BAB IV
Surabaya: Dapur Nasionalisme
DARI jenis binatang pra sejarah yang
digali di kepulauan kami, ahli‐ahli
purbakala membuktikan bahwa setengah juta tahun yang lalu pulau Jawa sudah
didiami orang. Kebudayaan kami adalah kebudayaan purba. Bukalah buku Ramayana.
Di dalamnya orang akan membaca keterangan mengenai "Negeri Suarna Dwipa
yang mempunyai tujuh buah kerajaan besar". Suarna Dwipa, yang berarti
pulau‐pulau emas, adalah nama negeri kami pada waktu ia diabadikan dalam
cerita‐cerita klasik Hindu dua ribu limaratus tahun yang lalu. Dari abad
kesembilan ketika negeri kami bernama Keradjaan Sriwijaya sampai abad keempat belas
waktu negeri kami bernama Majapahit, kami punya "negeri yang terkenal
makmur telah mencapai tingkatan ilmu yang demikian tinggi sehingga menjadi
pusat ilmu pengetahuan bagi seluruh dunia beradab". Demikianlah keterangan
yang terdapat dalam surat‐surat,
gulung perkamen yang berharga dari negeri Tiongkok dan menurut dugaan adalah
bibit dari kebudayaan seluruh Asia. Negeri kami masih tersohor dalam lingkungan
internasional ketika Christopher Columbus mencari kepulauan. Rempah‐rempah gugusan pulau‐pulau
yang sekarang kita namakan Kepulauan Maluku. Seumpama Columbus tidak berlayar
mencari jahe, buah pala, lada dan cengkeh kami dan tidak sesat pula di jalan, tentu
dia tidak akan menemukan benua Amerika. Ketika jalan laut menuju Hindia
akhirnya ditemukan orang, modal asing mengerumuni pantai kami, seperti semut
mengerumuni tempat gula. Dari Lisboa datanglah Vasco'da Gama. Dari negeri
Belanda Cornelis de Houtman: Ini merupakan titik tanda dimulainya "Revolusi
Perdagangan" di Eropa.
Kapitalisme ini tumbuh hingga ia
mengenyangkan lapangan eksploitasi dalam masyarakat mereka sendiri. Barang‐barang yang sebelumnya diimpor dari Timur, sekarang sudah diekspor
ke Timur; jadi Timur menjadi pasar‐pasar
tambahan untuk barang‐barang
berlebih. Daerah Timur menjadi suatu pasar untuk modal berlebih yang tidak lagi
bisa memperoleh jalan keluar. Liberalisme dalam ekonomi lalu membawa
Liberalisme dalam politik. Untuk mengendalikan ekonomi dari negara lain,
terlebih dulu negara itu harus ditaklukkan. Pedagang‐pedagang menjadi penakluk; bangsa‐bangsa Asia‐Afrika
dijajah dan perlombaan ini membuka pintu kepada jaman Imperialisme. Jawa
diduduki diabad ke 16, Maluku diabad ke 17 dan lambat laun Negeri Belanda
menguasai kepulauan kami secara berturut‐turut
hingga ke Bali yang baru dikuasai di tahun 1906. Dengan cepat kekuasaan asing
menanamkan akar‐akarnya.
Mereka mengambil kekayaan kami, mengikis kepribadian kami dan musnalah Putera‐puteri harapan bangsa dari suatu Bangsa yang Besar yang pandai
melukis, pandai bercerita, mengukir, membuat lagu, menciptakan tari. Kami tidak
lagi dikenal oleh dunia luar, kecuali oleh penghisap‐penghisap dari Barat yang mencari kemewahan di Hindia. Akibat dari Imperialisme, sungguh jahat sekali. Orang laki‐laki diambil dari rumahnya dan dipaksa menjadi budak di pulau‐pulau yang jauh, dimana terdapat kekurangan tenaga manusia. Perempuan‐perempuan dipaksa bekerja di kebun tarum dan mereka tidak boleh
menghentikan pekerjaannya, sekalipun melahirkan pada waktu menanam. Tempe
adalah bungkah yang lunak dan murah terbuat dari kacang kedele yang diberi
ragi. Negeri tempe berarti negeri yang lemah. Itulah kami jadinya. Kami terus‐menerus dikatakan sebagai bangsa yang mempunyai otak seperti kapas.
Kami menjadi pengecut; takut duduk, takut berdiri, karena apapun yang kami
lakukan selalu salah. Kami menjadi rakyat seperti dodol dengan hati yang kecil.
Kami lemah seperti katak dan lembut seperti kapok. Kami menjadi suatu bangsa
yang hanya dapat membisikkan, "Ya tuan", Sampai sekarang orang
Indonesia masih terbawa‐bawa
oleh sifat rendah diri, yang masih saja mereka pegang teguh secara tidak sadar.
Hal itu menyebabkan kemarahanku baru‐baru
ini. Wanita‐wanita dari kabinetku selalu
menyediakan jualan makanan Eropa. "Kita mempunyai panganan enak kepunyaan
kita sendiri," kataku dengan marah.
"Mengapa tidak itu saja
dihidangkan?". "Ma'af, Pak," kata mereka dengan penyesalan,
"Tentu bikin malu kita saja. Kami rasa orang Barat memandang rendah pada
makanan kita yang melarat." Ini adalah suatu pemantulan kembali dan pada
jaman dimana Belanda masih berkuasa. Itulah perasaan rendah diri kami yang
telah berabad‐abad umurnya kembali memperlihatkan
diri. Ejekan yang terus ‐ menerus
dipumpakan oleh pemerintah Hindia Belanda tentang ketidakmampuan kami,
menyebabkan kami yakin akan hal tersebut. Dan keyakinan bahwa engkau bangsa
yang hina, lagi bodoh adalah suatu senjata yang ada dalam tangan penjajah.
lmperialisme adaIah kumpulan kekuatan jahat yang nampak dan yang tidak nampak.
Penindasan yang sudah demikian lama dirasakan menyebabkan bangkitnya suatu masa
para pelopor. Sun Yat Sen mendirikan Gerakan Nasional Tiongkok di tahun 1885.
Kongres Nasional India: di tahun 1887. Aguinaldo dan Rizal membangkitkan
Filipina. Di tahun‐tahun
permulaan abad ke‐20.
Seluruh Asia bangkit dan di abad
keduapuluh yang megah ini, dalam mana isolasi tidak akan terjadi lagi, maka
bangsa Indonesia yang lemah dan pemalu itupun dapat merasakan gelora dari pada
kebangkitan ini. Dalam bulan Mei 1908 para pemimpin di Jawa menyusun partai
nasional yang pertama dengan nama "Budi Utomo", yang artinya "
Tingkah laku yang utama atau Usaha yang Suci". Di tahun 1912 organisasi
ini memberi jalan kepada Sarekat Islam yang mempunyai anggota sebanyak dua
setengah juta orang dibawah pimpinan H.O.S. Tjokro Aminoto, yang dulunya adalah
Guru, teman seperjuangan, dan ayah mertuaku. Bangsa Indonesia yang menderita
secara perseorangan sekarang mulai menyatukan diri dan persatuan nasional mulai
tersebar. Ia lahir di Jakarta, akan tetapi sang bayi baru pertamakali melangkahkan
kakinya di Surabaya. Di tahun 1916 maka Surabaya merupakan kota pelabuhan yang sangat
sibuk dan ribut, lebih menyerupai kota New York. Pelabuhannya baik dan menjadi
pusat perdagangan yang aktif. Ia menjadi suatu kota industri yang penting
dengan pertukaran uang yang cepat dalam perdagangan gula, teh, tembakau, kopi.
Ia menjadi kota tempat perlombaan dagang yang kuat dan orang‐orang Tionghoa yang cerdas ditambah dengan arus yang besar dan para
pelaut dan pedagang yang membawa berita‐berita
dari segala penjuru dunia. Penduduknya semakin bertambah, terdiri dari pekerja pelabuhan
dan pekerja bengkel yang masih muda‐muda
dan yang bersemangat menyala‐nyala.
Ia menjadi kota dimana bergolaknya persaingan, pemboikotan, perkelahian di
jalan‐jalan. Kota itu bergolak dengan ketidakpuasan dari orang‐orang revolusioner. Ke tengah‐tengah
kancah yang mendidih, demikian itulah seorang anak ibu berumur 15 tahun masuk
dengan menjinjing sebuah tas kecil.
Keluarga Tjokroaminoto terdiri dari
enam orang. Yaitu Pak dan Bu Tjokro, anak‐anaknya
Harsono yang 12 tahun lebih muda daripada aku, Anwar 10 tahun lebih muda,
puteri mereka Utari lima tahun lebih muda dan seorang bayi, Pak Tjokro semata‐mata bekerja sebagai Ketua Sarekat Islam dan penghasilannya tidak banyak.
Dia tinggal di kampung yang penuh sesak tidak jauh dari sebuah kali. Menyimpang
dari jalanan yang sejajar dengan kali itu, terdapat sebuah gang dengan deretan
rumah dikiri‐kanannya yang terlalu sempit untuk
jalan mobil. Gang kami itu bernama Gang 7 Peneleh. Pada seperempat jalan
jauhnya masuk ke gang itu berdirilah sebuah rumah buruk dengan paviliun setengah
melekat. Rumah itu dibagi menjadi sepuluh kamar‐kamar kecil, termasuk ruang loteng.
Keluarga Pak Tjokro tinggal di
depan; kami yang bayar makan di belakang. Sungguhpun semua kamar sama
melaratnya, akan tetapi anak‐anak
yang sudah bertahun‐tahun
bayar makan mendapat kamar yang namanya saja lebih baik. Kamarku tidak memakai
jendela sama sekali. Dan juga tidak berpintu. Di dalam sangat gelap, sehingga
aku terpaksa menghidupkan lampu terus‐menerus
sekalipun di siang hari. Duniaku yang gelap ini mempunyai sebuah meja goyah
tempatku menyimpan buku, sebuah kursi kayu, sangkutan baju dan sehelai tikar rumput.
Tidak ada kasur. Dan tidak ada bantal. Surabaya di waktu itu sudah menikmati kemegahan
lampu listrik. Setiap kamar mempunyai fittingan dan setiap pembayar‐makan membayar ekstra untuk lampu. Hanya kamarku yang tidak punya.
Aku tidak punya uang untuk membeli bolanya. Aku belajar sampai jauh malam
dengan memakai pelita. Bahkan akupun tidak mampu membeli kelambu untuk menutupi
balai‐balai dan supaya terhindar dari nyamuk. Kamar itu kecil seperti
kandang ayam. Tidak ada udara segar dan menjadi sarang serangga. Akan tetapi
karena tak ada orang lain yang mau tinggal denganku di kamar yang gelap itu,
maka setidak‐tidaknya aku dapat memilikinya untuk
diriku sendiri.
Sewanya 11 rupiah, termasuk makan.
Atau secara perhitungan kasarnya empat dolar sebulan. Bapak mengirimiku uang
dua belas rupiah setengah, dengan sisanya lima puluh sen untuk uang saku. Di
tahun 1917 bapak dipindahkan ke Blitar. Karena pemindahan ini merupakan
kenaikan jabatan, nasib bapak berubah sedikit. Oleh sebab itu ia dapat
mengirimiku $ 1,50 untuk uang saku setiap bulannya. Memang sukar bagi seorang inlander
untuk memasuki H.B.S. Disamping $ 15,00 sebulan untuk uang sekolah dan pet
seragam bertuliskan H.B.S., kami harus membayar lagi $ 75,00 setiap tahun untuk
uang buku. Aku ingat betul jumlah ini, karena aku menghitung setiap rupiahnya.
Kujaga agar jangan ada yang terpakai secara tidak disengaja. Walaupun aku anak
yang patuh, harus kuakui, bahwa aku menulis surat pulang hanya kalau dalam
kesempitan saja. Kukira ini sama saja dengan setiap anak muda, bukan? Dengan
tidak usah membuka surat‐suratku
terlebih dulu bapakpun sudah tahu isinya, bahwa si Karno minta uang. Suratku
kepada orang tuaku selalu dimulai dengan kalimat manis yang itu‐itu juga dan tidak pernah berubah‐ubah: "Bapak dan lbu yang tercinta saya berada dalam keadaan
sehat‐sehat saja dan harapan saya tentu agar Bapak dan Ibu keduanya
demikian pula hendaknya."
Kemudian setelah salam itu, dibaris
yang ketiga aku langsung menyampaikan maksud yang terpenting. Aku menulis,
"Sekarang saya sedang kekurangan uang. Apakah Bapak dan lbu dapat
mengirimi barang sedikit?" Disamping ibuku yang penyayang itu selalu
mengirimiku secara diam‐diam
satu atau dua rupiah bila ia punya uang, akupun mengusahakan sumber lain. Pak
Poegoeh, suami kakakku. Mereka tinggal sekira 50 kilometer dari Surabaya dan
Pak Poegoeh selalu memberiku uang lima rupiah untuk ongkos pulang. Karena uang
itu tidak habis semua untuk ongkos perjalanan, maka aku sering menemui mereka. Pak
Poegoeh enam tahun lebih tua dari padaku dan bekerja di kantor irigasi dari
Departemen Pekerjaan Umum. Sekalipun kami seperti kakak beradik, aku tak pernah
minta bantuan uang kepadanya secara terang‐terangan.
Cara orang Jawa kebanyakan tidak langsung. Kuminta kepada kakakku yang menyampaikannya
pula kepadanya. Dan permintaan ini kupikirkan lebih dahulu semasak‐masaknya. Aku tak pernah meminta di luar batas yang kuperkirakan
dapat diperoleh dengan mudah.
Sebagai hasil dari kebijaksanaan
semacam ini aku kadang‐kadang
mendapat lebih dari pada yang kuminta. Terasa hari libur sangat menyenangkan
apabila hadiah itu datang karena aku lalu bisa menjamu kawan‐kawanku dengan kopi atau jajan. H.B.S. terletak satu kilometer dari
Gang Paneleh. Setiap anak mempunyai sepeda. Aku sendiri yang tidak. Biasanya
aku membonceng dengan salah seorang kawan atau berjalan kaki. Aku mulai
menabung dan menabung terus dan ketika uangku terkumpul delapan rupiah, kubeli Fongers
yang hitam mengkilat, sepeda keluaran Negeri Belanda. Aku merawatnya bagai seorang
ibu. Ia kugosok‐gosok.
Kupegang‐pegang. Kubelai‐belai.
Pada suatu kali Harsono yang berumur tujuh tahun secara diam‐diam memakai sepedaku itu dan menabrakkannya ke pohon kayu. Seluruh
bagian mukanya patah. Harsono ketakutan. Ia tidak berani mengatakan padaku, dan
ketika aku mendengar berita itu, kusepak pantatnya dengan keras. Kasihan
Harsono. Ia menangis. Ia berteriak. Berminggu ‐ minggu lamanya aku tergoncang oleh Fongersku yang hitam mengkilat
itu yang sekarang sudah bengkok ‐ bengkok.
Akhirnya aku dapat mengumpulkan delapan rupiah lagi dan membeli lagi sepeda
yang lain tapi untuk Harsono. Sekali dalam seminggu aku menikmati satu‐satunya kesenanganku, Film, Aku sangat menyukainya. Betapapun,
caraku menonton sangat berbeda dengan anak‐anak
Belanda. Aku duduk ditempat yang paling murah. Coba pikir, keadaanku begitu
melarat, sehingga aku hanya dapat menyewa tempat di belakang layar. Kaudengar?,
Di belakang layar!! Di waktu itu belum ada film bicara, jadi aku harus membaca
teksnya dan terbalik dan masih dalam bahasa Belanda! lama‐kelamaan aku menjadi biasa dengan keadaan itu sehingga aku dapat
dengan cepat membaca teks itu dari kanan ke kiri. Aku tidak peduli, karena tak
ada cara lain lagi. Bahkan aku bersyukur karena masih bisa menyaksikannya. Saat
satu‐satunya yang menyebabkan aku kecewa ialah, bila dipertunjukkan film
adu tinju. Aku sama sekali tak dapat menaksir, tangan siapa yang melakukan
pukulan.
Dimasa itu "Yankee Doodle"
yang menjadi lagu kegemaranku. Mereka memutarnya pada tiap istirahat dan sambil
duduk seorang diri dalam gelap di belakang layar aku menyanjikannya dengan
lunak untuk diriku sendiri. Sampai sekarang aku masih menyanyikan lagu itu.
Pada suatu kali sebuah sirkus datang ke kota kami. Dalam pertunjukan itu mereka
melepaskan merpati‐merpati
dan kalau ada yang hinggap di bahu seseorang, itulah yang memenangkan hadiah.
Kami segera mengetahui bahwa, ketika burung itu hinggap pada teman kami, yang
sama‐sama bayar makan, hadiahnya seekor kuda. Jadi berkumpullah kami, Suardi
pemenang yang beruntung itu, kami, pemuda lainnya sebanyak setengah lusin dan
seekor kuda tua yang sudah letih. Kami tidak dapat akal akan diapakan kuda itu.
Tapi kami harus membawanya keluar, karena itu kami bawa ia pulang. Di bagian
belakang rumah ada pekarangan, akan tetapi tidak ada jalan untuk bisa sampai ke
tempat itu kecuali melalui tengah rumah. Dengan tenang kami buka pintu serambi muka
dan rumah Pemimpin Besar Rakyat Jawa dan mempawaikan kuda kami melalui kamar
duduk, terus ke halaman belakang dimana ia ditambatkan ke batang sawo.
Tak seorangpun di antara kami yang
punya uang untuk membeli makan mulut orang lain, sekalipun mulut itu kepunyaan
seekor kuda. Begitulah, dua hari kemudian Suardi menjualnya. Kecuali satu
sirkus dan film, masa itu bukanlah masa yang menggembirakan bagiku. Aku tidak mempunyai
kesenangan semasa mudaku. Aku terlalu serius. Aku tidak mengikuti kesenangan
seperti yang dialami oleh anak‐anak
sekolah yang lain. Mungkin apa yang dinamakan tindakan kegila‐gilaan sebagaimana yang dituduhkan kepadaku sekarang, adalah
semacam imbangan untuk mengejar kerugian di masa muda. Tidak ada kesenangan kesenangan
yang menyegarkan dalam kehidupanku hingga aku berumur 50 tahun. Kegembiraan
yang kucari sekarang mungkin sebagai usahaku untuk menutupi segala sesuatu yang
tidak pernah kunikmati di masa muda, sebelum waktunya terlambat. Aku tidak tahu
dengan pasti. Aku tak pernah memikirkannya hingga datang waktunya bagiku untuk menjalankan
pembedahan diri dengan jalan otobiografi ini.
Bagaimanapun juga, ini adalah
percakapan antara kita antara engkau, pembaca, denganku. Dan karena aku
berbicara dan gelora hati yang meluap‐luap,
kemudian merenungkan semua ini sebagai kesedihanku di masa yang silam, aku
merasa mungkin juga benar bahwa aku sedang berusaha mengimbangi kekurangan
diriku sendiri sekarang. Pendeknya, aku tidak mengalami masa senang di
Surabaya. Pada waktu aku mula datang, aku menangis setiap hari. Ah, aku sangat
kehilangan ibu tak dapat kuceritakan kepadamu betapa Wanita senantiasa
memberikan pengaruh yang besar dalam hidupku. Sekarang, aku tidak punya ibu,
tidak ada nenek untuk membujukku yang selamanya mengagumiku, tidak ada Sarinah yang
dengan tekun menjagaku. Aku merasa sebatang kara. Bu Tjokro adalah seorang
wanita yang manis dengan perawakan kecil bagus. Dia sendirilah yang mengumpulkan
uang makan kami saban minggu. Dialah yang membuat peraturan seperti: (l) Makan
malam jam sembilan dan barang siapa yang datang terlambat tidak dapat makan.
(2) Anak sekolah sudah harus ada di kamarnya jam 10 malam. (3) Anak sekolah
harus bangun jam empat pagi untuk belajar. (4) Main‐main dengan anak gadis dilarang. Aku memelihara hubungan rapat
dengan Bu Tjokro, akan tetapi dia terlalu sibuk untuk dapat memperhatikanku
sebagai seorang ibu. Karena memerlukan hati seorang perempuan, aku menoleh pada
Mbok Tambeng, perempuan pembantu rumah tangga, untuk menghiburku. Dia menjadi
pengganti ibuku. Dia menambal celanaku. Dia tahu bahwa gado‐gado adalah kegemaranku, karena itu dia suka menyusupkan ekstra
untukku. Mbok sayang kepadaku, tapi ah! aku sangat merindukan kasih sayang itu.
Masih saja si Mbok tidak bisa menjadi penghibur yang cukup bagi seorang anak
yang halus perasaannya. Jiwaku menjerit‐jerit
mencari kepercayaan hati, bahkan hati seorang bapak kemana aku dapat menoleh.
Pak Tjokro bukanlah orangnya.
Seorang pemimpin hanya tertarik pada
soal‐soal politik. Bahunya bukanlah tempat bersandar untuk menangis.
Atau tangannya bukanlah tempat merebahkan diri dengan enak. Sekalipun demikian
Pak Tjokro sangat senang kepadaku. Kasih sayangnya ini dinyatakannya terutama
di musim kemarau tahun 1918. Biasanya aku pulang mengunjungi orang tuaku dalam
waktu libur. Dalam dua bulan libur tinggal di Blitar aku merencanakan pergi ke
tempat kawan‐kawan untuk sehari di Wlingi, yang
jaraknya 20 kilometer dari Blitar. Semua rencana telah disiapkan dan dengan
keinginan yang besar menghadapi tujuan aku melambai kepada bapak, mencium ibu
dan memulai perjalananku. Aku baru saja sampai dirumah kawan ‐ kawanku ketika bahana menggemuruh yang menakutkan memenuhi angkasa
dan tanah bergoncang‐goncang
di bawah kakiku. Perempuan ‐ perempuan
tua yang ketakutan, anak ‐ anak
yang menjerit dan para pekerja yang letih karena membanting tulang terpencar
keluar dari pondok‐pondok
mereka menuju kampung yang penuh sesak. Ketakutan, kebingungan dan kekacauan
menghinggapi rakyat kampung.
Raksasa Gunung Kelud, gunung berapi
di Blitar, mencari saat itu untuk menunjukkan kemurkaan dari Dewa‐dewa. Langit menjadi hitam oleh arang dan abu bermil‐mil jauhnya. Di mana‐mana
ledakan lahar. Daerah itu diselubungi oleh asap, api dan racun. Dengan kekuatan
yang hebat lahar yang mendidih‐didih
mencurah menuruni lereng gunung ke tempat yang lebih rendah dan menggenang di
sana antara Blitar dan Wlingi. Banyak orang yang mati. Aku sangat kuatir karena
kutahu orang tuaku tentu sangat susah memikirkan diriku .... Hidupkah dia ….
Matikah dia. Mereka sadar, bahwa anaknya berada tepat di jalan dimana gunung
itu memuntahkan isinya dan mereka tidak dapat memperoleh berita. Sementara itu
aku mendengar, bahwa separo negeri kami telah kena landa, karena itu pikiranku
dilumpuhkan oleh kekuatiran tentang apakah yang mungkin terjadi terhadap orang
tuaku. Aku harus kembali secepat mungkin, akan tetapi tidak ada kendaraan yang
bagaimanapun bentuknya yang dapat menyeberangi lautan lahar yang menggelora
itu. Akhirnja, satu‐satunya
jalan yang harus ditempuh ialah dengan mengarunginya berjalan kaki. Selagi
lahar masih agak panas, aku mulai melangkahkan kaki menuju jalan pulang. Aku
masih jauh ketika mereka memapakku, lalu datang berlari‐lari menyongsongku di tengah jalan.
Mereka memelukku. Mereka menciumku. Mereka
mengelus pipiku. "O, engkau masih hidup," teriak bapak. "Engkau
masih hidup engkau masih hidup." Ibu menangis. Aku merangkul orang tuaku
dengan kedua belah tanganku. Aduh, kami gembira, gembira sekali bertemu satu
sama lain. Di Surabaya, Pak Tjokro pun rupanya merasa cemas memikirkan keadaanku.
Ia menaiki mobilnya dan melakukan perjalanan sehari penuh hanya karena hendak mengetahui
bagaimana keadaanku. Mula‐mula
ia tidak dapat menemuiku atau orangtuaku. Rumah kami selamat, akan tetapi rumah
itu sudah menjadi tumpukan lahar dan lumpur. Sampai di Jalan Sultan Agung 53 ia
hanya mendapati rumah kosong sama sekali. Kecuali beberapa ekor burung‐burung kecil. Ia jadi sangat bingung sebelum bertemu dengan kami.
Jadi aku menyadari bahwa Pak Tjokro mencintaiku dengan caranya sendiri. Hanya
caranya itu tidak cukup bagi seorang anak yang kesepian. Ia jarang berbicara
denganku. Bahkan aku jarang melihatnya. Ia tidak mempunyai waktu yang senggang.
Kalau ia di rumah tentu ada tamu atau ia bersamadi dalam kesunyian.
Oemar Said Tjokroaminoto berumur 33
tahun ketika aku datang ke Surabaya. Pak Tjokro mengajarku tentang apa dan
siapa dia, bukan tentang apa yang ia ketahui ataupun tentang apa jadinya aku
kelak. Seorang tokoh yang mempunyai daya cipta dan cita‐cita tinggi, seorang pejuang yang mencintai tanah tumpah darahnya.
Pak Tjokro adalah pujaanku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak sadar ia
menggemblengku. Aku duduk dekat kakinya dan diberikannya kepadaku buku‐bukunya, diberikannya padaku miliknya yang berharga. Ia hanya tidak
sanggup memberikan kehangatan langsung dari pribadinya kepada pribadiku yang
sangat kuharapkan. Karena tak seorangpun yang mencintaiku seperti yang
kuidamkan, aku mulai mundur. Kenyataan‐kenyataan
yang kulihat dalam duniaku yang gelap hanyalah kehampaan dan kemelaratan.
Karena itu aku mengundurkan diri ke dalam apa yang dinamakan orang Inggris
"Dunia Pemikiran". Buku‐buku
menjadi temanku. Dengan dikelilingi oleh kesadaranku sendiri aku memperoleh kompensasi
untuk mengimbangi diskriminasi dan keputus‐asaan
yang terdapat di luar. Dalam dunia kerohanian dan dunia yang lebih kekal inilah
aku mencari kesenanganku. Dan di dalam itulah aku dapat hidup dan sedikit
bergembira. Selurah waktu kupergunakan untuk membaca. Sementara yang lain bermain‐main, aku belajar. Aku mengejar ilmu pengetahuan di samping
pelajaran sekolah. Kami mempunyai sebuah perpustakaan yang besar di kota ini
yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Theosofi. Bapakku seorang Theosof, karena
itu aku boleh memasuki peti harta ini, dimana tidak ada batasnya buat seorang
anak yang miskin.
Aku menyelam sama sekali ke dalam
dunia kebatinan ini. Dan disana aku bertemu dengan orang‐orang besar. Buah pikiran mereka menjadi buah pikiranku. Cita‐cita mereka adalah pendirian dasarku. Secara mental aku berbicara
dengan Thomas Jefferson. Aku merasa dekat dan bersahabat dengan dia, karena dia
berceritera kepadaku tentang Declaration of Independence yang ditulisnya
ditahun 1776. Aku memperbincangkan persoalan George Washington dengan dia. Aku
mendalami lagi perjalanan Paul Revere. Aku dengan sengaja mencari kesalahan‐kesalahan dalam kehidupan Abraham Lincoln, sehingga aku dapat
mempersoalkan hal ini dengan dia. Pada waktu sekarang, apabila ada orang
menegur, "Hai Sukarno, mengapa engkau tidak suka kepada Amerika?"
maka aku akan menjawab: "Apabila engkau mengenal Sukarno, engkau tidak
akan mengajukan pertanyaan itu? Masa mudaku kupergunakan untuk memuja bapak‐bapak perintis dari Amerika. Aku ingin berlomba dengan pahlawan‐pahlawannya. Aku mencintai rakyatnya. Dan aku masih mencintainya.
Bahkan sekarangpun aku masih membaca majalah Amerika dari "Vogue"
sampai ke "Nugget". Aku akan selalu merasa berkawan dengan Amerika.
Ya,berkawan. Aku mengatakannya secara terbuka. Aku menuliskan tentang diriku
sendiri. Kunyatakan ini dengan tercetak. Suatu pendirian dasar seperti yang
kumiliki takkan dapat membiarkanku tidak berkawan dengan Amerika. Di dalam
dunia pemikiranku akupun berbicara dengan Gladstone dari Britannia ditambah
dengan Sidney dan Beatrice Webb yang mendirikan Gerakan Buruh Inggris aku
berhadapan muka dengan Mazzini, Cavour dan Garibaldi dari Italia. Aku
berhadapan dengan Otto Bauer dan Adler dari Austria.
Aku berhadapan dengan Karl Marx,
Friedrich Engels dan Lenin dari Rusia dan aku mengobrol dengan Jean Jacques
Rousseau' Aristide Briand' dan Jean Jaures ahli pidato terbesar dalam sejarah
Perancis. Aku meneguk semua cerita ini. Kualami kehidupan mereka. Aku
sebenarnya adalah Voltaire. Aku adalah Danton pejuang besar dari Revolusi
Perancis. Seribu kali aku menyelamatkan Perancis seorang diri dalam kamarku
yang gelap. Aku menjadi tersangkut secara emosional dengan negarawan‐negarawan ini. Di sekolah kami mendengarkan pelajaran tentang
pengadilan rakyat dari bangsa Yunani kuno. Ia melekat dalam pikiranku. Aku
membayangkan pemikir‐pemikir
yang sedang marah selagi berpidato dan meneriakkan semboyan‐semboyan seperti "Persetan dengan Penindasan" dan
"Hidup Kemerdekaan". Hatiku terbakar menyala‐nyala. Macam itu, ketika semua orang sudah mengunci pintu, kamar
kandang ayamku menjadi ruang pengadilan aku sebagai seorang pemuda Yunani yang
terbakar oleh antusiasme.
Sambil berdiri di atas mejaku yang
goyah aku ikut terbawa oleh perasaan. Aku mulai berteriak Selagi aku berpidato
dengan sangat keras kepada tak seorangpun, kepala‐kepala berjuluran keluar pintu, mata bertonjolan dari kepala dan
terdengar suara anak‐anak
muda berteriak dalam gelap' "Hei, No, kau gila?. Ada apa….Hei, apa kau sakit?"
dan kemudian tukang‐tukang
sorak itu kembali pada jawabannya sendiri, "Ah, tidak ada apa‐apa. Cuma si No mau menyelamatkan dunia lagi", dan satu demi
satu pintu‐pintu menutup lagi dan membiarkan
aku sendiri dalam kegelapan. Pada waktu aku semakin mendekati kedewasaan,
duniaku di dalam semakin lebar dan mencakup pula kawan‐kawan dari Tjokroaminoto. Setiap hari para pemimpin dari partai
lain atau pemimpin cabang Sarekat Islam datang bertamu. Dan setiap kali mereka
tinggal selama beberapa hari. Sementara kawan‐kawanku serumah keluar menyaksikan pertandingan bola, aku duduk
dekat kaki orang‐orang
ini dan mendengarkan.
Kadang‐kadang kubagi tempat tidurku dengan salah seorang pemimpin itu dan
minum dari mata air keahlian mereka hingga waktu fajar. Aku menyukai waktu
makan, Kami makan secara satu keluarga, jadi aku dapat mengikuti dan meresapkan
percakapan politik. Pada waktu mereka melepaskan lelah di sekeliling meja, aku
bahkan kadang‐kadang berani mengajukan pertanyaan.
Mahaputera ‐ mahaputera ini putera putera yang
besar dari rakyat Indonesia, tidak mengacuhkanku karena aku masih anak‐anak. Sekali pada waktu makan malam mereka mempersoalkan tentang
kapitalisme dan tentang barang‐barang
yang diangkut dari kepulauan kami untuk memperkaya Negeri Belanda. Disaat
inilah aku bertanya perlahan, "Berapa banyak yang diambil Belanda dari
Indonesia?", "Anak ini sangat ingin tahu," senyum Pak Tjok kemudian menambahkan, "De Vereenigde Oost Indische Compagnie
menyedot — atau mencuri— kirakira 1800 juta gulden dari tanah kita setiap tahun
untuk memberi makan Den Haag. "Apa yang tinggal di negeri kita?" kali
ini aku bertanya lebih keras sedikit. "Rakyat tani kita yang mencucurkan
keringat mati kelaparan dengan makanan segobang sehari," kata Alimin,
yaitu orang yang memperkenalkanku kepada Marxisme. "Kita menjadi bangsa
kuli dan menjadi kuli di antara bangsa‐bangsa,"
sela kawannya yang bernama Muso. "Sarekat Islam bekerja untuk memperbaiki
keadaan dengan mengajukan mosi‐mosi kepada Pemerintah," kata Pak Tjok menerangkan dan kelihatan
senang karena mempunyai murid yang begitu bersemangat. "Pengurangan pajak
dan serikat‐serikat pekerja hanya dapat
digerakkan dengan kooperasi dengan Belanda — sekalipun kita membenci kerjasama
ini." Tapi apakah baik untuk membenci seseorang sekalipun ia orang
Belanda?". "Kita tidak membenci rakyatnya," dia memperbaiki,
"Kita membenci sistem pemerintahan Kolonial." Mengapa nasib kita
tidak berubah jika rakyat kita telah berjuang melawan sistem ini sejak berabad‐abad?". "Karena pahlawan‐pahlawan kita selalu berjuang sendiri ‐ sendiri. Masing‐masing
berperang dengan pengikut yang kecil di daerah yang terbatas," Alimin menjawab.
" O, mereka kalah karena tidak bersatu," kataku. Ahli pikir India,
Swami Vivekananda, menulis, "Jangan bikin kepalamu menjadi perpustakaan.
Pakailah pengetahuanmu untuk diamalkan." Aku mulai menerapkan apa‐apa yang telah kubaca kepada apa yang telah kudengar. Aku
memperbandingkan antara peradaban yang megah dari pikiranku dengan tanah airku
sendiri yang sudah bobrok. Setapak demi setapak aku menjadi seorang pencinta
tanah air yang menyala‐nyala
dan menyadari bahwa tidak ada alasan bagi pemuda Indonesia untuk menikmati
kesenangan dengan melarikan diri ke dalam dunia khayal. Aku menghadapi
kenyataan bahwa negeriku miskin, malang dan dihinakan. Aku berjalan‐jalan seorang diri dan merenungkan tentang apa yang sedang berputar
dalam otakku. Satu jam lamanya aku berdiri tak bergerak di atas jembatan kecil
yang melintasi sungai kecil dan memandangi iring‐iringan manusia yang tak henti‐hentinya.
Aku melihat rakyat tani dengan kaki ayam berjalan lesu menuju pondoknya yang
buruk. Aku melihat Kolonialis Belanda duduk mencekam di atas kereta terbuka yang
ditarik oleh dua ekor kuda yang mengkilat. Aku melihat keluarga orang kulit
putih kelihatan bersih bersih, sedang saudara‐saudaranya yang berkulit sawo matang begitu kotor, badannya berbau,
bajunya compang‐camping,
anak‐anak mereka jorok‐jorok.
Aku bertanya dalam hati, apakah orang bisa tetap bersih apabila mereka tidak
punya pakaian lain untuk penggantinya.
Kuhisap masuk
tubuhku bau daripada sisa makanan yang sudah busuk dan bau selokan‐selokan yang melemaskan, dan kulekatkan dengan kuat di dalam lobang
hidungku bau busuk daripada kemelaratan rakyatku, sehingga sekalipun aku pergi
10.000 mil dari sungai aku masih tetap menciumnya. Aku memandang ke dalam
keputusasaan dari setiap laki‐laki
dan perempuan yang kulihat. Aku terhanyut bersama rakyatku. Rakyatku yang
miskin lagi papa. Dari jembatan aku menoleh ke arah massa yang seperti semut
banyaknya dan aku mengerti sejelas‐jelasnya,
bahwa inilah kekuatan kami. Dan aku menyadari sesadar‐sadarnya akan penderitaan mereka. Sekalipun anak kecil tak akan
dapat menahan rawan hatinya pada waktu pertama kali melihat kata‐kata peringatan di kolam‐renang
yang berbunyi, "Terlarang bagi anjing dan bumiputera." Anjing
didahulukan. Dapatkah seorang manusia tidak tersinggung perasaannya, apabila
seorang kondektur Bumiputera harus menundukkan kepala kepada setiap Belanda
yang menaiki tremnya? Aku seorang anak berumur 14 tahun ketika mukaku ditampar
oleh seorang anak berhidung panjang, tak lain hanya disebabkan karena aku
seorang inlander. Apakah menurut pendapatmu tindakan‐tindakan yang demikian itu tidak meninggalkan gores luka dalam
hati? Ya, aku mempunyai kesadaran sebagai seorang anak. Aku memulai persembahan
hidupku ini pada umur 16 tahun. Perkumpulan politik yang pertama kudirikan
adalah Tri Koro Darmo yang berarti "Tiga Tujuan
Suci" dan melambangkan kemerdekaan politik, ekonomi dan sosial
yang kami cari. Ini pada dasarnya adalah suatu organisasi sosial dari para
pelajar seumurku. Jong Java, sebagai langkah kedua, mempunyai dasar yang lebih
luas. Begitupun pergaulan sosial kami berlandaskan kebangsaan. Kami membaktikan
diri untuk memperkembangkan kebudayaan asli seperti mengajarkan tari Jawa atau
mengajar main gamelan.
Jong Java pun
banyak melakukan pekerjaan ‐ pekerjaan
sosial. Kami pergi ke kampong ‐ kampung
yang berdekatan untuk mengumpulkan dana bagi sekolah atau untuk membantu korban
bencana letusan gunung. Kami mengadakan pertunjukan di tempat tempat yang
memerlukan pertolongan dan mengeluarkan biaya‐biaya itu dari hasil uang masuk. "Harus kuakui sekarang, bahwa
tampangku di masa muda sangat tampan sehingga kelihatan seperti anak gadis.
Karena hanya sedikit wanita terpelajar pada waktu itu, tidak banyak anak gadis
yang menjadi anggota kami. Dan potonganku lebih banyak menyerupai seorang
perawan cantik sehingga kalau Jong Java mengadakan pertunjukan. Mana kalau diserahi
memainkan peran wanita yang naif itu. Aku betul‐betul membedaki pipi dan memerahkan bibirku. Akan kuceritakan
sesuatu kepadamu. Aku tidak tahu, bagaimana pendapat orang asing tentang seorang
Presiden yang mau menceritakan hal yang demikian itu. Tetapi sungguhpun
demikian aku akan menceritakannya juga. Aku membeli dua potong roti manis. Roti
bulat. Seperti roti gulung. Dan kuisikan ke dalam bajuku. Ditambah dengan
bentuk badanku yang langsing setiap orang menyatakan, bahwa aku kelihatan
sangat cantik. Untunglah dalam peranku itu tidak termasuk adegan mencium laki‐laki. Selesai pertunjukan kupikir, tentu aku tak dapat
menghamburkan uangku begitu saja. Karena itu kukeluarkan roti itu dari dalam
baju dan kumakan.
Sambil memandangku
diatas panggung para penontonpun memberikan komentarnya, bahwa aku memperlihatkan
bakat yang besar untuk tampil di muka umum. Akupun sangat setuju dengan
pendapat mereka, tidak lama kemudian aku mendapat kesempatan lain. Ketika itu
diadakan pertemuan dari Studieclub, yaitu suatu kelompok sebagai pengajaran
tambahan dan bertujuan untuk membahas buah buah pikiran dan cita‐cita. Disinilah aku mengadakan pidato yang pertama. Aku berumur 16
tahun. Ketua Studieclub mendapat giliran untuk berbicara dan mendadak aku
dikuasai oleh suatu dorongan yang kuat untuk berbicara. Aku tidak dapat
mengendalikan diriku selanjutnya. Selagi duduk dalam pertemuan itu aku melompat
dan berdiri diatas meja. Suatu gerak perbuatan khas seperti kanak‐kanak. Kukira ini disebabkan karena aku bersifat emosional.
Sekarangpun aku masih demikian. Ketua menyatakan, "Adalah menjadi suatu
keharusan bagi generasi kita untuk menguasai betul bahasa Belanda." Setiap
orang setuju. Setiap orang, kecuali aku sendiri. Aku gugup tentunya, akan
tetapi ketika aku memperoleh perhatian mereka, aku berbicara dengan suara yang
tenang sekali, "Tidak. Saya tidak setuju, "Tanah kebanggaan kita ini
dulu pernah bernama Nusantara. Nusa berarti pulau. Antara berarti diantara.
Nusantara berarti ribuan pulau‐pulau ini, dan banyak di antara pulau‐pulau ini lebih besar daripada seluruh negeri Belanda. Jumlah
penduduk Negeri Belanda hanya segelintir jika dibandingkan dengan penduduk kita.
Bahasa Belanda hanya dipergunankan oleh enam juta orang. "Mengapa suatu
negeri kecil yang terletak di sebelah sana dari dunia ini menguasai suatu
bangsa yang dulu pernah begitu perkasa, sehingga dapat mengalahkan Kublai Khan
yang kuat itu?" Dengan suara tenang dan tidak terburu‐buru atau tegang aku selanjutnya mengemukakan alasan‐alasan ditambah dengan kenyataan‐kenyataan.
Aku mengakhiri pidato itu dengan kata‐kata,
"Saya berpendapat, bahwa yang harus kita kuasai pertama‐tama lebih dulu adalah bahasa kita sendiri. Marilah kita bersatu
sekarang untuk mengembangkan bahasa Melayu. Kemudian baru menguasai bahasa
asing. Dan sebaiknya kita mengambil bahasa Inggris, oleh karena bahasa itu
sekarang menjadi bahasa diplomatik. "Belanda berkulit putih. Kita
sawomatang. Rambut mereka pirang dan keriting. Kita punya lurus dan hitam.
Mereka tinggal ribuan kilometer dari sini. Mengapa kita harus berbicara bahasa
Belanda?!" Maka terjadilah keributan karena sangat kagum. Mereka tak
pernah mendengar hal semacam ini sebelumnya. Kuingat Direktur H.B.S., Tuan Bot,
berdiri disana. Dia tidak berbuat apa‐apa
melainkan memandang kepadaku dengan muka tidak senang sama sekali, seakan dia
berkata, "Oooh, Oooh, Sukarno mau bikin susah!" Sekalipun aku tidak membikin
susah, aku sudah cukup dibikin susah. Aku adalah anak baru di sekolah Belanda
ini dan tambahan lagi seorang anak Bumiputera.
H.B.S. mempunyai 300 orang murid.
Hanja 2 diantaranya orang Indonesia. Aku dikeliiingi dari segala jurusan oleh
anak laki‐laki dan anak‐anak gadis Belanda. Sudah tentu mereka tidak senang padaku. Terkecuali
barangkali beberapa anak gadis, maka aku dianggap sepi. Sekolah mulai jam tujuh
pagi sampai jam satu siang, enam hari dalam seminggu. Diantara jam‐jam pelajaran ada waktu istirahat, pada waktu mana setiap anak
bermain atau jajan. Akan tetapi anak‐anak
Belanda tentu memisah dari kami. Mereka berusaha supaya kami tidak ada kawan.
Merekapun berusaha supaya hidung kami selalu berlumuran darah. Sewaktu kami
masih sebagai siswa baru, seorang anak yang rapi pakai celana baru dan kaku berwarna
putih yang menjadi ketentuan untuk tahun pertama berdiri mengangkang
menghalangi jalanku dan mengejek, "Menyingkir dari jalanku, anak
inlander." Ketika aku berdiri disana dia melepaskan tangannya PANGGGG !'
Tepat di hidungku! Jadi, kupukul dia kembali. Setiap hari aku pulang babak
belur. Aku tak pernah menjadi tukang berkelahi, tapi sekalipun aku dapat
menahan penghinaan aku tak dapat menghindari perkelahian tangan. Kadang‐kadang kukalahkan mereka, akan tetapi terkadangpun mereka mengalahkanku.
Kamipun mengalami diskriminasi di dalam sekolah. Sekolah begitu keterlaluan
terhadap kami, sehingga kalau seorang anak Bumiputera membuat suatu kesalahan
maka Direktur menghukumnya dengan larangan masuk kelas selama dua hari. Kami
mencurahkan tenaga dengan sungguh‐sungguh
kepada pelajaran. Akan tetapi sekalipun kami bertekun siang dan malam, nilai
yang didapat oleh anak‐anak
Belanda pasti lebih tinggi daripada yang diterima oleh anak Indonesia. Nilai kecakapan
diukur dengan angka. Angka 10 yang tertinggi dan angka enam adalah batas nilai
cukup dan inilah kebanyakan yang diterima oleh inlander. Kami mempunyai suatu
pameo mengenai angka‐angka
ini: angka sepuluh adalah untuk Tuhan, sembilan untuk professor, angka delapan
untuk anak yang luar biasa, tujuh untuk Belanda dan enam untuk kami. Angka
sepuluh tidak pernah diterima oleh anak Bumiputera.
Aku adalah penggambar cat air yang luar biasa. Di tahun
kedua kami disuruh menggambar kandang anjing. Sementara yang lain masih
mengukur ‐ ukur dan menaksir ‐ naksir dengan potlot aku sudah selesai menggambar kandang yang
lengkap, di dalamnya seekor anjing yang dirantai dan sepotong tulang. Guru
perempuan kami memperlihatkan gambarku kepada seluruh kelas. Ia mengatakan,
"Gambar ini begitu hidup dan penuh perasaan, karena itu patut mendapat
nilai yang setinggi mungkin." Tapi apakah aku memperoleh angka yang paling
tinggi itu? Tidak. Selalu orang kulit putih lebih pandai. Lebih cerdas. Orang
kulit putih lebih banyak tahu. Alat kolonial tidak akan berhasil, kecuali jika
ia memupuk keunggulan kulit putih terhadap sawo matang. Guru‐guru sangat sayang kepadaku. Aku anak yang patuh, sungguh‐sungguh dan hormat. Hanya sesekali aku bertindak diluar garis. Aku
tidak pernah betul‐betul
kurang ajar, akan tetapi pada suatu kali setelah pidatoku yang pertama aku
berjalan melalui ruangan ketika professor Egberts melihatku dan meneriakkan,
"Hai, Sukarno, bagaimana dengan kau punya 'Jong Java'?" dan aku
mengejek, Ya, Professor, bagaimana pula dengan tuan punya 'Oud Holland?"
Aku menjadi favorit dari guru bahasa Jerman yang juga memimpin Kelompok
Perdebatan kami. Dalam memperdebatkan persoalan kehilir‐kemudik dan mengajukan pendapat‐pendapat
yang berlawanan, aku memperbaiki kecakapan berbicara. Professor Hartagh
melihat, bahwa aku dapat memimpin kawan‐kawanku. Pada suatu pertemuan Hartagh
menyampaikan kepada ke 20 orang murid secara bersama‐sama dan kepadaku secara pribadi, bahwa aku akan menjadi pemimpin
yang besar kelak. Professor mungkin punya bola kristal untuk meramal. Ia pun
pernah menceritakan kepada orang lain, bahwa dia akan menjadi guru dan memang
itu dia jadinya. Seorang guru perempuan betul‐betul sangat sayang kepadaku, sehingga ia memberiku nama Belanda.
Aku, calon pemimpin dari suatu revolusi di masa yang akan datang, dengan nama
Belanda? Dia menamaiku Kerel. Dia bahkan memanggilku "Schat",
perkataan Belanda untuk kesayangan. Kalau dia kelupaan kunci atau sesuatu
barang, dia lalu menunjukku dan berkata dengan manis, "Schat, maukah
engkau pergi ke kamarku dan mengambil kunc?" Ach, ini adalah hak istimewa yang
sangat besar. Pada suatu hari dia mengajakku ke rumahnya untuk menerima
pelajaran tambahan bahasa Perancis. Aku gemetar karena anugerah yang istimewa
itu. Pada waktu umurku semakin mendekati kedewasaan aku masih gemetar dengan
anugerah istimewa semacam ini. Akan tetapi karena alasan lain. Aku sangat
tertarik kepada anak‐anak
gadis Belanda. Aku ingin sekali mengadakan hubungan percintaan dengan mereka.
Hanya inilah satu‐satunya
jalan yang kuketahui untuk memperoleh keunggulan terhadap bangsa kulit putih
dan membikin mereka tunduk pada kemauanku. Bukankah ini selalu menjadi idaman?
Apakah seorang jantan berkulit sawo matang dapat menaklukkan seorang laki laki kulit
putih? Ini adalah suatu tujuan yang hendak diperjuangkan. Menguasai seorang gadis
kulit putih dan membikinnya supaya menginginiku adalah suatu kebanggaan.
Seorang pemuda tampan senantiasa
mempunyai kawan gadis‐gadis
yang tetap. Aku punya banyak. Mereka, bahkan memuja gigiku yang tidak rata. Dan aku mengakui bahwa aku
sengaja mengejar gadis‐gadis
kulit putih. Cintaku yang pertama adalah Pauline Gobee, anak salah seorang
guruku. Dia memang cantik dan aku tergila‐gila
kepadanya. Kemudian menyusul Laura. OO, betapa aku memujanya. Dan ada lagi
keluarga Raat. Mereka ini keluarga Indo dan mempunyai beberapa orang puteri
ayu. H.B.S. letaknya di arah yang berlawanan dengan rumah keluarga Raat, tapi
sekalipun demikian setiap hari selama berbulan‐bulan aku mengambil jalan keliling, hanya untuk lewat di muka
rumahnya dan untuk menangkap selintas pandangannya. Dekat itu terdapat Depot
Tiga, warung tempat minum. Aku kadang‐kadang
diajak oleh salah seorang kawan kesana dan disanalah kami dapat duduk dengan
gembira dan memandangi gadis gadis Belanda yang berlalu. Kemudian bagai suatu
cahaya yang bersinar dalam gelap, muncullah Mien Hessels dalam kehidupanku.
Hilanglah Laura, lenyaplah keluarga Raat dari ingatan dan lenyap pulalah kegembiraan
Depot Tiga. Sekarang aku punya Mien Hessels. Dia sama sekali milikku dan aku
sangat tergila‐gila kepada kembang tulip berambut
kuning dan pipinya jang merah mawar itu. Aku rela mati untuknya kalau dia
menghendakinya. Umurku baru 18 tahun dan tidak ada yang lebih kuinginkan dari kehidupanku
ini selain daripada memiliki jiwa dan raga Mien Hessels. Aku mengharapnya
dengan perasaan birahi dan sampailah aku pada suatu kesungguhan hati, aku harus
mengawininya. Tak satupun yang dapat memadamkan api yang sedang menggolak dalam
diriku. Ia adalah bagai kembang gula di atas kue yang takkan dapat kubeli.
Kulitnya lembut bagai kapas, rambutnya ikal dan pribadinya memenuhi segala‐galanya yang kuidamkan. Untuk dapat merangkulkan tanganku memeluk
Mien Hessels nilainya lebih dari segala harta bagiku. Akhirnya aku memberanikan
diri untuk berbicara kepada bapaknya. Aku mengenakan pakaian yang terbaik, dan
memakai sepatu.
Sambil duduk di
kamarku yang gelap aku melatih kata‐kata
yang akan kuucapkan dihadapannya. Akan tetapi pada waktu aku mendekati rumah
yang bagus itu aku menggigil oleh perasaan takut. Aku tak pernah sebelumnya bertamu
kerumah seperti ini. Pekarangannya menghijau seperti beludru. Kembang kembang berseri
tegak baris demi baris, lurus dan tinggi bagai prajurit. Aku tidak punya topi
untuk dipegang, karena itu sebagai gantinya aku memegang hatiku.Dan disanaIah
aku berdiri, gemetar, dihadapan bapak dari puteri gadingku, seorang yang tinggi
seperti menara yang memandang ke bawah langsung kepadaku seperti aku ini
dipandang sebagai kutu di atas tanah. "Tuan," kataku. "Kalau
tuan tidak berkeberatan, saya ingin minta anak tuan." ,"Kamu?
Inlander kotor, seperti kamu? sembur tuan Hessels, "Kenapa kamu berani‐beranian
mendekati anakku? Keluar, kamu binatang kotor. Keluar!" Dapatkah orang
membayangkan betapa aku merasa seperti didera dengan cambuk? Dapatkah kiranya
orang percaya, bahwa noda yang dicorengkan di mukaku ini pada satu saat akan
pupus sama sekali? Sakitnya adalah sedemikian, sehingga di saat itu aku
berpikir, "Ya Tuhan, aku tak akan dapat melupakan ini." Dan jauh
dalam lubuk hatiku aku merasa pasti, bahwa aku tidak akan dapat melupakan
dewiku yang berparas bidadari itu, Mien Hessels. 23 tahun kemudian, yaitu tahun
1942. Jaman perang. Aku sedang melihat lihat etalase pada salah satu toko
pakaian laki‐laki di suatu jalanan Jakarta,
ketika aku mendengar suara dibelakangku, "Sukarno?" Aku berpaling
memandangi seorang wanita asing, "Ya, saya Sukarno. "Dia tertawa
terkikik‐kikik, "Dapat kau menerka siapa saya ini?" Kuperhatikan
dia dengan saksama. Dia seorang nyonya tua dan gemuk. Jelek, badannya tidak
terpelihara. Dan aku menjawab, "Tidak, nyonya. Saya tidak dapat menerka.
Siapakah Nyonya?", "Mien Hessels," dia terkikik lagi. Huhhhh!
Mien Hessels! Puteriku yang cantik seperti bidadari sudah berubah menjadi
perempuan seperti tukang sihir. Tak pernah aku melihat perempuan yang buruk dan
kotor seperti ini. Mengapa dia membiarkan dirinya sampai begitu. Dengan cepat
aku memberi salam kepadanya, lalu meneruskan perjalananku. Aku bersyukur dan memuji
kepada Tuhan Yang Maha Penyayang karena telah melindungiku. Caci maki yang telah
dilontarkan bapaknya kepadaku sesungguhnya adalah suatu rahmat yang
tersembunyi. Kalau dipikirpikir, tentu aku takkan bisa lepas dari perempuan
ini. Aku bersyukur kepada Tuhan atas perlindungan yang telah diberikan‐Nya. Huhhh, orang apa itu! Jalan hidupku sebagai seorang pencinta
di masa belia berakhir ketika Bu Tjokroaminoto meninggal. Keluarga Pak Tjokro
dengan anak‐anak yang bayar makan pindah ke
rumah lain. Dan pemimpin yang kumuliakan itu keadaannya begitu tertekan,
sehingga aku merasa kasihan melihatnya. Anaknya masih kecil‐kecil, dia seorang diri dan rumah itu asing suasananya. Seluruh
keluarga nampaknya tidak berbahagia sama sekali. Aku tidak dapat memandangi
keadaan yang demikian itu. Kami belum lama menempati rumah yang baru itu ketika
saudara Pak Tjok datang menemuiku dan berkata, "Sukarno, kaulihat
bagaimana sedihnya hati Tjokroaminoto. Apakah tidak dapat kau berbuat sesuatu
supaya hatinya gembira sedikit?" Hatiku sangat berat dan menjawab,
"Saya dengan segala senang hati mau mengerjakan sesuatu, supaja dia dapat
tersenyum lagi. Tapi apa yang dapat saya lakukan? Saya tidak bisa menjadi
isteri Pak Tjokro." Bukan begitu, tapi engkau dapat menggembirakan hatinya
dengan cara lain".
"Cara lain?
"Ya ?
"Bagaimana ?"
"Jadi menantunya. Puterinya Utari sekarang tidak punya ibu lagi.
Tjokro sangat kuatir terhadap hari depan anaknya itu dan siapa yang akan
menjaganya dan mengasihinya. Inilah yang memberatkan pikirannya. Saya kira,
kalau engkau minta kawin dengan anak saudaraku itu, mungkin ini akan mengurangi
sedikit tekanan perasaan dari Pak Tjokro." "Tapi umurnya baru
16," kataku memprotes. "Ya memang, khan engkau belum 21. Perbedaan
umur tidak begitu jauh. Katakanlah pada saya, Sukarno, apakah ada perhatianmu
sedikit terhadap anak kakakku ?". "Yah,"
aku menerangkan pelahan‐lahan.
"Saya sangat berterima kasih kepada Pak Tjokro ... Saya mencintai Utari.
Tapi tidak terlalu sangat. Sungguhpun begitu, sekiranya saja perlu memintanya
untuk meringankan beban dari junjunganku, yah, saya bersedia. "Aku
mendatangi Pak Tjokro dan mengajukan lamaranku. Dia sangat gembira dan oleh
karena akan mendjadi menantu aku segera dipindahkan ke kamar yang lebih besar
dengan perabot yang lebih banyak. Sampai di hari ia menutup mata, ia tak pernah
mengetahui, bahwa aku mengusulkan perkawinan ini hanya karena aku sangat
menghormatinya dan menaruh kasihan kepadanya. Kami kawin dengan cara yang kita
namakan "kawin gantung". Ini adalah perkawinan biasa yang dibenarkan
dalam hukum dan agama.
Orang Indonesia menjalankan cara ini
karena beberapa alasan. Kadang‐kadang
dilangsungkan kawin gantung terlebih dulu, karena kedua‐duanya belum mencapai umur untuk dapat menunaikan kewajiban mereka
secara jasmaniah. Atau adakalanya si anak dara tinggal di rumah orang tuanya
sampai pengantin laki‐laki
sanggup membelanjai rumah tangga sendiri. Dalam hal kami, aku dapat tidur
dengan isteriku kalau aku menghendakinya. Akan tetapi aku tidak melakukannya
karena dia masih kanak‐kanak.
Boleh jadi aku seorang yang pencinta, akan tetapi aku bukanlah seorang pembunuh
anak gadis remaja Itulah sebabnya, mengapa kami melakukan kawin gantung. Pesta
kawinnya pun digantung. Di saat‐saat
aku mengawini Utari terjadi dua buah peristiwa, lain tidak karena pendirian
yang kolot. Penghulu secara serampangan menolak untuk menikahkan kami karena
aku memakai dasi. Dia berkata, "Anak muda, dasi adalah pakaian orang‐yang beragama Kristen. Dan tidak sesuai dengan kebiasaan kita dalam
agama Islam."
"Tuan Kadi" aku membalas, "Saya menyadari, bahwa
dulunya mempelai hanya memakai pakaian Bumiputera, yaitu sarung. Tapi ini
adalah cara lama. Aturannya sekarang sudah diperbarui."
‘ Ya," katanya membentak, "Akan tetapi pembaruan itu
hanya untuk memakai pantalon dan jas buka’. " Adalah kegemaran saya untuk berpakaian rapi dan memakai
dasi," aku menerangkan dengan tajam. Dalam hal ini, kalau masih terus
berkeras kepala untuk berpakaian rapi itu, saya menolak untuk melakukan pernikahan."
Apabila aku ditegur dengan keras di muka umum, atau disuruh harus begini‐begitu atau lain lain, aku menjadi keras. Dalam hal ini biarpun
Nabi sendiri sekalipun, takkan sanggup menyuruhku untuk menanggalkan dasi. Aku
menyentak bangkit dari kursiku dan menjawab dengan tandas, Barangkali lebih baik
tidak kita lanjutkan hal ini sekarang." Timbul protes keras dari imam
mesjid, akan tetapi aku menggeledek, "Persetan, tuan‐tuan semua. Saya pemberontak dan saya akan selalu memberontak, saya
tidak mau didikte orang di hari perkawinan saya." Kalau sekiranya tidak di
hadapan salah seorang tamu kami yang juga seorang alim dan sanggup menikahkan
kami, mungkinlah Sukarno tidak akan bersatu dengan Utari Tjokroaminoto dalam
pernikahan menurut agama.
Ketika lima menit
lagi aku akan menghabisi masa jejakaku, terjadilah peristiwa aneh yang kedua.
Tepat sebelum aku menginjak ambang pintu aku mengambil rokok untuk melakukan
hembusan yang terakhir. Aku mengeluarkan korek api dari kantong, menggoreskan
sebuah di sisi kotaknya untuk menyalakannya dan. Sisst …… seluruh kotak itu
menyala oleh jilatan api. Anak korek api yang ada dalam kotak itu menyala semua
sampai yang terakhir. Karena jilatan api ini jariku terbakar. Kuanggap kejadian
ini sebagai pertanda buruk dan memberikan kepadaku suatu perasaan ramalan yang
gelap. Aku tidak menceritakan hal ini kepada siapapun, akan tetapi aku tidak
dapat menghindarkan diri dari perasaan yang menakutkan ... Ehhh …. Apa maksudnya
ini?".
Sekalipun kedudukanku sebagai orang
yang baru kawin, waktuku di malam hari kupergunakan untuk mempelajari Pak
Tjokro. Aku menjadi buntut dari Tjokroaminoto. Kemana dia pergi aku turut.
Sukarnolah yang selalu menemaninya ke pertemuan‐pertemuan untuk berpidato, tak pernah anaknya. Dan aku hanya duduk
dan memperhatikannya. Dia mempunyai pengaruh yang besar terhadap rakyat. Sekalipun
demikian, setelah berkali‐kali
aku mengikutinya aku menyadari, bahwa dia tak pernah meninggikan atau merendahkan
suaranya dalam berpidato. Tak pernah membuat lelucon. Pidato‐pidatonya tidak bergaram. Aku tidak pernah membaca salah satu buku
yang murah tentang bagaimana cara menjadi pembicara di muka umum. Pun tidak
pernah berlatih di muka kaca. Bukanlah karena aku sudah cukup berhasil, akan
tetapi karena aku tidak mempunyai apa‐apa.
Cerminku adalah Tjokroaminoto. Aku
memperhatikannya menjatuhkan suaranya. Aku melihat gerak tangannya dan
kupergunakan penglihatanku ini pada pidatoku sendiri. Mula‐mula sekali aku belajar menarik perhatian pendengarku. Aku tidak
hanya menarik, bahkan kupegang perhatian mereka Mereka terpaksa mendengarkan.
Suatu getaran mengalir ke sekujur tubuhku ketika mengetahui, bahwa aku memiliki
suatu kekuatan yang dapat menggerakkan massa. Aku menguraikan pokok
pembicaraanku dengan sederhana. Pendengarku menganggap cara ini mudah untuk dimengerti,
karena aku lebih banyak mendasarkan pembicaraanku kepada cara bercerita, jadi
tidak semata‐mata memberikan fakta dan angka. Aku
berbuat menurut getaran perasaanku. Pada suatu malam Pak Tjokro tidak dapat
memenuhi undangan ke suatu rapat dan kepadaku dimintanya untuk menggantikannya.
Kali ini adalah suatu pertemuan kecil, akan tetapi aku menggunakan ke sempatan
ini dengan sebaik‐baiknya.
Aku mulai dengan suara lunak. "Negeri kita, saudara, adalah tanah yang
subur, sehingga kalau orang menanamkan sebuah tongkat ke dalam tanah, maka
tongkat itu akan tumbuh dan menjadi sebatang pohon. Sekalipun demikian rakyat
menderita kekurangan dan kemelaratan adalah beban yang harus dipikul sehari‐hari.
Puncak gunung menghisap awan di
langit, turun ke bumi dan negeri kita diberi rahmat dengan hujan yang melimpah‐limpah. Akan tetapi kita kekurangan makan dan perut kita menjerit‐jerit kelaparan." Ya, betul," mereka berteriak dari
tempat duduknya. Suaraku mulai naik. "Saudara tahu apa sebabnya, saudara saudara?
Sebabnya ialah, oleh karena orang yang menjajah kita tidak mau menanamkan uang
kembali untuk memperkaya bumi yang mereka peras. Penjajah hanya mau memetik
hasilnya. Ya, mereka menyuburkan bumi kita ini. Betul! Akan tetapi tahukah
saudara dengan apa mereka menyuburkan bumi kita ini? Tahukah saudara apa yang
dikembalikan ke bumi kita ini setelah 350 tahun menjajah? Saya akan ceritakan
kepada saudara‐saudara. Bumi kita ini mereka
suburkan dengan mayat‐mayat
yang bergelimpangan dari rakyat kita yang mati karena kelaparan, kerja keras
dan hanya tinggal tulang belulang!, Maka dari itu saya bertanya, apakah saudara
tidak setuju dengan saya? Seperti saya sendiri, apakah hati saudara tidak
digoncang‐goncang oleh keinginan untuk
merdeka? Saya pergi tidur dengan pikiran untuk merdeka. Saya bangun dengan
pikiran untuk merdeka. Dan saya akan mati dengan cita‐cita untuk merdeka didalam dadaku.
Apakah saudara tidak setuju dengan
saya?" ,"Setujuuuuuu!" mereka berteriak, "Ya…. kami
setuju!"
Mereka melihat kepadaku kalau aku
berbicara. Mereka memandang kepadaku seperti memuja, matamata terbuka lebar,
muka‐muka terangkat ke atas, meneguk semua kata‐kataku dengan penuh kepercayan dan harapan. Nampak jelas, bahwa aku
menjadi pembicara yang ulung. Ia berada dalam urat nadiku.
Aku menghirup lebih banyak lagi
persoalan politik di rumah Pak Tjokro, dapur dari pada nasionalisme. Dan setelah
mengikuti setiap pidatoku maka kawan‐kawan
seperjuangan mulai mengerti lebih banyak tentang pendirianku. Kemudian mulai
setuju. Lalu mengikuti pendirianku. Dan mencintaiku. Mereka memilihku sebagai
sekretatis dari Jong Java dan beberapa waktu kemudian aku mendjadi ketua.
Akupun menulis untuk majalah Pak
Tjok, "Oetoesan Hindia", akan tetapi dengan nama samaran, karena memang
susah untuk memasuki sekolah Belanda sambil menulis dalam majalah yang membela
tindakan untuk merobohkan Pemerintah Belanda. Aku kembali kepada Mahabharata
untuk memperoleh nama samaranku. Aku memilih nama "Bima" yang berarti
"Prajurit Besar" dan juga berarti keberanian dan kepahlawanan. Aku
menulis lebih dari 500 karangan. Seluruh Indonesia membicarakannya. Ibu, yang tidak
tahu tulis baca, dan bapakku tidak pernah tahu bahwa ini adalah anak mereka
yang menulisnya. Memang benar, bahwa keinginan mereka yang paling besar adalah,
agar aku menjadi pemimpin dari rakyat, akan tetapi tidak dalam usia semuda itu.
Tidak dalam usia yang begitu muda, yang akan membahayakan pendidikanku di masa
yang akan datang. Bapak tentu akan marah sekali dan akan berusaha dengan
berbagai jalan untak mencegahku menulis. Aku tidak akan memberanikan diri menyampaikan
kepada mereka, bahwa Karno kecil dan Bima yang gagah berani adalah satu.
Ramalan emas yang pertama kali diucapkan oleh ibu di waktu aku lahir —yang
didengungkan kembali oleh nenekku pada waktu aku masih bocah kecil dan yang didengungkan lagi di masa
mudaku oleh Professor Hartagh — kemudian diucapkan pula ketika aku berada
diambang pintu usiaku yang kedua puluh. Dan oleh dua orang yang berlainan.
Dr. Douwes Dekker Setiabudi adalah
seorang patriot yang telah menderita selama bertahun‐tahun dalam pembuangan. Ketika umurnya sudah lebih dari 50 tahun ia
menyampaikan kepada partainya, yaitu National Indische Partij, "Tuan‐tuan, saya tidak menghendaki untuk digelari seorang veteran. Sampai
saya masuk keliang kubur saya ingin menjadi pejuang untuk Republik Indonesia.
Saudara telah berjumpa dengan pemuda Sukarno. Umur saudara semakin lanjut dan
bilamana datang saatnya saya akan mati, saya sampaikan kepada tuan‐tuan, bahwa adalah kehendak saya supaya Sukarno yang menjadi
pengganti saya. "Anak muda ini," ia menambahkan, "..akan menjadi
'Juru selamat' dari rakyat Indonesia di masa yang akan datang. "Ramalan
yang kedua keluar dari Pak Tjokro, seorang penganut Islam yang saleh. Dia banyak
mempergunakan waktunya untuk sembahyang dan mendo'a. Setelah beberapa lama
melakukan samadi, ia kembali kepada seluruh keluarganya pada suatu malam yang
berhujan dan ia berbicara dengan kesungguhan hati?, "Ikutilah anak ini.
Dia diutus oleh Tuhan untuk menjadi Pemimpin Besar kita. Aku bangga karena
telah memberinya tempat berteduh di rumahku." Sepuluh Juni 1921 aku lulus.
Sebelas Juni rencana yang telah kuperbuat untuk diriku sendiri ditolak mentah‐mentah. Kawan‐kawanku
dan aku bermaksud akan meneruskan pelajaran ke sekolah tinggi di Negeri
Belanda. Ibu tidak mau tahu sama sekali dengan itu. Aku bersoal dengan dia.
"Ibu, semua anak‐anak
yang lulus dari H.B.S. dengan sendirinya pergi ke Negeri Belanda. Itulah jalan
yang biasa. Kalau orang mau memasuki sekolah tinggi dia pergi ke Negeri
Belanda. "Tidak. Tidak bisa. Anakku tidak akan pergi ke Negeri
Belanda," ia memprotes. "Apa salahnya keluar negeri?",,"Tidak
ada salahnya," katanya. "Tapi banyak jeleknya untuk pergi ke negeri
Belanda. Apakah yang menyebabkan kau tertarik?: Pikiran untuk mencapai gelar
universitas ataukah pengharapan akan mendapat seorang perempuan kulit
putih?","Saya ingin masuk universitas, Bu." Kalau itu yang
kauingini, kau memasuki yang disini. Pertama kita harus mengingat kenyataan
pokok yang mengendalikan sesuatu dalam hidup kita, Uang. Pergi keluar negeri memerlukan
biaya yang sangat besar. Disamping itu, engkau adalah anak yang dilahirkan
dengan darah Hindia. Aku ingin supaya engkau tinggal di sini diantara bangsa kita
sendiri. Jangan lupa sekali‐kali,
nak!, bahwa tempatmu, nasibmu, pusakamu adalah di kepulanan ini." Dan
begitulah aku mendaftarkan diri keuniversitas di Bandung. Mungkin suara ibu
yang kudengar. Akan tetapi sesungguhnya tangan Tuhanlah yang telah menggerakkan
hatiku.
0 komentar:
Posting Komentar