BAB XIII
Keluar Dari Penjara
BELANDA telah menjalankan daya upaya
untuk mencegah agar kebebasanku jangan menimbulkan pawai dari rakyat. Dimana‐mana diawasi oleh pasukan patroli. Agar tercapai maksud tersebut,
maka jalanan di sekeliling rumahpun dikosongkan. Aku telah menyampaikan supaya
bertindak lebih bijaksana menghadapi ini dan tidak mengadakan penyambutan
secara besar ‐ besaran. Sungguhpun demikian Inggit dan
beberapa ratus pengikut yang setia berbaris dengan rapi di pinggir jalan pada
jam tujuh pagi yang cerah, ketika aku mengakhiri tugasku dengan masyarakat
Belanda. Sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia untuk mengadakan selamatan,
apabila seseorang keluar dari penjara.
Bukan maksudku sebagai kebiasaan orang
Indonesia bila keluar dari penjara saja. Yang kumaksud, segala kejadian — seperti
dalam hal perkawinan, kenaikan kedudukan, anak lahir, ya, malah keluar dari
penjarapun — ditandai oleh suatu pesta kedamaian. Karena itu penyesuaian diriku
kepada masyarakat ramai hampir tidak dapat dilakukan secara berangsur‐angsur. Dari kakus yang gelap dan sepi langsung melompat ke rumah
Inggit, tempat bayar makan yang ribut.
Peristiwa itu menggembirakan sekali
dan aku dikuasai oleh perasaan haru. Akan tetapi harus kuakui, di saat itu yang
pertama‐tama kuinginkan bukanlah pesta yang gembira atau alas tempat‐tidur sutera yang mentereng maupun mandi yang enak, tak satupun
dari kesenangan itu. Yang pertama‐tama
kuinginkan adalah seorang perempuan. Akan tetapi walaupun bagaimana, rupanya
kehendak ini terpaksa mengalah dulu. Karena soal‐soal sekunder lebih mendesak kemuka.
Ratusan orang datang menyerbu siang dan malam
hendak melihat wajahku. Di malam itu, kawanku Bung Thamrin menyatakan kepadaku,
"Mata Bung Karno menyinarkan cahaya baru."
"Tidak," jawabku. "Mata saya menonjol karena saya semakin kurus.
Kalau muka kurus, mata kelihatan cekung."
"Tidak," ia menegaskan., “Mata Bung jadi sangat besar. Biar gemuk
sekalipun dia tetap bersinar menyala nyala. Saya melihat ada cahaya baru di
dalamnya."
"Entahlah," jawabku, "Saya hanya merasa bahwa saya betul‐betul dikuasai oleh suatu semangat."
Pidatoku yang paling terkenal yang
pernah kuucapkan selama hidupku adalah pidato yang kusampaikan
di malam berikutnya. Aku berangkat ke Surabaya dengan kereta
ekspres untuk menyampaikan kepada Kongres Indonesia Raya supaya mereka tetap
membulatkan tekad, oleh karena Bung Karno sekarang sudah kembali lagi dan sudah
siap untuk berjuang di sisi mereka dan untuk mereka. Dengan mata yang berlinang‐linang, aku mengakhiri pidato itu dengan menyatakan
"Kecintaanku terhadap tanah air kita yang tercinta ini belumlah padam. Pun
tidak ada maksudku untuk sekedar membikin roman dan bersain,Tidak. Tekad saya
hendak berjuang. Insua Allah, di satu saat kita akan bersatu kembali".
Menghukum Sukarno berarti menghukum seluruh
pergerakan. Belanda mengetahui hal ini. Ketika aku masuk penjara Sukamiskin,
P.N.I. dengan resmi dinyatakan sebagai partai terlarang. Kemudian, wakil‐wakilku mendirikan Partai Indonesia, yang disingkat Partindo, akan
tetapi pergerakan itu tetap tidak berdaya. Kegiatannya terbatas, jarang
mengadakan pertemuan‐pertemuan
dan kalaupun diadakan, sedikit sekali dikunjungi orang, karena tidak adanya
tokoh yang menjadi lambang kekuatan. Karena tidak adanya kepemimpinan yang kuat
dan bersifat menentukan, maka dua orang tokoh berpendidikan Negeri Belanda
yaitu Sutan Syahrir dan Hatta, tidak menyetujui cara‐cara bergerak dari kawan‐kawan
seperjuangannya. Maka timbullah pertentangan antara pengikut Hatta dengan
pengikut Sukarno.
Akibatnya adalah perpecahan yang tak
dapat dihindarkan. Aku memerintahkan Maskun dan Gatot, yang dibebaskan beberapa
bulan sebelumku, untuk membenteng jurang yang timbul itu. Mereka tak sanggup.
Maskun lalu mengirimkan pesan ke dalam penjara, "Saya terlalu muda.
Saya tidak dapat melakukannya." Gatot kemudian memberi kabar lagi, "Kami
berdua terlalu kecil untuk dapat melakukan pekerjaan ini. Lebih baik kami
tunggu empat bulan lagi sampai Bung Karno keluar."
Segera setelah aku keluar dari
penjara, ketika anggota‐anggotaku
yang lama meminta supaya aku memasuki Partindo, aku menolak.
"Tidak," kataku dengan tegas. "Pertama saya harus
berbicara dengan Hatta dulu. Saya ingin mendengar isi hatinya". Mereka
menyatakan kepadaku, "Rakyat akan mengikuti kemana Bung Karno pergi.
Apakah mungkin Bung mengikuti Pendidikan Nasional Indonesia, partai dari Bung
Hatta?"
"Tidak ada
pikiranku untuk mengikuti salah satu pihak, saya lebih condong untuk menempa
keduaduanya kembali menjadi satu. Dua partai adalah bertentangan dengan
keyakinanku untuk persatuan. Perpecahan ini hanya menguntungkan pihak
lawan."
Aku bertemu dengan pihak yang
bertentangan di rumah Gatot tidak lama setelah aku bebas. "Baiklah saudara‐saudara, sekarang apa sesungguhnya yang menjadi perbedaan pokok
kita," kataku ketika
kami bertemu pertamakali.
“Dengan cara
Bung Karno, partai tidak akan bisa stabil," Hatta mengemukakan, seorang yang berlainan samasekali denganku
dalam sifat dan pembawaan. Bung Hatta adalah seorang ahli ekonomi dalam segi dagang
dan pembawaannya. Saksama, tidak dipengaruhi oleh perasaan, pedantik. Seorang
lulusan Fakultas Ekonomi di Rotterdam, cara berpikirnya masih saja menurut buku‐buku, mencoba menerapkan rumus‐rumus
ilmiah yang tidak dapat dirubah ke dalam suatu revolusi. Seperti biasa ia
langsung memasuki pokok persoalan tanpa omong iseng secara berolok‐olok sebelumnya. "Pada waktu Bung Karno dengan ketiga orang
kawan kita lainnya masuk penjara, seluruh pergerakan bercerai‐berai. Saya mempunyai ide untuk mengadakan suatu inti dari
organisasi yang akan melatih kader yang digembleng dengan cita‐cita kita."
"Apa
gunanya kader ini? Bukankah lebih baik kita mendatangi langsung rakyat jelata
dan membakar hati mereka, seperti selama ini telah saya kerjakan?"
"Tidak," katanya. "Konsepsi saya kita menjalankan perjuangan
melalui pendidikan praktis untuk rakyat, ini lebih baik dari pada kita bekerja
atas dasar daya penarik pribadi dari satu orang pemimpin. Dengan jalan demikian,
kalau para pemimpin atasan tidak ada, partai akan tetap berjalan dengan
pimpinan bawahan yang sudah sadar betul‐betul untuk apa kita berjuang. Dan menurut gilirannya, mereka akan menyampaikan
cita‐cita ini kepada
generasi yang akan datang, sehingga untuk seterusnya banyak tenaga yang akan
melanjutkan cita‐cita
kita. Kenyataannya sekarang, kalau tidak ada pribadi Sukarno maka tidak ada
partai. Ia terpecah sama sekali oleh karena tidak adanya kepercayaan rakyat
kepada partai itu sendiri, yang ada hanya kepercayaan terhadap Sukarno."
"Mendidik
rakyat supaya cerdas akan memerlukan waktu bertahun‐tahun, Bung Hatta. Jalan yang Bung tempuh baru akan tercapai kalau
hari sudah kiamat," kataku.
"Kemerdekaan
tidak akan tercapai selagi saya masih hidup" katanya mempertahankan. "Tapi setidak tidaknya cara ini
pasti. Pergerakan kita akan terus berjalan selama bertahun‐tahun."
"Siapakah
yang akan jadi pimpinan Bung? Bukukah? Kepada siapakah jutaan rakyat akan
berpegang? Kepada kata‐katakah?
Tidak seorangpun dapat digerakkan oleh kata‐kata. Kita tidak mungkin memperoleh kekuatan dengan kata‐kata dalam buku pelajaran. Belanda tidak takut pada kata‐kata itu. Mereka hanya takut kepada kekuatan nyata, yang terdiri
dari rakyat yang menggerumutinya seperti semut. Mereka tahu, bahwa dengan jalan
mencerdaskan rakyat kekuasaan mereka tidak akan terancam. Memang dengan
mencerdaskan rakyat kita terhindar dari penjara, akan tetapi kita juga akan
terhindar dari kemerdekaan."
"Rakyat
akan mentertawakan Bung Karno kalau masuk penjara sekali lagi," jawab Hatta. " Rakyat akan mengatakan: Itu salahnya
sendiri. Kenapa Sukarno selalu mempropagandakan Indonesia Merdeka, sedang dia
tahu bahwa Belanda akan menyetopnya. Dia itu gila. Jadi perjuangan untuk
kemerdekaan masih akan memakan waktu bertahun‐tahun lagi. Rakyat harus dididik dulu kearah itu."
Hatta tidak berkisar setapakpun dan
dengan hati yang tawar aku meninggalkan pertemuan yang berlangsung selama
beberapa jam itu Perbedaan kami seperti siang dan malam, dan Hatta sama sekali tidak
berubah pendiriannya. Masih aku mencoba untuk menghilangkan keretakan ini.
Selama beberapa bulan aku mencoba. Pada pertemuan kami selanjutnya Hatta
mengatakan, "Saya hendak memberikan janji kepada para pengikut kita.
Kalau Belanda menghalang‐halangi
generasi kita ini untuk bergerak — dan tiap gerakan selanjutnya daripada para
pemimpin nasionalis tentu akan mendapat balasan yang demikian— maka tak usahlah
generasi kita ini bergerak lagi. Sebagai gantinya kita mengajar para intellektuil
yang muda‐muda
yang pada satu saat akan menggantikan kita untuk meneruskan ajaranajaran kita
dan yang nanti di belakang hari akan membawa kita kepada kemerdekaan. lni
adalah jandji kepada tanah air kita. Ia merupakan soal prinsip. Soal
kehormatan."
Aku tak pernah mengerti sama sekali
perkara tetek bengek secara intellektuil yang khayal ini. Hatta dan Syahrir tak
pernah membangun kekuatan. Apa yang mereka kerjakan hanya bicara. Tidak ada
tindakan, hanya bersoal tentang tanya jawab. Aku mencoba usaha yang terakhir.
"lni
adalah peperangan," kataku. "Suatu
perjuangan untuk hidup. Ini bukanlah soal keteguhan pendirian dengan generasi
yang akan datang ataupun suatu kehormatan bagi sisa dari pergerakan, sehingga
tingkatan yang lebih bawah dapat memegang tegak prinsip‐prinsip yang telah dikurangi setelah para pemimpin mereka masuk
bui. Kehormatan tidaklah pada tempatnya dalam perjuangan mati‐matian ini. Ini adalah semata‐mata persoalan kekuatan. Di saat Bung Hatta dan Sjahrir maju terus
dengan usaha pendidikan pada waktu itu pula kepala saudara‐saudara akan dipukul oleh musuh.
"Politik
adalah machtsvorming dan machtsaanwending — pembentukan kekuatan dan pemakaian kekuatan.
Dengan tenaga yang terhimpun kita dapat mendesak musuh ke pojok dan kalau perlu
menyerangnya. Mempersiapkan teori dan membuat keputusan kebijaksanaan penting
yang berasal dari buku‐buku
tidaklah praktis. Saya kuatir, Hatta, saudara berpijak diatas landasan
revolusioner yang khajal."
Pada tahun‐tahun duapuluhan, antara kami telah terdapat keretakan ketika aku
menjadi eksponen utama dari non‐kooperasi,
sedang dia sebagai eksponen‐utama
dengan pendirian bahwa kerjasama dengan Pemerintah tidak menjadi halangan untuk
mencapai tujuan. Hatta dan aku tak pernah berada dalam getaran gelombang yang
sama.
Cara yang paling baik untuk melukiskan tentang
pribadi Hatta ialah dengan menceritakan tentang kejadian di suatu sore, ketika
dalam perjalanan ke suatu tempat dan satu satunya penumpang lain dalam
kendaraan itu adalah seorang gadis yang cantik. Di suatu tempat yang sepi dan
terasing ban pecah. Jejaka Hatta adalan seorang yang pemerah muka apabila
bertemu dengan seorang gadis. Ia tak pernah menari, tertawa atau menikmati
kehidupan ini. Ketika dua jam kemudian supirnya kembali dengan bantuan ia
mendapati gadis itu berbaring enak di sudut yang jauh dalam kendaraan itu dan
Hatta mendengkur di sudut yang lain. Ah, susah orangnya.
Kami tak pernah sependapat mengenai suatu
persoalan. Pada tanggal 28 Djuli 1932, aku memasuki Partindo dan dengan suara
bulat terpilih sebagai ketua. Pergerakan ini hidup kembali. Sebagai pemimpin
partai aku mendapat 70 rupiah sebulan. Dan sebagai Pemimpin Besar Revolusi di
masa yang akan datang, aku memperoleh kemajuan dalam segala hal. Pun dalam
menonton film. Sekarang aku duduk di muka layar putih. Maskun dan aku juga
mendapat penghasilan sedikit dalam memimpin bersama‐sama koran partai, "Pikiran Rakjat", yang
diselenggarakan di rumahku. Kemudian ada lagi orang yang bayar ‐ makan. Sudah tentu orang‐orang
seperti Maskun tidak bayar. Bagaimana aku bisa minta uang makan daripadanya?
Dia kawanku. Aku bahkan memperkenalkannya kepada isterinya. Kuingat betul di
hari perkawinannya akupun mengadakan pidato politik. Penganten baru ini tidak berbulan
madu kecuali mungkin di bawah pohon kayu di suatu tempat, karena segera setelah
perkawinan mereka tinggal dengan Inggit dan aku. Bukanlah menjadi kebiasaan
anak gadis Indonesia untuk berteriak bila orang mengadakan percintaan dengan
gadis itu. Dan karena kami tidak mempunyai kasur di hari‐hari itu, jadi tidak ada yang akan berderak‐derik. Karena itu, sungguhpun kamar kami hanya dipisahkan oleh dinding
bilik, kami tidak terganggu satu sama lain.
Dengan Ir. Rooseno aku mendirikan
biro arsitek lagi. Kami mengalami masa yang sulit dengan biro arsitek ini,
karena orang lebih menyukai arsitek Tionghoa atau Belanda dan tidak akan
menemui kesulitan dengan kedua bangsa ini. Sewa kantor kami 20 rupiah. Telpon
7l/2 rupiah. Jadi setidak‐tidaknya
kami harus mendapatkan 271/2 rupiah setiap bulan. Akan tetapi seringkali kami
tidak menerimanya.
Penghasilan Rooseno yang terutama
didapatnya dari mengajar. Oleh karena kantongnya selalu lebih penuh daripada
kami, kebanyakan pengeluaran kami terpaksa bergantung kepadanya. Sekali sebulan
aku muncul untuk menanyakan bagian keuntunganku. Karena aku mencukupi kebutuhanku
dari kantongnya, aku akan bertanya, "Berapa kau berutang padaku?" Dan
dia akan menjawab, "Bagian Bung 15 rupiah."
Kataku, "Baik." Aku
tidak pernah memeriksanya. Apa yang dikatakannya aku percaya saja. Kami mengadakan
pembagian kerja yang adil dan cukup beralasan. Rooseno menjadi insinyur
kalkulatornya.
Dia mengerjakan soal‐soal detail. Dia yang membuat perhitungan dan kalkulasi dan mengerjakan
perhitungan ilmu pasti yang sukar itu. Sebagai arsitek seniman aku mengatur
bentukbentuk yang baik dari gedung‐gedung.
Sudah tentu tidak banyak perlu diatur, akan tetapi sekalipun demikian ada
beberapa buah rumah yang kurencanakan sendiri dan sekarang masih berdiri di
Bandung.
Rencanaku bagus‐bagus. Tidak begitu ekonomis akan tetapi indah. Aku tidak begitu
memikirkan benda‐benda
duniawi seperti uang. Hanya orang‐orang
yang tidak pernah menghirup apinya nasionalisme yang dapat melibatkan dirinya
dalam soal‐soal biasa seperti itu. Kemerdekaan
adalah makanan hidupku. Ideologi. Idealisme. Makanan daripada jiwaku. Inilah
semua yang kumakan. Aku sendiri hidup dalam kekurangan, akan tetapi apa
salahnya? Mendayungkan partaiku dan rakyatku secara bersama‐sama ke pulau harapan, untuk itulah aku hidup.
Sesuai dengan cita‐cita dari P.N.I., partaiku yang lama, tentang bagaimana seharusnya
seorang pemimpin berpakaian, maka anggota‐anggota
mengumpulkan uang untuk mengadakan pakaian untukku. Ganti kain katun atau
linnen, Sukarno tiba‐tiba
diberi kain shantung Ganti kemeja sport dengan leher terbuka, Sukarno mulai
memakai dasi yang bagus. Pergerakan kami begitu percaya padaku, sehingga pakaian
ini diusahakan mereka secara sukarela.
Aku teringat baju suteraku yang
pertama. Pembelinya bernama Saddak. O. dia sungguh‐sungguh memujaku. Ini seperti yang dikatakan oleh Injil, "Yang
kaya jiwanya membantu yang miskin dalam satu persaudaraan yang besar."
Aku memberi mereka keberanian. Mereka memberiku pakaian —atau uang. Di pagi
hari aku keluar dari penjara sebagai seorang bebas, seorang laki‐laki yang belum pernah kulihat sebelumnya, menggenggamkan kepadaku
dengan begitu saja uang empat ratus rupiah, lain tidak karena aku tidak mempunyai
uang. Pada waktu sekarang orang ini, yang bernama Dasaad , adalah seorang
kapitalissosialis yang paling kaya di Indonesia dan kawanku yang rapat. Akan
tetapi, pada waktu ia menyodorkan rejeki yang kecil itu kepadaku, ia tak
mengharapkan akan memperolehnya kembali.
Seingatku ia tak pernah menerima
uang itu kembali. Aku masih saja meminjam‐minjam
kepadanya. Dalam masa ini aku menyadari untuk lebih berhati‐hati dengan ucapan‐ucapanku.
Pengaruhku terhadap rakyat sudah tumbuh sedemikian, sehingga kalau aku berkata,
"Makan batu", mereka akan memakannya. Kukira ini timbul
disebabkan karena apa yang kuucapkan dengan keras sesungguhnya adalah apa yang mereka
sendiri pikirkan dan rasakan dalam hati sanubarinya. Aku merumuskan perasaan‐perasaan yang tersembunyi dari rakyatku menjadi istilah‐istilah politik dan sosial, yang tentu akan mereka ucapkan sendiri
kalau mereka dapat. Aku menggugat yang tua ‐ tua
untuk mengingat kembali akan penderitaan penderitaannya dan melenyapkan penderitaan‐penderitaan itu. Aku menggugat para pemuda untuk memikirkan nasib
mereka sendiri dan bekerja keras untuk masa depan. Aku menjadi mulut mereka.
Sebagai pemuda aku mula‐mula mengisap kata‐kata
yang tertulis dari negarawan‐negarawan
besar di dunia, kemudian kuminum ucapan‐ucapan
dari para pemimpin besar dari bangsa kami, lalu menggodok semua ini dengan
falsafah dasar yang digali dari hati rakyat Marhaen. Sukarno, Telinga Besar
dari rakyat Indonesia, lalu menjadi Bung Karno, penyambung lidah rakyat Indonesia.
Aku berbicara kapan saja dan dimana saja. Di dalam dan di luar. Di bawah
teriknya sinar matahari dan di musim hujan. Pada suatu kali air hujan sudah
sampai ke mata kakiku dan oleh karena banyak tempat yang tidak bisa ditempuh,
maka aku baru sampai jam tiga pada rapat yang seharusnya diadakan mulai jam sembilan
pagi. Rakyat yang sudah bercerai‐berai
berkerumun lagi, berdiri dengan berpayung daun pisang dan lain‐lain yang dapat dipakai sebagai pelindung kepala.
Pada suatu saat cuaca demikian buruknya, sehingga
sekalipun pakai jas hujan aku basah kuyup oleh air yang mencucur dari langit.
Di waktu itulah aku mengajak, "Nah, sekarang, untuk memanaskan badan
kita bagaimana kalau kita menyanji bersamasama?" Di sela‐sela petir yang menggemuruh terdengarlah satu suara mengikutiku.
Kemudian yang lain. Lalu ratusan suara berpadu. Dan tidak lama antaranya
menggemalah 20.000 suara menjadi satu paduan yang gembira. Di lapangan terbuka
yang sederhana ini di Jawa Tengah maka nyanyian‐nyanjian rakyat mengikat kami menjadi satu, ikatannya lebih erat
daripada rantai besi.
Ketika hujan semakin reda, aku mengakhiri
wejanganku. Tak seorangpun yang meninggalkan tempat itu. Salah seorang pengikut
kemudian setelah itu memberikan komentarnya, "Ini adalah suatu kejadian
yang tidak dapat dilakukan oleh orang semata‐mata. Bakat yang demikian itu terletak Antara Bung dan alam."
Kusampaikan kepadanya, "Sebabnya
ialah karena ini bukanlah kemauan saya pribadi untuk memperjuangkan
kemerdekaan. Ia adalah kemauan Tuhan. Saya menjalankan kata‐kata Tuhan. Untuk pekerjaan inilah saya dilahirkan.''
Pada waktu sekarang, orang‐orang anti‐Sukarno
tertawa mengejek bahwa segala sesuatu diatur terlebih dulu untuk Sukarno
sebelum ia memperlihatkan diri. Aku hanya mengatakan, memang benar bahwa rakyat
berjejal‐jejal di kiri kanan jalan kalau Bapak akan berpidato. Juga adalah
benar, bahwa orang dapat memaksa seseorang untuk berdiri akan tetapi ia tidak
akan dapat dipaksa untuk tersenyum dengan penuh kepercayaan atau memandang
dengan perasaan kagum atau melambai kepadaku dengan gembira.
Aku meminta kepada manusia umumnya
untuk menyelidiki muka‐muka
yang menengadah dari rakyatku kalau aku berpidato. Mereka melihat tersenyum
kepadaku. Mendo'akan, Mencntaiku. Ini semua tidak dapat dipaksakan oleh
pemerintah. Pemerintah tidak dapat memaksa mereka untuk berbuat demikian
seperti pemerintah Hindia Belanda tidak dapat menyuruh mereka BERHENTI
tersenyum kepadaku di masa tahun‐tahun
tiga puluhan.
Dengan tiba‐tiba semangat nasional menjalari seluruh tanah air. Dengan tiba‐tiba keinginan merdeka menular kembali. Aku berpidato di Solo di
mana puteri‐puteri dari kraton yang cantik‐cantik pada keluar untuk mendengarkanku. Wanita‐wanita yang dipingit, dimuliakan dan yang halus ini begitu tertarik
sehingga salah seorang yang hamil memukul‐mukul
perutnya berkali‐kali
dan mendengungkan, "Saya ingin seorang anak seperti Sukarno." Mendadak
aku mendapat ilham. Aku menyerahkan kepada mereka beberapa peci dan meminta
mereka berkeliling dalam lautan manusia itu mengumpulkan uang untuk pergerakan
kami. Ah, Bung, sungguh menggemparkan.
Aku malahan mencaplok terhadap
Belanda. Seorang pemuda bernama Paris menjadi muridku dan pindah sama sekali ke
pihak kita. Pada kesempatan lain aku mengadakan rapat di Gresik Jawa Timur.
Patih di tempat itu juga hadir. Sebagai seorang pejabat kolonial, adalah
menjadi kewajibannya yang tak dapat disangkal lagi untuk memeriksaku dengan
saksama dan melaporkan kegiatanku.
Orang yang sangat baik hati ini
berdiri mendengarkan pidatoku dengan sungguh‐sungguh
dan dengan seluruh hatinya. Tanpa berpikir dia lupa pada dirinya sendiri dan
dengan bersemangat turut bersorak dan bertepuk
mendengarkan pidatoku. Di antara orang banyak itu terdapat juga Van
der Plas, Direktur Urusan Bumi putera. Dan itulah kami. Kamilah orang Bumiputera.
Pekerjaan Van der Plas adalah untuk mengawasi orang‐orang yang mengawasi kami, termasuk patih itu. Patih itu seketika
juga diperhentikan. Timbullah pertengkaran yang hebat di dalam Dewan Rakyat.
Thamrin mencoba untuk
mempertahankannya. Dia mengemukakan alasan, "Apa salahnya dia turut bersorak?
Bukankah dia orang Indonesia? Mengapa dia harus dilarang untuk bertepuk dan
bersorak? Mengapa dia harus kehilangan jabatan tanpa diberi kesempatan untuk
mempertahankan dir ?"
Thamrin mencoba dengan gagah berani,
sekalipun demikian patih itu tetap kehilangan jabatannya. Ini adalah jabatan
yang penting dan dia orang yang penting. Orang yang baik hati ini mempunyai
anak dan isteri yang harus ditanggungnya. Akupun susah memikirkannya. Polisi
mulai memperkeras jaring‐jaring
mereka. Surat‐surat kabar ketika itu penuh dengan
berita pemberontakan di atas kapal Zeven Provincien, yaitu sebuah kapal perang
yang para opsirnya terdiri dari Belanda dan orang‐bawahannya orang‐orang
Indonesia.
Belanda, karena mengetahui tentang caraku mempergunakan
suatu keadaan. Pada waktunya, mengeluarkan larangan untuk mengadakan pembicaraan
secara terbuka mengenai peristiwa ini, takut kalau hal ini akan merangsang
rakyat untuk bangkit dan memberontak. Persoalanku adalah, bagaimana caranya
untuk menerangkan situasi itu dengan baik dalam pidato berikutnya. Tangan
polisi sudah gatal‐gatal
untuk melemparkanku keluar panggung. Mereka tegang dan gelisah. Kamipun tegang
dan gelisah. Kami mengatur acara sehingga aku menjadi pembicara pertama. Ini maksudnya
untuk membikin bingung polisi, yang tentu tidak akan menyangka bahwa aku akan memberanikan
diri untuk menggelorakan lima menit pertama dari rapat tersebut. Dengan jalan
ini, sekalipun mereka akan menghentikan rapat kami, aku telah menyampaikan pesan‐pesanku dan rakyat tentu sudah akan puas melihatku.
Jadi, berdirilah aku dan langsung berbicara
tentang peristiwa kapal Zeven Provincien itu. Polisi langsung bertindak
terhadapku. Dan pertemuan itu segera ditutup. Aku kembali lagi ke tempat dimana
aku berada. Nomor satu dalam daftar hitam mereka, seperti aku takkan lepas‐lepas dari daftar itu. Para pembesar mengeluarkan perintah tentang
barang siapa yang membaca "Fikiran Rakyat" atau memakai peci
akan dikenakan tahanan.
Kemudian aku menulis brosur yang
bernama "Mencapai Indonesia Merdeka". Brosur tersebut dianggap
sangat menghasut, sehingga ia dirampas dan dinyatakan terlarang segera setelah
ia mulai beredar. Banyak yang di sita. Rumah‐rumah
digeledahi. Kumpulan yang terdiri dari lebih dari tiga orang dikepung. Perangkap
diperkeras.
Tanggal satu Agustus kami mengadakan
pertemuan pimpinan dirumah Thamrin di Jakarta. Pertemuan ini selesai sudah
lewat tengah malam. Ketika aku turun rumah menuju jalan raya, di sana sudah
berdiri seorang Komisaris Polisi, menungguku dengan tenang di depan rumah.
Kejadian ini adalah pengulangan kembali dari penangkapan yang terdahulu. Dia
rnengucapkan kata‐kata
yang sama, "Tuan Sukarno, atas nama Sri Ratu saya menangkap tuan."
0 komentar:
Posting Komentar