BAB XXI
Puteraku Yang Pertama
SEBENARNYA keadaanku tidak dapat
dikatakan sehat ditahun 1943, baik jasmani maupun rohani. Ketegangan ‐ ketegangan yang timbul telah mengorek‐ngorek jiwa dan ragaku dengan hebat. Sebagai penderita malaria yang
melarut aku dimasukkan ke rumah sakit selama berminggu‐minggu terus menerus. Pada suatu kali, oleh karena tidak ada tempat
tidur yang kosong, aku dimasukkan ke Kamar Bersalin.
Perempuan cantik ‐ cantik dibawa masuk di sebelahku, akan tetapi keadaanku terlalu
payah untuk dapat memperhatikan mereka. Tambahan lagi aku menderita penyakit
ginjal. Kadang‐kadang aku meringkuk dengan kaki
rapat ke badan, oleh karena serangan‐serangan
yang tidak tertahankan sakitnya. Adakalanya keluar keringat dingin, bahkan
kadang‐kadang aku tidak dapat berdiri tenang diatas podium. Bukan sekali
dua kali terjadi, bahwa setelah selesai berpidato aku harus merangkak dengan
kaki dan tangan masuk kendaraan.
Kehidupan pribadipun tidaklah
seperti yang diharapkan. Aku menghadapi persoalan ‐ persoalan yang sungguh sungguh berat. Kehidupanku diselubungi oleh
goncangan‐goncangan urat syaraf. Hubungan
Inggit denganku tidak baik. Di suatu
malam, karena ingin mendapat kata‐kata
yang menghibur hati dan ketenangan pikiran, aku menemani seorang kawan ke
sebuah Rumah Geisha. Sekembali di rumah, Inggit mengamuk seperti orang gila.
Dia berteriak ‐ teriak kepadaku. Barang ‐ barang beterbangan dan sebuah cangkir mengenai pinggir kepalaku.
Rupanya persoalan Fatmawati masih
mengapung ‐ apung di antara kami, sekalipun
tidak ada kontak antara Fatmawati denganku. Hubungan pos terputus dan memang
ada aku mengirim surat sekali untuk mengabarkan bahwa kami sudah selamat sampai
di Jakarta. Hanya itu. Surat ini kupercayakan kepada seorang suruhan yang
dipercaya yang menitipkannya pula kepada tukang mas dalam perjalanan menuju Sumatra.
Pada waktu itu kami sudah pindah,
karena aku tidak senang tinggal di rumah bertingkat. Di rumah baru ini anak
kami dengan suaminya Asmara Hadi tinggal bersama‐sama dengan kami. Pada akhirnya merekapun mengaku, bahwa
perhubungan antara Inggit denganku tidak mungkin diteruskan lebih lama lagi. "Bu,"
Ratna Djuami menangis di hadapan Inggit pada suatu malam. "Bapak
kelihatan sekarang sangat pencemas dan penggugup. Pikirannya nampaknya kacau.
Dan kesehatannya selalu terganggu."
"Kami kira
ini disebabkan kehidupan pribadinya,"
sambung Asmara Hadi terus terang. "Kalau sekiranya dia tidak
dibinasakan dalam bidang kehidupan lain, tentu akan lain halnya. Akan tetapi
perasaan tidak bahagia ini yang ditumpukkan ke atas bebannya yang sudah cukup
berat itu sangat melemahkan kekuatannya."
Aku meminta pengertian Inggit.
"Aku sendiri, akan mencarikanmu rumah. Dan aku akan selalu mengusahakan
segala sesuatu yang kauperlukan. Kaupun tahu, diantara kita semakin sering
terjadi pertengkaran dan ini tentu tidak baik untukmu."
"Ini jalan
satu‐satunya,
Bu," Asmara Hadi mengeluh. "Negeri
kita memerlukan bapak. Tidak hanya ibu, ataupun saya maupun Ratna Djuami yang
memerlukannya. Dia kepunyaan kita semua. Rakyat memerlukan bapak sebagai
pemimpinnya, tidak yang lain. Dan apa yang akan terjadi terhadap Indonesia, kalau
dia hancur?"
Setelah perceraian telah disepakati
bahwa Inggit kembali ke kota kelahirannya. Di pagi itu ia harus pergi ke dokter
gigi dulu. Hatiku senantiasa dekat pada isteriku dan aku tidak akan
membiarkannya pergi seorang diri. Karena itu kutemani Inggit. Hari sudah tinggi
ketika kami kembali dalam keadaan letih, merasa badan kami tidak enak, dan
sesampai di rumah kami mendapati serombongan wanita yang akan bertamu kepada
Inggit.
Sejam lamanya mereka berkunjung, sekalipun
tidak banyak yang dipercakapkan. Kuingat di waktu itu aku merasakan kegelisahan
yang amat sangat. Saat yang melelahkan sekali. Kemudian aku mengiringkan Inggit
ke Bandung, membongkar barang‐barangnya,
meyakinkan diri kalau kalau ada sesuatu yang kurang, lalu aku mengucapkan
selamat tinggal kepadanya .........
Bulan Juni 1943 Fatma dan aku kawin
secara nikah wakil. Untuk dapat mengangkutnya beserta orang tuanya ke Jawa
urusannya terlalu berbelit‐belit
dan panjang, pun aku tidak bisa segera menjemputnya ke Sumatra, sedang aku tak
mungkin rasanya menunggu lebih lama lagi. Mendadak timbul keinginanku yang
keras untuk kawin. Menurut hukum Islam perkawinan dapat dilangsungkan, asal ada
pengantin perempuan dan sesuatu yang mewakili mempelai laki‐laki.
Aku mempunyai lebih dari pada sesuatu
itu. Aku mempunyai seseorang. Kukirimlah telegram kepada seorang kawan yang
akrab dan memintanya untuk mewakiliku. la memperlihatkan telegram itu kepada
orang tua Fatma dan usul ini mendapat persetujuan. Pengantin dan wakilku pergi
menghadap kadi dan sekalipun dia masih di Bengkulu dan aku di Jakarta, dengan
demikian kami sudah mengikat tali perkawinan.
Di tahun berikutnya Fatmawati
melahirkan seorang putera. Aku tidak sanggup menggambarkan kegembiraan yang
diberikannya kepadaku. Umurku sudah 43 tahun dan akhirnya Tuhan Yang Maha Pengasih
mengaruniai kami seorang anak. Di saat mendengar bahwa Fatma dalam keadaan
hamil, maka ibu, bapak dan kakakku perempuan datang dengan segera dari Blitar.
Mereka sangat gembira. Orang tua kami dari kedua belah pihak tinggal dengan kami
di paviliun dekat rumah hingga sang bayi lahir. Bapaklah yang mengawasi segala
pekerjaan. Dialah yang duduk setiap jam memberi petunjuk kepada Fatma,
bagaimana ia harus mempersiapkan dirinya.
Selalu aku melihat mereka duduk
bersama‐sama dan selalu aku dapat mendengar bapak mengatakan sesuatu
seperti, "Nah, jangan lupa mencatat bedak bayi, pisau kecil untuk
pemotong tali pusarnya dan emban untuk menahan perutmu sendiri."
Di malam Fatma akan melahirkan kami
menjamu tamu ‐ tamu penting, orang Jepang dan orang
Indonesia. Fatmawati sibuk melayani sebagai nyonya rumah, akan tetapi kemudian
dia mulai merasa sakit. Aku sendiri membimbingnya ke kamar dan memanggil
dokter. Mulai dari saat itu aku tetap berada di sisinya, pun tidak tidur barang
satu kejap sampai ia memberikan kepadaku seorang putera yang tidak ternilai
itu.
Kududuk di atas tempat tidur
mendampinginya, memegang tangannya sementara ia melahirkan. Aku bukanlah orang
yang bisa tahan melihat darah, akan tetapi di saat dijadikannya seorang manusia
idamanku ini adalah saat yang paling nikmat dari seluruh hidupku. Jam lima
waktu subuh, ketika terdengar azan dari mesjid memanggil umat untuk menyembah
Tuhannya, anakku yang pertama, Guntur Sukarnoputra, lahirlah.
Tuhan Yang Maha Penyayang dan Maha
Bijaksana telah memanjangkan umur bapakku untuk dapat melihat darah dagingku
menginjak dunia ini. Setelah itu ia jatuh sakit. Fatma merawatnya berbulan‐bulan dengan tekun dan setia hingga ia menghembuskan napas yang
penghabisan.
Aku teringat akan "Si Tukang
Kebun", sebuah buku cerita yang kubaca pada waktu masih berumur 13 tahun.
Waktu itu aku tidak mengerti maknanya yang lebih dalam. la menceritakan tentang
bagaimana daun ‐ daun
kayu yang sudah coklat dan kering harus jatuh dan memberikan tempatnya kepada
pucuk yang hijau dan baru. 20 tahun kemudian barulah aku mengerti.
0 komentar:
Posting Komentar