BAB XVI
Bengkulu
KETIKA terdengar kabar di Jakarta,
bahwa Sukarno dalam keadaan sakit keras, Thamrin lalu mengajukan protes dalam
Dewan Rakyat. Katanya, "Pemerintah harus bertanggung jawab atas
keselamatan diri Sukarno. Dia harus dipindahkan ke negeri yang lebih besar dan
lebih sehat, dan keadaannya hendaklah mendapat perhatian yang lebih besar."
"Kita
harus mencari terlebih dahulu tempat lain di mana rakyatnya tidak
berpolitik," jawab ketua
berlindung.
"Ya, ya,
dan yang juga primitif serta terbelakang, sehingga ia tidak membangkitkan
tantangan.
Ya, saya mengetahui
semua itu. Akan tetapi saya memperingatkan kepada tuan sekarang, andaikata
Sukarno mati, maka Indonesia dan seluruh dunia akan menuding kepada tuan
sebagai orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan itu. Pulau Bunga adalah sarang
malaria. Sukarno sakit parah. Hidup matinya sekarang terletak di tangan
pemerintah Belanda. Dia harus dipindahkan. Dan dengan secepat mungkin."
Den Haag serta‐merta mengambil tindakan. Hal ini kuketahui di suatu malam seminggu
kemudian. Aku sedang berbaring dengan tenang di rumah ketika Darham, tukang jahit,
tiba‐tiba masuk dengan cepat. Ia terengah‐engah karena berlari. "Saya baru dari toko De Leeuw",
katanya dengan napas turun‐naik.
"Toko
rempah‐rempah itu dari
sini ada satu kilometer jauhnya. Kau berlari sejauh itu ?" tanyaku.
"Ya," katanya masih terengah. "Bung Karno tentu tahu, toko itu
kepunyaan Lie Siang Tek saudagar kopra yang sangat kaya."
"Ya,
ya," jawabku hendak mengetahui
persoalannya, "tapi apa hubungannya sampai engkau berlari‐lari kesini?"
"Orangnya
cukup kaya untuk dapat memiliki radio," Darham
melanjutkan tanpa menghiraukan ketidak sabaranku.
"Tadi jam
setengah delapan, sewaktu berbelanja, saya mendengar berita radio yang
menyatakan bahwa Ir. Sukarno akan dipindahkan ke tempat lain."
Kudengarkan berita itu dengan
tenang. Sesungguhnya aku terdiam sebentar oleh karena bersyukur kepada Tuhan.
Kemudian kutanyakan dengan segala ketenangan hati, "Kemana
katanya?"
"Bengkulu."
"Di
Sumatera Selatan ?"
"Ya."
"Apakah
disebutkan kapan?"
"Tidak,
hanya itu yang diumumkan."
Ini terjadi di bulan Februari 1938.
Sudah hampir lima tahun aku tinggal di Pulau Bunga. Di saat kami meninggalkan
Endeh banyak orang datang untuk melepasku. Ada yang datang untuk mengucapkan
selamat jalan. Ada lagi yang mendo'akanku yang tidak baik. Yang lain lagi hanya
sekedar untuk melihat‐lihat
saja. Beberapa diantaranya malahan meminta untuk bisa ikut. Salah seorang dari mereka
adalah pelayan kami. Selama dalam perjalanan aku diasingkan. Riwu dengan tenang
tidur di lantai dekat tempat tidurku dan selalu berada di situ seperti seekor
anjing yang memperlihatkan kesetiaannya. Yang seorang lagi adalah Darham yang
tidak mau ketinggalan. Dia membuatkan kemeja dan sepasang piyama berwarna
kuning gading sebagai hadiah perpisahan, tapi kemudian diapun berlayar bersama‐sama dengan kami.
Belanda berusaha sebaik‐baiknya mengelabui saat kedatangan kami, karena takut rakyat akan
datang beramai‐ramai. Dalam siaran radio
diberitakan, bahwa kedatangan kami diharapkan jam empat sore, sedangkan di pagi
hari itu sesungguhnya kami sudah sampai. Surabaya, pelabuhan yang biasa ramai, masih
sepi seperti di kesunyian malam ketika kapal kami menurunkan sauh. Polisi
menutup daerah cerocok, sehingga rakyat tidak dibolehkan berada di daerah
sekitar itu.
Ketika aku menginjakkan kaki ke anak tangga
yang paling bawah dan mengisi penuh dadaku dengan helaan napas panjang yang
pertama dari negeri kelahiranku yang tercinta, pintu dari kendaraan yang telah
menunggu terbuka dan aku dimasukkan ke dalam. Aku dilarikan dengan keretaapi
malam menuju Merak, negeri yang paling ujung di
Jawa Barat. Di sana, dengan secara cepat dan diam‐diam, aku ditolakkan ke atas kapal dagang menuju Bengkulu.
Bengkulu adalah negeri yang
bergunung‐gunung dilingkungi oleh Bukit
Barisan dan merupakan kota pedagang kecil dan pemilik perkebunan kecil. Di
samping kembang raksasanya, Raflesia Arnoldi yang lebarnya sampai tiga kaki,
negeri ini tidak mempunyai arti penting. Pun tidak dalam hal persahabatan. Daerah
yang merupakan benteng Islam itu masih sangat kolot. Wanitanya menutupi
badannya dengan rapi. Mereka jarang menemani suaminya.
Pada waktu aku pertama menghadiri pertemuan
kekeluargaan, aku bertanya, "Mengapa dipasang tabir untuk memisahkan
perempuan dari laki‐laki?" Tidak seorang juga yang menjawab, karena itu aku menyingkirkan
penghalang itu. Tidak lama kemudian sebuah tabir memisahkanku dari penduduk
kota itu.
Mesjid kami keadaannya kotor, kolot
dan tua. Aku kemudian membuat rencana sebuah mesjid dengan tiang‐tiang yang cantik, dengan ukiran timbul sederhana dan pagar tembok
putih yang tidak ruwet dan kubujuk mereka untuk mendirikannya. Orang tua‐tua di kota itu tidak suka kepada orang yang menginginkan
perubahan. Keluarlah ucapan‐ucapan
yang tidak enak diantara kami dan pada permulaan aku membuat musuh.
Hal ini terasa olehku sangat pedih. Terutama
karena aku begitu haus akan kawan. Polisi keamanan tetap mengawasi rumahku
siang malam. Setiap tamu dicatat namanya, esok harinya dipanggil menghadap
untuk ditanyai, kemudian dibayangi oleh reserse. Sungguh diperlukan suatu keberanian
untuk dapat memperlihatkan keramahan pada Sukarno. Kawanku yang satu‐satunya adalah seorang kepala sekolah rakyat yang seringkali datang
meskipun tahu bahwa ia ditandai oleh Pemerintah,— dan membawa seorang anak
gadis cilik yang selalu kupeluk di atas pangkuanku.
Aku tak pernah melupakan
keramahannya ini. Pada waktu aku sudah menjadi Presiden, kepadanya kutanyakan, "Apa
yang dapat saya lakukan untuk saudara? Katakanlah keinginan saudara."
Temanku sedang mendekati ajalnya, tapi jawabnya hanya, "Tolonglah
keluarga saya kalau saya pergi. Lindungilah anak gadis saya." Pesannya
ini kupenuhi sebaik‐baiknya.
Aku bahkan mencarikan suami buat anaknya.
Banyak bayi yang dulu pernah
kutimang di atas pangkuanku sekarang sudah menjadi wanita‐wanita cantik dan kemudian orang tuanya datang kepadaku memohon,
"Tolonglah, Pak, tolong pilihkan jodoh buat anak saya." Aku
telah mencarikan isteri Hatta untuknya. Aku mencarikan isteri kawanku Rooseno untuknya.
Sekarang aku rnempunyai daftar terdiri dari anak gadis seperti itu. Dan aku
adalah satu satunya Kepala Negara yang juga menjadi calo dalam mengatur
perkawinan, kukira.
Kebetulan dalam masa‐masa itu perkawinanku sendiripun perlu diatur kembali. Kemungkinan
disebabkan oleh cara hidup orang Indonesia yang merasa tidak sernpurna kalau
tidak memperoleh keturunan dari perkawinannya. Malahan kebanyakan dari orang
Indonesia yang beristeri satu, anaknya segerobak. Setiap tahun jumlah jiwa kami
bertambah dengan dua juta lebih. Barangkali tidak ada hal lain yang dapat diperbuat
oleh rakyat kami yang miskin. Barangkali juga karena kami adalah bangsa yang
bernafsu besar dan berdarah panas, dan mengisi malam‐rnalam kami yang panas itu dengan berkasih‐kasihan.
Pada suatu kali Jendral Romulo menyatakan, "Saya
kira dari seluruh bangsa Asia kami orang Filipinalah bangsa yang paling
bagus.'' Katanya
Aku menjawab "Mungkin juga,
akan tetapi diantaranya orang Indonesialah yang paling bernafsu !"
Di antara kami terdapat keluarga
yang mempunyai 11, 13, 18 orang anak. Saudara perempuan bapakku melahirkan 23
anak. Setiap orang mempunyai anak. Setiap orang, kecuali Sukarno. Inggit tidak
dapat melahirkan, karena itu sebagian dari diriku dan sebagian dari hidupku
tetap dalam keadaan kosong. Kehendakku belum terpenuhi. Sudah hampir 20 tahun
kami kawin. Namun masih belum memperoleh seorang putera.
Terasa olehku, bahwa selama ini
sudah begitu banyak kebahagiaan yang telah dirampas dari diriku ... Mengapa
keinginan inipun harus didjauhkan pula ? Ketika perasaan yang menekan ini mulai
memukul‐mukul dadaku selama 24 jam dalam sehari, kucoba menghilangkannya
dengan merapati anak‐anak
pada setiap kesempatan yang kuperoleh. Di Pulau Bunga aku mengambil dua orang
anak angkat lagi —Sukarti, anak seorang pegawai berasal dari Jawa dan Jumir, anak
keluarga jauh Inggit, yang pada waktu sekarang sudah mempunyai enam orang anak.
Di Bengkulu aku memperlakukan anak orang lain
seperti anakku sendiri. Tetangga kami, keluarga Soerjomihardjo, mempunyai
seorang anak laki‐laki
berumur 10 tahun. Berjam‐jam
lamanya aku menghabiskan waktu bersama‐sama
dengan Ahmad ini. Kalau ada anak Belanda meludahinya, akulah yang mengeringkan
air matanya dan menguatkan hatinya dengan kata‐kata, "Ahmad, negeri ini kita punyya. Disatu waktu kita jadi
tuan di negeri kita sendiri. Di satu waktu kita bisa berbuat menurut kemauan
kita, bukan menurut yang diperintahkan kepada kita. Jangan kuatir."
Kemudian aku menjadi seorang
pendidik. Ketua Muhammadiyah setempat, Pak Hassan Din, datang di suatu pagi
dengan tidak memberi tahu lebih dulu, seperti yang telah menjadi kebiasaan kami.
"Disini," ia memulai, "Muhammadiyah menyelenggarakan
sekolah rendah agama dan kami sedang kekurangan guru. Selama di Endeh kami tahu
Bung Karno telah mengadakan hubungan rapat dengan 'Persatuan Islam' di Bandung
dan kami dengar Bung Karno sepaham dengan Ahmad Hassan, guru yang cerdas itu.
Apakah Bung bersedia pula membantu kami sebagai guru ?"
"Saya
menganggap permintaan ini sebagai rahmat," jawabku.
"Tapi
...... ingatlah ...... jangan membicarakan soal politik."
"Ah,
tidak," aku tersenyum
menyeringai, "hanya saya akan menyinggung tentang Nabi Besar Muhammad yang
selalu mengajarkan kecintaan terhadap tanah air."
Dalam kelasku terdapat Fatmawati,
puteri dari Pak Hassan Din. Fatma berarti "Teratai". Wati"
berarti "kepunyaan". Rambutnya
yang seperti sutera dibelah ditengah dan menjuntai kebelakang berjalin dua.
Fatmawati
berasal dari keluarga biasa di Jurup, sebuah kampung beberapa
kilometer dari Bengkulu. Ia setahun lebih muda dari Ratna Djuami. Dan ketika ia
mengikuti Ratna Djuami memasuki sekolah rumah tangga di Bengkulu — yang
merupakan sekolah tertinggi yang ada di daerah itu — ia mencari tempat tinggal.
Dengan senang hati aku menyambutnya sebagai anggota keluarga kami. Aku senang
terhadap Fatmawati. Kuajar dia main bulutangkis. Ia berjalan‐jalan denganku sepanjang tepi pantai yang berpasir dan, sementara
alunan ombak yang berbuih putih memukul‐mukul
kaki, kami mempersoalkan kehidupan atau mempersoalkan Ketuhanan dan agama
Islam.
Dalam kesempatan yang demikian
itulah ia menanyakan, "Mengapa orang Islam dibolehkan mempunyai isteri
lebih dari satu?"
"Di tahun
650 Nabi Muhammad s.a.w. mengembangkan Islam, kemudian mempertahankannya
terhadap orang Arab dari suku Mekah, pun terhadap kaum keluarganya
sendiri," jawabku. "Semboyan
yang dipakai di jaman itu 'Pedang di satu tangan dan Al Quran di tangan yang
lain'. Diantara laki‐laki
banyak terdapat korban”.
"Ini
berarti banyak janda," kata Fatmawati
pelahan‐lahan.
"Pasti," kataku, "Akan tetapi untuk menghindarkan hawa nafsu
kehewanan atau perkelahian perempuan diantara mereka sendiri, maka Nabi
menerima wahyu dari Tuhan yang mengizinkan laki‐laki mempunyai isteri sampai empat orang agar tercapai suasana yang
tenang. Tapi di Bali orang menjalankan poligami yang tidak terbatas. Seorang
pangeran yang sudah berumur 76 tahun belum lama ini mengawini isterinya yang ke‐36. Umurnya 16."
"Usia yang
cocok untuk perkawinan,"
kata Fatmawati yang berumur lima belas setengah tahun mengemukakan pendapatnya.
Di Bante Pandjang arusnya di dalam deras sekali dan banyak terdapat ikan hiu.
Orang tidak dibolehkan berenang disana, akan tetapi ada sebuah batu karang yang
bersegi tiga yang merupakan kolam. Pada waktu kami mengarunginya ia bertanja, "Tidak
adilkah hukum Islam terhadap perempuan?"
"Sebaliknya,
ajaran Nabi menaikkan derajat perempuan. Sebelum itu kedudukan perempuan
seperti dalam neraka. Orang tua menguburkan anak‐anak gadis hidup‐hidup
oleh karena dianggap tidak penting. Laki‐laki hanya menyerahkan mas kawin kepada si bapak dan membeli anak
gadisnya untuk dijadikan isteri. Pada waktu sekarang perempuan tidak dibeli
seperti membeli kambing. Perempuan sekarang menjadi teman hidup yang sama
kedudukannya dalam perkawinan”.
"Hukum
perkawinan di Asia disesuaikan menurut keadaan setempat. Disini lebih banyak
jumlah
perempuan daripada laki‐laki.
Perempuan yang kelebihan ini berhak atas kehidupan perkawinan, karena
itu Islam memberi kesempatan kepada mereka untuk menjadi isteri‐isteri yang sah dan terhormat dalam masyarakat. Akan tetapi di
Tibet, dimana laki‐laki
lebih banyak daripada perempuan, mereka mempraktekkan poliandri. Inilah bukti
penyesuaian hukum agama dengan hukum masyarakat di Timur."
"Bagaimana
orang Barat mengata sinya?", Seringkali
orang Barat mempunyai nyai. Kerugiannya, anak anak yang mereka peroleh
disingkirkan di masyarakat atau ditutup‐tutup
atau mendapat nama yang jelek seumur hidupnya. Dalam masyarakat kita anak dari
isteri kedua dan selanjutnya mendapat kedudukan yang baik dan dihormati dalam
masyarakat.
Fatmawati bungkem sambil berjalan
sepanjang pantai, kemudian bertanya, "Perlukah seorang Islam mendapat
persetujuan dari isteri pertama sebelum mengawini isteri yang kedua?"
"Tidak
wajib. Hal ini tidak disebut‐sebut
dalam Quran. Ini ditambahkan kemudian dalam Fiqh, ..."
"....
hukum‐hukum yang
ditambah oleh manusia di tahun‐tahun
700 dan 800‐an
yang, menurut pertimbangan akal, didasarkan pada Al Quran dan Hadith, yaitu
qiyas."
"Benar" kataku tersenyum kepada muridku yang kecil itu lagi cerdas. Dalam
kehidupanku di Bengkulu pada masa itu aku memperoleh kedudukan sebagai orang
cerdik pandai dari kampung. Orang datang, kepadaku untuk minta nasehat. Seperti
misalnya persoalan kerbau kepunyaan seorang Marhaen yang dituntut oleh seorang
pegawai. Marhaen. itu menjadi hampir putus asa, karena kerbau ini sangat besar
artinya bagi dirinya. Ia datang padaku sebagai "Dukun"‐nya. Aku menasehatkan kepadanya, "Ajukan persoalan ini ke
pengadilan dan saya akan mendo'akan.'' Tiga hari kemudian kerbau itu kembali. Ada
lagi perempuan yang datang menangis‐nangis
kepadaku, "Saya sudah tujuh bulan tidak haid."
"Apa yang
dapat saya lakukan? Saya bukan dokter,"
kataku.
"Bapak
menolong semua orang. Bapak adalah juru selamat kami. Saya percaya kepada bapak
dan saya merasa sangat sakit. Tolonglah .... tolonglah ..... tolonglah
saya."
Kepercayaannya kepadaku luar biasa,
dan aku tidak dapat berbuat sesuatu yang akan menimbulkan kekecewaannya. Karena
itu kubacakan untuknya Surah pertama dari Quran ditambah dengan do'a yang maksudnya
sama dengan 'Bapak kami yang ada disorga'. Kemudian perempuan itu sembuh dari penyakitnya.
Tetanggaku, seorang pemerah susu,
sangat membutuhkan uang. Dia yakin, bahwa dengan mengemukakan persoalannya itu
kepadaku, bagaimanapun juga akan dapat dipecahkan. Memang ia benar. Aku keluar
dan menggadaikan bajuku untuk memenuhi tiga rupiah enampuluh sen yang diperlukannya.
Jadi di mata orang kampung yang bersahaja itu lambat laun aku dipandang seperti
Dewa.
Apa yang ditunjukkan Fatmawati
kepadaku adalah pemujaan kepahlawanan. Umurku lebih dari 20 tahun daripadanya
dan ia memanggilku Bapak, pun untuk seterusnya. Bagiku ia hanya seorang anak
yang menyenangkan, salah‐seorang
dari begitu banyak anak‐anak
yang mengelilingiku untuk menghilangkan kesepian yang jadi melarut dalam
hatiku. Yang kuberikan kepadanya adalah kasih sayang seorang bapak. Inggit
tidak melihat hal itu dengan cara yang demikian. Kami mempunyai radio di kamar
belakang. Di suatu malam kawan‐kawan
mendengarkannya bersama‐sama
kami. Fatmawatipun datang mendengarkan. Ada tempat kosong di sebelahku diatas
dipan, jadi ia duduk dekatku. Malam itu juga Inggit menyatakan, "Aku
merasakan ada percintaan sedang menyala di rumah ini. Jangan coba‐coba menyembunyikan. Seseorang tidak bisa membohong dengan sorotan
matanya yang rnenyinar, kalau ada orang lain mendekat."
"Jangan
begitu," jawabku dengan
bernafsu. "Dia itu tidak ubahnya seperti anakku sendiri."
"Menurut
adat kita, perempuan tidak begitu rapat kepada laki‐laki. Anak‐anak
gadis menurut kebiasaan lebih rapat kepada si ibu, bukan kepada si bapak. Hati‐hatilah, Sukarno, supaya mendudukkan hal ini menurut cara yang
sepantasnya."
Maka terjadilah, kalau ada
pertengkaran antara Fatmawati dengan Sukarti atau Ratna Djuami, Inggit selalu
memihak kepada anak yang berhadapan dengan Fatmawati. Karena itu aku mau tidak
mau berdiri di pihaknya. Lalu menjulanglah suatu dinding pemisah yang tidak
terlihat, antara kami, dan aku didesak memihak kepada Fatmawati.
Setelah dua tahun ia pindah ke rumah
neneknya tidak jauh dari situ. Sungguhpun demikian kami masih saja dalam satu
lingkungan, karena bibinya kawin dengan kemenakanku dan adanya pesta‐pesta, kemudian berkumpul bersama‐sama di hari libur dan sebagainya. Tahun berganti tahun dan
Fatmawati tidak lagi anak‐anak.
Ia sudah menjadi seorang perempuan cantik. Umurnya sudah 17 tahun dan terdengar
kabar bahwa dia akan dikawinkan. Isteriku sudah mendekati usia 53 tahun. Aku
masih muda, kuat dan sedang berada pada usia yang utama dalam kehidupan.
Aku menginginkan anak. lsteriku
tidak dapat memberikannya kepadaku. Aku menginginkan kegembiraan hidup. Inggit
tidak lagi memikirkan soal‐soal
yang demikian. Di suatu pagi aku terbangun dengan keringat dingin. Aku
menyadari bahwa aku tentu akan kehilangan Fatmawati, sedangkan aku
memerlukannya. Kemudian aku menyadari pula, bahwa aku berbalik kembali ke masa
duapuluh tahun yang silam. Kembali ke tengah kancah perjuangan itu‐itu juga, perjuangan antara baik dan jahat. Aku memikirkan tentang Arjuna,
pahlawan Mahabharata, yang bertanya kepada Dewa, Batara Krishna, "Hai,
dimana engkau?"
Maka Krishna menjawab "Aku
berada di dalam sang bayu. Aku ada di dalam air. Aku berada di bulan. Aku ada
di dalam sinarnya sang candra. Akupun ada dalam senyumnya gadis yang
menyebabkan engkau tergila‐gila."
Kemudian aku bersoal dalam diriku
sendiri, kalau di dalam senyuman indah dari gadis cantik itu terdapat pula
Tuhan apakah dengan mengagumi senyuman itu aku berdosa karena berbuat
kejahatan? Tidak. Kalau begitu, apabila aku mencintai senyuman indah gadis
cantik itu, apabila senyum itu suatu pancaran dari Tuhan dan Dia menciptakan
gadis cantik itu sedangkan aku hanya mengagumi ciptaan‐Nya itu, mengapalah dianggap dosa kalau aku memetiknya!.
Sekali lagi, ini adalah peperangan
kekal antara baik dan jahat, mencoba memakan habis kesenangan kecil yang
kuperoleh di tengah‐tengah
kekosongan dalam hidupku. Ketika berjalan‐jalan
di suatu sore, Fatmawati bertanya kepadaku, "Jenis perempuan mana yang
Bapak sukai?"
Aku memandang kepada gadis desa ini
yang berpakaian baju kurung merah, dan berkerudung kuning diselubungkan dengan
sopan. "Saya menyukai perempuan dengan kasliannya. Bukan wanita modern pakai
rok pendek, baju ketat dan gincu bibir yang menyilaukan. Saya lebih menyukai
wanita kolot yang setia menjaga suaminya dan senantiasa mengambilkan alas
kakinya. Saya tidak menyukai wanita Amerika dari generasi baru, yang saya
dengar menyuruh suaminya mencuci piring”.
" Saya
setuju," dia membisikkan,
mengintip kemalu‐maluan
padaku melalui bulu‐mata
yang merebah. "Dan saya menyukai perempuan yang merasa berbahagia
dengan anak banyak. Saya sangat mencintai anak‐anak."
"Saya
juga," katanya.
Minggu berganti bulan dan bulanpun
silih berganti, perasaan coba‐coba
dalam hati bersemi menjadi kasih. Walaupun bagaimana kucoba sekuatku memadamkan
hati muda yang sedang bergolak, karena rasa penghargaan yang besar terhadap
Inggit. Tiada maksudku hendak melukai hatinya.
"Ini semua
kesalahanku," dia mengulangi
berkali ‐ kali ketika mengemukakan persoalan ini di suatu malam yang tidak
menyenangkan.
"Inilah
jadinya, kalau menaruh anak orang lain di rumah. Tapi aku tak pernah membayangkan
akan kejadian seperti ini. Dia seperti anakku sendiri."
"Aku
sangat bersyukur mengenai kehidupan kita berdua," aku menerangkan. "Selama ini kau jadi tulang punggungku
dan menjadi tangan kananku selama separuh dari umurku. Tapi bagaimanapun juga,
aku ingin merasakan kegembiraan mempunyai anak. Terutama aku berdo'a, di satu
hari untuk memperoleh anak laki‐laki."
"Dan aku
tidak bisa beranak, itukah yang dimaksud?"
"Ya," aku mengakui.
"Aku tidak
bisa menerima isteri kedua. Aku minta cerai."
Kami tahu, bukanlah dia yang
menentukan pilihan, akan tetapi aku merasa tidak enak memutuskan sendiri.
"Aku tidak
berrnaksud menceraikanmu,'' kataku.
"Aku tidak
memerlukan kasihanmu," bentaknya.
"Tidak ada
maksudku untuk menyingkirkanmu," aku
melanjutkan, "Adalah keinginanku untuk menempatkanmu dalam kedudukan
yang paling atas dan keinginankulah supaya engkau tetap menjadi isteri yang
pertama, jadi memegang segala kehormatan yang bersangkut dengan ini dalam
kebiasaan kita, sementara aku menjalankan hukum agama dan hukum sipil dan
mengambil isteri yang kedua untuk melanjutkan keturunanku."
"Tidak."
"Untuk
kawin lagi adalah suatu keharusan bagiku, akan tetapi aku mengajukan satu usul.
Sekalipun aku cinta terhadap Fatmawati, akan kulupakan dia kalau kaudapatkan
perempuan lain yang menurut perkiraanmu lebih cocok untukku. Tunjuklah seorang
yang tidak seperti anak lagi dan dengan demikian dapat membebaskanmu dari
kebencian yang kaurasakan sekarang."
Airmata menggenangi mataku pada
waktu aku bersoal dengan dia. Kalau sekiranya aku menjalani hidup yang normal
dengan kegembiraan yang normal pula, mungkin aku dapat menerima kekosongan ini
tanpa keturunan. Akan tetapi aku tidak mengalami selain dari pada kemiskinan
dan kesukaran‐kesukaran hidup.
Umurku sekarang sudah, 40. Dalam
usia 28 aku sudah disingkirkan. Dua belas tahun dari masa muda seorang laki‐laki kuhabiskan dalam kehidupan pengasingan. Di suatu tempat ....
dengan jalan apapun ..... tentu akan ada imbalannya. Kurasakan, bahwa aku tidak
dapat menahankan jika yang inipun dirampas dariku.
Ratna Djuami kembali ke Jawa untuk
melanjutkan sekolahnya. Inggit dan aku boleh dikatakan kesepian. Hubungan kami
tegang, akan tetapi itu kami lanjutkan juga. Aku tidak tahu apa yang harus
diperbuat oleh karena itu kucari keasyikan dengan bekerja. Aku mengerjakan
rencana rumah untuk rakyat. Aku mengajar guru‐guru Muhammadiyah. Aku mengorganisir Seminar Alim‐Ulama Antar Pulau Sumatera Jawa dan berhasil mengemukakan kepada
mereka rencana memodernkan Islam.
Akupun menerima calon menantu dari
Residen sebagai murid dalam pelajaran bahasa Jawa, karena dia bekerja sebagai
asisten kebun di suatu perkebunan teh dan para pekerjanya berasal dari Jawa.
Dan di Bengkulu hanya Sukarno yang menguasai bahasa daerah itu. Pemuda ini dan
aku menjadi sahabat karib. Ketika Jimmy akhirnya melangsungkan perkawinannya
aku ditunjuknya untuk bertindak sebagai walinya, akan tetapi Residen itu
rnenolak dengan minta maaf, dan mengatakan, "Tidak mungkin seorang
tawanan utama dari negeri ini menjadi wali dalam perkawinan anak saya."
Sekalipun, demikian dia mengundangku
menghadiri upacara perkawinan itu. Setelah satu tahun, aku tidak mau menerima
pembayaran, Jimmy menghadiahkan kepadaku dua ekor Dachshaund. Aku sayang sekali
kepada anjing‐anjing itu. Ia kubawa tidur. Aku memanggilnya
dengan mengetuk‐ngetukkan
lidahku. "Tuktuk tuktuk" dan karena aku tidak pernah memberinya
nama, lalu binatang‐binatang
ini dikenal sebagai "Ketuk Satu" dan "Ketuk Dua".
Aku mencoba mengalihkan pikiranku
dari persoalan pribadi dengan memelihara hewan‐hewan lain. Aku memperoleh 50 ekor burung gelatik dengan harga
sangat murah. Kemudian kubeli sangkar yang besar dan menambahkan burung barau‐barau sepasang, jadi dia tidak kesepian. Tapi kesenangan inipun
tidak menyenangkan hatiku. Kulepaskan binatang‐binatang ini. Aku tidak sampai hati melihat makhluk yang dikurung
dalam sangkar. Karena sekumpulan binatang ini tidak memuaskan hatiku, aku
berpindah pada pekerjaan memperindah halaman belakang. Jalanan menuju ke jalan
besar ditutupi dengan batu karang. Aku mempekerjakan dua orang kuli untuk
mengangkatnya.
Ketua organisasi pemuda setempat
mengetahui apa yang kukerjakan dan di suatu hari Minggu dia datang dengan
selusin kawan‐kawan dan dalam tempo dua jam mereka
menyelesaikan segala‐galanya.
Ketika pekerjaan ini selesai, dan kepedihan dalam hati masih tetap bersarang,
aku mengadakan kelompok perdebatan setiap malam Minggu. Kami mempersoalkan "Teori
Evolusi Darwin" atau "Mana yang lebih baik, beras atau jagung
— dan mengapa?" atau pokok pembicaraan seperti "Apa pengaruh
bulan terhadap tingkah laku perempuan". Aku menyusun pendapatku sambil
berdebat.
Terkadang aku percaya apa yang kuucapkan,
terkadang tidak. Terkadang aku hanya mencoba untuk menyalakan api dibawah
semangatku sendiri. Aku juga meminyaki otakku dengan menulis artikel. Karena
ini terlarang, kupergunakan nama samara Guntur atau Abdurrahman. Satu
kesukaranku ialah karena aku tidak mengetik dan tulisanku yang sangat jelas dan
mudah dibaca sudah diketahui orang.
Tulisan tangan membukakan watak seseorang.
Usaha untuk merubahnya sedikit masih memperlihatkan tulisan yang sarna, karena
itu aku merubahnya sama sekali dengan huruf cetak atau menulisnya dengan tangan
kiri.
Di bulan Mei 1940 Hitler menyerbu Negeri
Belanda. Pemerintah segera memanggilku ke markas di Fort Marlborough, sebuah
benteng dari batu dan besi menghadap ke sebuah tebing yang curam. Muka‐muka mereka kelihatan suram. "Insinyur Sukarno,"
mereka berkata. "Kami hendak memperingati kejadian yang menyedihkan
ini. Sebagai satu‐satunya
seniman di Bengkulu tuan ditunjuk untuk membuat tugu peringatan”.
“Maksud tuan,
setelah menguber‐uber
saya karena saya menghendaki kemerdekaan untuk rakyat saya, tiba‐tiba sekarang meminta saya, sebagai tawanan tuan, untuk membuat
tugu karena bangsa lain merebut kemerdekaan negeri tuan?"
"Ya."
Betapapun aku berhasrat hendak
memuaskan selera seniku, namun apa yang kuperbuat hanyalah menumpukkan tiga
buah batu, yang satu diatas yang lain. Dan itulah seluruhnya yang kukerjakan.
Untuk menyatakan pendapat Belanda itu dengan kata‐kata manis: mereka jijik melihatnya. Akan tetapi sebenarnya tidak
timbul perasaanku untuk menciptakan suatu yang indah bagi mereka.
Menyinggung tentang peperangan,
sewaktu masih di Bandung aku telah melihat lebih dulu pengaruh dari ketegangan‐ketegangan di Eropa dan berkembangnya Hitlerisme. Pada pertengahan
tahun‐tahun tiga puluhan aku meramalkan bahwa Jepang akan mengikuti
Hitler untuk melawan Inggris dan Amerika di Lautan Teduh dan bahwa dengan
lindungan peristiwa ini Indonesia akan memperoleh kemerdekaannya.
Sejak dari waktu itu aku
memperhitungkan, kapan perang Asia akan berkobar dan berapa lama perang itu berlangsung
dan aku menyimpulkan, bahwa mata rantai yang lemah dari rantai imperialisme
Jepang adalah Indonesia. Negeri kami yang terbentang luas adalah yang paling
mudah untuk diputuskan. Lalu di Flores, di tahun 1938 aku meramalkan bahwa
Indonesia akan mendesak ke depan dan memutuskan belenggunya di tahun 1945.
Aku bahkan menulis suatu cerita sandiwara
mengenai keyakinanku berjudul "Indonesra '45". Sementara aku
menunggu, menahankannya dengan sabar, aku gelisah dan takut. Aku menjadi
pembantu tetap dari surat kabar Anwar Tjokroaminoto. Tapi kini aku menulis
dengan memakai namaku sendiri, karena walaupun hanya untuk sementara waktu,
perasaanku membawaku ke satu pihak yang sama dengan Negeri Belanda. Di bulan
Juli 1941 aku menulis dalam "Harian Pemandangan" sebagai
berikut: "Patriotisme tidak boleh disandarkan pada nasionalisme dengan
pengertian kebangsaan yang sempit yang — seperti Italia dan Jerman — meletakkan
kepentingan bangsa dan negeri di atas kepentingan kesejahteraan manusia‐manusia di dalamnya. Saya berdo'a kepada Allah Ta'ala agar
melindungi kita dari kefasikan untuk mempercayai fasisme dalam menuju
kemerdekaan”.
"Pemboman rumah‐rumah, pembunuhan perempuan dan anak‐anak, penyerangan terhadap negeri‐negeri yang lemah, penangkapan orang‐orang yang tidak bersalah, penyembelihan terhadap jutaan orang
Yahudi, itulah ISME yang hendak berkuasa sendiri. Fasisme tidak mengizinkan
adanya parlemen. Fasisme adalah usaha terakhir untuk menyelamatkan kapitalisme.
"Seluruh
manusia harus membenci Hitler‐Hitler
dan Mussolini‐Mussolini
yang ada di permukaan bumi ini. Dan panjinya cita‐cita Indonesia haruslah Anti‐Nazisme dan Anti‐Fasisme.
Hari ini saya mengangkat pena saya guna memuntahkan saya punya kebencian
terhadap penyakit ini yang mau tidak mau menyeret kita ke dalam peperangan dan
bencana besar.
"Kebejatan
moral ini tidak saja menghinggapi orang kulit putih. Akan tetapi Jepangpun
dihinggapi oleh nafsu untuk memperoleh kekuasaan ini, yang memerlukan konsesi
minyak. Batu bara dan minyak pelumas untuk armadanya dan yang menyebabkan
rakyatnya lupa akan kesatriaan mereka dalam usahanya hendak mencengkeramkan
kukunya kepada saudara‐saudaranya”.
"Jepang,
itu naga pembawa bencana dengan keserakahan untuk mencaplok dalam waktu yang
tidak lama lagi akan terjun ke dalam peperangan buas yang membahayakan
perdamaian dan keselamatan bangsabangsa Asia dalam perlombaannya melawan Barat.
Laksana tiga ekor raja singa berhadapan satu‐sama lain yang sudah siap untuk menerkam, Inggris siap di
Singapura, Jepang mempersiapkan senjata dalam lingkungan perbatasannya dan di
kepulauan Mariana, Amerika dengan benteng‐bentengnya di Hawaii, Guam, Manila, Pearl Harbour”.
"Saudara‐saudara, waktunya sudah dekat, di saat mana air biru dari Samudra
Pasifik akan menjadi korban berdarah yang tidak ada tandingannya di dalam
sejarah dunia!"
Akan tetapi peperangan ini yang
kuperhitungkan akan memenuhi seluruh harapan dan impianku masih jauh di depan.
Jadi ketika itu aku menyimpannya dalam pikiranku saja untuk mempersenjatai
ragaku melawan peperangan yang mengamuk‐amuk
di dadaku.
Di akhir tahun 1941 aku mengawinkan
Ratna Djuami dan tunangannya Asmara Hadi, seorang pengikut lamaku, untuk datang
ke Bengkulu sehingga kami dapat mempersoalkan kehidupan pribadiku. Kami bertiga
berjalan‐jalan sepanjang Bante Pandjang.
"Kuharapkan kalian mengerti," aku mengemukakan.
"Aku ini
hanya seorang manusia, Aku ingin kawin lagi. Cobalah, bagaimana pendapatmu
keduanya?"
Asmara Hadi menyatakan, "Secara
pribadi saya setuju dengan bapak. Saya mempersamakan bapak dengan Napoleon dan
para pemimpin besar lainnya dalam sejarah, yang— saya baca — secara fisik
sangat kuat. Akan tetapi, dilihat dari segi politik hal ini tidak baik.
Sungguhpun bapak diasingkan jauh semenjak tahun 1934, bapak tetap menjadi
lambang kami. Rakyat mendo'akan agar bapak segera bangkit lagi dan memimpin
mereka kembali. Dan rakyat tahu dari tulisan‐tulisan bapak, bahwa waktunya sudah dekat. Apa kata rakyat nanti
kalau bapak sekarang menceraikan ibu Inggit di waktu dia sudah tua dan yang
setia mendampingi bapak selama masa penjara dan pembuangan? Bagaimana jadinya
nanti?"
"Coba,
Umi," kataku sungguh‐sungguh kepada Ratna Djuami, menyebutnya dengan nama kecilnya. "Dapatkah
kau memahami kepedihanku?".
"Saya
sepaham dengan Asmara Hadi. Meskipun hati saya dapat merasakan kepedihan bapak,
tapi saya rasa ini akan meruntuhkan bapak dalam bidang politik."
"Tapi
engkau masih muda. Engkau hendaknya lebih mengerti daripada ibumu," aku mempertahankan. "Dan engkau tidak usah kuatir tentang
dirimu. Kalaupun aku mengawini Fatmawati, aku masih tetap mencintaimu.
Gelombang‐gelombang
yang berbuih putih ini akan mendjadi saksi."
Sebelum diperoleh suatu keputusan, Jepang
menyerbu Sumatra. Harinya adalah 12 Februari 1942.
0 komentar:
Posting Komentar