamku dan mereka seperti hendak menyerang
keempat inspektur itu ketika seorang memanjat ke atas panggung dan berlari ke
belakang sambil bersiul minta bantuan. Lima menit kemudian muncullah sebuah bis
membawa 40 orang polisi bersenjata lengkap. Aku ditarik ke belakang panggung,
turun tangga menuju ke jalanan dan diiringkan ke kantor polisi. Setelah
mendapat peringatan yang sungguh‐sungguh
aku dibebaskan lagi.
"Jangan
mencari perkara, tuan Sukarno. Kalau terjadi sekali lagi, kami akan giring tuan
ke dalam tahanan. Tuan akan meringkuk di belakang jeruji besar untuk waktu yang
lama. Mulai sekarang ini jagalah langkah tuan. Tuan tidak akan begitu bebas lagi lain kali ".
Malam itu Inggit mendapat suatu bayangan mimpi. Ia melihat polisi berpakaian
seragam menggeledah rumah kami. Penglihatan ini datang lagi kepadanya dengan
kekuatan yang sama persis sampai yang sekecil‐kecilnya selama lima malam berturut‐turut. Di hari yang kelima aku harus pergi ke Solo untuk menghadiri
rapat umum. Dengan sedih ia mengikutiku sampai ke pintu depan. Wajahnya
berkerut dan tegang. Sewaktu aku pergi, suatu firasat telah menyekap batinya.
Ia memanggil nama kecilku dengan lembut.
"Kus," katanya lunak, "Jangan pergi ...... jangan kau
pergi."
0 komentar:
Posting Komentar