BAB IX
Masuk
Tahanan
SEPANJANG hari dan malam senantiasa
melekat di kepala kami ancaman masuk penjara. Di dalam Kitab Undang‐Undang Hukum Pidana telah dinyatakan, bahwa: "Seseorang
yang kedapatan mengeluarkan perasaan ‐ perasaan
kebencian atau permusuhan secara tertulis maupun lisan — atau seseorang yang berhubungan
langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan‐kegiatan yang menghasut untuk mengadakan pengacauan atau pemberontakan
terhadap pemerintah Belanda, dapat dikenakan hukuman setinggi‐tingginya tujuh tahun penjara." Dengan semakin pesatnya pertumbuhan dari P.P.P.K.I., maka pengawasan
terhadap Sukarno semakin diperkeras pula. Aku sudah mendapat peringatan dan aku
menyadari sungguh‐sungguh
akibat dari peringatan ini.
Semua orang revolusioner bertindak
demikian. Ini adalah bagian dari peperangan hebat yang kami jalankan. Dalam
perjalanan ke Solo dengan salah seorang wakil dari P.N.I., Gatot Mangkupradja,
aku menyinggung soal ini. "Bung, setiap agitator dalam setiap revolusi
tentu mengalami nasib masuk penjara," aku menegaskan.
"Di suatu
tempat, entah dengan cara bagaimana, suatu waktu tangan besi dari hukum tentu
akan jatuh pula diatas pundakku. Aku mempersiapkanmu sebelumnya."
“Apakah Bung Karno takut ?"
tanya Gatot.
"Tidak,
aku tidak takut," jawabku dengan
jujur. "Aku sudah tahu akibatnya pada waktu memulai pekerjaan ini.
Akupun tahu, bahwa pada satu saat aku akan ditangkap. Hanya soal waktu saja.
Kita harus siap secara mental."
"Kalau
Bung, sebagai pemimpin kami, sudah siap, kamipun siap." katanya. "Seseorang hendaknya jangan melibatkan dirinya ke
dalam perjuangan mati‐matian,
jika ia sebelumnya tidak insyaf akan akibatnya. Musuh akan mengerahkan segala
alat‐alatnya
berulang‐ulang
kali supaya dapat terusmenerus memegang cengkeramannya yang mematikan. Tapi,
sekalipun berabad‐abad
mereka menjerumuskan puluhan ribu rakyat masuk bui dan masih saja melemparkan
kita ke dalam pembuangan di tempat‐tempat
yang tidak berpenduduk, jauh dari masyarakat manusia, saatnya akan tiba pada
waktu mana mereka akan musnah dan kita memperoleh kemenangan. Kemenangan kita
adalah suatu keharusan sejarah — tidak bisa dielakkan".
Kata‐kata itu memberikan keberanian padaku, “Bung Karno." kata
Gatot. “Dalam perjalanan diatas gerobak sampah menuju ke tiang gantungan,
Pemimpin Revolusi Perancis berkata kepada dirinya sendiri: 'Aurlace, Danton
Toujours de l'audace'. Ia terus‐menerus
mengulangi kata‐kata
itu: 'Beranikan dirimu, Danton. Jangan kau takut !' Karena ia yakin, bahwa perbuatan‐perbuatannya akan dilukis dalam sejarah dan tantangan terhadapnya
pun merupakan saat yang bersejarah.
Dia tidak pernah meragukan akan
datangnya kemenangan yang terakhir dan gilang‐gemilang. Jadi, akupun begitu. "Ada diantara pejuang kita
yang selalu keluar masuk bui secara tetap," kata Gatot menerangkan.
“Seorang
pemimpin yang di Garut. Dia sudah masuk 14 kali. Pembesar di sana menamakannya
sebagai pengacau. Dalam jangka waktu enam tahun dia meringkuk selama enam bulan
di dalam penjara, setelah itu bebas selama dua bulan, lalu masuk selama enam
bulan dan keluar lagi tiga bulan, kemudian delapan bulan dibelakang jeruji
besi. Setelah itu dia bebas lagi selama satu setengahtahun dan hukumannya yang terakhir adalah dua tahun. "
Kami berangkat ke Solo dengan taksi.
Supir kami,
Suhada, tergolong sebagai simpatisan. Dia sudah terlalu tua untuk
dapat mengikuti kegiatan kami. Dia turut dengan kami cuma untuk mendengarkan
dan menyaksikan saja. Sejak permulaan perjalanan Suhada tidak membuka mulutnya,
tapi kini dia bertanya dengan ramah, “Berapa banyak saudara‐saudara kita yang meringkuk dalam pembuangan?"
Aku tidak perlu berpikir
menjawabnya. Aku tahu jumlahnya di luar kepala. “Lebih dari dua ribu dibuang
di Tanah Merah, di tengah‐tengah
hutan Boven Digul di Nieuw Guinea yang keadaannya masih seperti di Zaman Batu. Dan pada waktu
pembawa‐pembawa obor kemerdekaan
ini diusir masuk ke dalam hutan lebat, mereka pergi dengan tersenyum. Ketika
mereka tidak mau mundur setapakpun dari keyakinannya, maka 300 orang
diantaranya dibawa ketempat yang lebih menyedihkan, yaitu kamp konsentrasi di
Tanah Tinggi. Di situ bertaburanlah kuburan mereka.
Dari yang 300 orang itu hanya 04
orang yang masih hidup. "Pengorbanan seperti itu telah pula terjadi di pulau
Muting dan pulau Banda," kataku melanjutkan. “ Tapi ingatlah, tidak
ada pengorbanan yang sia‐sia.
Ingatkah engkau tentang keempat pemimpin yang digantung di Ciamis?" . Mereka menganggukkan kepala. “ Salah seorang dari mereka
berhasil menyusupkan surat kepadaku di malam sebelum menjalani hukumannya.
Surat itu berbunyi: 'Bung Karno, besok saya akan menjalani hukuman gantung.
Saya meninggalkan dunia yang fana ini dengan hati gembira, menuju tiang
gantungan dengan keyakinan dan kekuatan batin, oleh karena saya tahu bahwa Bung
Karno akan melanjutkan peperangan ini yang juga merupakan peperangan kami. Teruslah
berjuang, Bung Karno, putarkan jalannya sejarah untuk semua kami yang sudah
mendahului sebelum perjuangan itu selesai." Keadaan dalam mobil
menjadi sunyi. Tak seorangpun yang
hendak mengucapkan sesuatu. Suhada terus mengemudikan kendaraan dengan air mata berlinang. Satu‐satunya
suara ialah denyutan jantung kami yang menderap‐derap serentak dalam satu pukulan irama. Di Solo dan dekat
Jogyakarta kami mengadakan beberapa rapat umum. Malam itu aku berbicara untuk
pertamakali tentang "Perang Pasifik" yang akan berkobar. Tahun
ini adalah 1929.
Setiap orang mengira aku ini gila.
Dengan darahku yang mengalir cepat karena golakan perasaan yang gembira dan
hampir tak tertahankan, keluarlah dari mulutku ucapan yang sekarang sudah
terkenal: "Imperialis, perhatikanlah!. Apabila dalam waktu yang tidak
lama lagi Perang Pasifik menggeledek dan menyambar‐nyambar membelah angkasa, apabila dalam waktu yang tidak lama lagi
Samudra Pasifik menjadi merah oleh darah dan bumi di sekelilingnya menggelegar
oleh ledakan‐ledakan
bom dan dinamit, maka disaat itulah rakyat Indonesia melepaskan dirinya dari
belenggu penjajahan dan menjadi bangsa yang merdeka." Ucapan ini bukanlah ramalan tukang tenun, iapun bukan pantulan
daripada harapan berdasarkan keinginan belaka. Aku melihat Jepang terlalu
agressif. Bagiku, apa yang dinamakan ramalan ini adalah hasil daripada perhitungan
berdasarkan situasi revolusioner yang akan datang.
Rapat ini bubar pada waktu tengah malam. Kami
bermalam di rumah Suyudi, seorang pengacara dan anggota kami di Jogya yang
tinggal pada jarak kurang dari dua kilometer dari situ. Kami memasuki tempat
tidur pada jam satu. Jam lima pagi, ketika dunia masih gelap dan sunyi, kami
terbangun oleh suara yang keras. Ada orang menggedor pintu. Aku terbangun
begitu tiba‐tiba, sehingga pada detik itu aku
mengira ada tetangga yang berkelahi. Gedoran itu masih terus terdengar. Ia
semakin lama semakin keras, semakin lama semakin mendesak Gedoran ini diiringi
oleh suara yang kasar di sekitar rumah Suyudi. "Inikah rumah tempat
pemimpin revolusioner menginap?" satu suara bertanya. "Yah,
inilah tempatnya," suara garang yang lain menjawab. Kemudian lebih
banyak suara terdengar meneriakkan perintah‐perintah.
” Kepung rumah ini —halangi pintu —“. Sementara itu bunyi yang meremukkan dari
pukulan gada di pintu ...... semakin lama semakin keras, kian lama kian cepat.
Dengan gemetar aku menyadari, bahwa inilah saatnya. Nasibku sudah pasti. Gatot
Mangkupradja yang pertama pergi ke pintu. Ia membukanya dan masuklah seorang
inspektur Belanda dengan setengah lusin polisi bangsa Indonesia. Kami
menamakannya "reserse". Semua berpakaian seragam. Semua
memegang pistol di tangan. Mereka ini adalah pemburu. Kami binatang
buruan. Rentak sepatu yang menunjukkan kekuasaan terdengar menggema
ke seluruh daerah dikamar sebelah, rentak sepatu pada waktu mereka menderap
sepanjang rumah.
Orang kulit putih yang bertugas itu
berteriak, "Dimana kamar tempat Sukarno tidur?" Kamarku
sebelah menyebelah dengan kamar Suyudi. Ketujuh orang itu berbaris melalui
kamar Suyudi dan terus ke kamarku. Aku keluar dari tempat tidur dan berdiri di
sana dengan pakaian piyama. Aku tenang. Sangat tenang. Aku tahu, inilah
saatnya. Inspektur itu berhadap‐hadapan
denganku dan berkata, "Atas nama Sri Ratu saya menahan tuan."
Aku telah mempersiapkan diri selalu untuk menghadapi kesulitan. Betapapun, pada
waktu tiba saatnya timbul juga perasaan yang tidak enak. "Kenakan
pakaian tuan," ia memerintahkan. "Dan ikut dengan saya."
Ia berdiri dalam kamar itu dan menungguku berpakaian. Aku tidak diizinkan
membawa barang‐barangku. Bahkan tas dengan pakaian
penggantipun tidak boleh. Hanya yang lekat dibadanku. Di luar, dengan senapan
dalam sikap sedia, berdiri 50 orang polisi mengepung rumah dengan sekitarnya
dan jalan yang menuju kesana. Tiga buah mobil telah siap. Yang tengah adalah
kendaraan khusus dimana kami, penjahat‐penjahat
yang berbahaya, dimasukkan dan diiringkan ke kantor polisi. Ke dalam mobil itu
dimasukkan pula Gatot dan supir taksi itu, yang sama sekali tidak bersalah
dalam menghasut rakyat. Kesalahannya hanyalah karena ia terlalu mencintai.
Ia mencintai negerinya, dan ia
mencintai pemimpinnya. Suhada dibebaskan segera, akan tetapi sementara itu
mereka mencatat namanya, karena orang inipun kelihatan seperti penjahat besar
dimata mereka. Beberapa tahun kemudian ia meninggal. Permintaannya yang
terakhir ialah, "Tolonglah, saya ingin mempunyai potret Bung Karno di
dada saya." Permintaannya itu dipenuhi. Ia lalu melipatkan tangannya
yang kerisut memeluk potretku dan kemudian berlalu dengan tenang.
Dengan penjagaan yang kuat,
diiringkan di kiri‐kanan
oleh sepeda motor dan dengan sirene meraung‐raung
dan lonceng berdentang‐dentang,
Sukarno, Gatot dan sopir tua itu dibawa ke Margangsan, penjara untuk orang gila.
Kami diperiksa satu demi satu dan dimasukkan ke dalam sel. Ketika pintu besi
terkunci rapat di muka kami, seluruh dunia kami tertutup. Kami berada dalam
kesunyian. Segala sesuatu terjadi begitu cepat, sehingga kami tidak punya
kesempatan untuk menyelundupkan sepatah kata kepada pengikut kami. Tidak
seorangpun yang mengetahui dimana kami berada. Mereka bahkan tidak memberi
kesempatan kepadaku untuk mengadakan kontak dengan Inggit. Tidak ada
percakapan. Kami tidak diperbolehkan apa‐apa.
Sekalipun demikian, apa hendak dikata. Kami
tahu apa artinya ini dan masing‐masing
tenggelam dengan pikirannya sendiri. Apa yang terlintas dalam pikiranku ialah,
bahwa aku tidak memperoleh firasat. Tidak ada tanda‐tanda bahaya.
Aku dengan mudah tertidur malam itu
tanpa mengalami sesuatu sensasi, bahwa pada tanggal 9 Desember 1929 bagi kami
akan menjadi hari naas. Semua ini mengejutkanku. Seluruh gerakan telah mereka
rencanakan dengan baik. Jam dua siang kami diberi nasi. Sebelum dan sesudah itu
tidak ada hubungan dengan seorangpun. Setelah satu hari satu malam penuh esok
paginya seperti di pagi sebelumnya tepat jam lima polisi datang. Mereka tidak
berkata apa‐apa. Pun tidak menyampaikan kemana
kami akan dibawa. Begitupun tentang apa yang akan diperbuat terhadap kami. Dua
buah kendaraan membawa kami ke stasiun. Empat orang polisi dengan uniform dan
pistol duduk di tiap kendaraan itu. Pengangkutan ini direncanakan sampai kepada
menit dan detiknya.
Begitu kami sampai, sebuah kereta api hendak
berangkat. Kami diperintahkan naik. Sebuah gerbong istimewa telah tersedia buat
kami. Pintu‐pintu pada kedua ujungnya dikunci,
setiap jendela ditutup rapat. Kami dilarang berjalanjalan atau berdiri untuk
maksud apapun juga. Kalau kami akan pergi ke belakang seorang sersan mengiringkan
kami.
Dengan diapit oleh polisi duduklah
kami di tempat yang berhadap‐hadapan.
Selama 12 jam tidak boleh buka mulut. Satu‐satunya
yang dapat kukerjakan sehari penah ialah memandangi Belanda yang pandir itu.
Jam tujuh malam kami diperintahkan turun di Cicalengka yang letaknya 30
kilometer dari Bandung.
Mereka dengan sengaja menurunkan
kami di situ untuk menghindarkan ketegangan yang mungkin timbul. Disana satu
pasukan barisan pengawal telah menantikan kami. Lima Komisaris, dua pengendara sepeda
motor, setengah lusin inspektur beserta arak‐arakan
kami yang terdiri dari sedan‐sedan
hitam meluncur ke Bandung. Perjalanan itu tidak lama. Kami hanya sempat
menggetar gugup sesaat ketika sampai di rumah kami yang baru. Di depannya
tertulis: Rumah Penjara Banceuy.
0 komentar:
Posting Komentar