BAB XIX
Pendudukan
Jepang
SEMENTARA itu Jendral Imamura,
Panglima Tertinggi tentara pendudukan yang bermarkas besar di Jakarta,
memerintahkan agar para pemimpin bangsa Indonesia membentuk suatu badan pemerintahan
sipil, akan tetapi mereka keberatan dengan alasan, "Kami tidak akan
duduk dalam badan apapun tanpa Bung Karno."
Imamura lalu mengirim surat kepada
Kolonel Fujiyama dan menyatakan "Sebagian besar dari pada tentara pendudukan
beserta pimpinan. Yang mengendalikan tentara ini berada di Jawa. Tugas
pemerintahan yang sesungguhnya ada disini dan ternyata urusan sipil tidak
berjalan dengan baik. Kami sangat memerlukan bantuan dari orang yang paling
berpengaruh." Surat itu akhirnya menyimpulkan, "Ini adalah perintah
militer supaya memberangkatkan Sukarno."
Ketika Fujiyama memerintahkanku
segera, berangkat ke Palembang dimana sebuah kapal akan membawaku ke Jakarta,
hatiku menari‐nari gembira. Semenjak pendaratan
Jepang di Padang 4 bulan yang lalu aku mendo'a agar dapat kembali ke pulau Jawa
yang tercinta, akan tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya memenuhi keinginan
hati ini. Sekaranglah Tuhan mendengarkan do'aku dan memerintahkanku kembali.
Dekat Palembang kami terlibat dalam
suatu kecelakaan. Dua buah kendaraan Jepang dengan kecepatan yang penuh
bertabrakan dihadapan kami. Satu dari kendaraan itu adalah sebuah jip. Itulah
pertamakali dalam hidupku aku melihat jip. Kendaraan yang satu lagi sebuah truk
besar. Kedua perwira. Di dalam truk itu tergoncang, akan tetapi tidak apa‐apa selain dari babak belur sedikit.
Dengan memberanikan diri mereka
cepat‐cepat lari meneruskan perjalanan. Jip itu hancur sama sekali.
Penumpangnya, seorang kapten, mendapat luka parah. Ajudannya terpelanting ke
pinggir jalan dan hanya pusing dan terbaring dibawah sebatang kayu. Sewaktu dia
sadar lagi dia menyatakan kepada kami, "Kami perlu segera sampai di
Palembang. Saya bawa Buick ini."
"Tapi," protesku, "Ini milik saya. Komandan daerah ini memberikan
izin istimewa kepada saya." Kutunjukkan sekilas surat tanda milikku. “Ini
buktinya."
Sebagian dari "percakapan"
ini kami lakukan dengan gerak. Sekalipun melihat surat itu, ajudan itu menghormat
dengan kaku, mengucapkan sesuatu seakan dia berkata, "Ini urusan
penting. Ma'af saja." Lalu dia pergi membawa kendaraan kami dengan
meninggalkan kami terdampar di jalanan itu. Polisi Militer yang segera datang
ke tempat kecelakaan ini mengerti tanda‐tanda
pengenalku. Kendaraan
selanjutnya yang kebetulan lewat adalah sebuah truk. Serta merta
kendaraan itu disita dan kami meneruskan perjalanan dengan meninggalkan
pemiliknya di pinggir jalan itu. Kami menambah dua orang penumpang lagi. Seorang
Indonesia yang terbanting dari atas truk besar tadi menggeletak di semak‐semak, mukanya tertelungkup ke tanah bermandi darah yang
menggenang.
Ia sudah tidak bernyawa lagi. Aku tidak dapat
meninggalkan orang yang malang itu di tengah hutan, dikelilingi oleh muka‐muka masam. Dengan mengangkat mayat yang berlumuran darah ke atas
truk, aku membawanya untuk dikuburkan sebagaimana mestinya. Yang seorang lagi
adalah prajurit Jepang, ditugaskan untuk membawa kami. Inggit disuruh duduk di
sebelahnya. Penumpang lain di belakang, Satu satunya kesukaran yang kuhadapi
ialah mengenai Inggit yang tidak mau duduk di sebelah Jepang.
Akhirnya aku menyelesaikannya dengan
meletakkan si Ketuk Satu dan Ketuk Dua di antara Inggit dan prajurit itu. Sesampai
di Palembang aku menghadapi kesukaran yang lebih banyak. Para pembesar disana
tidak mengizinkan kami meneruskan perjalanan ke Jakarta sebagaimana instruksi
yang telah kuterima. Orang yang bertugas menolakku dengan ucapan singkat, "Dilarang
bepergian antara Sumatra dan Jawa”.
"Tentu ada
kekeliruan pengertian dalam hal ini," aku
memberi alasan. "Perintah ini saya terima dari komandan atasan saudara
sendiri."
"Sekarang,
ini tidak ada perjalanan seorang preman antara Sumatra dan Jawa," dia mengulangi lagi, sambil berdiri menyuruhku pergi. Ketika aku
bertahan terus dia menekan knop dan aku dihadapkan ke markas Kenpetai yang menyeramkan.
Kenpeitai memutuskan untuk mengadakan pemeriksaan terhadap diriku. "Kami
memerlukan lebih banyak keterangan tentang diri tuan, tuan Sukarno,"
kata seorang perwira berperut buncit melengking, sambil mempermainkan pedang
Samurai di tangannya. “Kami mendapat keterangan dari saluran‐saluran kami, bahwa tuan orang yang tidak baik, hatinya tidak
bersih terhadap kepentingan kami."
"Tidak
benar," aku mendengus
tidak sabar. "Saya dapat membuktikan, ketidakbenaran keterangan
itu." Aku mengeluarkan kartu tanda berkelakuan baik yang diberikan
oleh Kolonel Fujiyama kepadaku dan dapat digunakan dalam keadaan‐keadaan seperti ini. Dia membaca pelahan‐lahan. Kemudian diulangnya membaca sekali lagi. Dan secarik karton
berwama putih inilah yang menyelamatkan jiwaku. Namun persoalan pengangkutan
tidaklah dipercepat. Sekarang dia minta bantuanku lagi untuk menyelesaikan persoalan
setempat sebelum menandatangani surat izin keluar.
Si buncit telah menyarungkan kembali
pedang Samurainya. Sambil tersenyum dia berkata, "Kalau betul tuan
orang baik dan dengan maksud‐maksud
baik, saya minta tuan mengundurkan keberangkatan dan membantu kami mengatasi
kesukaran‐kesukaran
di sini yang disebabkan oleh rakyat tuan yang pander”.
Dia duduk di pinggir meja. Aku di
kursi. Kami berhadap‐hadapan
dan pada jarak yang dekat, mukanya itu menarik sekali untuk dipelajari.
Mulutnya tersenyum, akan tetapi matanya tidak. "Lebih baik kami tidak menahan
tuan dengan paksa, tuan Sukarno," dia mendesis. "Akan saya
bantu dengan apa yang dapat saya berikan," jawabku setelah
mempertimbangkan, bahwa tidak ada lain yang dapat diucapkan dalam suasana
demikian itu.
Orang Jepang di Palembang dan aku
tidak dapat memperoleh saling pengertian dengan baik. Aku melakukan satu hal
yang tidak mereka senangi sama sekali. Akan tetapi sebaliknya mereka lalu melakukan
banyak hal yang tidak kusukai juga. Aku telah menyaksikan perbuatan‐perbuatan kurang ajar dan memuakkan dan menyampaikan hal ini kepada
mereka. Kukatakan kepada Si buncit, "Seringkali saya lihat anak‐buah tuan terlalu mudah melayangkan tangan. Dengan mata kepala saya
sendiri saya menyaksikan mereka berkali‐kali menampar orang Indonesia."
Aku menahan napas dan berhenti, akan
tetapi Si buncit hanya memandang kepadaku, dengan sombong mengayun ‐ ayunkan kakinya, sering kali hampir‐hampir mengenai kakiku dan menantikan ucapanku untuk memberikan
kesimpulan. "Pukulan‐pukulan
terhadap rakyat kami ini harus dihentikan. Ini bukanlah jalan untuk menciptakan
persahabatan dan membangkitkan kepercayaan rakyat," aku menegaskan.
"Kalau
tuan menghendaki kerjasama dari saya yang baik, tuan hendaknya memperlihatkan
kerjasama pada saya."
"Itu
keliru," katanya
memberungut. "Kelakuan buruk ini dilakukan oleh prajurit‐prajurit Korea. Orang Korea terkenal dengan sifatnya yang gatal
tangan. Prajurit‐prajurit
Jepang sikapnya jauh lebih baik. Mereka tidak pernah bertindak seperti
itu."
"Komandan," kataku. "Orang Indonesia yang kena pukul tidak membedakan
siapa yang bertindak itu. Soalnya ialah, apakah tindakan ini tidak bisa
dihentikan? Dan tidak dilakukan oleh siapapun?"
"Baik,
tuan Sukarno, tuan dapat memegang perkataan saya. Para Komandan Batalyon akan diperintahkan
supaya segera menghentikan perbuatan lancang tangan ini." Sejak itu sikap mereka berubah.
Sebulan kemudian mereka
membebaskanku untuk berangkat, akan tetapi tentara Jepang di Palembang hanya
mempunyai sebuah kapal, yaitu sebuah perahu motor dengan mesin caterpillar.
Perahu yang akan mengarungi lautan ini panjangnya delapan meter, sedangkan
penumpangnya terdiri dari seorang kapten, dua prajurit, Inggit dan aku sendiri,
Sukarti, Riwu dan barang‐barang
kami, dan sudah tentu Ketuk Satu dan Ketuk Dua. Aku mencoba untuk mengusahakan
kapal yang lebih besar, akan tetapi kepadaku disampaikan supaya kami menunggu.
Yah, menunggu. Aku sudah lima setengah bulan lamanya menunggu di Sumatra.
Cukuplah itu. Sekalipun kapal itu sama sekali tidak memenuhi syarat sebagai
kapal laut, akan tetapi ini adalah kesempatan pertama yang diberikan kepadaku
dan kesempatan ini harus kupergunakan.
Empat hari empat malam lamanya kami terkatung‐katung di tengah lautan. Kami tidur sambil duduk, setiap detik dan
setiap menit angin laut dan kabut air menyapu muka bumi selama 24 jam dalam
sehari. Pelayaran ini jauh dari pada menyenangkan. Ketika kami melalui Selat
Bangka membadailah topan yang keras dan kami harus menahankannya di atas perahu
yang terbuka, tanpa secarikpun alat pelindung. Kemudian perahu motor kami
hampir terbalik karena menubruk pulau karang yang rendah. Lagi pula aku gelisah
menghadapi tantangan‐tantangan
ini, oleh karena aku tak pernah belajar berenang. Di masa mudaku sportku dalam
air hanya memakai ban dalam yang dipompa, lalu duduk di dalamnya dan mencebur‐cebur.
Kami membawa sayuran yang telah
dimasak, ikan kering dan persediaan lainnya dalam stoples dan nasi seperiuk,
akan tetapi aku tidak dapat makan. Yang masuk ke dalam perutku hanyalah air
jeruk sedikit. Aku terlalu mabuk, sehingga kukira aku akan mati. Kapal kecil
kami melambung ke atas dan dihempaskan lagi oleh gelombang ke bawah,
tergoncang, mengoleng‐oleng
dan berpusing‐pusing. Dan aku pucat seperti mayat
selama 4 hari itu.
Aku sakit, perutku terasa mual, aku
pusing, kepala mengentak‐ngentak,
matahari membakarku hangus, kabut air laut membikin bibirku pecah‐pecah, perutku lapar dan badan lemah ‐akh, peduli amat!
Bukankah sekarang aku pulang? Aku
sekarang kembali ke Jawa. Karena sangat bersyukur dapat kembali dalam keadaan
hidup dan selamat, kusumbangkan seluruh milikku kepada kapten itu semuanya! Ini
adalah permulaan baru bagiku. Kehidupan baru bagi negeriku. Dan aku ingin
memulainya dengan kesegaran baru.
Lintasan pertama dari tanahku yang
tercinta ini terlihat ketika hendak masuk meninggalkan Laut Jawa. Hari sudah
sore dan panas ketika kami menderum‐derum
melalui iring‐iringan perahu lajar penangkap ikan
dan sampan‐sampan nelayan yang berbau anyir.
Melewati perairan di luar aquarium yang dibuat didok dan memasuki pelabuhan
Pasar Ikan yang sempit, dimana hampir tidak mungkin dua buah perahu berpapasan.
Pasar ikan penuh sesak dengan tempat penjualan hasil dari laut. Airnya kotor.
Daun‐daunan, kepala ikan dan sampah kelihatan mengapung dalam air. Bau
anyir dari ikan mati memenuhi udara, sekitar itu. Akan tetapi, ketika aku
dibantu melangkahkan kaki ke tangga batu yang membawaku ke atas daratan, aku
berbicara dalam hatiku, "Alangkah indah pemandangan ini. Seperti tak
pernah aku melihat yang lebih indah seumur hidupku."
Di darat tak seorangpun yang datang
menjemput kami dari kapal. Kuminta pertolongan salah seorang nelayan untuk
menghubungi bekas iparku, Anwar Tjokroaminoto, dan pengacara yang membelaku
dulu di Bandung, yaitu Sartono, dan Hatta yang juga berada di Jakarta. Di ujung
dermaga tampak sebuah kantor emperan. Prajurit penjaganya mempersilakanku masuk
dan menyuruhku duduk. Dan aku duduklah di situ.
Aku menunggu. Anwar yang pertama
datang. Tuhan melindunginya. Dia datang berlari dengan mata berlinang‐linang. Kami berpelukan dan mencium satu sama lain tanpa
mempedulikan sekitar kami. Pertemuan ini tidak diiringi dengan pukulan punggung
yang keras. Suasananya menggambarkan perasaan syukur yang diucapkan dengan
tidak bersuara. Hanya air mata mengalir ke pipi kami. Seperti kukatakan, kami
tidak banyak mengucapkan kata‐kata.
Kami tidak sanggup mengeluarkannya. la tidak bisa lewat dari kerongkongan.
Sebaliknya ia mencucur dari mata kami.
"Bagaimana
kabamya Harsono?" tanyaku,
suaraku berubah karena terharu.
"Baik."
"Utari
?"
"Semua
baik. Yang lebih penting lagi saya menanyakan bagaimana keadaan Bung
Karno."
"Akupun
baik."
Kami berdiri merenggang dan saling
memperhatikan satu sama lain pada jarak satu lengan. Di depannya ia lihat
sekarang seorang laki‐laki
yang letih dan kurus, pakai jas putih yang lapang dan celana tidak berbentuk.
Pakaianku sangat ketinggalan jaman. la adalah buatan Darham, penjahit dari
Pulau Bunga yang tinggal denganku, atau hasil sebelum pengasingan. Anwar
memakai jas kuning gading dengan potongan "doublebreast".
Setelah aku menyeka pipi dan mencium tanah di bawahku, lalu menggosok mataku
untuk meyakinkan apakah yang berdiri di depanku betul‐betul Anwar, bukan pajangan, aku kemudian kembali pada kenyataan.
Kuraba‐raba jasnya. "Jasmu bagus sekali potongannya," aku
memuji.
"Bikinan
De Koning," ia melagak.
“Penjahit
paling terkenal di Jakarta di waktu Belanda. ! Bagaimana kau membayarnya?"
Dia mengangkat kedua belah tangan
seperti corong ke mulutnya dan berbicara langsung ke telingaku.
"Saya masuk
dari pintu belakang. Ongkosnya terlalu tinggi, akan tetapi ada seorang kawan
yang bekerja sebagai penjahit pembantu di toko De Koning."
“Apa dia mau
kira‐kira
membikinkan untukku?"
“Tentu mau.
Kalau Bung Karno sudah senggang sedikit, saya bawa ke sana."
Seringkali generasi muda menukil
kembali ucapan‐ucapan yang abadi dan yang akan
hidup terus. Ucapan yang keluar dalam detik‐detik
yang besar di dalam sejarah. Ucapan yang akan menggetarkan tulang sumsum,
ucapan yang membangkitkan semangat, ucapa yang dituliskan dengan kata‐kata indah seperti ini di saat pertemuan kami. Akan tetapi sayang,
ketika kami bertemu dan setelah aku menanyakan tentang keadaan Anwar beserta
keluarganya, pokok persoalan selanjutnya yang kutanyakan kepadanya hanyalah
mengenai tukang jahitnya. Di minggu itu juga aku pergi menjahitkan pakaian yang
pertama selama bertahun‐tahun.
Setengah jam kemudian Sartono, dan
Hatta datang berlarian. Hatta dan aku tidak berkiriman surat selama bertahun‐tahun. Dan sekalipun banyak yang hendak dikatakan dan banyak yang
hendak ditanyakan, namun masing‐masing
kami hanya punya satu pertanyaan untuk yang lain. Hatta membisik,
"Bagaimana
pendapat Bung Karno mengenai pendudukan ini?" Aku membisikkan kembali, "Jepang tidak akan lama disini.
Mereka akan kalah dan kita akan hancurkan mereka. Inipun asal kita tidak
menentang mereka secara terang ‐ terangan”. Kemudian aku bertanya, "Bagaimana, Bung Hatta, bagaimana
semangat nasionalisme dari rakyat kita?"
"Semangat
rakyat tidak dibinasakan oleh peperangan. Rakyat sudah mulai curiga kepada
Jepang yang menjadi "pembebas" itu dan rakyat sangat menantikan
kedatangan Bung Karno”.
Jepang telah menyediakan sebuah
rumah bertingkat ‐ dua
dan manis potongannya, terletak di sebuah jalan raya Jakarta. Rumah itu
mempunyai lapangan rumput, beranda, garasi dan perabot lengkap, kecuali piring‐piring barang pecah belah lainnya yang sudah dibanting‐bantingkan oleh Belanda sebelum berangkat. Tentunya tidak ada
penyambutan kedatanganku kembali pulang, karena tak seorangpun yang tahu kapan
Sukarno, akan sampai. Dan lagi adanya larangan yang keras untuk mengadakan
pertemuan. Sekalipun demikian di dalam rumah kudapati telah ada beberapa
anggota dari "Panitia Penyambutan Bung Karno".
Wajah mereka bersinar dengan
kegembiraan yang tenang dan mereka berlutut, lalu mencium tanganku. Kupegang
tangan mereka dengan kuat dalam genggamanku. Aku sangat terharu. Orang‐orang yang kucintai ini telah ditunjuk untuk mencarikanku rumah
tinggal yang cocok.
"Orang
Belanda sudah diringkus masuk kamp tawanan," kata Ahmad Subardjo. "Kalau Bung Karno berjalan‐jalan, akan melihat banyak rumah‐rumah bagus yang kosong. Isteri saya meneliti sebelah satu jalan.
Isteri Sartono di seberangnya. Dalam beberapa hari saja mereka menemukan rumah
ini."
“Rumah ini
besar sekali," kataku sambil
memeriksa bagian dalam. "Kami berpendapat, bahwa pemimpin kita tentu memerlukan
ruangan banyak untuk tetamu. Semenjak tersebar berita bahwa Bung Kamo akan
datang dalam waktu tidak lama lagi, rakyat dari desa‐desa, dari gunung, dari tepi pantai dan dari daerah yang jauh
semakin meluap‐luap.
Sekalipun dalam keadaan kekurangan, mereka toh sanggup untuk datang dan melihat
sendiri wajah Bung Karno, Mereka tidak percaya bahwa Bung Karno betul‐betul ada disini dan bebas dan sudah siap lagi untuk menduduki
tempat sebagai pahlawan mereka."
Malam itu Inggit dan aku berjalan‐jalan di sekitar rumah kami yang baru itu. Di jalanan yang lebar
dengan di kiri kanannya barisan pohon‐pohon,
yang merupakan daerah elite di Jakarta. Telah panjang waktu berlalu
dibelakangku. Hampir 13 tahun. Masa tahanan dan pembuangan telah berlalu. Dan
perang telah terjadi. Tapi syukur, Aku sudah pulang ke tempatku semula. Aku
kembali menjadi pemimpin dari rakyatku. Aku sudah kembali ......
0 komentar:
Posting Komentar