BAB XI
Pengadilan
16 JUNI 1930, berita surat kabar
tentang pidato Gubernur Jendral pada pembukaan sidang Dewan Rakyat memuat pengumuman
bahwa "Sukarno akan dihadapkan di muka pengadilan dengan segera. "Tanggalnya
sudah ditetapkan untuk pengadilan ini. Hanya tiga minggu sebelum aku bertemu
dengan pembela‐pembelaku yang kupilih sendiri:
Suyudi S.H., ketua P.N.I. cabang Jawa Tengah, yaitu tuan rumah dimana aku
ditangkap; Sartono S.H., seorang rekan dari Algemeene Studieclub yang lama dan
tinggal di Jakarta dan menjadi Wakil Ketua yang mengurus soal keuangan partai;
Sastromuljono S.H., seorang kawan dan patriot yang tinggal di Bandung. Tidak
dengan bayaran. Dan memang tidak ada uang untuk membayar. Para pembelaku bahkan
menanggung pengeluaran mereka masing‐masing.
Dalam pertemuanku yang pertama
dengan Sartono aku mengatakan, "Terlintas dalam pikiran saya bahwa
menjadi kewajibankulah untuk mempersiapkan pembelaanku sendiri."
"Bung
maksud dari segi politik?"
"Ya,
sedang tanggung jawab Bung mempersiapkan segi juridisnya."
Ia kelihatan memikirkan soal itu. "Saya
tahu," ia mengerutkan dahi, "bahwa dalam kedudukan Bung sebagai
Ketua Partai, bagian Propaganda Politik, tak seorangpun yang sanggup
mempersiapkan pokokpokok persoalan seperti Bung. Akan tetapi menurut pendapat
Bung, apakah prosedur ini lazim dalam pengadilan?"
Aku memandang dalam kemata kawanku
yang kelihatan suram memikirkan soal ini. Ia kelihatan seperti memerlukan lebih
banyak bantuan dari pada yang kuperlukan. Aku menempatkan sebelah tanganku ke atas
bahunya untuk menyenangkan hatinya. "Sartono," kataku, "bukan
maksud saya untuk membanggakan diri saya. Akan tetapi ketika saya masuk bui,
begitulah yang kuputuskan. Kalau sudah nasib saya untuk menahankan siksaan,
biarkanlah saya. Bukankah lebih baik Sukarno menderita untuk sementara daripada
Indonesia menderita untuk selama‐lamanya?"
"Saya
masih berpikir apakah ini jalan yang paling baik agar Bung bebas dari tuntutan
hukum," katanya dengan
sedih.
Ia tahu dan aku tahu, bahwa aku
takkan bisa bebas. Kami diizinkan untuk bertemu antara empat mata di suatu
ruangan tersendiri selama satu jam dalam seminggu. Tiada seorangpun yang
mendengarkan kami, jadi akulah yang pertama harus mengajak untuk membicarakan
apa yang terselip dalam pikiran kami berdua. "Bung tahu betul,"
aku mulai dengan lunak, "bahwa semuanya hanya akan berpura‐pura saja. Berita bahwa kepada saya sudah dijatuhkan hukuman, telah
menetes dari kawan‐kawan
kita di Negeri Belanda. Sekalipun informasi yang demikian tidak dikirimkan
kepada saya, tapi saya tahu bahwa pengaduan ke depan pengadilan ini hanya
sandiwara saja. Bung pun tahu. Mereka harus menghukum kita. Terutama saya. Saya
adalah biang keladinya."
"Ya," keluhnya, "Saya sudah membaca berita pers di surat
kabar.",,Seperti misalnya kepala berita harian "Sukarno PASTI
dihukum' dan 'Tidak mungkin membebaskan Sukarno dari tuntutan kata para
pembesar.' Saya tahu. Sayapun membacanya." Sartono membuka kaca
matanya, membersihkannya lalu memakainya kembali.
"Semenjak
tanggal 29 Desember suasana hangat dari masyarakat di sini dan di Negeri
Belanda tidak henti‐hentinya
menghasut," aku
menyatakan, "Kedua negeri ini menoleh padaku untuk buka suara. Aku tidak
dapat menyerahkan hal ini kepada orang lain. Ya, memang ada Bung dan pehasehat‐penasehat lainnya, akan tetapi saudara‐saudara mempunyai segi‐segi
hukumnya sendiri untuk diajukan. Tinggal dua minggu lagi ke depan
pengadilan."
"Cepat‐cepat saja datang kemari, segera setelah mendengar kabar," ia minta maaf, "Akan tetapi polisi mempersulit
persoalannya. Nampaknya untuk beberapa waktu seakan‐akan saya sendiri berada dalam bahaya penahanan."
Aku melihat kepadanya dengan mata
berlinang karena terimakasih. "Sartono, saya menghargai segala usahamu.
Namun, cara ahli hukum bekerja tidak menyimpang dari ketentuan hukum. Dia
sangat terikat untuk menjalankan hukum. Suatu revolusi melemparkan hukum yang
ada dan maju terus tanpa menghiraukan hukum itu. Jadi sukar untuk merencanakan
suatu revolusi dengan ahli hukum. Kita memerlukan getaran perasaan kemanusiaan.
Inilah yang akan saya kemukakan."
Aku menyediakan kertas dari rumah.
Tinta dari rumah. Sebuah kamus dari perpustakaan penjara. Pekerjaan ini sungguh
meremukkan tulang‐punggung.
Aku tidak punya meja untuk dapat bekerja dengan enak. Selain daripada tempat
tidur, satu‐satunya perabot yang ada dalam selku
adalah sebuah kaleng tempat buang air. Kaleng yang menguapkan bau tidak enak
itu adalah perpaduan dari tempat buang air kecil dan tempat melepaskan hajat
besar. Ia terbagi dua untuk masing‐masing
keperluan itu. Perkakas yang buruk ini tingginya sekira dua kaki dan lebar dua
kaki. Setiap pagi aku harus menyeretnya dari bawah tempat tidur, kemudian
menjinjingnya ke kakus dan membersihkan kaleng itu.
Malam demi malam dan tak henti
hentinya selama sebulan setengah aku mengangkat kaleng itu ke atas tempat
tidur. Aku duduk bersila dan rnenempatkannya dihadapanku. Ia kualas dengan beberapa lapis kertas sehingga tebal dan aku mulai
menulis. Dengan cara begini aku bertekun menyusun pembelaanku yang kemudian
menjadi sejarah politik Indonesia dengan nama "lndonesia
Menggugat". Dalam buku ini aku mengungkapkan secara terperinci
penderitaan yang menyedihkan dari rakyatku sebagai akibat penghisapan selama
tiga setengah abad di bawah penjajahan Belanda. Thesis tentang kolonialisme
ini, yang kemudian diterbitkan dalam selusin bahasa di beberapa negara dan yang
diguratkan dengan kata yang bernyala‐nyala,
adalah asil penulisan di atas kaleng tempat buang air yang berfungsi ganda itu.
18 Agustus 1930, setelah delapan bulan meringkuk dalam tahanan. perkara ini
dihadapkan di muka pengadilan. Secara formil aku dituduh melanggar Pasal 169
dari Kitab Undang‐undang
Hukum Pidana dan menyalahi pasal 161, 171 dan 153. Ini adalah 'de Haatzaai
Artikelen' yaitu pasal‐pasal
pencegah penyebaran rasa benci. Secara formil aku dituduh "mengambil bagian
dalam suatu organisasi yang mempunyai tujuan menjalankan kejahatan di samping
... usaha menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda ....."
Gedung pengadilan yang terletak di
Jalan Landraad penuh sesak oleh manusia. Udara di dalam terasa menyesakkan.
Langit‐langit papan yang berwarna suram bahkan menambah pekatnya kesuraman
dari udara yang melemaskan dalam ruang pengadilan itu. Ketika aku memulai
pidatoku tiada satupun terdengar suara lain. Tiada satupun yang bergerak. Tiada
gemerisik. Hanya putaran lembut dari kipas angin di atas kepala terdengar
merintih. Sambil berdiri di atas bangku pesakitan yang ditinggikan aku
menghadap ke meja hijau hakim dan aku mulai berbicara. Aku berbicara berjam‐jam. Pokok‐pokok
dakwaan terhadap Belanda kukemukakan menurut yang sesungguhnya. Setelah hampir
mendekati akhir, ketenanganku yang biasa melebur menjadi pernyataan kekecewaan.
Aku teringat kembali ketika terpaksa berhenti sebentar dan berusaha menguasai
pikiranku. Kemudian aku mempersihkan kerongkonganku lalu mencetuskan perasaan.
"Pengadilan
menuduh kami telah menjalankan kejahatan. Kenapa? Dengan apa kami menjalankan kejahatan,
tuan‐tuan Hakim yang
terhormat? Dengan pedang? Dengan bedil? Dengan bom? Senjata kami adalah
rencana, rencana untuk mempersamakan pemungutan pajak, sehingga rakyat Marhaen
yang mempunyai penghasilan maksimum 60 rupiah setahun tidak dibebani pajak yang
sama dengan orang kulit putih yang mempunyai penghasilan minimum 9.000 setahun”.
"Tujuan
kami adalah exorbitante rechten, hak‐hak
luar biasa dari Gubernur Jendral, yang singkatnya secara perikemanusian tidak
lain daripada pengacauan yang dihalalkan. Satu‐satunya dinamit yang pernah kami tanamkan adalah suara jeritan
penderitaan kami. Medan perjuangan kami tak lain dari pada gedung‐gedung pertemuan dan surat‐surat kabar umum. Tidak pernah kami melanggar batas‐batas yang ditentukan oleh undang‐undang. Tidak pernah kami mencoba membentuk pasukan serdadu‐serdadu rahasia, yang berusaha atas dasar nihilisme. Kami punya modus
operandi ialah untuk menyusun dan menggerakkan kekuatan kami dalam cara‐cara yang legal”.
"Ya, kami
memang kaum revolusioner. Kata 'revolusioner' dalam pengertian kami berarti
'radikal', mau mengadakan perubahan dengan lekas. Istilah itu harus diartikan
sebagai kebalikan kata 'sabar', kebalikan kata 'sedang'. Tuan‐tuan Hakim yang terhormat, sedangkan seekor cacing kalau ia
disakiti, dia akan menggeliat dan berbalik‐balik. Begitupun kami. Tidak berbeda daripada itu, Kami mengetahui,
bahwa kemerdekaan memerlukan waktu untuk mencapainya. Kami mengetahui bahwa
kemerdekaan itu tidak akan tercapai dalam satu helaan nafas saja. Akan tetapi kami
masih saja dituduh, dikatakan 'menyusun suatu komplotan untuk mengadakan
revolusi berdarah dan terluka, agar kami dapat merebut kemerdekaan penuh
ditahun 30'. Jikalau ini memang benar, penggeledahan massal yang tuan‐tuan lakukan terhadap rumah‐rumah kami akan membuktikan satu tempat persembunyian senjata‐senjata gelap. Tapi, tidak sebilah pisaupun yang dapat diketemukan”.
"Golok.
Bom. Dinamit. Keterlaluan! Seperti tidak ada senjata yang lebih tajam lagi dari
pada golok, bom dan dinamit itu. Semangat perjuangan rakyat yang berkobar‐kobar akan dapat menghancurkan manusia lebih cepat daripada ribuan
armada perang yang dipersenjatai lengkap. Suatu negara dapat berdiri tanpa tank
dan meriam. Akan tetapi suatu bangsa tidak mungkin bertahan tanpa kepercayaan.
Ya, kepercayaan, dan itulah yang kami punyai. Itulah senjata rahasia kami".
“Baiklah, tentu
orang akan bertanya, 'Akan tetapi sekalipun demikian, bukankah kemerdekaan yang
engkau perjuangkan itu pada suatu saat akan direbut dengan pemberontakan
bersenjata?' Tanya hakim.
"Saya akan menjawab: "Tuan‐tuan Hakim yang terhormat, dengan segala kejujuran hati kami tidak
tahu bagaimana atau dengan apakah langkah terakhir itu akan dilakukan. Mungkin
juga Negeri Belanda akhirnya mengerti, bahwa lebih baik mengakhiri kolonialisme
secara damai. Mungkin juga kapitalisme Barat akan runtuh”. Jawabku.
"Mungkin
juga, seperti sudah sering saya ucapkan, Jepang akan membantu kami.
Imperialisme bercokol di tangan bangsa kulit kuning maupun di tangan bangsa
kulit putih. Sudah jelas bagi kita akan kerakusan kerajaan Jepang dengan
menaklukkan semenanjung Korea dan menjalankan pengawasan atas Manchuria dan
pulau‐pulau di Lautan
Pasifik. Pada suatu saat yang tidak lama lagi Asia akan berada dalam bahaya penyembelihan
besar‐besaran dari
Jepang. Saya hanya mengatakan, bahwa ini adalah keyakinan saya jikalau ekor
daripada naga raksasa itu sudah memukul‐mukul ke kiri dan ke kanan, maka Pemerintah Kolonial tidak akan sanggup
menahannya".
Oleh karena itu, siapakah yang dapat
menentukan terlebih dulu rencana kemerdekaan dari negeri kami, jikalau kita
tidak tahu apa yang akan terjadi dalam masa yang akan datang. Yang saya
ketahui, bahwa pemimpin‐pemimpin
P.N.I. adalah pencinta perdamaian dan ketertiban. Kami berjuang dengan
kejujuran seorang satria. Kami tidak menginginkan pertumpahan darah. Kami hanya
menghendaki kesempatan untuk membangun harga diri dari pada rakyat kami.
"Saya
menolak tuduhan mengadakan rencana rahasia untuk mengadakan suatu pemberontakan
bersenjata. Sungguhpun begitu, jikalau sudah menjadi Kehendak Yang Maha Kuasa
bahwa gerakan yang saya pimpin akan memperoleh kemajuan yang lebih pesat dengan
penderitaan saya dari pada dengan kebebasan saya, maka saya menyerahkan diri
dengan pengabdian yang setinggi‐tingginya
ke hadapan Ibu lndonesia dan mudah‐mudahan
ia menerima nasib saya sebagai pengorbanan yang harum semerbak di atas pangkuan
persadanya. Tuan‐tuan
Hakim yang terhormat, dengan hati yang berdebar‐debar saya, bersama‐sama
dengan rakyat dari bangsa ini siap sedia mendengarkan putusan tuan‐tuan Hakim!"
Ketika aku dibawa kembali ke rumah
penjara, wakil penuh dari Pemerintah menunjukkan keramahannya dengan
mengulurkan tangan kepadaku. Esok paginya sebuah surat kabar menulis tentang
kejadian ini dengan judul "Meester ir. Kievet de Jonge kelihatan
berjabatan tangan dengan pengacau kotor". Sesudah tiap sidang yang banyaknya
19 kali itu, maka ada seorang Belanda yang berani memuat tulisan‐tulisan di surat kabarnya Het Indische Volk mengenai perlakuan yang
sungguh‐sungguh tidak adil terhadapku.
Dengan semakin hangatnya tajuk
rencana yang dibuatnya, maka kerut dahi rekan‐rekannya semakin dalam. Mr. J.E. Stokvis banyak kehilangan kawan
karena persoalanku. Di malam akan dijatuhkan putusan pengadilan, enam orang
kawan tanpa pemberitahuan terlebih dulu pergi ke rumah Dr. Sosrokartono,
seorang ahli kebatinan yang sangat dihormati di Bandung. Kemudian diceritakan
kepadaku, bahwa keenam orang itu ingin menenangkan pikirannya dan sungguhpun
hari sudah lewat malam, mereka datang juga ke rumah ahli kebatinan itu, tanpa
ada perjanjian terlebih dulu.
Sesampai di sana seorang pembantu
membukakan pintu dan menyampaikan, "Pak Sosro sudah menunggu‐nunggu" dan
mengiringkan mereka masuk, dimana telah tersedia dengan rapi enam buah korsi
dalam setengah lingkaran. Kawan‐kawanku
itu tentu heran. Dengan tidak bertanya terlebih dulu akan maksud kedatangan
mereka, ahli kebatinan itu hanya mengucapkan tiga buah kalimat: "Sukarno
adalah seorang Satria. Pejuang seperti Satria boleh saja jatuh, akan tetapi ia
akan bangkit kembali.
Waktunya tidak lama lagi."
Di hari berikutnya Gatot
Mangkupraja, Maskun, Supriadinata dan Sukarno dijatuhi hukuman. Hukuman Sukarno
yang paling berat. Aku dikenakan empat tahun kurungan dalam sel dengan ukuran
satu setengah kali dua seperempat meter. Empat tahun lamanya aku tidak melihat
matahari.
Pembela‐pembelaku naik banding ke Rand van Justitie, akan tetapi pengadilan
tinggi ini tetap berpegang kepada keputusan hukuman. Tidak lama setelah itu
kami dipindahkan ke dalam lingkungan dinding tembok yang tinggi dari penjara
Sukamiskin.
0 komentar:
Posting Komentar