BAB V
Bandung:
Gerbang Ke Dunia Putih
Istri kedua Bung Karno Inggit yg umurnya 12 tahun lebih tua dari Beliau
MINGGU terakhir bulan Juni tahun
1921, aku memasuki kota Bandung, kota seperti Princeton atau kota pelajar
lainnya dan kuakui bahwa aku senang juga dengan diriku sendiri. Kesenangan itu
sampai sedemikian sehingga aku sudah memiliki sebuah pipa rokok. Jadi dapat
dibayangkan, betapa menyenangkan masa yang kulalui untuk beberapa waktu. Salah
satu bagian daripada egoisme ini adalah berkat suksesku dalam pemakaian peci,
kopiah beludru hitam yang menjadi tanda pengenalku, dan menjadikannya sebagai
lambang kebangsaan kami. Pengungkapan tabir ini terjadi dalam pertemuan Jong Java,
sesaat sebelum aku meninggalkan Surabaya. Sebelumnya telah terjadi pembicaraan
yang hangat karena apa yang menamakan dirinya kaum intelligensia, yang
menjauhkan diri dari saudara‐saudaranya
rakyat biasa, merasa terhina jika memakai blangkon, tutup kepala yang biasa
dipakai orang jawa dengan sarung, atau peci yang biasa dipakai oleh tukang
becak dan rakyat jelata lainnya. Mereka lebih menyukai buka tenda daripada
memakai tutup kepala yang merupakan pakaian sesungguhnya dari orang Indonesia. Ini
adalah cara dari kaum terpelajar ini mengejek dengan halus terhadap kelas‐kelas yang lebih rendah.
Orang‐orang ini bodoh dan perlu belajar, bahwa seseorang tidak akan dapat
memimpin rakyat banyak jika tidak menjatuhkan diri dengan mereka. Sekalipun
tidak seorang juga yang melakukan ini diantara kaum terpelajar, aku memutuskan
untuk rnempertalikan diriku dengan sengaja kepada rakyat jelata. Dalam
pertemuan selanjutnya kuatur untuk memakai peci, pikiranku agak tegang sedikit.
Hatiku berkatakata. Untuk memulai suatu gerakan yang jantan seperti ini secara
terang‐terangan memang memerlukan keberanian. Sambil berlindung di
belakang tukang sate di jalanan yang sudah mulai gelap dan menunggu kawan‐kawan seperjuangan yang berlagak tinggi lewat semua dengan buka
tenda dan rapi, semua berlagak seperti mereka itu orang Barat kulit putih, aku
ragu‐ragu untuk sedetik. Kemudian aku bersoal dengan diriku sendiri,
"Jadi pengikutkah engkau, atau jadi pemimpinkah engkau " , "Aku
pemimpin," jawabku menegaskan. "Kalau begitu, buktikanlah,"
kataku lagi pada diriku. "Hayo maju. Pakailah pecimu. Tarik napas yang
dalam! Dan masuk SEKARANG!!! "Begitulah kulakukan. Setiap orang memandang
heran padaku tanpa kata‐kata.
Di saat itu nampaknya lebih baik memecah kesunyian dengan buka bicara, "Janganlah
kita melupakan demi tujuan kita, bahwa para pemimpin berasal dari rakyat dan
bukan berada diatas rakyat. "Mereka masih saja memandang.
Aku membersihkan kerongkongan.
"Kita memerlukan suatu lambang dari pada kepribadian Indonesia. Peci yang memberikan sifat khas perorangan ini, seperti yang dipakai
oleh pekerja‐pekerja dari bangsa Melayu, adalah
asli kepunyaan rakyat kita. Namanya malahan berasal dari penakluk kita.
Perkataan Belanda 'pet' berarti kupiah. 'Je' maksudnya kecil. Perkataan itu
sebenarnya 'petje'. Hayolah saudara saudara, mari kita angkat kita punya kepala
tinggi‐tinggi dan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.
"Pada waktu aku melangkah gagah keluar dari kereta api di stasiun Bandung
dengan peciku yang memberikan pemandangan yang cantik, maka peci itu sudah
menjadi lambang kebangsaan bagi para pejuang kemerdekaan. Kalau sekarang peci
itu bagiku lebih rnerupakan sebagai lambang untuk pertahanan diri.
Sesungguhaya, kepalaku kian hari semakin botak. Karena orang Islam diharuskan mencuci
rarnbutnya setelah dia berhubungan dengan seorang perempuan, maka kawan‐kawan menggangguku, "Hei Sukarno, itu barangkali yang membikin
Bung botak." Apapun alasannya, aku gembira karena telah mempunyai
pandangan ke depan 44 tahun yang lalu untuk membikin peci ini begitu hebat,
sehingga masyarakat sekarang menganggap tidak pantas jika membuka peci di muka
umum. Pak Tjokro mempunyai seorang kawan lama di Bandung. Dan orang ini telah
sering mendengar tentang pemuda yang rnendapat perlindungan dari Pak Tjokro.
Ketika aku pindah
dari Jawa Timur ke daerah Jawa Barat ini, Pak Tjokro telah meggusahakan
tempatku menginap di rumah tuan Hadji Sanusi. Aku pergi lebih dulu tanpa Utari
untuk mengatur tempat dan melihat‐lihat
kota, rumah mana yang akan menjadi tempat tinggal kami selama empat tahun
begitulah menurut perkiraanku di waktu itu. Aku merasa hawanya dingin dan
wanitanya cantik‐cantik.
Kota Bandung dan aku dapat saling menarik dalam waktu yang singkat. Seorang laki‐laki yang sudah setengah baya yang memperkenalkan dirinya sebagai
Sanusi datang sendiri menjemputku dan membawaku ke rumahnya. Dengan segera aku
mengetahui, bahwa perjalanan pendahuluan ini tidaklah sia‐sia. Sekalipun aku belum memeriksa kamar, tapi jelas bahwa ada
keuntungan tertentu dalam rumah ini. Keuntungan yang utama sedang berdiri di
pintu masuk dalam sinar setengah gelap, bentuk badannya nampak jelas dikelilingi
oleh cahaya lampu dari belakang.
Perawakannya
kecil, sekuntum bunga merah yang cantik melekat di sanggulnya dan suatu
senyuman yang menyilaukan mata. Ia isteri Hadji Sanusi, Inggit Garnasih. Segala
percikan api, yang dapat memancar dari seorang anak dua puluh tahun dan masih
hijau tak berpengalaman, menyambar‐nyambar
kepada seorang perempuan dalam umur tiga pulahan yang sudah matang dan
berpengalaman. Di saat pertama aku melangkah melalui pintu masuk aku berpikir,
"Aduh, luar biasa perempuan ini." Aku sadar, lebih baik aku cepat‐cepat berhenti mengingatnya. Karena itu ingatan kepada nyonya rumah
itu kuhilangkan dari pikiranku — untuk sementara — kemudian menyuruh datang
Utari dan memusatkan pikiran pada persoalan masuk Sekolah Teknik Tinggi
mengejar gelar Insinyur, bukan untuk merusak perkawinan orang. Di waktu
sekarang kami mempunyai Universitas Indonesia di Jakarta, Universitas Gadjah
Mada di Jogjakarta, Universitas Airlangga di Surabaya, Universitas Lambung
Mangkurat di Kalimantan dan berlusin‐lusin
universitas penuh sesak menurut kemampuannya. Akan tetapi pada waktu aku
memasuki Sekolah Teknik Tinggi kami hanya 11 orang anak Indonesia. Aku termasuk
salah seorang dari 11 orang yang berrnuka hitam, terapung‐apung kian kemari dalam lautan kulit putih berarnbut merah,
berjerawat dan bermata hijau seperti kucing. Seperti dugaan kami, anak‐anak Belanda tidak mau tahu dengan kami di dalam kampus itu.
Kalaupun rnereka memberi perhatian kepada kami, itu hanya untuk membusukkan kami
atau menyorakkan, "Hei kamu, anak inlander bodoh, mari sini!." Aku
tidak tahu kekuatan apa yang ada padaku.
Aku hanya tahu, bahwa sekalipun aku
tidak mengucapkan sepatah kata, kehadiranku saja sudah cukup untuk menutup
mulut orang‐orang yang menghina, lalu
menghentikan perintah‐perintahnya.
Kami membanting tulang di Sekolah. Pekerjaan rumah banyak sekali. Kuliah‐kuliah yang diberikan enarn hari dalam seminggu ditambah dengan
ujian tertulis setiap triwulan selama sebulan penuh, sungguh‐sungguh rasanya seperti akan mematahkan tulang punggung karena
bertekun. Waktuku tidak banyak untuk Utari. Akupun tidak banyak mempunyai
persamaan dengan dia. Selagi aku belajar ilmu pasti, ilmu alam dan mekanika,
yang bernama isteriku itu berada di pekarangan belakang bermain dengan kawan‐kawan perempuannya. Selagi aku mempidatoi perkumpulan pemuda di
waktu malam, bayi yang telah kukawini bergelut dengan seorang anak, kemenakan
nyonya Inggit. Kami menempuh jalan masing‐masing.
Dia masih hijau sekali. Sifat pemalunya terlalu berkelebihan, sehingga jarang
berbicara denganku, kalaupun ada. Kami tidur berdampingan di satu tempat tidur,
tapi secara jasmaniah kami sebagai kakak beradik. Di Bandung dia jatuh sakit.
Sementara dia terbaring dengan payah aku merawatnya. Berkali‐kali aku melap tubuhnya yang panas dengan alkohol, dari ujung
kepala sampai ke ujung jari kakinya, namun tak sekalipun aku menjamahnya. Ketika
ia sudah pulih kembali antara kamipun tidak terdapat perhubungan jasmani.
Kami bahkan dengan setulus hati
tidak mengidamkan satu sama lain dalam arti cinta antara laki‐laki dan dara yang sebenarnya. Maksudku, dia tidak mernbenciku dan
aku tidak membencinya, akan tetapi ini bukanlah perkawinan yang lahir dari
perasaan berahi yang menyala‐nyala.
Tidak banyak kesempatan untuk menggunakan waktu bagi kesenangan diri, oleh karena
seluruh jiwa dan ragaku segera penuh dengan berbagai kesukaran. Setelah tinggal
di Bandung selama dua bulan, surat kabar memuat berita berita besar tentang
kegiatan revolusioner yang terakhir, aksi pemogokan di Garut. Kejadian ini
dianggap sebagai persoalan afdeling, yaitu persoalan daerah. Pemerintah
Kolonial sudah dibikin susah oleh pertumbuhan Nasionalisme yang pesat. Nyamuk
celaka yang baru mendengung‐dengung
di tahun 1908 dengan semboyan‐semboyan
politik tanpa kekerasan, sekarang telah menjadi besar dan mengandung racun
ketidakpuasan dengan gigitannya yang mematikan. Para pekerja sudah diorganisir;
rnereka menuntut hak; menuntut undang‐undang
perburuhan yang menjamin jam kerja yang lebih pendek daripada 18 jam; menuntut
upah yang pantas dan menuntut suatu masyarakat yang bekerja tanpa "Exploitation
de l'homme par l'homme". Di Indonesia telah bertunas organisasi para
pekerja seperti Persatuan Buruh Gula dan Serikat Pekerja Rumah Gadai.
Dalam jaman dimana orang Barat telah
mengenal pemogokan sebagai hak dari serikat‐serikat
buruh untuk mencoba memperbaiki nasibnya yang menyedihkan, maka pemerintah
Hindia Belanda dalam usahanya untuk mematikan "sifat‐radikal" dan "Komunisme", sebagaimana mereka
menamakannya, mengeluarkan undang‐undang
baru, Artikel 161. Yaitu larangan terhadap pemogokan. Hukum pidana bahkan
sekarang menetapkan, bahwa barang siapa yang menghasut seseorang untuk
melakukan pemogokan diancam dengan hukuman enam tahun penjara. Ini sangat
menusuk hatiku pribadi, karena para pembesar berkeyakinan bahwa pemogokan di
Garut dipupuk oleh Sarekat Islam. Di hari itu juga mereka menahan
Tjokroaminoto. Keluarga Pak Tjokro sedang berada dalam kekurangan. Penderitaan mereka
adalah penderitaanku juga. Apa akal ... Apa akal .... Apakah aku akan madu
terus dan memikirkan diri sendiri serta apa yang kuharapkan dapat tercapai di
hari esok? Ataukah aku akan mundur ke belakang dan memikirkan Pak Tjokro dan
apa yang telah dikerjakannya untukku di hari kemarin? Dihadapanku terentang
jalan raya berlapiskan emas yang menuju kepada ijazah sekolah tinggi.
Dibelakangku terhampar jalanan kembali menuju kamar yang gelap dan kehidupan
yang suram. Soalnya adalah mana yang lebih penting mana yang lebih mudah dapat dikorbankan oleh
seorang anak Bumiputera? Gerbang menuju dunia putihkah? Atau mengorbankan
kesetiaan kepada prinsipnyakah? Bagiku tidak ada kesangsian jiwa. "Saya
akan meninggalkan Bandung besok menuju Surabaya, "dengan tegas kusampaikan
kepada nyonya Inggit di dapur esok paginya. "Untuk berapa lama?"
tanyanya. "Saya tidak tahu. Barangkali untuk selama‐lamanya.
Ini tergantung kepada lamanya hukuman Pak Tjokro. Apakah enam bulan atau dua
puluh tahun, selama itu pula saya harus berbuat apa yang harus saya
perbuat." Ia menyediakan kopi tubruk, kopi hitam pekat yang tak dapat
kutinggalkan, dan tangannya gemetar sedikit. "Dengan meninggalkan sekolah
ada kemungkinan engkau melepaskan segala harapan untuk mencapai cita‐citamu," hanja itu ucapanncya, "Saya menyadari hal itu.
Saya juga
menyadari, bahwa Pak Tjokro mertuaku. Saya anak tertua dari keluarganya. Tapi
soalnya bukan itu saja, lebih lagi dari itu. Saya harus berbakti pada orang
yang kupuja itu dan kepada prinsipku." Tapi isterinya yang baru tidak
menulis surat kepadamu untuk minta bantuan," ia mengemukakan.
"Anaknya juga tidak memberi kabar apa‐apa
tentang kesukaran mereka. Malahan tak seorangpun meminta engkau datang.
"Saya harus pergi. Kurasakan dalam dadaku, bahwa itu menjadi tugas saya
.... Tidak! Saya
rasakan ini sebagai hak istimewaku untuk bisa menyelamatkan
mercusuar ini yang telah menunjukkan jalan kepadaku. "Aku memperhatikan
bubuk kopi turun hingga ia mengendap ke dasar cangkir. "Saya mendapat
kabar, bahwa penahanan terhadap Pak Tjokro dua hari yang lalu itu tidak diduga
samasekali. Belanda mendadak menggedor rumahnya di tengah malam buta dan menggiringnya
dengan ujung bajonet ke dalam tahanan. Dia tidak mendapat kesempatan untuk
mengatur keluarga yang dicintainya.
Dan tak seorangpun
yang akan mengawasi mereka. Jadi nampaknya jelas bagimu, bahwa dari semua
pengikutnya yang jumlahnya jutaan orang itu hanya engkau yang akan memikul
kewajiban itu diatas pundakmu?" ,Ya, itu kewajiban saya. Dia mergulurkan
tangannya pada waktu saya memerlukan rumah dan tempat berteduh. Sekarang saya
harus berbuat begitu pula kepadanya. Mengejar kehidupan sendiri, sementara
orang yang sudah diakui keluarga berada dalam kesusahan bukanlah cara orang
Indonesia." Maksudmu," katanya lunak, "Bahwa itu bukanlah cara
Soekarno." Di pagi itu juga aku rnelaporkan keberhentianku mengikuti
kuliah. Presiden dari Sekolah Teknik Tinggi, Professor Klopper, rupanya kuatir
terhadap tindakanku ini. "Sudah menjadi kebiasaanmu, bahwa seluruh
keluarga memberikan korban mereka untuk meneruskan pendidikan dari salah
seorang anggotanya yang berbakat, bukan?" ia menanyaku dengan ramah.,"Ya,
tuan. Saya kira, bahkan kelaparan pun tak dapat mencegah keluarga saya
mengadakan biaya yang perlu bagi pendidikan anaknya. Sebagai mantri guru bapak
membanting tulang seperti pekerja lainnya.
Ibu duduk berjam‐jam lamanya melukis kain batik sampai tengah malam hingga pelita
dan pemandangan matanya mendjadi samar. Supaya dapat mengumpulkan dengan susah
payah uang 300 rupiah untuk uang kuliah setahun, orang tua saya baru‐baru ini menambah orang bayar makan. Kakak saya dan suaminya juga
membantu setiap bulan. "Kalau dibelakang hari," Professor Klopper
melanjutkan, "Engkau hanya ditempatkan sebagai pekerja di lapangan,
bagaimana engkau membayar kembali kepada orang‐orang yang menyokongmu selama belajar ?", "Itu bukanlah
kebiasaan kami," aku menerangkam ,"Mereka akan marah kalau saya
mencoba yang demikian. Cara kami sebaliknya. Kami harus selalu bersedia
membantu orang yang pernah menolong kita di waktu ia memerlukannya. Itulah yang
dinamakan gotong‐royong.
Saling membantu. Dan karena itulah saya harus pulang." Di hari berikutnya
aku mengumpulkan isteriku, mengumpulkan segala harapan dan idamanku dan membawa
semua ia pulang ke Surabaya. Supaya dapat membantu rumah tangga aku bekerja
sebagai klerk di stasiun kereta api. Kedudukanku adalah sebagai Raden Sukarno,
BKL. Der Eerste Klasse. Eerste Categorie."
Sebagai seorang
klerk kantor kelas satu golongan satu aku menelan uap dan asap selama tujuh jam
dalam sehari, karena kantorku yang tidak dimasuki hawa bersih berhadapan dengan
rel dari pelataran stasiun yang menyedihkan. Tugas beratku yang utama adalah
membuat daftar gaji untuk para pekerja. Oleh karena bekerja sehari penuh, aku
tidak punya kesempatan mengulangi pelajaran. Akan tetapi ada baiknya, karena
tempat yang luar biasa ramainya ini menjadi tempat keluar masuk kereta api yang
datang dari kota‐kota
lain seperti Madiun, Djogja, Malang, Bandung dan aku dapat berhubungan dengan
massa pekerja. Tak pernah aku menyia‐nyiakan
kesempatan untuk menaburkan bibit Nasionalisme. Aku menerima 165 rupiah sebulan.
125 kuserahkan kepada keluarga Pak Tjokro. Di waktu mereka patah semangat dan
bersusah hati, kubawa mereka menonton film dengan apa yang masih tersisa dari
uangku yang 40 rupiah itu. Atau kubelikan barang‐barang kecil seperti kartu pos bergambar. Hanya ini yang dapat kuadakan,
akan tetapi besar artinya bagi mereka. Kuberikan pakaianku untuk dipakai. Aku
menjaga disiplin mereka dengan pukulan sandal pada belakangnya.
Aku menjalankan
segala tugas orang tua, sampai kepada menyunatkan Anwar. Aku sendiri mencari
obat, mencari orang alim dan menyelenggarakan selamatannya. Bertahun‐tahun kemudian, setelah Anwar menjadi seorang tokoh politik, aku
mengganggunya, "Nah, jangan kaulupakan, akulah yang menyunatkanmu.
"Pada waktu Pak Tjokro dijatuhi hukuman karena persoalan politik, Belanda
melarang anak‐anaknya untuk melanjutkan sekolah. Jadi,
Sukarnolah yang mengajar mereka. Akupun mengajar mereka menggambar. Untuk
membeli kertas atau batu tulis tidak ada uang, akan tetapi dinding rumah di Jalan
Plambetan dipulas dengan kapur putih. Bukankah dinding putih baik untuk
digambari? Maka kugambarkan dari luar kepala gambar persamaan, dan karikatur
dari bintang film kesayanganku, Frances Ford. Terlepas dari persoalan apakah
kami menjadi tokoh‐tokoh
politik di masa‐masa
yang akan datang atau tidak, maka pada waktu itu sesungguhnyalah kami merupakan
suatu rumah tangga yang terdiri dari anak‐anak
yang ketakutan dan lapar dalam arti yang murni. Dan Aku? Aku adalah yang paling
besar, hanya itu.
Pak Tjokro dibebaskan pada bulan
April 1922. setelah tujuh bulan meringkuk dalam tahanan. Bulan Juli, pada waktu
mulai tahun pelajaran baru secara resmi, aku kembali ke Sekolah Teknik Tinggi
dan kembali kepada nyonya Inggit. Utari dan aku tidak dapat lebih lama
menempati satu tempat tidur, bahkan satu kamarpun tidak. Jurang antara kami
berdua semakin lebar. Sebagai seorang yang baru kawin kasih sayangku kepadanya
hanya sebagai kakak. Sebagai kepala rumah tangga dari Pak Tjokro perananku sebagai
seorang bapak. Yang tidak dapat dibayangkan sekarang adalah perasaanku sebagai
seorang suami. Aku telah memperhatikan, kalau engkau membelah dada seseorang
termasuk aku sendiri maka akan terbaca dalam dadanya itu bahwa kebahagiaan
dalam perkawinan baru akan tercapai apabila si isteri merupakan perpaduan dari
pada seorang ibu, kekasih dan seorang kawan. Aku ingin diibui oleh teman hidupku.
Kalau aku pilek, aku ingin dipijitnya. Kalau aku lapar, aku ingin memakan
makanan yang dimasaknya sendiri. Manakala bajuku koyak, aku ingin isteriku
menarnbalnya. Dengan Utari keadaannya terbalik. Aku yang menjadi orang tuanya,
dia sebagai anak.
Ia bukan idamanku, oleh karena tidak
ada tarikan lahir dan dalam kenyataan kami tak pernah saling mencintai. Sebagai
teman seperjuangan, orang yang demikian tidak sanggup menemaniku pada waktu tenagaku
terpusat pada penyelamatan dunia ini, sedang dia sementara itu main bola
tangkap. Sudah menjadi suatu kebiasaanku untuk menoleh kepada seorang wanita
supaya hatiku dapat terhibur. Kalau harus diadakan pilihan antara wanita yang
memiliki tangan yang cantik dengan seorang yang memiliki hati yang lembut, maka
aku seringkali tertarik pada yang terakhir ini. Aku tidak lebih mengutarnakan
hubungan lelaki perempuan, akan tetapi aku memerlukan hati yang lembut dan
dorongan yang besar dan mulia yang hanya dapat diberikan oleh hati seorang
wanita. Inggit dan aku berada bersama‐sama
setiap malam. Aku adalah orang yang selalu bangun dan membaca. Inggitpun lambat
pergi tidur karena harus menyiapkan makan untuk hari berikutnya. Dia selalu ada
disekelilingku. Dia adalah nyonya rumah. Aku orang bayar makan. Kami berteduh
dibawah atap yang sama. Aku melihatnya di pagi hari sebelum ia menggulung
sanggulnya. Dia melihatku dalam pakaian piyama. Aku senantiasa makan bersama‐sama
dengan dia. Memakan makanan yang dimasaknya sendiri. Sayuran
seperti lodeh, yaitu sayuran yang dimasak dengan santan pakai cabe yang
kusenangi atau oncom yang juga kusukai ataupun makanan lain yang khusus
dibuatnya untuk menyenangkan hatiku. Dia itulah bukan isteriku yang membereskan
kamarku, melayaniku, memperhatikan pakaianku dan mendengarkan buah pikiranku.
Dialah orang yang bertindak sebagai ibu kepadaku, bukan Utari.
Tuan Sanusi orang yang sudah berumur
dan sama sekali tidak peduli terhadap isterinya. Seorang penjudi dengan
kegemarannya yang luar biasa main bilyar. Setiap malam ia berada di rumah bola
untuk mencobakan kecakapannya. Pada prakteknya mereka bercerai di suatu rumah.
Rumah tangga mereka tidak berbahagia. Sebagai suami isteri, mereka serumah,
lain tidak. Lalu masuklah kedalam lingkungan ini seorang muda yang bernafsu dan
berapi‐api. Ia sangat tertarik kepadanya. Ia melihat dalam diri perempuan
itu seorang wanita yang sadar, bukan kanak‐kanak,
seperti yang satunya yang masih main kucing‐kucingan
di luar. Keberanian ini mulai bangkit. Aku seorang yang sangat kuat dalam arti
jasmaniah dan di hari‐hari
itu belum ada televisi ..... hanya Inggit dan aku di rumah yang kosong. Dia
kesepian. Aku kesepian. Perkawinannya tidak betul. Dan perkawinanku tidak
betul. Dan adalah wajar, bahwa hal‐hal yang
demikian itu tumbuh. Inggit dan aku banyak mengalami saat‐saat yang menyenangkan bersama sama. Kami keduanya mempunyai
perhatian yang sama. Dan barangkali juga ..... yah, kami keduanya bahkan sama
mencintai Sukarno. Disamping hakekatnya sebagai seorang perempuan, diapun
memuja Sukarno secara menghambakan diri sama sekali dan membabi buta baik atau
buruk, benar atau salah. Tidak lain dalam hidupnya kecuali Sukarno serta segala
apa yang menjadi pikiran, harapan dan idaman Sukarno. Aku berbicara dia
mendengarkan.
Aku berbicara dengan sangat gembira;
dia menghargai. Utari menyadari apa yang terjadi, akan tetapi ia mengetahui, bahwa persatuan kami tidak akan membawa kebahagiaan.
Karena ia tidak pernah mengenalku dalam arti suami isteri yang sebenarnya, maka
tidak timbul iri hati dari pihaknya. Hadji Sanusipun mengetahui apa ang sedang
berkembang, akan tetapi perkawinannya sudah sejak lama rusak. Aku tidak merasa
bahwa aku merebutnya dari sang suami ataupun merusak suatu rumah tangga yang berbahagia,
sebagaimana yang dikatakan oleh majalah ‐ majalah
luar negeri. Tidak ada sesuatu yang akan dirusakkan. Bahkan Sanusi sendiripun
tidak ada usaha untuk merebut hati isterinya lagi. Tanpa mendramakannya dengan
teliti, kukira tentu ada bersembunyi perasaan‐perasaan bersalah. Aku tidak ingat betul, apakah aku mengalaminya
sedemikian banyak ketika itu ataukah aku rnengeluarkannya sekarang sebagai
usaha untuk menerangkan tindakan‐tindakan
itu. Akupun tidak tahu, bagaimana perasaan rakyatku mengenai Presidennya yang
membicarakan ini sarnpai sedemikian jauh. Aku tidak menghendaki mereka menjadi malu.
Anggaplah, karena peristiwa percintaan sedang tumbuh di waktu itu aku mencoba
menganalisa kejahatannya. Dan aku tidak pernah berhenti menganalisanya.
Kumaksud bukan affair Inggit saja. Yang kumaksud adalah seluruh
kehidupanku. Seakan aku menganalisa secara abadi kekuatan‐kekuatan yang ada dalam diriku. Dan kekuatan‐kekuatan yang ada di sekelilingku. Otakku dan jiwaku selalu
bernyala nyala dengan perjuangan yang tak habis‐habis antara yang baik dan yang jahat. Setelah enam bulan berada di
Bandung aku sendiri rnembawa Utari pulang kerumah bapaknya. "Pak,"
kataku. "Saya mengembalikan Utari kepada bapak." "Keputusan
siapa ini?" tanya Pak Tjokro., "Saya, Pak. Sayalah yang ingin
bercerai. "Kemudian ia hanya bertanya, "Apakah dia menerima
keputusanmu?" Aku menjawab, "Ya. Dia sudah tentu susah karena, walaupun bagaimana, anak‐anak gadis kita menganggap perceraian itu suatu kemunduran.
Dia barangkali merasa sedikit
bingung, sebab selama dua tahun kami kawin aku tak pernah menyentuhnya.
Sebenarnya dia tidak ingin bercerai, akan tetapi diapun menyadari bahwa jalan
inilah yang paling baik bagi kami berdua. "Pak Tjokro mengangguk diam.
"Pak, saya menunggu sampai bapak keluar dari tahanan untuk menyampaikan
hal ini. Perkawinan kami sudah tidak baik dari permulaannya dan tidak akan baik
untuk seterusnya. Tanpa perceraian tidak dapat dibina perkawinan yang
berbahagia. "Pak Tjok menghargai apa yang kukatakan. Ia tidak menanyakan
persoalan‐persoalan pribadi. Dan setelah
kejadian ini Pak Tjokro sekeluarga dan aku selalu dalam hubungan yang baik.
Hubungan kami tetap seperti sebelumnya. Apa yang kuucapkan secara resmi
hanyalah, "Saya jatuhkan talak satu kepadamu," dan perkawinan kami
berakhir. Jadi, cara kami bercerai ringkas saja. Tidak melalui banyak prosedur.
Dalarn agama Islam terdapat tiga tingkatan perceraian. Talak satu masih membuka
jalan untuk rujuk kembali dalarn tempo 100 hari. Talak dua, tingkat yang lebih
kuat dari yang pertama, mengulangi maksud untuk bebas dari isterirnu, akan
tetapi masih mernbuka kesempatan sedikit sekiranya masih ingin bergaul dengan
dia.
Tingkat terakhir adalah untuk
menyatakan, "Saya ceraikan engkau." Setelah talak tiga ini jatuh,
hubungan perkawinan sudah diputuskan dengan resmi dan si suami tidak dapat
mengawini kembali isterinya itu, kecuali jika si isteri kawin dulu sementara
dengan laki‐laki lainya. Hukum Islam tidak
mengizinkan perempuan menceraikan laki laki. Pun tidak dapat menolak untuk
diceraikan. Tentu saja kalau suaminya sangat kejam dan ia mengadu kepada Kadi,
"Suami saya memukul saya," atau kalau dia bersumpah, "Dia tidak
pernah datang kepada saya dan menurut kenyataan dia tidak pernah mempergauli
saya selama berbulan‐bulan,"
dan memohon kepada Kadi supaya mengizinkannya bercerai atas alasan yang
tertentu itu, maka Kadi itu dapat menceraikannya. Hakim agama ini mempunyai
kekuasaan untuk memberi izin guna meringankan keadaan ini menurut Nabi Muhammad
s.a.w. Hukum‐Hukum Islam diadakan di padang pasir.
Dan dimana di padang pasir orang bisa mencari ahli hukum atau Surat Perceraian?
Itulah sebabnya mengapa kami tidak mempunyai aturan seperti di Barat. Jadi, di
tahun 1922, aku hanya menyerahkan pengantinku yang masih kanak‐kanak itu kepada bapaknya, dan itulah seluruhnya.
Aku kembali ke Bandung dan kepada
cintaku yang sesungguhnya. Suatu malam, setelah kami bersama sama selama satu tahun, aku mengusulkan. Ini
adalah usul yang sangat sederhana. Kami hanya berdua seperti biasa dan aku
berkata pelahan, "Aku mencintaimu." Dia. "Akupun begitu,"
keluar cepat dari mulutnya. Aku ingin mengawinimu" kubisikkan.
"Akupun ingin menjadi isterimu," dia membalas berbisik. "Apakah menurut
pendapatmu kita akan rnendapat kesulitan?" Tidak," katanya lunak.
"Aku akan bicara dengan
Sanusi besok. "Sanusi mau bekerja sama. Dalam tempo yang
singkat Inggitpun bebas. Tidak terjadi adegan yang serarn seperti di layar
putih. Kukira dia merasa, bahwa inilah jalan yang paling baik ditempuh. Setelah
itu Inggit, dia dan aku senantiasa dalam hubungan yang baik. Kenyataannya,
tidak
lama kemudian dia kawin lagi. Dalam waktu yang singkat Utaripun
kawin dengan Bachrum Salam, kawan sama‐sama
bayar makan di rumah Pak Tjokro. Mereka memperoleh delapan orang anak dan
ketika buku ini ditulis mereka masih menjadi suami isteri. Jadi nampak kedua
belah pihak tidak begitu merasa luka. Inggit dan aku kawin di tahun 1923.
Keluargaku tak pernah menyuarakan
satu perkataan mencela ketika aku berpindah dari isteriku yang masih gadis
kepada isteri lain yang selusin tahun lebih tua daripadaku. Apakah mereka
menekan perasaannya karena perbuatanku, ataupun merasa malu kepada Pak Tjokro,
aku tak pernah ‐ mengetahuinya.
Inggit yang bermata besar dan memakai geIang di tangan itu tidak mempunyai masa
lampau yang gemilang. Dia sama sekali tidak terpelajar, akan tetapi
intellektualisme bagiku tidaklah penting dalam diri seorang perempuan. Yang
kuhargai adalah kemanusiaannya. Perempuan ini sangat mencintaiku. Dia tidak
memberikan pendapat – pendapat.
Dia hanya memandang dan menungguku, dia mendorong dan memuja. Dia memberikan
kepadaku segala sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh buku. Dia memberiku
kecintaan, kehangatan, tidak mementingkan diri sendiri. Ia memberikan segala
apa yang kuperlukan yang tidak dapat kuperoleh semenjak aku meninggalkan rumah
ibu. Psikiater akan mengatakan bahwa ini adalah pencarian kembali kasih sayang
ibu.
Mungkin juga, siapa tahu. Jika aku
mengawininya karena alasan ini, maka ia terjadi secara tidak sadar. Dia. waktu
itu dan sekarangpun masih seorang perempuan yang budiman. Pendeknya, kalau
dipikirkan secara sadar, maka perasaan‐perasaan
yang dibangkitkannya padaku tidak lain seperti pada seorang kanak‐kanak. Inggit dalam masa selanjutnya dari hidupku ini sangat baik
kepadaku. Dia adalah ilhamku. Dialah pendorongku. Dan aku segera memerlukan
semua ini. Aku sekarang sudah menjadi mahasiswa di tingkat kedua. Aku sudah
kawin dengan seorang perempuan yang sangat kuharapkan dengan perasaan berahi.
Aku sekarang sudah melalui umur 21 tahun. Masa jedjakaku sudah berada
dibelakangku. Tugas hidupku merentang di depanku. Pikiran embriyo yang dipupuk
oleh Pak Tjokro dan mulai menemukan bentuk di Surabaya tiba‐tiba pecah menjadi kepompong di Bandung dan dari keadaan chrysalis berkembanglah
seorang pejuang politik yang sudah matang. Dengan Inggit berada disampingku aku
melangkah maju memenuhi amanat menudju cita‐cita.
0 komentar:
Posting Komentar