Indonesia

Indonesia is the beautiful country in the universe

Jumat, 16 Desember 2011

Hukum Asuransi Menurut Fatwa Ulama Kontenporer


Andrias Widiantoro untuk kemajuan bangsa

Hukum Asuransi Menurut Fatwa Ulama Kontenporer

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Permasalahan kontemporer yang selama ini masih menjadi perdebatan dan masih hangat adalah seputar dunia mu’amalah yaitu asuransi konvensional. Dewasa ini, asuransi sudah menjadi bagian bahkan sebagian orang menjadi kebutuhan. Akibatnya, banyak para umat islam yang memilih menggunakan asuransi untuk menjamin barang bahkan hidup mereka.
Dalam perjalanannya, para ulama menemukan beberapa indikaasi keharaman dan madharat bagi nasabah (klien). Oleh karena itu, terjadi pertentangan dikalangan para fuqoha. Perbedaan ini juga disebabkan karena didalam al-qur’an sendiri tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai hal tersebut, dan dihadist pun tidak ada.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dipaparkan dalil para ulama tentang asuransi, kemudian melakukan analisis dari dalail tersebut untuk memilih dalil yang dianggap kuat.
B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pendapat ulama kontemporer mengenai hukum asuransi konvensional?
2.      Dalil-dalil apa yang dipergunakan dalam menentukan hukum asuransi konvensional?
3.      Bagaimana mendiskusikan dalil tersebut?
4.      Pendapat mana yang lebih kuat dibanding yang lain?
C.  Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui pendapat ulama kontemporer mengenai hukum asuransi konvensional.
2.  Untuk mengetahui Dalil-dalil apa yang dipergunakan dalam menentukan hukum asuransi konvensional.
3.      Untuk mengetahui cara mendiskusikan dalil tersebut.
4.      Untuk mengetahui dalil yang paling kuat. 






BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pendahuluan
Jika kita mengamati perkembangan seputar dunia mu’amalah, tentu banyak disana kasus yang terjadi, bahkan sebagian besar kasus-kasus tersebut belum pernah ditemui dalam masa Rasulullah. Akhir-akhir abad ke 19, ulama-ulama kontemporer ramai membincangkan seputar hukum asuransi konvensional. Dan sampai sekarang masih terjadi perbedaan pendapat tentang hukum asuransi tersebut. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai hukum asuransi, agar lebih mempermudah dalam memahami, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian dan seputar asuransi.
Asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya. [1]
Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi. Ada beberapa unsur dalam asuransi, yaitu: tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta benda. Dan penanggung, dalam hal ini Perusahaan Asuransi, merupakan pihak yang menerima premi asuransi dari tertanggung dan menanggung risiko atas kerugian/musibah yang menimpa harta benda yang diasuransikan.
Konsep dasar asuransi yang dibenarkan syariah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al birri wat taqwa). Konsep tersebut sebagai landasan yang diterapkan dalam setiap perjanjian transaksi bisnis dalam wujud tolong menolong (akad takafuli) yang menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain di dalam menghadapi resiko, yang kita kenal sebagai sharing of risk, sebagaimana firman Allah SWT yang memerintahkan kepada kita untuk taawun (tolong menolong) yang berbentuk al birri wat taqwa (kebaikan dan ketakwaan) dan melarang taawun dalam bentuk al itsmi wal udwan (dosa dan permusuhan). [2]
Adapun perbedaan pendapat yang terjadi dalam kalangan ulama selama ini berkutat bahwa mereka menemukan adanya beberapa unsur yang dilarang dalam transaksi asuransi, diantaranya ada yang mengatakan terdapat unsur ghoror (Penipuan), dan juga adanya unsur perjudian. Maka jika suatu transaksi terdapat unsur demikian, hukumnya menjadi haram. Dan  bahkan ada yang mengatakan bid’ah, karena tidak ditemukan dalam kehidupan rasulullah. [3]
Terlepas dengan adanya itu, Asuransi banyak memiliki manfaat yang luas dan kompleks (secara mikro dan makro). Asuransi adalah sebuah ekosistem perputaran ekonomi yang saling membutuhkan antar pelaku ekonomi (simbiosis mutualisme). Kenapa?, Karena disamping asuransi mampu memberikan perlindungan dan jaminan pada nasabah, asuransi juga menawarkan berbagai manfaat antara lain mendapatkan masukan-masukan yang berguna untuk meminimalisasi terjadinya risiko. Karena umumnya, perusahaan asuransi memiliki tim survei yang sudah berpengalaman dengan itu dapat memberikan rekomendasi untuk memperkecil terjadinya risiko terhadap kepentingan yang diasuransikan.
Pada kesempatan ini, akan dikemukakan perbedaan pendapat ulama Kontemporer dalam masalah hukum asuransi. Selanjutnya dari pendapat tersebut akan dianalisis menggunakan metode Tarjihi sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Yusuf Qhordhawi, dimaksudkan dalam melakukan analisis ini hanya untuk mengambil dalil terkuat dari kedua pendapat tersebut. Adapun dalam melakukan analisis ini, penulis lebih menekankan kepada maslahat yang ditimbulkan dari adanya hukum tersebut. Jadi didalam prosesnya penulis lebih menekankan kepada maslahat ummat yang nantinya akan didapat. Selanjutnya untuk lebih jelas akan dilakukan beberapa metode. Sebagaimana yang akan dipaparkan nantinya.

[1] http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/402162.html, diakses pada tanggal 19 Juni 2011
[2] Abbas Arfan, Prospektif dan Tantangan Bisnis Asuransi Umum di Indonesia;Sebuah Analisa Ekonomi, Sosiologi, Kultur Budaya dan Agama, (http://blog.uin-malang.ac.id/baraja/2011/03/2008), (Online). Diakses pada tanggal 19 Juni 2011
[3] Ibid,


A.  Pandangan Ulama Kontemporer Mengenai Asuransi(أراء الفقهاء) 
Ulama Fiqih dalam menghadapi masalah kontemporer seperti masalah asuransi terbagi menjadi empat kelompok besar, diantaranya yaitu:
a.   Mengharamkan asuransi secara mutlak, termasuk asuransi jiwa. Yang berpendapat seperi ini adalah Yusuf al-Qardlawi dan Isa ‘Abduh. Menurut mereka, bahwa pada asuransi yang ada pada sekarang ini terdapat unsur-unsur yang diharamkan seperti judi,[1] karena ketergantungan akan mengharapkan sejumlah harta tertentu seperti halnya dalam judi. Dan juga mengandung ketidak jelasan dan ketidak pastian (jahalat dan ghoror) dan riba. [2]
b.  Membolehkan secara mutlak, tanpa terkecuali. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah Musthofa Ahmad Zarqo dan Muhammad Al-Bahi. [3]
c.   Membolehkan asuransi yang bersifat social dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial. Mereka yang berpendapat adalah Muhammad Abu Zahrah. [4]
d.     Golongan keempat, adalah menyatakan bahwa asuransi merupakan kategori syubhat sebab tidak diketemukan dalil yang secara tegas mengharamkan dan tidak adapula yang melarangnya.[5]

[1] Baca “Solusi Problematika Aktual Hukum Islam; Keputusan Muktamar, Munas dan Kombes NU dari tahun 1926-1999” (Surabaya: Diantama, 2004), hlm. 307-311
[2] Sayid sabiq, Fiqh al-Sunnah (Baerut-Lebanon: Dar al-Fath, 1995) Juz III, hlm. 301-304.
[3] Buku panduan dalam perkulaiahan Masail Fiqhiyyah; lihat pada bab IV pada judul Muhammadiyah dan Beberapa Masalah Fiqh Kontemporer, hal 137
[4] Ibid,
[5] Ibid


A.  Dalil-Dalil Yang Dipergunakan Para Ulama Kontemporer   (أدلة المذاهب)
Dari beberapa pendapat diatas, terdapat dalil-dalil yang dipergunakan oleh ulama untuk menguatkan argument atau pendapatnya. Dalam bab ini akan diuraikan dalil-dalil tersebut. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut.
1.    Dalil mengenai pendapat pertama tentang keharaman asuransi, diantaranya memakai dalil aqli dan naqli. Berikut uraiannya:
a.       Secara eksplisit, hukum mengenai asuransi tidak tertuang dalam al-Qur’an ataupun as-Sunnah. Namun, didalam seorang mukmin dituntut didalam melakukan sebuah transaksi (perjanjian) tidak mengandung sesuatu yang secara garis besar telah diharamkan di nash maupun hadits. Selanjutnya, menurut ulama yang berpengang pada pendapat ini menemukan bahwa asuransi sama dengan judi, karena tertanggung akan mengharapkan sejumlah harta tertentu seperti halnya dalam judi. [1]  Oleh karena itu, dengan alasan inilah asuransi dilarang. Seperti yang terdapat dalam surat al-maidah ayat 90 yang berbunyi;
               Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
b.      Asuransi mengandung ketidak jelasan dan ketidakpastian (jahalat dan ghoror), karena si tertanggung diwajibkan membayar sejumlah premi yang telah ditentukan, sedangkan berapa jumlah yang dibayarkan tidak jelas, lebih dari itu belum ada kepastian apakah jumlah tertentu itu akan diberikan kepada tertanggung atau tidak. Hal ini sangat tergantung pada kejadian yang telah ditentukan. Mungkin ia akan seluruhnya, tapi mungkin juga tidak memperoleh sama sekali.[1]
Maka dari sini dapat di ambil kesimpulan bahwa, didalam asuransi mengandung unsur ketidak jelasan dan ketidakpastian. Yang mana dalam prinspi mu’amalah hal ini tidak diperbolehkan.

[1] Buku panduan dalam perkulaiahan Masail Fiqhiyyah



c.       Asuransi mengandung unsur riba, karena mungkin tertanggung akan memperoleh sejumlah uang yang jumlahnya sama besar dari pada premi yang dibayarnya. Sedangkan dalam islam riba telah nyata dilarang sebagaimana dinyatakan dalam al-qur’an surat al-baqoroh 275:
 
orang-orang yang Makan (mengambil) ribatidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.


[1] Syafi’I Antonio, EPILOG: Buku Asuransi Syariah (Life & General) Konsep dan Sistem Operasional. 





2.    Argumentasi dari pendapat yang kedua adalah sebagai berikut:
 
  1. Bahwa asuransi tidak terdapat nash al-Qur’an atau hadits yang melarang asuransi. Oleh karena itu, selama perbuatan tersebut tidak digariskan kehalalan dan keharaman yang ada di kedua sumber tersebut, sah untuk dilakukan. Karena menginggat prinsip dalam qawaid al-fiqhiyyah yang berbunyi:
                                        الاصل في المعاملات الاباحة
Artinya: asal hukum sesuatu didalam hal mu’amalah adalah mubah (boleh).
  1. Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pihak. Dalam istilah fiqih dikenal dengan prinsip ان تراض منكم (sama ridho, tidak ada keterpaksaan). Dengan berdasarkan prinsip tersebut, transaksi asuransi menjadi sah, karena didasarkan kesepakatan tersebut.[1]
  2. Asuransi saling menguntungkan kedua belah pihak. Artinya seorang klien dan perusahaan asuransi mendapatkan laba dari transaksi tersebut. Seorang klien mendapatkan ganti rugi barangnya yang hilang misalnya, sedangkan perusahaan tersebut juga mendapatkan laba dari usahannya.
  3. Asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan. Dengan alasan kemaslahatan maka asuransi dapat meringgankan beban orang lain, dapat membantu golongan orang yang lemah. Oleh karena itu, hukum asuransi menjadi mubah (boleh).
  4. Asuransi termasuk akad mudharobat antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi.
  5. Asuransi termasuk syirkat ta’awuniyat usaha bersama yang didasarkan pada prinsip tolong menolong.
1.    Pendapat ketiga menyatakan bahwa asuransi diperbolehkan, asal yang bersifat social dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial. Dalil yang memperkuat argument tersebut tidak jauh beda dengan yang dikemukakan oleh kedua kelompok yang diatas, akan tetapi pendapat yang ketiga ini mengambil jalan tengah dari kedua “perselisihan” tersebut.
Pada dasarnya, pendapat ke tiga ini ditopang dengan argumentasi yang kemaslahatan. Bahwa didalam asuransi terdapat kemadharatan akan tetapi disisi lain terdapat kemaslahatan yang perlu diperhatikan. Kelompok ini membuang kemadharatan yang ada dan hanya mengambil kemaslahatan saja.
2.    Golongan keempat menyatakan syubhat, karena tidak ada dalil-dalil syar’i baik dalam al-qur’an maupun hadits yang secara jelas mengharamkan ataupun menghalalkan asuransi, dan apabila hukum asuransi di kategorikan syubhat. konsekuensinya kita dituntut bersikap hati-hati menghadapi asuransi dan kita baru diperbolehkan mengambil asuransi, apabila kita dalam keadaan darurat (emergency) atau hajat/kebutuhan (necessity).[2]
A.   Analisis Dalil dan Argumentasi  (مناقشة الأدلة)
Setelah diuraikan pendapat-pendapat para ulama beserta dalil-dalilnya. Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis pada dalil-dalil tersebut. Analisis ini diperlukan guna memperoleh diantaranya dalil-dalil yang terkuat.
 Langkah pertama dalam menganalisis dalil tersebut, akan didiskukan dalil-dalil aqli terlebih dahulu yang ada dan mencari dalil yang lebih kuat. Maka dalam hukum asuransi semua pendapat menyatakan bahwa tidak ada dalil eksplisit dari al-Qur’an maupun hadits, dan juga tidak ditemukan dalam kehidupan Rasulullah SAW. Namun, pendapat ulama ada yang memperbolehkan asuransi karena dalam prakteknya asuransi sejalan dengan nilai-nilai universal al-Qur’an seperti tolong-menolong (ta’awun), juga termasuk dalam aqad mudharabah, dan juga syirkah. Dan menginggat hukum asal dari mu’amalah adalah boleh (الاصل في المعاملات الاباحة) dan didukung adanya prinsip saling suka rela maka berdasarkan ini ulama memperbolehkan adanya asuransi.
Akan tetapi, dalam prakteknya ternyata asuransi menimbulkan beberapa masalah, dianggapnya asuransi termasuk dalam kategori judi, ghoror dan riba. Akan tetapi perlu diingat, penulis akan membedakan apakah asuransi termasuk dalam kategori judi atau tidak. Selama ini yang dipahama bahwa judi karena asuransi bertujuan mengurangi resiko (reducing of risks) dan bersifat sosial dan membawa muslahah bagi diri dan keluarga; sedangkan judi justru menciptakan resiko (creating of risks), tidak sosial, dan bisa membawa malapetaka bagi yang terkait dan keluarganya. Adapun asuransi juga sebagaimana dinyatakan dalam pendapat ulama bahwa, asuransi termasuk dalam kategori riba dan ghoror, ini sangat dimungkinkan sekali, mengingat bahwa seorang klien diwajibkan membayar premi setiap bulannya, dan seorang klien tidak akan mendapat uang (sebagai ganti) jika barang yang diasuransikan tidak rusak, ataupun hilang. Maka para ulama melarang karena dikhawatirkan terjadi hal yang demikian.
Sedangkan beberapa ulama menyatakan asuransi dalam kategori syubhat, karena tidak jelas akan dalil-dalilnya, hal ini mempunyai sebuah konsekuensi bahwa seseorang harus berhati-hati menghadapi asuransi hanya dalam keadaan tertentu boleh menggunakan asuransi seperti dalam keadaan darurat dan karena kebutuhan. Para ulama mungkin memilih keluar dari permasalahan dengan dasar kehati-hatian.
Jika ditinjau dari segi kemaslahatannya, asuransi dinilai mempunyai kemaslahatan bagi social, kemaslahatan inilah yang dipergunakan dalil untuk memperbolehkan asuransi, seperti asuransi yang digunakan oleh masyarakat umum dan asuransi seperti ini tidak mempunyai tujuan untuk memperkaya diri sendiri akan tetapi lebih mengutamakan kepentingan social. Seperti wawancara di Seputar Indoensia yang ditayangkan disalah satu stasiun televisi swasta (Minggu, 17/06/2011, pukul 15.00) menuturkan bahwa seorang sopir bus adalah salah satu klien dari asuransi konvensional, ia merasa mendapat keuntungan dari asuransi tersebut. Dijelaskan bahwa seorang sopir bus tersebut pernah mengalami kecelakaan dan koma selam 17 hari, sehingga membutuhkan biaya perawatan yang cukup besar, biaya perawatan tersebut sebagian besar ditanggung oleh perusahaan asuransi sebesar 28 juta, yang dirinya sendiri tidak mungkin bisa menanggungnya. Cerita tersebut, setidaknya menggambarkan manfaat dari asuransi.
Akan tetapi asuransi dalam praktiknya oleh sebagian orang maupun lembaga digunakan sebagai alat untuk memperkaya diri dan mengabaikan kepentingan atau kemaslahatan social. Tentu hal inilah yang dilarang oleh Islam.
Selanjutnya, mengenai asuransi dikatakan sebagai akad mudharabat, karena uang yang disetor oleh klien dipergunakan sebagai usaha lain, sehingga memperoleh keuntungan. Pada dasarnya, perlu diperhatikan terlebih dahulu akad pertama dalam asuransi tersebut, apabila tidak terdapat akad tersebut ataupun pihak klien tidak mengetahuinya, maka tidak sah akadnya. Kemudian, apabila terdapat akad tersebut, dalam konsep mudharabah diharuskan adanya pembagian laba yang rata antara kedua belah pihak, apakah hal semacam ini sudah dilaksanakan, dalam anggapan penulis akad tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan, menginggat klien yang tidak bisa membayar preminya akan hilang atau dikurangi premi yang telah dibayarnya, hal ini tidak sejalan dengan prinsip mudharabah.
Dan lagi, sangat besar kemungkinan pembagian yang dilakukan oleh pihak asuransi akan tidak adil. Disatu sisi, para pengelola mendapatkan laba yang lebih dibandingkan dari klien, dan sebaliknya klien terkadang mendapat laba yang lebih dari pengelola. Dikarenakan, dalam prakteknya terkadang seorang klien yang sangat hati-hati menjaga barangnya, sehingga tidak terjadi apa-apa, maka klien tersebut tidak dapat menerima uang ganti, dan seterusnya.  

B.  Pendapat Terpilih (الرأي المختار)
Setelah melakukan analisis terhadap dalil-dalil dan argument para ulama, tahap selanjutnya adalah menentukan pendapat yang terkuat dan didukung oleh argument dan dalil yang shohih. Tentu dalil yang dihasilkan setelah dilakukannya munakosah al-adillat.
Penulis dalam memilih pendapat ini didasarkan atas kemaslahatan, artinya pendapat mana yang lebih membawa kemaslahatan itulah yang dipakai, akan tetapi perlu digaris bawahi bahwa kemaslahatan disini adalah kemaslahatan yang dianggap benar oleh syariat.
Setelah melakukan analisis, berdasarkan pertimbangan dalil-dalil qowaid al-fiqhiyyah dibawah ini,
-         الاصــل في المعاملات الاباحــة
-          الاصل في  العقـود والمعاملات الصحة حتى يقوم الدليـل على بطــلان
Maka penulis berkesimpulan bahwa asuransi termasuk dalam kategori mu’amalah yang mubah, kecuali apabila terdapat unsur-unsur yang dilarang oleh syariat. Karena menginggat tidak ada dalil dari al-Qur’an dan hadits yang melarangnya. Selanjuntya, terkait dengan maslahah, agaknya perlu dipertanyakan terlebih dahulu, dalam arti apakah kriteria penggunaan kemaslahatan sebagai dasar penetapan hukum sudah terpenuhi? Sampai saat ini, penulis masih berkesimpulan bahwa, asuransi adalah bentuk mu’amalah yang dapat dirasakan kemaslahatannya oleh masyarakat dan mengandung nilai-nilai ajaran al-Qur’an yaitu ta’awanu ala al-birri. Sedangkan prinsip kemaslahatan yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum adalah kemaslahatan yang sudah pasti, bukan asumtif, dan hipotetif yang berlaku secara umum.
Kesimpulannya, bahwa sebatas asuransi hanya ada manfaatnya bagi orang lain. Karena permasalahannya boleh jadi, maslahat bagi orang satu belum tentu maslahat bagi orang lain. Oleh karena itu, penulis lebih cenderung berpegang pada pendapat ketiga yang dikemukakan oleh Abu Zahrah, bahwa asuransi diperbolehkan asal bersifat social dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersiat.

C.  Rekomendasi
Setelah melakukan pemilihan dalil yang dianggap lebih kuat, maka diketahui bahwa hukum asuransi diperbolehkan asal bersifat social dan tidak bersifat komersial. Sesungguhnya, islam jauh sebelum itu sudah mempunyai konsep dalam mensejahterakan umat, menjamin dari kecelakaan atau musibah yaitu melalui sistem zakat, sistem ini lebih ampuh diabndingkan dengan asuransi konvensional, karena sejak didirikannya bertujuan untuk kepentingan social dan bantuan kemanusiaan. Namun sayangnya, sistem zakat ini tidak dikembangkan dengan baik. Sedangkan orang non-islam yang tidak mempunyai konsep seperti ini mereka-reka untuk menciptakan sistem seperti itu, wal hasil jadinya asuransi konvensional.
Sejauh yang ada, asuransi konvensional sangat begitu rawan dengan adanya praktik ghoror dan riba. Prinsip yang dianggap ta’awun tidak begitu tampak, bahkan yang lebih nampak adalah praktek jual-beli antara nasabah dengan perusahaan asuransi.
Prinsip asuransi yang sejalan dengan nilai-nilai syariah adalah yang bersifat ta’awun (tolong menolong), tidak bersifat ghoror, dan riba. Sistem dalam pembayaran premi tetap menjadi milik klien, perusahaan hanya sebatas yang pemegang amanah yang menjalankan uang tersebut.
Oleh karena itu, sekarang sudah dibuka asuransi syariah. Asuransi syariah adalah asuransi yang berdasarkan nilai-nilai syariah bersifat ta’awun dan dalam konsepnya tidak terdapat riba, ghoror ataupun perjudian. Kedepan harapan kita asuransi syariah dapat menggantikan asuransi konvensional. Semoga.







BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Bahwasanya terdapat empat pendapat ulama dalam asuransi, pertama memperbolehkannya secara mutlak, kedua mengharamkan secara mutlak, ketiga, memperbolehkan dengan syarat bersifat social dan tidak komersial. Sejauh ini, berdasarkan dari analisis yang telah dilakukan. Mengambil kesimpulan bahwa, asuransi hukumnya diperbolehkan, karena menginggat hukum asal dari mu’amalah adalah mubah, juga tidak terdapat dalam al-Qur’an dan hadits.
Asuransi yang sejalan dengan nilai-nilai prinsip syariah adalah yang bersifat tolong-menolong, terhindar dari perjudian, riba dan ghoror. Nasabah atau klien tidak kehilangan uang yang dibayar setiap bulannya. Dan perusahaan hanya bersifat amanah sebagai pengelola uang.
Bahwa menginggat asuransi pada saat ini cukup mempunyai peran yang signifikan, maka disarankan untuk memilih asuransi yang sejalan dengan syariah, yaitu asuransi syariah. Adalah sebagai solusi problema bagi umat.
 
B.  Saran
Meskipun demikian, penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan. Makalah yang akan datang hendaknya lebih mengkaji mendalam tentang permasalahan ini dan dengan menggunakan waktu penulisan yang relatif lama sehingga akan memunculkan pemahaman yang komprehensif lagi, dan yang pasti didukung dengan beberapa referensi, jika diperlukan untuk bisa melakukan observasi kepada sejumlah perusahaan-perusahaan asuransi konvensional dan juga para nasabahnya untuk mendapatkan data-data yang valid dan original.





Daftar Pustaka

Antonio, Syafi’i. 2004. EPILOG: Buku Asuransi Syariah (Life & General) Konsep dan Sistem Operasional,
Arfan, Abbas. 2011. Prospektif dan Tantangan Bisnis Asuransi Umum di Indonesia;Sebuah Analisa Ekonomi, Sosiologi, Kultur Budaya dan Agama. (Online), (http://blog.uin-malang.ac.id/baraja/2011/03/, diakses pada tanggal 19 Juni 2011)
Buku bahan ajar masail Fiqhiyyah Fakultas Syariah 2011
Nahdhatul Ulama. 2004.  Solusi Problematika Aktual Hukum Islam; Keputusan Muktamar, Munas dan Kombes NU dari tahun 1926-1999. Surabaya: Diantama.
Sabiq, Sayid. 1995.  Fiqh al-Sunnah, Baerut-Lebanon: Dar al-Fath, Juz III.
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/402162.html, diakses pada tanggal 19 Juni 2011


[1] Ibid,
[2] Abbas Arfan, Op. cit.

2 komentar:

terimakasih dah share bang. sangat bermanfaat untuk menambah referensi. salam

Terima Kasih Atas paparan Hukum Asuransi Menurut Fatwa Ulama Kontenporernya, sangat berguna yang sedang atau akan memilih atau mengetahui info asurasi, manfaat, dan perusahan asuransi, khususnya asuransi kesehatan, pendidikan :)

Baca juga ya paparan saya mengenai Review Produk Perlindungan Asuransi Kesehatan Dengan Unit Link Commonwealth Life

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More