BAB XV
Pembuangan
Rumah bung Karno saat pengasingan di Endeh Flores
ENDEH, sebuah kampung nelayan telah
dipilih sebagai penjara terbuka untukku yang ditentukan oleh Gubernur Jendral
sebagai tempat dimana aku akan menghabiskan sisa umurku. Kampung ini mempunyai penduduk
sebanjak 5.000 kepala. Keadaannya masih terbelakang. Mereka jadi nelayan.
Petani kelapa. Petani biasa. Hingga sekarangpun kota itu masih ketinggalan, ia
baru dapat dicapai dengan jip selama 8 jam perjalanan dari kota yang terdekat.
Jalan rayanya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal yang ditebas melalui hutan.
Di musim hujan lumpurnya menjadi
bungkah‐bungkah. Dan apabila matahari yang menghanguskan memancar dengan
terik, maka bungkah‐bungkah
itu menjadi keras dan terjadilah lobang dan aluran baru. Endeh dapat ditelusuri
dari ujung ke ujung dalam beberapa jam saja. Ia tidak mempunyai telpon, tidak
punya telegrap. Satu‐satunya
hubungan yang ada dengan dunia luar dilakukan dengan dua buah kapal pos yang
keluar masuk sekali sebulan. Jadi, dua kali dalam sebulan kami
menerima surat‐surat
dan surat kabar dari luar.
Di dalam kota Endeh terdapat sebuah
kampung yang lebih kecil lagi, terdiri dari pondok‐pondok beratap ilalang, bernama Ambugaga. Jalanan Ambugaga itu
sangat sederhana, sehingga daerah rambahan dimana terletak rumahku tidak
bernama. Tidak ada listrik, tidak ada air leding. Kalau hendak mandi aku membawa
sabun ke Wola Wona, sebuah sungai dengan airnya yang dingin dan di tengah‐tengahnya berbingkah ‐bingkah
batu. Di sekeliling dan sebelah menyebelah rumah ini hanya terdapat kebun
pisang, kelapa dan jagung. Di seluruh pulau itu tidak ada bioskop, tidak ada
perpustakaan ataupun macam hiburan lain.
Dalam segala hal maka Endeh, di
Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia.
"Kenapa,
ya? Kenapa disini?" Inggit
bertanya.
"Pulau
Muting, Banda atau tempat yang jelek seperti itu, ke tempat‐tempat mana rakyat kita diasingkan, tidak akan lebih baik daripada
ini," keluhku dengan berat ketika kami
memeriksa rumah yang gelap dan kosong di malam hari kami sampai disana.
Di waktu Belanda mendapat akal untuk
mengadakan
pembuangan, mula‐mula
orang kita dibuang keluar Indonesia. Tapi, kemudian mereka menyadari, biar kemanapun
kita dieksternir, kita dapat menyusun kekuatan untuk melawan mereka. Belanda
akhirnya memutuskan untuk mengasingkan para pemberontak di dalam negeri saja,
dimana mereka langsung dapat mengawasi kita.
"Kenapa dipilih
Flores?" Inggit mengulangi ketika membuka keranjang buku, satu‐satunya kekayaan pribadiku yang kami bawa. "Kebanyakan para
pemimpin diasingkan ke Digul."
“Itu
makanya," kuterangkan
sambil mengeluarkan buku‐buku
sekolah yang kubawa, sehingga setiap pagi dan malam aku dapat mengajar Ratna
Djuami di rumah. Di Digul ada 2.600 orang yang dibuang. Tentu aku akan memperoleh
kehidupan yang enak di sana. Dapatkah kau bayangkan, apa yang akan diperbuat
Sukarno dengan 2.600 prajurit yang sudah disiapkan itu? Aku akan merubah muka
Negeri Belanda dari New Guinea yang terpencil itu. Inggit tidak pernah
mengeluh. Sudah menjadi nasibnya dalam kehidupan ini untuk memberiku ketenangan
pikiran dan memberikan bantuan dengan kasih mesra, bukan menambah persoalan.
Akan tetapi aku juga dapat merasakan, bahwa dia susah. Bukan mengenai dirinya
sendiri. Dia susah mengenai diriku. Memang terasa lebih berat untuk memandang
seseorang yang dicintai terkena siksa dari pada mengalami sendiri siksaan itu.
Sungguh pedih bagi seorang isteri untuk
menyaksikan suaminya direnggutkan dari kekuatan hidupnya, dari cita‐citanya, dari kegembiraan hidupnya, bahkan direnggutkan sedikit
dari kelaki‐lakiannya. Aku menjadi seekor burung
elang yang telah dipotong sayapnya. Setiap kali Inggit memandangiku, setiap
kali itu pula setetes darah menitik dari uratnya.
Aku tidak pernah mengeluh tentang
kesedihanku kepada Inggit. Kalau ada, kami jarang membicarakan soal yang rumit
dari hati ke hati. Sekalipun hatiku sendiri gelap dengan keputusasaan, namun
aku mencoba menggembirakan hatinya. Aku selalu memperlihatkan wajah yang baik,
sehingga wajah itu tidak menunjukkan apa yang sesungguhnya tergurat dalam
hatiku. Akh, saat yang sangat tidak menyenangkan bagiku.
Kedua reserse yang mengantarku menyerahkanku dari
kapal seperti menyerahkan muatan ternak yang lain. Pada waktu kapal mereka
mengangkat sauh, kedua orang yang hanya diijinkan berbicara padaku, di luar
keluargaku, sudah pergi. Setiap orang menyingkir dariku. Endeh kembali menjadi
penjaraku, hanya lebih besar dari yang sudah‐sudah.
Di sini bukan saja aku tidak bisa
mendapat kawan, akan tetapi aku malahan kehilangan satu orang yang turut dengan
kami. Mertuaku, Ibu Amsi yang baik dan tersayang itu meninggal di atas
pangkuanku. Akulah yang membawanya ke kuburan. Ia menderita sakit arterio‐sclerosis. Pada suatu malam ia pergi tidur. Esok paginya ia tidak
bangun‐bangun. Keesokan harinya tidak bangun. Di hari berikutnyapun tidak.
Aku menggoncang‐goncang
badannya dengan keras, akan tetapi di pagi tanggal 12 Oktober 1935, setelah 5 hari
dalam keadaan tidur, ia pergi dengan tenang dalam keadaan belum sadar.
Aku sangat lekat kepada orang tua
ini. Di bulan‐bulan pertama yang sangat menyiksa,
di tempat pembuangan itu dikala batin kami dirobek‐robek tak kenal ampun setiap jam setiap detik, di waktu itu tidak
satupun perkataan yang tidak enak keluar antara mertuaku dan aku sendiri.
Bagaimana kami dapat tinggal bersama dengan rukun adalah karena kami orang baik‐baik. Aku juga sedikit, barangkali.
Ibu Amsi lebih sederhana lagi daripada
anaknya. Ia tidak bisa tulis baca. Tapi ia seorang wanita besar. Aku mencintainya
setulus hati. Dengan tanganku sendiri kubuat kuburannya. Aku sendiri membangun
dinding kuburan itu dengan batu tembok. Aku seorang diri mencari batu kali,
memotong dan mengasahnya untuk batu nisan. Di pekuburan kampung yang sederhana
melalui jalanan sempit jauh di tengah hutan berkumpullah beberapa gelintir
manusia untuk memberikan penghormatannya yang terakhir.
Ini adalah kemalanganku yang pertama.
Dan, terasa berat. Satu‐satunya
manusia yang tinggal, dengan siapa aku dapat berbicara, adalah Inggit. Di suatu
malam ketika kami duduk berdua di beranda kecil, hanya berdua —seperti
biasanya— Inggit mengalihkan pandangannya sebentar dari jahitannya untuk
mengungkapkan, "Tidak mungkin orang‐orang di sini tidak mengenalmu. Mereka tentu sudah membaca tentang
dirimu atau melihat gambarmu di surat kabar. Sudah pasti banyak orang sini yang
sudah mengenalmu. Sudah pasti banyak."
"Mereka
tahu siapa aku, baiklah. Kalau sekiranya mereka tidak pernah mendengar tentang
diriku, tentu Belanda tidak menjalankan tindakan pengamanan untuk merahasiakan
kedatangan kita. Rakyat tidak tahu sama sekali kedatangan Sukarno. Bahkan
pegawai pemerintahanpun tidak tahu kapan kita sampai disini."
Aku mengerti kemana tujuan Inggit.
Ia ingin memperoleh jawaban, mengapa setiap orang menyingkir, seperti aku ini
hama penyakit. "Orang‐orang
yang terkemuka disini, tidak mengacuhkanku, bukan karena tidak kenal. Akan
tetapi justru karena mereka mengenalku,"
kataku. "Orang‐orang
terpandang di sini terdiri dari orang Belanda, amtenar‐amtenar bangsa kita dan orang‐orang yang memerintah seperti Raja. Mereka sama sekali tidak mau
tahu denganku. Bahkan mereka tidak mau terlihat bersama‐sama denganku. Aku tentu akan menyebabkan mereka kehilangan
kedudukannya."
"Lagi
pula, negeri ini terlalu kecil,"
bisiknya.
"Yah," aku
mengangguk dengan lesu, "negeri ini terlalu kecil.?"
Kami berdua membisu, akan tetapi bau
dari pokok persoalan itu masih saja mengapung dengan berat dalam ruangan itu,
seperti bau wangi‐wangian
yang murah. Akulah pertama memecah kesunyian yang pekat itu.
"Orang
tinggi‐tinggi ini
adalah alat. Boneka Belanda. Mereka tidak mau mendekat, kecuali untuk memata‐mataiku. Bahkan kaum keluarganya dilarang untuk berkenalan
denganku. Dan mereka tidak mau melanggarnya, karena takut masuk daftar hitam
Belanda. Setiap orang merasa takut."
Inggit menambahkan, "Kudengar
adik Raja tertarik pada pergerakan kebangsaan, sampai Belanda mengusirnya dari
sekolah di Surabaya. Kemudian dia dipulangkan kemari, sehingga tidak dapat lagi
mempelajari politik."
"Itulah
yang kumaksud," kataku. "Mana
mungkin ia jadi kawanku. Dia berada disini karena alasan yang sama denganku —
sebagai hukuman."
"Tapi
rakyat biasapun menyingkir dari kita,"
Inggit menegaskan dengan suara kecil.
"Aku
tahu."
"Jadi
bukan karena kita tidak mau kenal."
"Tidak.
Bukan karena kita tidak mau kenal."
Inggit sedang menjahit baju kebaya
untuk dia sendiri. Sambil meletakkan jahitannya ia memandang kepadaku.
"Coba," aku merenung dengan keras, "di Sukamiskin badanku
dikurung. Di Flores semangatku berada dalam kurungan. Disini aku diasingkan
dari masyarakat, diasingkan dari orang‐orang yang dapat mempersoalkan tugas hidupku. Orang disini yang
mengerti, takut untuk berbicara. Mereka yang mau berbicara, tidak mengerti.
Inilah maksud yang terutama dari pembuangan ini. Baiklah! Kalau begitu keadaannya,
aku akan bekerja tanpa bantuan orang‐orang
terpelajar yang tolol ini. Aku akan mendekati rakyat jelata yang paling rendah.
Rakyat‐rakyat yang
terlalu sederhana untuk bisa memikirkan soal politik. Rakyat‐rakyat yang tak dapat menulis dan yang merasa dirinya tidak
kehilangan apa‐apa.
Dengan begini, setidak‐tidaknya
ada orang dengan siapa aku berbicara."
Aku membentuk masyarakatku sendiri dengan
pemetik kelapa, supir, bujang yang tidak bekerja, inilah kawan‐kawanku. Pertama aku berkenalan dengan saudara Kota, seorang
nelayan. Kukatakan padanya bahwa tidak ada larangan berkunjung ke rumahku. Dia
datang ke rumahku. Kemudian dia membawa Darham tukang jahit. Setelah itu aku
datang ke tempat mereka. Dan begitulah mulanya. Aku mendekat kepada rakyat
jelata, karena aku melihat diriku sendiri di dalam orang‐orang yang melarat ini. Seperti di pagi yang berhujan dalam bulan
Mei aku nongkrong seorang diri di sudut beranda yang kecil itu. Ah, aku rnerasa
kasihan terhadap diriku! Aku merindukan pulau Jawa, aku merindukan kawan‐kawan untuk mencintaiku. Merindukan hidup dan segala sesuatu yang
dirampas dariku.
Selagi duduk di sana aku melihat
seorang lelaki lewat. Seorang diri. Dan basah‐kuyup. Tiba‐tiba
ia menggigil. Kukira belas kasihku meliputi seluruh bangsa manusia, karena
melihat orang itu menggigil akupun menggigil. Sungguhpun badanku kering, aku
serta‐merta merasa basah kuyup. Tentu, perasaan ini dapat diterangkan
dengan pertimbangan akal, akan tetapi ia lebih daripada itu. Aku sangat perasa
terhadap orang yang miskin — baik dia miskin harta maupun miskin dalam jiwanya.
Di samping kekosongan kerja,
kesepian dan ketiadaan kawan aku juga menderita suasana tertekan yang hebat
sekali. Flores adalah puncak penganiayaan pada hari‐hari pertama itu. Aku memerlukan suatu pendorong sebelum aku
membunuh semangatku sendiri. Itulah sebabnya aku mulai menulis cerita sandiwara.
Dari 1934 sampai 1938 dapat kuselesaikan 12 buah. Karyaku yang pertama dijiwai
oleh Frankenstein, bernama "Dr. Setan". Peran utama adalah seorang tokoh
Boris Karloff Indonesia yang menghidupkan mayat dengan memindahkan hati dari
orang yang hidup. Seperti semua karyaku yang lain, cerita ini membawakan suatu
moral. Pesan yang tersembunyi di dalamnya adalah, bahwa tubuh Indonesia yang
sudah tidak bernyawa dapat bangkit dan hidup lagi.
Aku menyusun suatu perkumpulan
Sandiwara Kelimutu, dinamai menurut danau yang mempunyai air tiga warna di
Pulau Bunga. Aku menjadi direkturnya. Setiap cerita dilatih malam hari selama
dua minggu di bawah pohon kayu, diterangi oleh sinar bulan. Kami hanya
mempunyai satu naskah, karena itu aku membacakan setiap peran dan para pemainku
yang bermain secara sukarela mengingatnya dengan mengulang‐ulang. Kalau orang dalam keadaan kecewa, betapapun besarnya
rintangan akan dapat disingkirkannya.
Inilah satu‐satunya napas kehidupanku. Aku harus menjaganya supaya ia hidup
terus. Kalau salah seorang tidak dapat memainkan perannya dengan baik, aku
melatihnya sampai jauh malam. Aku malahan berbaring berkali‐kali di lantai untuk memberi contoh kepada Ali Pambe, seorang
montir mobil, bagaimana memerankan dengan baik seseorang yang mati. Untuk
melatih anggota‐anggota
sehingga mencapai hasil baik sungguh banyak kesukaran yang harus ditempuh.
Pada suatu kali, Ali Pambe memerankan juru
bahasa dari bahasa Endeh ke bahasa Indonesia. Tetapi Ali buta huruf. lidah
Indonesianya masih kaku. Karena itu aku harus mengajarnya dulu berbahasa Indonesia
sebelum aku dapat mengajarkan perannya. Perkumpulan semua terdiri dari laki‐laki oleh karena kaum wanita takut dituduh terlalu berani. Cukup aneh,
di Pulau Bunga yang terbelakang dan masih kuno itu ada suatu daerah — bernama
Keo — dimana sampai sekarang anak‐anak
gadis diizinkan mengadakan hubungan jasmaniah dengan laki‐laki. Dan yang paling baik diantara mereka — paling pandai dalam
memuaskan laki‐laki — itulah jang paling diidamkan
untuk perkawinan.
Dalam umur dua‐puluhan gadis‐gadis
ini adalah yang kuberi istilah "jenis Afrika yang belum beradab, liar
dan tidak dapat dijinakkan". Bagiku perempuan dapat disamakan dengan
benua. Dalam umur tigapuluh dia seperti Asia — berdarah panas dan menangkap.
Dalam usia 40 tahun ia adalah Amerika — unggul dan jagoan. Sampai pada umur
limapuluh tahun ia menyamai Eropa— layu dan berjatuhan.
Lepas dari persamaan secara ilmu
bumi yang demikian, tak seorangpun wanita Pulau Bunga mau memegang peranan di
atas panggung. bahkan juga tidak nenek‐nenek
yang sudah berumur 40 tahun yang mengingatkanku pada benua Australia — justru
terlalu jauh dari jalan yang ditempuh! Alasan yang pertama, kebiasaan wanita
Islam selalu berada dalam bayangan. Yang kedua, wanita ini takut kepadaku. Dari
itu, aku memecahkan persoalan ini dengan hampir tidak menulis peran wanita. Dan
kalaupun ada, ia dimainkan oleh laki‐laki.
Aku sendiri menyewa sebuah gudang dari gereja dan menyulapnya menjadi gedung
kesenian. Aku sendiri yang menjual karcisnya.
Setiap pertunjukan berlangsung
selama tiga hari dan kami bermain di hadapan 500 penonton. Ini adalah suatu
kejadian besar dalam masyarakat di sana. Orang‐orang Belanda juga membeli karcis. Hasilnya dipergunakan untuk
menutupi pengeluaran kami. Aku membuat pakaian untuk keperluan ini. Aku
menggambar dinding belakang panggung darurat, sehingga ia terlihat seperti
hutan atau istana atau apa saja yang hendak kami lukiskan. Aku membuat pita‐pita reklame dari kertas dan menggantungkannya di tempat ‐ tempat umum seperti pasar malam. Aku membuat alat dan perabot kami.
Aku melatih dua orang laki‐laki
dan dua wanita untuk menyanyikan keroncong— lagu‐lagu gembira — yang diperdengarkan di dalam waktu istirahat. Dan
aku bersyukur atas usaha ini semua. Ia memberikan keasyikan padaku. Ia mengisi
detik‐detik yang suram ini.
Setelah tiap kali pertunjukan,
kubawa para pemainku makan kerumah. Ya, aku bekerja keras sekali untuk menyelenggarakan
sandiwara ini, dan untuk menyenangkan hati pemain‐pemainnya. Ini besar artinya bagiku. Tidak ada yang dapat
menghalang‐halangiku bertindak. Aku menjadi
seorang penyelundup terkenal dan berpengalaman dan aku juga berhasil memperoleh
kelambu untuk kami. Dalam perusahaan pelayaran antar pulau awak kapalnya adalah
orang‐orang Indonesia dan mereka semua menjadi simpatisan.
Ketika terdengar bahwa Bung Karno memerlukan
kelambu, seorang kelasi saudara pribadi menyelundupkan satu untukku dalam pelayaran
selanjutnya. Tidak ada kesukaran dalam hal ini. Di suatu pagi yang sayu
turunlah dari sebuah kapal yang akan menuju Surabaya seorang stokar berbadan tegap
lagi kekar. Ia datang kepadaku di dermaga yang penuh‐sesak, seperti biasanya kalau kapal datang. Dengan diam‐diam dia membisikkan kepadaku, "Bung, katakanlah kepada
kami, kami akan menyelundupkan Bung Karno. Tidak ada orang yang akan
tahu."
"Terimakasih,
saudara. Lebih baik jangan," aku
memandang kepadanya dengan perasaan terirnakasih. "Memang seringkali
terbuka jalan seperti yang saudara sarankan itu. Dan sering datang pikiran
menggoda, untuk lari secara diam‐diam
dan kembaili bekerja bagi rakyat kita."
“Kalau begitu
mengapa tidak dicoba saja?" ia
mendesak. "Kami akan sembunyikan Bung Karno dan
membawa Bung ke tempat kawan‐kawan. Kami jamin
selamat."
"Kalau
saya lari, ini hanya saya lakukan untuk memperjuangkan kemerdekaan. Begitu saya
mulai bekerja, saya akan ditangkap lagi dan dibuang kembali. Jadi tidak ada
gunanya."
"Apakah
Bung Karno tidak bisa bekerja secara rahasia?"
"Itu bukan
caranya Bung Karno. Nilaiku adalah sebagai lambang di atas. Dengan tetap
tinggal disini rakyat
Marhaen melihat, bagaimana pemimpinnya juga menderita untuk cita‐cita. Saya telah memikirkan bujukan hatiku untuk lari dan
mempertimbangkan buruk baiknya. Nampaknya lebih baik bagi Sukarno untuk tetap
menjadi lambang dari pada pengorbanan menuju cita‐cita."
"Sekiranya
di suatu saat berubah pendirian Bung Karno, tak usah ragu. Sampaikanlah kepada
kami."
Aku merangkul kawanku itu ke dadaku
dan tanpa ragu‐ragu menciumnya pada kedua belah
pipinya. "Terima kasih, di satu masa kita semua akan merdeka, begitupun
saya."
"Bung
betul‐betul yakin?" stokar itu bertanya.
Jawabanku khas menurut cara Jawa.
Aku menjawab dengan kiasan. "Kalau ada asap di belakang kapal ini,
tentu ada apinya. Keyakinan ini didasarkan pada pertimbangan akal. 'llmul
yakin. Kalau saya berjalan di belakang kapal ini dan melihat api itu dengan
mata kepala sendiri, maka keyakinanku berdasarkan penglihatan.'AinuIyakin. Akan
tetapi mungkin penglihatan saya salah. Kalau saya memasukkan tangan saya ke
dalam api itu dan tangan saya hangus, maka ini adalah keyakinan yang sungguh‐sungguh
berdasarkan kebenaran yang tak dapat dibantah lagi. Maka dengan
Hakku'lyakin inilah saya memahami, bahwa kita akan merdeka”.
"Belanda
berbaris berdampingan dengan keju dan mentega, sedang kita berbaris bersama‐sama dengan mataharinya sejarah. Di satu hari, betapapun juga, kita
akan menang. Dalam fajar itu, saudara, saya tidak akan lari dengan diam‐diam, akan tetapi saya akan berpawai keluar dari sini dengan kepala
yang tegak."
Dikurangi dengan pajak, maka hasilku
dalam pembuangan ini dari pemerintah kurang dari sepuluh dollar seminggu.
Kemarin, pertunjukan kami sering kosong. Karena itu aku mencari uang tambahan
dengan menjualkan bahan pakaian dari sebuah toko tekstil di Bandung. Mereka
memberikan komisi 10% pada setiap barang yang kujualkan. Dengan menjajakannya
dari rumah ke rumah membawa contoh, aku berkata, "Nyonya, harga saya
lebih murah dari toko‐toko
disini. Apa nyonya mau memesan sama saya?"
Kemudian kukirim pos wisel ke toko
diBandung dan setelah selang beberapa lama, kapal kain itu datang. Lamanya sampai
berbulan‐bulan, akan tetapi satu hal yang ada padaku, yaitu waktu. Apa
perlunya aku cepatcepat? Aku malahan mendapat bagian yang kecil dengan seorang
pedagang sekutuku. Kami membuat harga rahasia antara kami berdua. Berapa lebih
yang dia peroleh itu menjadi bagiannya. Dengan jalan begini dia mendapat
keuntungan sedikit dan akupun memperoleh bagianku sedikit.
Hendaknya jangan ada diantara kawan‐kawanku di Jawa yang membanggakan diri, bahwa dia terus menerus
membantu kami dengan kiriman makanan dan pakaian selama masa pembuanganku. Ya,
mungkin ada satu dua, akan tetapi jarang sekali. Kalaupun ada kiriman yang
datang, aku segera meneruskan sebagian besar dari isinya kepada kawan‐kawan yang tidak beruntung di Digul. Ini kulakukan juga kalau aku
memperoleh sisa uang beberapa rupiah. Sekalipun kami hanya punya uang sedikit,
kami berhasil mencukupi diri sendiri. Aku orang yang sederhana. Kebutuhanku
sederhana. Misalnya, aku tidak minum susu atau minuman lain yang datang dari luar
negeri, pun tidak makan daging dari binatang berkaki empat. Makananku terdiri
dari nasi, sayur, buah‐buahan,
terkadang ayam atau telor dan ikan asin kering sedikit. Sayuran diambil dari
yang kutanam di pekarangan samping rumah. Ikan kudapat dari kawan‐kawanku para nelayan.
Di Endeh aku dibatasi bergerak, juga
untuk menikmati kesenangan yang kecil‐kecil.
Aku dibolehkan pergi ke tepi pantai untuk menyaksikan kawan‐kawanku para nelayan, akan tetapi tidak boleh naik perahu untuk
berbicara dengan mereka. Naik perahu dapat berarti melarikan diri. Aku juga
boleh berkeliaran dalam batas lima kilometer dari rumah. Akan tetapi lewat satu
langkap saja, aku jadi sasaran hakuman.
Di kota ini ada delapan orang
polisi, jadi sungguhpun berpakaian preman aku mengenal mereka itu. Di samping
itu, hanya mereka yang memakai sepeda hitam dengan merek "Hima". Yang
terlalu jelas adalah bahwa mereka berada pada jarak yang tetap waktu mengiringku.
Kalau seorang Belanda yang misterius selalu berada pada jarak 60 meter di
belakangku, aku akan segera menyadarinya.
Aku teringat di suatu sore ketika
seorang "preman" membuntutiku di jalan raya yang juga dilalui oleh angsa,
kambing, kerbau dan sapi. Aku bersepeda melalui rumah‐rumah panggung dan menuju ke sungai. Jalan menuju ke situ pendek,
jadi dia lalu mendayung mengembus‐ngembus
hampir bahu‐membahu denganku. Pada waktu dia
berhenti di sana untuk menjalankan mata‐mata,
dua ekor anjing melompat padanya sambil menyalak dan menggeram‐geram. Pemaksa hukum yang tinggi kejam ini karena kagetnya memanjat
ke atas sepedanya dan berdiri di atas tempat duduk dengan kedua belah tangannya
berpegang erat ke pohon.
Sungguhpun aku kepanasan dan dalam
keadaan kotor di waktu itu, namun pemandangan ini lebih menyegarkan badanku
daripada air sungai yang sejuk. Setelah itu aku memprotes kepada kepala polisi
di endeh, "Saya tidak peduli apakah anak buah tuan 'secara rahasia' membayangi
saya, akan tetapi saya tidak ingin dia terlalu dekat."
Orang itu menyampaikan
penjesalannya. "Ma'af, tuan Sukarno. Kami menginstruksikan kepadanya
untuk tetap berada dalam jarak 60 meter."
Aku berada dalam pengawasan tetap.
Di suatu sore aku mengajar sekelompok pemuda menyanyikan lagu kebangsaan "Indonesia
Raya". Karena lagu tersebut terlarang, untuk keamanan aku memilih
suatu tempat di luar rumahku. Bukan karena aku akan kehilangan sesuatu, tidak,
aku ingin melindungi anak‐anak
ini. Masih saja ada orang yang melaporkan kejahatan yang sungguh‐sungguh ini.
Saudara dari Raja lalu diperintahkan
untuk memperoleh kepastian, kejahatan apa yang telah dilakukan oleh Sukarno
dengan tindakan pengkhianatannya merusak anak‐anak di bawah umur. Dengan patuh dia menyuarakan akibat psikologis
terhadap penduduk preman. Jawabnya adalah, "Tidak ada sama sekali. Mereka
tidak dibakar dengan semangat. Mereka bahkan tidak tahu apa arti 'Indonesia
Raya'."Sekalipun demikian, aku dipanggil ke kantor polisi, diperiksa
dengan keras dan didenda F 5,‐— yaitu
dua dollar.
Pulau Bunga akan tetap kekal melekat
dalam kenanganku, karena berbagai alasan. Di sinilah aku mendengar, bahwa Pak
Tjokro telah pergi mendahului kami. Sebelum ia pergi, ketika masih dalam sakit keras,
aku menulis surat kepadanya, "Bapak, sebagai patriot besar yang
menghimpun rakyat kita dalam perjuangan untuk kemerdekaan, tidak akan kami
lupakan untuk selama‐lamanya.
Saya mendo'akan agar bapak segera sembuh kembali." Berminggu‐minggu
kemudian, ketika kapal datang membawa surat kabar kami, disampaikanlah suatu
kisah tentang bagaimana Pak Tjokro sebelum menghembuskan napas memperlihatkan
surat Sukarno kepada setiap orang. Aku menangis mengenang kawanku yang tercinta
itu.
Juga terjadi di Pulau Bunga, aku
membersihkan diri dari segala tahayul. Selamanya aku percaya pada hari baik dan
hari naas, aku percaya pada jimat yang membawa rahmat dan jimat yang mempunyai
pengaruh jahat. Di Bandung ada orang yang memberiku sebentuk cincin batu. Dalam
batu itu terlihat lobang berisi cairan hitarn yang tidak pernah tenggelam.
Seperti biji kecil yang mengapung dan selalu berada di atas. Seorang pengagum
memberikan benda yang aneh ini kepadaku dengan ucapan, "Sukarno, semoga engkau
tetap berada di atas seperti biji yang mengapung ini." Ia dinodai oleh
kekuatan guna‐guna, tapi aku mempercayainya. Di
waktu itu aku mempercayai apa saja, karena aku memerlukan segala kekuatan yang
bisa kuperoleh. "Jangan lupa, Sukarno," katanya, "Batu
ini bukan sembarang batu. Dia membawa untung." Baiklah, aku percaya.
Tidak lama setelah itu aku dibuang ke Pulau Bunga. Aku tidak begitu percaya
lagi kepadanya. Demikianlah, ketika kuyakinkan pada diriku sendiri, kepercayaan
yang kegila‐gilaan ini harus dihentikan. Dan
kukatakan pada diriku, "Engkau sudah melihat, penyakit tahayul yang
jahat, akan tetapi mengapa engkau tidak pernah makan di piring retak, oleh
karena engkau percaya bahwa bencana akan menimpamu kalau engkau
melakukannya?"
Harus kuakui bahwa ini benar. Suatu
hari aku sengaja minta piring retak. Aku gemetar sedikit karena pikiran sudah
cukup ruwet tanpa menambah keruwetan itu dengan pelanggaran kepercayaan yang
kuat ini. Akan tetapi kuletakkan juga piring itu diatas meja dan memandangnya.
Kemudian aku berpidato kepada piring yang ganjil ini yang begitu berkuasa
terhadap jiwaku. Kataku, "Hei engkau .... engkau barang yang mati,
tidak bernyawa dan dungu. Engkau tidak punya kuasa untuk menentukan nasibku.
Kutantang kau. Aku bebas darimu. Sekarang aku makan dari dalammu."
Beginilah caranya aku mengatasi tiap‐tiap rasa takut yang mengganggu pikiranku. Aku hadapi rasa takut ini
dengan tenang dan sejak itu aku tidak takut lagi. Aaaah, masih saja batu itu
ada padaku. Aku sangat ingin mempunyai keberanian untuk melepaskan pembawa
untung besar ini. Selagi berpikir keras tentang batu ini, kebetulan uang sedang
tidak ada. Sudah menjadi sejarah dari Sukarno bahwa ia tak pernah punya uang,
sedangkan ini adalah harta yang senantiasa diperlukannya. Sampai kini
keadaannya sama saja.
Keadaanku sangat melarat ketika aku berkenalan
dengan seorang saudagar kopra yang makmur di kota itu. Aku memutuskan untuk
menjual pembawa untung yang besar ini kepadanya. Dan sebagai penjual yang pandai
kutawarkan batu itu dengan perkataan yang muluk‐muluk. "Coba lihat," kataku mengadu untung, "Saya
punya barang yang susah didapat. Orang akan selalu beruntung besar dengan batu
seperti ini, karena batu begini hanya ada satu‐satunya. Tidak ada duanya di dunia." Kebetulan ucapanku ini memang benar dan aku tidak rnembohong dan
kebetulan pula aku sangat memerlukan uang dan ingin memperoleh sebanyak mungkin
dari dia. Kemudian aku menekan gas yang terakhir, "Dengarlah, begini.
Saudara saya lihat adalah orang yang mempunyai sifat‐sifat baik, maka dari itu saya menawarkan suatu kesempatan yang
sangat istimewa. Kalau saudara menyerahkan seratus limapuluh rupiah, yang tidak
berarti bagi saudara, saya akan berikan batu ini."
"Setuju," teriaknya dan segera mengadakan pertukaran. Caraku melakukan jual
beli begitu berhasil, sehingga ia betul‐betul
takut aku akan merubah pendirian lagi. Dan dengan begitu berpindah tanganlah
hartaku yang terahir itu, benda pembawa untung dan terjamin kekuatannya.
Tidakkah aku harus berterima kasih kepada Pulau Bunga, karena aku dibebaskan
dari belenggu tahayul?.
Di Endeh yang terpencil dan
membosankan itu banyak waktuku terbuang untuk berpikir. Di depan rumahku tumbuh
sebatang pohon keluih. Jam demi jam aku slalu duduk bersandar di situ, berharap
dan berkehendak. Dibawah dahan‐dahannya
aku mendo'a dan memikirkan akan suatu hari ..... suatu hari ..... Ia adalah
perasaan yang sama seperti yang menguasai Mac Arthur dikemudian hari. Dengan menggetarnya
setiap jaringan otot dalam seluruh tubuhku, aku menggetarkan keyakinanku, bahwa
bagaimanapun juga — di suatu tempat— disuatu hari — aku akan kembali. Hanya
patriotisme yang berkobar‐kobarlah
dan yang masih tetap membakar panas dadaku di dalam, yang menyebabkan aku terus
hidup.
Inggit selamanya menyakinkan padaku,
bahwa dia merasakan di dalam tulang‐tulangnya
aku di satu hari akan menjadi orang yang memegang peranan. Akan tetapi aku
tidak pernah mempersoalkannya. Aku tidak pernah berbicara tentang masa depan,
aku hanya memikirkannya. Pada setiap jam aku dalam keadaan bangun aku
memikirkannya. Kukira, selama tiga setengah abad dibawah penjajahan Belanda
dunia luar hanya satu kali mendengar tentang negeri kami. Di tahun 1883 Rakata
(Krakatau), gunung kami yang terkenal itu, meletus. Ia memuntahkan batu,
kerikil dan abu menempuh orbit yang mengelilingi bumi selama bertahun‐tahun. Lama setelah itu, ketika langit di Eropa menjadi merah,
orang menunjuk kepada gunung Rakata.
Ini sama halnya denganku. Aku telah membikin
ribut‐ribut dan sekarang aku disuruh diam. Ketika sekawanan kucing
berkandang dekat pohon keluih itu dan karena tempat itu tidak lagi tenang, aku lalu
berjalan‐jalan ke dalam hutan. Aku mencari tempat yang tenang dimana angin
mendesirkan daun daunan bagai bisikan, karena bisikan Tuhan ini terdengar
seperti nyanyian nina bobok di telingaku. Ialah nyanyian dari pulau Jawaku yang
tercinta. Tempat pelarian menyendiri yang kugemari adalah di bawah pohon sukun
yang menghadap ke laut. Sukun, sejenis buah‐buahan
seperti avocado, adalah semacam buah yang kalau dikupas, diiris panjangpanjang seperti
ketimun, rasanya menyerupai ubi. Aku lalu duduk dan memandang pohon itu. Dan
aku melihat pekerjaan daripada Trimurti dalam agama Hindu. Aku melihat Brahma
Yang Maha Pencipta dalam tunas yang berkecambah dikulit kayu yang keabu‐abuan itu. Aku melihat Wishnu Yang Maha Pelindung dalam buah yang
lonjong berwarna hijau. Aku melihat Shiwa Yang Maha Perusak dalam dahandahan mati
yang gugur dari batangnya yang besar. Dan aku merasakan jaringan‐jaringan yang sudah tua dalam badanku menjadi rontok dan mati di
dalam.
Kemudian aku dihinggapi oleh
penyakit kepala dan merasa tidak sehat sama sekali. Tapi setiap pagi aku masih
merangkak keluar tempat tidur untuk duduk‐duduk
dibawah pohon sukun jauh dari rumah. Pohon sukun itu berdiri di atas sebuah
bukit kecil menghadapi teluk. Disana, dengan pemandangan ke laut lepas tiada
yang menghalangi, dengan langit biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang
menggelembung dan dimana sesekali seekor kambing yang sedang bertualang lewat
sendirian, disana itulah aku duduk melamun jam demi jam.
Terkadang terasa udara yang dingin
di tepi pantai laut itu dan aku kedinginan. Seringkali aku merasa dingin,
sedang keadaan udara tidak dingin sama sekali. Tapi masih saja aku duduk di
sana. Suatu kekuatan gaib menyeretku ke tempat itu hari demi hari. Aku
memandangi samudra bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukul
pantai dengan pukulan berirama. Dan kupikir‐pikir
bagaimana laut bisa bergerak tak henti‐hentinya.
Pasang naik dan pasang surut, namun ia terus menggelora secara abadi. Keadaan
ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik
batasnya. Revolusi kami, seperti juga samudera luas, adalah hasil ciptaan
Tuhan, satu‐satunya Maha Penyebab dan Maha
Pencipta. Dan aku tahu di waktu itu ..... aku harus tahu sekarang .... bahwa
semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku,
berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada.
Di suatu hari aku tidak mempunyai
kekuatan untuk duduk di bawah pohon itu seperti biasanya. Aku tak dapat bangun
dari tempat‐tidur. Yaitu di hari dokter
menyampaikan, bahwa aku mendekati kematianku karena menderita malaria.
Andrias Widiantoro untuk kemajuan bangsa Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar