BAB XVII
Pelarian
YANG menjadi sasaran pertama dari
pendaratan, tentara Jepang adalah kota Palembang, Sumatera Selatan. Tentara
Belanda mengundurkan diri. Dia tidak bertempur. Dia lari tunggang‐langgang, Hanya untuk satu hal Belanda tidak lari, yaitu untuk
mengawasi Sukarno. Belanda kuatir meninggalkanku, oleh karena Jepang sudah
pasti akan menggunakan bakatku untuk melontarkan kembali segala dendam kesumat
terhadap Negeri Belanda, dan dengan demikian juga terhadap Pasukan Sekutu.
Merekapun kuatir terhadap masa datang, kalau perang sudah selesai. Lepasnya
Sukarno ke tali hati rakyat yang sudah sangat bergetar, berarti bukan,
mempermudah jalan untuk menguasai kembali kepulauan Hindia Belanda.
Mereka bahkan lebih menyadari
daripada aku, bahwa di Jawa dan dimana‐mana
rakyat masih belum melupkan Sukano. Rakyat masih menempatkan Sukano di puncak
impian mereka. Boleh jadi ini disebabkan, karena tidak ada tokoh lain yang
dapat menduduki tempat Sukarno di dalam hati rakyat.
Semenjak aku dibuang, maka
pergerakan kebangsaan telah bercerai‐berai.
Semua pemimpin dimasukkan ke dalam bui atau diasingkan. Di tahun 1936 sebuah
partai yang telah dilemahkan, yaitu Gerindo, bergerak kembali, akan tetapi
tidak mempunyai tokoh yang mudah terbakar. Tidak ada pemberontakan rakyat.
Apa yang dapat dilakukan oleh massa
hanyalah mengingat‐ingat
kembali waktu yang telah silam. Dan ini memang yang mereka lakukan. Selama masa
aku dipisahkan dari rakyat, mereka hanya mengenang detikdetik yang memberi
pengharapan dan kemenangan di bawah Singa Podium. Ternyata di dalam sejarah
agama dan politik, bahwa jika pihak lawan memerangi usaha seorang pemimpin
dengan jalan pengasingan atau lain‐lain,
namanya akan semakin berurat‐berakar
dalam hati rakyat. Demikian pula halnya dengan Sukarno. Kepopuleranku di
kalangan rakyat sampai sedemikian, sehingga nampaknya seolah‐olah aku tidak pernah dipisahkan dari mereka itu.
Tersiarlah berita bahwa Jepang sudah
bergerak menuju Bengkulu. Sehari sebelum ia menduduki kota ini dua orang polisi
dengan tergopoh‐gopoh
datang ke tempatku. "Kemasi barang‐barang," perintahnya. "Tuan
akan dibawa keluar."
"Kapan
?"
"Malam ini
juga. Dan jangan banyak tanya. Ikuti saja perintah. Tuan sekeluarga akan
diangkut tengah malam nanti. Secara diam‐diam dan rahasia. Hanya boleh membawa dua kopor kecil berisi
pakaian. Barang lain tinggalkan. Tuan akan dijaga keras mulai dari sekarang,
jadi jangan coba‐coba
melarikan diri."
Sukarti yang berumur delapan tahun
itu dapat merasakan ketegangan yang timbul. Karena takut dia bergantung
kepadaku dengan kedua belah tangannya.
"Pegang
saya, Oom," bisiknya. Oom
adalah paman dalam bahasa Belanda. Ketika polisi itu meneriakkan perintahnya,
aku membelai kepala anak itu untuk menenangkan hatinya. "Boleh saya
bertanya kemana kami akan dibawa?" tanyaku.
"Ke
Padang. Tuan akan selamat, karena tentara kita dipusatkan di sana untuk
membantu pengungsian. Ribuan pelarian preman dan militer diungsikan ke Padang,
yaitu pelabuhan tempat pemberangkatan menuju Australia. Dan juga telah diatur
untuk mengangkut tuan dengan kapal pengungsi yang terakhir."
"Berapa
lama kita di Padang?"
"Hanya
satu malam. Iring‐iringan
kapal sebanyak tujuh buah sudah siap menanti dan akan berangkat di hari berikut
setelah tuan sampai. Sekarang buru‐buru.
Kita berlomba dengan waktu."
Kami mendapat kesempatan hanya
beberapa jam untuk berkemas. Tidak ada waktu untuk takut atau bingung. Timbul
pertanyaan dalam hati, apakah memang menguntungkan bagiku kalau aku disingkirkan
dari pendudukan tentara Jepang. Ataukah suatu kerugian, jika tetap berada dalam
cengkeraman Belanda. Perasaanku kacau balau. Meninggalkan kota Bengkulu berarti
meninggalkan tempat pembuanganku. Mengingat akan hal ini aku gembira. Akan
tetapi pergi ke Australia berarti menuju tempat pembuangan yang baru.
Kalau ini kuingat, hatiku jadi
susah. Sekarang ini, melebihi dari waktu‐waktu
yang lain, aku tidak ingin meninggalkan tanah airku yang tercinta. Bagaimana
aku bisa membanting tulang demi kemerdekaan negeriku dari tempat yang ribuan
mil jauhnya. Kejadian‐kejadian
susul‐menyusul begitu cepat, sehingga tidak tersisa waktu untuk berpikir.
Aku hanya berhasil mencuri waktu lima menit untuk diriku sendiri. Bengkulu
kotanya kecil dan dalam waktu lima menit aku menyelundup ke rumah paman
Fatmawati, dimana seluruh keluarga gadis itu berkumpul bersama‐sama untuk menguatkan hati mereka dalam menghadapi penyerbuan. Aku
mengetuk pintunya dengan lunak dan berbicara pelahan, "Saya Sukarno.
Bukalah pintu. Saya datang untuk mengucapkan perpisahan."
Aku memperoleh kesempatan selama
satu detik yang singkat berhadapan dengan Fatmawati. Kami berpegangan tangan
dengan erat dan kataku kepadanya, "Hanya Tuhanlah Yang Maha Tahu apa
yang akan terjadi terhadap kita. Mungkin kita tidak akan dapat keluar dari
peperangan ini dalam keadaan masih hidup. Mungkin juga kita terdampar di bagian
dunia yang berjauhan. Akan tetapi kemanapun jalan yang akan kita tempuh, atau
apapun yang akan terjadi terhadapmu dan aku, dimanapun kita terkandas, aku menyadari
bahwa Tuhan akan memberkati kita dan memberkati kecintaan kita satu sama lain.
Insya Allah, entah kapan .... entah dimana .... kita akan berjumpa lagi."
Jam sebelas malam kami mendengar,
bahwa musuh sudah berada di Lubuk linggau, kota penghubung jalan kereta api
Palembang — Bengkulu. Di tengah malam itu kepala polisi datang dengan diam‐diam. Tidak jauh dari rumah kami di belakang semak belukar dia
menyembunyikan sebuah mobil pick‐up.
Di dalamnya ada empat orang polisi. Dalam tempo lima belas menit Inggit,
Sukarti, aku sendiri, Riwu — pembantu kami berumur dua puluh tiga tahun yang
dibawa dari Flores dan tidak mau ketinggalan — dan barang‐barang kami semua dipadatkan dalam kendaraan yang sesak itu.
Dekat rumahku ada dua buah pompa
bensin. Yang satu terletak di Fort Marlborough tidak jauh dari situ, yang satu
lagi di pekaranganku sendiri, milik Pemerintah, dibawah serumpun pohon kelapa.
Belanda mulai menjalankan politik bumi hangusnya. Begitu kami meninggalkan
pintu depan, maka persediaan bensin dan minyak pelumas di Fort Marlborough
terbang ke udara dengan ledakan yang hebat. Ini sebagai tanda bagi penjaga kami
untuk membakar pula drum‐drum
di rumahku. Tindakan ini mempunyai tujuan ganda. Di samping mencegah, agar ia
tidak jatuh ke tangan musuh, iapun memberikan kesenangan.
Ledakannya dapat terdengar ke
sekitar sampai bermil‐mil
dan sejauh‐jauhnya mata memandang di seluruh
kota hanya kelihatan lautan api. Dalam lindungan keadaan inilah mereka
melarikanku keluar kota Bengkulu.
Untuk menghilangkan jejak, polisi
itu mengambil jalan ke arah selatan. Setelah jelas bahwa tidak ada orang yang
mengikuti jejak kami, mereka memutar haluan ke utara menuju Muko‐Muko, sekira 240 kilometer dari Bengkulu di mana kami akan
bermalam. Selama dalam perjalanan kami harus mengarungi tiga belas buah sungai
yang lebar berlumpur dan banyak buaya. Tidak ada jembatan sama sekali. Kami menyeberanginya
dengan rakit dan perahu yang dibuat oleh rakyat setempat.
Di hari berikutnya jam lima sore
rombongan yang kelelahan ini sampai di Muko‐Muko.
Kami bermalam di sebuah rumah yang dijaga keras oleh polisi. Jam tiga pagi kami
dibangunkan lagi. "Mari kita lanjutkan perjalanan," gerutu
salah seorang yang bertugas. "Sekarang berangkat."
"Kenapa
begini pagi ?" tanyaku.
"Rantau
kita masih jauh dan hari ini harus sampai sejauh mungkin sebelum matahari
membakar kepala. Kalau siang sedikit, kita tidak akan tahan panasnya
matahari."
Sesampai di jalanan baru kami
ketahui, bahwa pengiring kami dari Bengkulu sudah digantikan oleh enam orang
pengawal bermuka kaku dari Muko‐Muko.
Selain membawa tempat minum mereka menyandang senapan dan pistol. Ada lagi
perubahan yang lain. Kendaraan kami sudah diganti dengan gerobak sapi. Ia
dimuat dengan persediaan makanan. Beras dan kaleng‐kaleng. Melebihi persediaan untuk sehari. Cukup untuk seminggu,
kukira.
"Perjalanan
selanjutnya kita tempuh dengan jalan kaki," kata seorang yang menyandang tempat minum. Isteriku mengangkat
kepala karena kaget. "Jalan kaki sampai ke Padang?"
"Betul."
"Sejauh
tigaratus kilometer?" tanyanya
kehabisan napas.
"Ya,
betul," orang itu
memotong. "Hayo kita jalan."
"Kenapa
tidak dengan mobil saja?"
tanyaku, ketika kami menaikkan Sukarti dan barang ke atas gerobak.
"Kita
melalui hutan lebat, rapat dan susah dijalani. Satu‐satunja cara supaya sampai di Padang dengan menempuh jalan setapak
yang berkelok‐kelok
berliku‐liku dan di
beberapa tempat susah dilalui."
Aku bisa tahan berjalan kalau
dibandingkan dengan yang lain, oleh karena aku selalu latihan. Akan tetapi Inggitlah
yang menimbulkan kekuatiranku. "Jangan kuatir," aku
membujuknya. "Polisi‐polisi
yang bebal inipun bukan pejalan marathon, sama saja dengan kau."
Betapapun kekuatiran yang timbul,
bagi kami tidak ada pilihan lain. Di belakang kami, tentara Jepang. Di depan,
tentara Belanda. Dikiri‐kanan
kami enam orang polisi pakai senapan, mendampingi kami setiap saat siang dan
malam. Sehingga berjalanlah kami. Terus berjalan. Tak henti‐hentinya berjalan. Menempuh hutan yang lebat di sepanjang pantai
Barat Sumatera Selatan. Aku memakai sepatu. Isteriku hanya pakai sandal terbuka
seperti yang biasa dipakai oleh wanita Indonesia, dan tidak bisa diharapkan
dapat meringankan perjalanan berhari‐hari
melalui hutan rotan dan rumput liar yang kering dan menggores gores kaki
setinggi lutut bermil‐mil
jauhnya.
Kaki Inggit lecet dan bengkak. Kadang‐kadang ia naik gerobak sapi itu. Akan tetapi jalannan curam dan
akhirnya bukan sapi itu yang menolong kami, akan tetapi akulah yang harus
menolong sapi itu. Aku menariknya. Dan menolaknya. Seringkali binatang itu
hanya berdiri saja dan menantikan Sukarno menarik gerobak itu seorang diri. Di
tengah hutan yang demikian sesekali kami menjumpai sebuah pondok yang terpencil
kepunyaan pemburu atau pencari kayu bakar.
Jam enam sore kami berhenti di
pondok seperti itu. Kami berada ditengah‐tengah
pesawangan, dan kalaupun disuruh berjalan terus tak seorangpun diantara kami
yang masih sanggup berjalan. Kami terlalu lelah. Dan kaki bengkak‐bengkak oleh gigitan serangga. Sukarti tidak memakai topi, badannya
terbakar oleh terik matahari. Pondok itu berbentuk rumah panggung, supaya
terhindar dari ancaman binatang. Sekalipun demikian kami dapat mencium adanya
tamu‐tamu yang tidak diundang. Seekor ular menjalar melalui kaki. Cicak berkeliaran
di atas atap. Diatas lantai terhampar sehelai tikar kasar. Aku terkapar di atas
tikar itu. Pahaku menjadi bantal Inggit. Dan Sukarti menggolekkan kepalanya
diatas badan ibunya.
Bunyi binatang buas di malam hari di
sekeliling tempat pelarian kami membikin badan jadi dingin. Tetangga kami
adalah harimau, beruang, kucing hutan, rusa, babi‐hutan dan monyet tak terhitung banyaknya. Teriakan monyet yang
membisingkan di atas pohon‐pohon
kayu tidak henti‐hentinya.
"Raja hutan tidak akan menyerang, kecuali kalau dia lapar,"
cerita polisi yang menyandang tempat minum. Kami mendo'a, semoga binatang binatang
itu tidak mengingini kami. Sebagian besar dari keberanianku adalah berkat kawal
kehormatan kami yang berkeliling tidak lebih dari beberapa kaki jauhnya.
Di tengah malam Sukarti mengintip di
pinggir teratak itu yang tidak berpintu. "Saya takut, Oom,"
dia menggigil. "Oom tidak takut?"
"Ya,
Karti," bisikku
menenangkan hatinya. "Oom takut. Tapi polisi ini membikin Oom
berani." Aku merangkak dengan Karti ke bagian pinggir dan mengintip ke
bawah. "Kaulihat keenam orang itu? Di tengah malam sunyipun polisi
menjaga berganti‐ganti
pakai bedil. Polisi berjaga‐jaga.
Mereka lebih takut lagi daripada kita kalau tidak menyelamatkan kita dari binatang
buas. Sangat besar tanggung jawab polisi untuk menyerahkan Sukarno hidup‐hidup ke tangan pembesar di Padang. Karena itu mari, marilah kita tidur
dan biarlah polisi menjaga keselamatan kita. ya ?"
Di subuh itu kami sarapan dengan
buah‐buahan dari hutan, nasi dari persediaan yang dibawa oleh pengawal
kami dan singkong sedikit. Hari masih gelap ketika kami kembali mengayunkan
langkah. Menjelang siang kami jumpai sebuah sungai mengalir. Mandilah kami
dengan pakaian yang lekat di badan di air yang jernih lagi sejuk itu dan
melepaskan dahaga sepuas‐puas
hati.
Masuk sedikit lagi ke dalam semak‐belukar, dikelilingi oleh sawah yang terhampar, ada sebuah danau.
Kami memasuki semak belukar itu untuk tidur‐tiduran
sekedar pelepas kelelahan.
Kami dapat mendengar gemerisik
binatang liar pada dedaunan yang tidak bergerak dan kami melangkahi jejak
harimau yang tak terhitung banyaknya, namun satu‐satunya binatang yang menghalangi jalan kami ialah siamang. Kami
melihat siamang hampir sebesar orang hutan berdiri tegak seperti manusia.
Berdiri di atas kakinya yang belakang, binatang‐binatang itu mendekati kami, pada waktu kami lewat dengan langkah
yang berat. Akan tetapi kami tidak diapa‐apakan,
selain daripada jantung kami yang memukul mukul dada dengan keras.
Dengan menggunakan korek api yang
dibawa oleh polisi, kami memasak nasi dalam kaleng, memasukkan sayuran ke
dalamnya dan menambahkan ikan yang ditangkap dari sungai. Ini dibagi diantara
kami yang sepuluh orang. Makanan ini tidaklah mewah, tapi kami juga tidak mati
kelaparan karenanya. Inggit terlalu amat lelah, sehingga pada suatu kali ia
makan sambil berdiri. "Aku terlalu capek," ia mengeluh panjang
sambil bersandar lesu ke tebing suatu jurang yang sedang kami lalui.
"Kalau aku duduk, takut nanti tidak bisa lagi berdiri."
Di hari ketiga salah seorang polisi
Belanda menyerah karena putus asa dan kehabisan tenaga. Kami hanya memikirkan
diri kami sendiri, tetapi, di samping matahari yang membakar, haus, kehabisan
tenaga dan gangguan binatang, para pengiring kami harus pula mengawal kami.
Mereka tidak ada melakukan tindakan yang kejam terhadap kami. Sekalipun kami
adalah orang tawanan dan orang yang menawan, kami semua sama merasakan pahit
getirnya perjalanan. Tetapi jarang terjadi percakapan. Tiada manusia yang lewat
dan kami tidak merasakan kegembiraan. Aku sendiri berusaha untuk berolok‐olok.
Sudah menjadi pembawaanku untuk
selalu bergembira, betapapun suasananya. "Sekalipun ada penyerbuan, akan
tetapi saya berterimakasih kepada saudara‐saudara, karena sudah memperlihatkan daerah pedalaman ini kepada
saya," aku berolok‐olok.
Seorang yang pendek dan botak
tersenyum, "Selama empat tahun di Bengkulu apakah tuan tidak pernah melangkah
keluar batas yang dijaga kuat untuk tuan ?"
"Ada,
sekali. Saya membuat suatu cerita sandiwara yang dipertunjukkan pada malam amal
di suatu tempat diluar batas. Ini terjadi tepat setelah Residen baru
menggantikan pejabat lama yang saya kenal baik. Orangnya sejenis manusia yang
menghamba kepada peraturan. Saya bertanya kepadanya, 'Tuan Residen, dapatkah
tuan mengizinkan saya untuk pergi ke tempat ini yang terletak sedikit diluar
batas ?"
"Untuk
memutuskan sendiri mengenai persoalan yang sangat penting ini rupanya tidak
mungkin baginya. Karena itu dia bersusah payah mengirim telegram kepada
Gubernur Jendral di Jawa. Lalu apa jawab Gubernur Jendral. Dia menelegram
kembali, menyatakan kegembiraannya mendengar semua itu. Katanya, 'Saya gembira
mendengar bahwa Ir. Sukarno tidak lagi berpolitik dan memusatkan perhatiannya pada
pertunjukan sandiwara? Apakah ini tidak menggelikan?!"
Polisi itu terpaksa tertawa
menunjukkan penghargaan. Ketika Riwu meluncur dari pohon kelapa dan membelah
kelapa sehingga kami dapat menikmati airnya yang segar, aku menceritakan kisah
Manap Sofiano, seorang pemain yang menjalankan peran primadona dalam
pertunjukanku.
"Suatu
hari dia membeli piano dalam lelang dan menyampaikan kepada tukang lelang,
'Sukarno akan menjamin pembayarannya.' 'O, baik,' jawab orang itu setuju,
'kalau tuan kawan dari Sukarno, baiklah.' Tiga bulan kemudian Sofiano mengepak
barang‐barangnya
hendak pindah. Sebelum dia pergi saya katakan, 'Hee, tinggalkan dulu surat
perjanjian yang diketahui oleh kepala kampung dan yang menyatakan bahwa engkau
berjanji hendak membayarnya. Dengan begitu, kalau sekiranya kaulupa, saya mempunyai
dasar yang sah.' "Setelah berbulan‐bulan tidak ada kabar‐berita
dari Sofiano, saya menulis surat kepadanya, 'Sudah sampai waktunya. Bayar
sekarang, kalau tidak, akan saya ajukan ke depan pengadilan.' Sofiano kemudian membalas,
'Saya tidak menyusahkan diri saya sendiri, akan tetapi saya mempunyai lima
orang anak. Kalau saya masuk penjara, mereka akan terlantar.' "Tentu saya
tidak mau menyakiti anak‐anak
yang tidak bersalah, jadi apa lagi yang dapat saya lakukan? Saya kemudian membayar
utang sejumlah 60 rupiah itu. Disamping itu," aku tersenyum meringis, "dia seorang pemain yang baik,
sehingga saya dapat mema'afkan segala‐galanya."
Dengan percakapan ringan demikian
ini aku mencoba menaikkan semangat pasukan kami yang melarat itu. Di hari yang
keempat kami terlepas dari daerah hutan dan menumpang bis menuju kota.
Bertepatan dengan kedatanganku, kapal yang direncanakan untuk mengangkut kami
telah meledak menjadi sepihan dekat pulau Enggano, tidak jauh dari pantai.
Tentara Jepang berada dalam jarak beberapa hari perjalanan di belakang kami.
Angkatan laut Jepang sudah berada beberapa mil dari kami.
Kota Padang diselubungi oleh suasana
chaos, suasana bingung dan ragu. Hanya dalam satu hal orang tidak ragu lagi,
yaitu bahwa Belanda penakluk yang perkasa itu sedang dalam keadaan panik. Para pedagang
meninggalkan tokonya. Terjadilah perampokan, penggarongan, suasana gugup. "Lihat,"
kata seorang Belanda, yang tingginya satu meter delapan puluh lima, mengejek
ketika dia hendak lari membiarkan kami tidak dilindungi, “Belum lagi kami
pergi, kamu orang Burniputera sudah tidak sanggup mengendalikan diri
sendiri."
Tentara Belanda mencoba untuk
mengangkutku dengan pesawat terbang, akan tetapi semuanya terpakai atau rusak.
Persoalan Negeri Belanda sekarang bukan bagaimana menyelamatkan Sukarno.
Persoalan Negeri Belanda sekarang adalah bagaimana menyelamatkan dirinya
sendiri. Mereka seperti pengecut, mereka lari pontang panting. Belanda
membiarkan kepulauan ini dan rakyat Indonesia jadi umpan tanpa pertahanan.
Tidak ada yang mempertahankannya, kecuali Sukarno.
Negeri Belanda membiarkanku tinggal. Ini
adalah kesalahan yang besar dari mereka. Sesampai di hotel aku mengatakan pada
Inggit, "Kau, Riwu, dan Sukarti tinggal dulu. disini." Dimana‐mana orang berlari dan berteriak dan membuat persiapan terburu‐buru pada detik‐detik
terakhir.
"Kau mau
kemana?" tanya Inggit
gemetar ketakutan.
"Kawanku
Waworuntu tinggal disini. Aku harus mencarinya dan berusaha mencari tempat
tinggal."
Waworuntu menyambutku dengan tangan
terbuka. Dia mernelukku. "Sukarno, saudaraku," dia berteriak dan
air mata mengalir ke pipinya. "Saya mendapat rumah bagus disini dan
banyak kamarnya, tapi saya sendirian saja. Isteri saya dan anak‐anak diungsikan dan tidak ada orang tinggal dengan saya. Bawalah keluarga
Bung Karno kesini .... bawalah kesini dan anggaplah ini rumah Bung
sendiri."
Orang yang baik hati ini dengan
kemauannya sendiri pindah dari kamar‐tidurnya
yang besar di depan di sebelah ruang tarnu, dan mengosongkannya untuk Inggit
dan aku. Ini terjadi beberapa hari sebelum Balatentara Kerajaan Dai Nippon
menduduki Padang. Ketika aku berjalan‐jalan
di sepanjang jalan aku menyadari, bahwa saudara‐saudaraku yang terlantar, lemah, patuh dan tidak mendapat perlindungan
perlu dikurnpulkan. Tidak ada seorangpun yang mengawasinya. Tidak seorangpun,
kecuali Sukarno. Tindakan‐tindakan
yang benar adalah usaha untuk memenuhi bakti kepada Tuhan. Aku menyadari, bahwa
waktunya sudah datang lagi bagiku untuk terus maju dan menjawab Panggilan itu.
Segera aku mengambil koper tampuk pimpinan.
Disana ada suatu organisasi dagang
setempat. Aku menemui ketuanya dan dia berusaha mengumpulkan orang‐orangnya. Kemudian aku menyuruh Waworuntu ke satu jurusan dan Riwu
ke jurusan lain untuk mengumpulkan yang lain. Diadakanlah rapat umum di
lapangan pasar. Disana aku membentuk Komando Rakyat yang bertugas sebagai
pemerintahan sementara dan untuk menjaga ketertiban. "Saudarasaudara,"
aku menggeledek dalam pidatoku yang pertama semenjak sembilan tahun, "Saya
minta kepada saudara‐saudara
untuk mematuhi tentara yang akan datang. Jepang mempunyai tentara yang kuat. Sebaliknya
kita sangat lemah. Tugas saudara‐saudara
bukan untuk melawan mereka. Ingatlah, kita tidak mempunyai senjata. Kita tidak
terlatih untuk berperang. Kita akan dihancurleburkan, jikalau kita mencoba‐coba untuk melakukan perlawanan secara terang‐terangan”.
"Orang
yang tidak bersenjata tidak mungkin melawan prajurit‐prajurit yang puluhan ribu, akan tetapi sebaliknya ingatlah saudara‐saudara, sekalipun semua tentara dari semua negeri di seluruh jagad
ini digabung menjadi satu tidak akan mampu untuk membelenggu satu jiwa yang
tunggal, karena ia telah bertekad untuk tetap merdeka. Saudara‐saudara, saya bertanya kepada saudara‐saudara semua : Siapakah yang dapat membelenggu suatu rakyat
jikalau semangat rakyat itu sendiri tidak mau dibelenggu?”
"Kita
harus mencari kemenangan yang sebesar‐besarnya
dari musuh ini. Maka dari itu, saudara‐saudara, hati ‐ hatilah.
Rakyat kita harus diperingatkan supaya jangan mengadakan perlawanan. Walaupun bagaimana,
hindarkanlah pertumpahan darah di saat‐saat permulaan. Jangan panik. Saya ulangi : jangan panik. Ketentuan
pertama yang diberikan oleh pemimpinmu adalah untuk mentaati orang Jepang. Dan
percaya. Percaya kepada Allah Subhanahuwata'ala, bahwa Ia akan membebaskan
kita." Rapat itu
diakhiri dengan do'a bersama yang kupimpim sendiri sebagai Imam.
Orang Islam tidak dapat mengkhotbahkan
atau mengadukan isi dari pada do'a. Ia harus pasti. Kata demi kata. Sampai pada
satu titik, disebabkan karena dadaku terlalu bergolak, aku lupa kata‐kata dari Ayat selanjutnya dan di hadapan ribuan orang yang
menunggu‐nunggu lanjutannya aku mendesis kepada seorang Haji yang duduk
bersila dekat itu, "Ehh — apa lagi terusnya?" Do'a itu
berakhir, rakyat bubar, aku kembali ke rumah Waworuntu dan menunggu. Aku tidak
perlu lama menunggu. Seminggu kemudian mereka datang. Waktu itu jam empat pagi.
Mungkin juga jam lima. Aku berbaring di tempat tidur, akan tetapi aku tidak tidur.
Pikiranku tegang. Mataku nyalang sama sekali. Malam itu adalah malam yang sunyi
sepi. Tiada terdengar suara yang ganjil. Sesungguhnya, pun tidak terdengar
suara yang biasa. Keluargaku tidur dengan tenang.
Tiba‐tiba mereka terbangun oleh bunyi yang semakin santer. Mula‐mula menderu seperti guntur. Suara yang menggulung‐gulung itu semakin keras, semakin keras, semakin keras lagi. Bunyi
yang menakutkan dan membikin badan jadi dingin membeku adalah gunturnya kereta‐kereta berlapis baja dan tank‐tank
dan balatentara berjalan‐kaki
berbaris memasuki kota Padang. Jepang sudah datang.
0 komentar:
Posting Komentar