Indonesia

Indonesia is the beautiful country in the universe

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Marhaen

Marhaenisme adalah orang orang miskin yang bekerja untuk dirinya sendiri dan menggunakan sumberdaya, prasarana dan tenaga kepunyaannya sendiri

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 24 Januari 2012

RASA KASIH TERLIHAT DALAM MATA


RASA KASIH TERLIHAT DALAM MATA

Sore itu adalah sore yang sangat dingin di Virginia bagian utara, berpuluh-puluh tahun yang lalu. Janggut si orang tua dilapisi es musim dingin selagi ia menunggu tumpangan menyeberangi sungai. Penantiannya seakan tak berakhir. Tubuhnya menjadi mati rasa dan kaku akibat angin utara yang dingin.
Samar – samar ia mendengar irama teratur hentakan kaki kuda yang berlari mendekat di atas jalan yang beku itu. Dengan gelisah ia mengawasi beberapa penunggang kuda memutari tikungan.
Ia membiarkan beberapa kuda lewat, tanpa berusaha untuk menarik perhatian. Lalu, satu lagi lewat, dan satu lagi. Akhirnya, penunggang kuda yang terakhir mendekati tempat si orang tua yang duduk seperti patung salju.
Saat yang satu ini mendekat, si orang tua menangkap mata si penunggang...dan ia pun berkata, "Tuan, maukah anda memberikan tumpangan pada orang tua ini ke seberang ? Kelihatannya tak ada jalan untuk berjalan kaki."
Sambil menghentikan kudanya, si penunggang menjawab, "Tentu. Naiklah." Melihat si orang tua tak mampu mengangkat tubuhnya yang setengah membeku dari atas tanah, si penunggang kuda turun dan menolongnya naik ke atas kuda. Si penunggang membawa si orang tua itu bukan hanya ke seberang sungai, tapi terus ke tempat tujuannya, yang hanya berjarak beberapa kilometer. Selagi mereka mendekati pondok kecil yang nyaman, rasa ingin tahu si penunggang kuda atas sesuatu, mendorongnya untuk bertanya,
"Pak, saya lihat tadi bapak membiarkan penunggang penunggang kuda lain lewat, tanpa berusaha meminta tumpangan. Saya ingin tahu kenapa pada malam musim dingin seperti ini Bapak mau menunggu dan minta tolong pada penunggang terakhir. Bagaimana kalau saya tadi menolak dan meninggalkan bapak di sana?"
Si orang tua menurunkan tubuhnya perlahan dari kuda, memandang langsung mata si penunggang kuda dan menjawab, "Saya sudah lama tinggal di daerah ini. Saya rasa saya cukup
kenal dengan orang."
Si orang tua melanjutkan, "Saya memandang mata penunggang yang lain, dan langsung tahu bahwa di situ tidak ada perhatian pada keadaan saya. Pasti percuma saja saya minta tumpangan. Tapi waktu saya melihat matamu, kebaikan hati dan rasa kasihmu terasa jelas ada pada dirimu. Saya tahu saat itu juga bahwa jiwamu yang lembut akan menyambut kesempatan untuk memberi saya pertolongan pada saat saya membutuhkannya."
Komentar yang menghangatkan hati itu menyentuh si penunggang kuda dengan dalam. "Saya berterima kasih sekali atas perkataan bapak", ia berkata pada si orang tua. "Mudah-mudahan saya tidak akan terlalu sibuk mengurus masalah saya sendiri hingga saya gagal menanggapi kebutuhan orang lain.."
Seraya berkata demikian, Thomas Jefferson, si penunggang kuda itu, memutar kudanya dan melanjutkan perjalanannya menuju ke Gedung Putih. The Sower's Seeds - Brian Cavanaugh. Kau tak akan pernah tahu kapan kau akan memerlukan orang lain, atau kapan seseorang memerlukanmu. Kebijakan dari seluruh hidupmu melukis sebuah citra dimatamu, yang membantu orang lain melihat, menemukan pertolongan yang ia butuhkan, dan bahwa masih ada keutamaan lain di dunia ini dari pada sekedar peduli dengan dirimu sendiri, yaitu kepedulianmu pada orang lain, sahabatmu atau benar-benar orang lain. Maka bila ada sahabat atau seseorang memerlukan perhatian atau bantuanmu, atau meminta maaf atas suatu kesalahan, itu karena ia menghormati dan menghargai kebaikan yang pasti ada dalam jiwamu. Kau dapat menghormati juga permintaan itu, atau kau meninggalkannya di tengah jalan sendirian.

Rabu, 04 Januari 2012

Autobiografi Bung Karno_BAB XXI_Putraku Yang Pertama


BAB XXI
Puteraku Yang Pertama
SEBENARNYA keadaanku tidak dapat dikatakan sehat ditahun 1943, baik jasmani maupun rohani. Ketegangan ketegangan yang timbul telah mengorekngorek jiwa dan ragaku dengan hebat. Sebagai penderita malaria yang melarut aku dimasukkan ke rumah sakit selama bermingguminggu terus menerus. Pada suatu kali, oleh karena tidak ada tempat tidur yang kosong, aku dimasukkan ke Kamar Bersalin.
Perempuan cantik cantik dibawa masuk di sebelahku, akan tetapi keadaanku terlalu payah untuk dapat memperhatikan mereka. Tambahan lagi aku menderita penyakit ginjal. Kadangkadang aku meringkuk dengan kaki rapat ke badan, oleh karena seranganserangan yang tidak tertahankan sakitnya. Adakalanya keluar keringat dingin, bahkan kadangkadang aku tidak dapat berdiri tenang diatas podium. Bukan sekali dua kali terjadi, bahwa setelah selesai berpidato aku harus merangkak dengan kaki dan tangan masuk kendaraan.
Kehidupan pribadipun tidaklah seperti yang diharapkan. Aku menghadapi persoalan persoalan yang sungguh sungguh berat. Kehidupanku diselubungi oleh goncangangoncangan urat syaraf. Hubungan
Inggit denganku tidak baik. Di suatu malam, karena ingin mendapat katakata yang menghibur hati dan ketenangan pikiran, aku menemani seorang kawan ke sebuah Rumah Geisha. Sekembali di rumah, Inggit mengamuk seperti orang gila. Dia berteriak teriak kepadaku. Barang barang beterbangan dan sebuah cangkir mengenai pinggir kepalaku.
Rupanya persoalan Fatmawati masih mengapung apung di antara kami, sekalipun tidak ada kontak antara Fatmawati denganku. Hubungan pos terputus dan memang ada aku mengirim surat sekali untuk mengabarkan bahwa kami sudah selamat sampai di Jakarta. Hanya itu. Surat ini kupercayakan kepada seorang suruhan yang dipercaya yang menitipkannya pula kepada tukang mas dalam perjalanan menuju Sumatra.
Pada waktu itu kami sudah pindah, karena aku tidak senang tinggal di rumah bertingkat. Di rumah baru ini anak kami dengan suaminya Asmara Hadi tinggal bersamasama dengan kami. Pada akhirnya merekapun mengaku, bahwa perhubungan antara Inggit denganku tidak mungkin diteruskan lebih lama lagi. "Bu," Ratna Djuami menangis di hadapan Inggit pada suatu malam. "Bapak kelihatan sekarang sangat pencemas dan penggugup. Pikirannya nampaknya kacau. Dan kesehatannya selalu terganggu."
"Kami kira ini disebabkan kehidupan pribadinya," sambung Asmara Hadi terus terang. "Kalau sekiranya dia tidak dibinasakan dalam bidang kehidupan lain, tentu akan lain halnya. Akan tetapi perasaan tidak bahagia ini yang ditumpukkan ke atas bebannya yang sudah cukup berat itu sangat melemahkan kekuatannya."
Aku meminta pengertian Inggit. "Aku sendiri, akan mencarikanmu rumah. Dan aku akan selalu mengusahakan segala sesuatu yang kauperlukan. Kaupun tahu, diantara kita semakin sering terjadi pertengkaran dan ini tentu tidak baik untukmu."
"Ini jalan satusatunya, Bu," Asmara Hadi mengeluh. "Negeri kita memerlukan bapak. Tidak hanya ibu, ataupun saya maupun Ratna Djuami yang memerlukannya. Dia kepunyaan kita semua. Rakyat memerlukan bapak sebagai pemimpinnya, tidak yang lain. Dan apa yang akan terjadi terhadap Indonesia, kalau dia hancur?"
Setelah perceraian telah disepakati bahwa Inggit kembali ke kota kelahirannya. Di pagi itu ia harus pergi ke dokter gigi dulu. Hatiku senantiasa dekat pada isteriku dan aku tidak akan membiarkannya pergi seorang diri. Karena itu kutemani Inggit. Hari sudah tinggi ketika kami kembali dalam keadaan letih, merasa badan kami tidak enak, dan sesampai di rumah kami mendapati serombongan wanita yang akan bertamu kepada Inggit.
 Sejam lamanya mereka berkunjung, sekalipun tidak banyak yang dipercakapkan. Kuingat di waktu itu aku merasakan kegelisahan yang amat sangat. Saat yang melelahkan sekali. Kemudian aku mengiringkan Inggit ke Bandung, membongkar barangbarangnya, meyakinkan diri kalau kalau ada sesuatu yang kurang, lalu aku mengucapkan selamat tinggal kepadanya .........
Bulan Juni 1943 Fatma dan aku kawin secara nikah wakil. Untuk dapat mengangkutnya beserta orang tuanya ke Jawa urusannya terlalu berbelitbelit dan panjang, pun aku tidak bisa segera menjemputnya ke Sumatra, sedang aku tak mungkin rasanya menunggu lebih lama lagi. Mendadak timbul keinginanku yang keras untuk kawin. Menurut hukum Islam perkawinan dapat dilangsungkan, asal ada pengantin perempuan dan sesuatu yang mewakili mempelai lakilaki.
Aku mempunyai lebih dari pada sesuatu itu. Aku mempunyai seseorang. Kukirimlah telegram kepada seorang kawan yang akrab dan memintanya untuk mewakiliku. la memperlihatkan telegram itu kepada orang tua Fatma dan usul ini mendapat persetujuan. Pengantin dan wakilku pergi menghadap kadi dan sekalipun dia masih di Bengkulu dan aku di Jakarta, dengan demikian kami sudah mengikat tali perkawinan.
Di tahun berikutnya Fatmawati melahirkan seorang putera. Aku tidak sanggup menggambarkan kegembiraan yang diberikannya kepadaku. Umurku sudah 43 tahun dan akhirnya Tuhan Yang Maha Pengasih mengaruniai kami seorang anak. Di saat mendengar bahwa Fatma dalam keadaan hamil, maka ibu, bapak dan kakakku perempuan datang dengan segera dari Blitar. Mereka sangat gembira. Orang tua kami dari kedua belah pihak tinggal dengan kami di paviliun dekat rumah hingga sang bayi lahir. Bapaklah yang mengawasi segala pekerjaan. Dialah yang duduk setiap jam memberi petunjuk kepada Fatma, bagaimana ia harus mempersiapkan dirinya.
Selalu aku melihat mereka duduk bersamasama dan selalu aku dapat mendengar bapak mengatakan sesuatu seperti, "Nah, jangan lupa mencatat bedak bayi, pisau kecil untuk pemotong tali pusarnya dan emban untuk menahan perutmu sendiri."
Di malam Fatma akan melahirkan kami menjamu tamu tamu penting, orang Jepang dan orang Indonesia. Fatmawati sibuk melayani sebagai nyonya rumah, akan tetapi kemudian dia mulai merasa sakit. Aku sendiri membimbingnya ke kamar dan memanggil dokter. Mulai dari saat itu aku tetap berada di sisinya, pun tidak tidur barang satu kejap sampai ia memberikan kepadaku seorang putera yang tidak ternilai itu.
Kududuk di atas tempat tidur mendampinginya, memegang tangannya sementara ia melahirkan. Aku bukanlah orang yang bisa tahan melihat darah, akan tetapi di saat dijadikannya seorang manusia idamanku ini adalah saat yang paling nikmat dari seluruh hidupku. Jam lima waktu subuh, ketika terdengar azan dari mesjid memanggil umat untuk menyembah Tuhannya, anakku yang pertama, Guntur Sukarnoputra, lahirlah.
Tuhan Yang Maha Penyayang dan Maha Bijaksana telah memanjangkan umur bapakku untuk dapat melihat darah dagingku menginjak dunia ini. Setelah itu ia jatuh sakit. Fatma merawatnya berbulanbulan dengan tekun dan setia hingga ia menghembuskan napas yang penghabisan.
Aku teringat akan "Si Tukang Kebun", sebuah buku cerita yang kubaca pada waktu masih berumur 13 tahun. Waktu itu aku tidak mengerti maknanya yang lebih dalam. la menceritakan tentang bagaimana daun daun kayu yang sudah coklat dan kering harus jatuh dan memberikan tempatnya kepada pucuk yang hijau dan baru. 20 tahun kemudian barulah aku mengerti.

Senin, 02 Januari 2012

Autobiografi Sukarno_BAB XX_Kolabolator atau Pahlawan


Bab XX
Kolabolator Atau Pahlawan?
MALAM itu aku pergi ke rumah Hatta. Kami mengadakan pertemuan yang pertama guna membicarakan taktik kami bekerja untuk masa yang akan datang. "Bung Hatta dan saya dimasa yang lalu telah mengalarni pertentangan yang mendalam," kataku. "Memang di satu waktu kita tidak berbaik satu sama lain. Akan tetapi sekarang kita menghadapi suatu tugas yang jauh lebih besar daripada yang dapat dilakukan oleh salah seorang dari kita. Perbedaan dalam hal partai atau strategi tidak ada lagi. Pada waktu sekarang kita satu. Dan kita bersatu di dalam perjuangan bersama."
"Saya setuju," Hatta menjatakan.
Kami berjabat tangan dengan kesungguhan hati "inilah", kataku berjanji, "janji kita sebagai Dwitunggal. Inilah sumpah kita yang jantan untuk bekerja berdampingan dan tidak akan berpecah hingga negeri ini mencapai kemerdekaan sepenuhnya."
Bersamasama dengan Sjahrir, satusatunja orang yang turut hadir, rencanarencana gerakan untuk masa yang akan datang kami susun dengan cepat. Telah disetujui, bahwa kami akan bekerja dengan dua cara. Di atas tanah secara terangterangan dan di bawah tanah secara rahasia. Yang satu memenuhi tugas yang tidak dapat dilakukan oleh cara yang lain.
"Untuk memperoleh konsesikonsesi politik yang berkenaan dengan pendidikan militer dan jabatan jabatan pemerintahan bagi orangorang kita, kita harus memperlihatkan diri dengan cara kollaborasi." kataku.
"Jelaslah, bahwa kekuatan Bung Karno adalah untuk menggerakkan massa," Hatta menegaskan. "Jadi Bung Karno harus bekerja secara terangterangan."
“Betul, Bung Hatta membantu saya. Karena Bung Hatta terlalu terkenal untuk bisa bekerja di bawahtanah."
"Biarlah saya," Sjahrir menyarankan, "untuk mengadakan gerakan bawah tanah dan menyusun bagian penyadap berita dan gerakan rahasia lainnya."
Pembicaraan singkat itu, yang berlangsung selama satu jam, mengembangkan suatu landasan yang begitu ringkas. Dan kelihatannya seolaholah dikerjakan dengan sangat saksama, setelah diteliti kembali 20 tahun kemudian. Sebenarnya strategi kami adalah satusatunya pilihan yang mungkin dijalankan ketika itu. Jadi kami tidak mernpunyai pilihan lain. "Inilah kesempatan yang kita tunggutunggu," kataku bersemangat. "Saya yakin akan hal ini. Pendudukan Jepang adalah kesempatan yang besar dan bagus sekali untuk mendidik dan mempersiapkan rakyat kita. Semua pegawai Belanda masuk kamp tawanan. Sebaliknya jumlah orang Jepang tidak akan mencukupi untuk melancarkan roda pemerintahan di seluruh kepulauan kita. Tentu mereka sangat mernerlukan tenaga kita. Indonesia segera akan melihat, bahwa majikannya tidak akan berhasil dengan baik tanpa bantuan kita."
Aku berjalan hilir mudik ketika berpikir dengan keras, Akan tetapi rakyat kita harus menderita, lebih dulu, karena hanya dengan penderitaanlah ia dapat bangkit. Rakyat kita adalah bangsa yang suka damai, mau senang dan mengalah serta perna'af. Sungguhpun rakyat Indonesia hampir mencapai jumlah 70 juta dan diperintah oleh hanja 500.000 orang, akan tetapi darah rakyat tidak pernah bergolak sedernikian panas sehingga sanggup bertempur melawan Belanda. Belanda menenteramkan penguasaannya dengan memberikan kebaikankebaikan palsu. Jepang tidak.
"Kita tahu, bahwa Jepang tidak segansegan memenggal kepala orang dengan sekali ayunan pedangnya. Kita mengetahui muslihat mereka, memaksa si korban meminum berliterliter air dan kemudian melompat keatas perutnya. Kita sudah mengenal jeritan di tengah malam yang menakutkan yang keluar dari markas Kenpetai. Kita mendengar prajuritprajurit Kenpetai dengan sengaja dalam keadaan mabuk mabukan untuk menumpulkan perasaannya.
"Orang Jepang memang keras. Kejam. Cepat melakukan tindakan kurangajar. Dan ini akan membuka mata rakyat untuk mengadakan perlawanan”.
"Mereka juga akan memberikan pada kita kepercayaan terhadap diri sendiri." Hatta menguraikan.
"Bangsa Asia tidak lagi lebih rendah dari orang Barat.",
“Kondisikondisi inilah yang akan menciptakan suatu kebulatan tekad. Kalau rakyat kita betulbetul digencet, maka akan datanglah revolusi mental. Setelah itu, revolusi fisik."
Aku duduk. Melalui lubang sandal aku mengelupas kuku jari kakiku, suatu tanda yang pasti bahwa pikiranku gelisah. Tanpa kusadari aku mengelupas kuku ibu jari kakiku terlalu dalarn hingga berdarah.
"Kita harus melancarkan gerakan kebangsaan," kataku berbicara dalam mulut.
"Tidak mungkin," Hatta membalas. "Mengadakan rapat umum dan berpolitik dalam bentuk apapun dilarang."
"Kita tidak bisa membangkitkan semangat rakyat kalau tidak ada pergerakan rakyat," kunyatakan dengan tegas. "Saya tidak bisa dudukduduk saja di belakang meja secara pasif. Kalau hanya sebagai pemberi nasehat, itu tidak cukup bagi saya. Harus ada kegiatan. Kita tidak bisa menyuruh rakyat berjuang, sekalipun dengan diamdiam, tanpa bimbingan. Kalau saya tidak bisa Membentuk suatu gerakan sendiri, saya akan mengadakan infiltrasi ke dalarn gerakan yang didukung oleh Jepang”.
“ Bagaimana dengan Gerakan TigaA?"
Gerakan TigaA adalah suatu organisasi yang secara psichologis keliru. la bekerja dengan semboyannya yang menusuk hati: "Dai Nippon Pemimpin Asia. Dai Nippon Pelindung Asia. Dai Nippon Cahaya Asia"
"Gerakan itu tidak betul," Sjahrir menggerutu.
"Tujuannya tadinya hendak mengumpulkan bahan makanan dari kita, menggraut kekayaan alam kita dan bahkan juga mengumpulkan tenaga manusia."
"Akan tetapi gerakan itu tidak memberikan apaapa sebagai balasannya," Hatta menambahkan.
"Ditambah lagi dengan propagandanya yang sangat dibesarbesarkan, tidak adanya pemimpin bangsa Indonesia yang duduk dalam pucuk pimpinannya dan ketidak senangan rakyat yang sernakin meningkat menyebabkan gerakan itu segera menarik diri. Lebih baik Bung Karno menjauhkan diri dari Gerakan Tiga A."
"Tidak. Saya pikir, malah saya akan memasukinya."
“Kenapa ?"
“Ya. Untuk merombaknya."
Di malam pertama aku di Jakarta aku pergi tidur dengan kepala yang pusing, oleh karena pikiranku gelisah. Hitam putihnya baru diketahui di hari esok. Aku harus menghadap Letnan Jendral Imamura. La menerimaku di kamar duduknya dalam istana yang putih dan besar itu, bekas istana Gubemur Jendral Hindia Belanda. Kamar duduk itu sekarang menjadi kamar studiku. Jendral Imamura adalah seorang Samurai sejati. Kurus, melebihi tinggi orang biasa, bersifat sopan, hormat dan berbudi luhur. Setelah mempersilakanku duduk, ia pun duduk. Sikapnya lurus seperti tongkat.
Aku berbicara dalam bahasa Indonesia. Dia dalam bahasa Jepang. Kami mempunyai juru bahasa. Aku pergi sendirian tanpa pengikut. Jendral itu dengan ajudannya tentu. Jendraljendral selalu punya. Dialah mulamula membuka pembicaraan "Saya memanggil tuan ke Jawa dengan maksud yang baik. Tuan tidak akan dipaksakan bekerja bertentangan dengan kemauan tuan. Hasil dari pembicaraan kita apakah tuan bersedia untuk bekerjasama dengan kami atau tetap sebagai penonton saja —sama sekali tergantung kepada tuan sendiri."
"Boleh saya bertanya, apakah rencana Dai Nippon Teikoku untuk Indonesia?" Tanyaku
Imamura menjawab, "Saya hanya Panglima Tertinggi dari tentara ekspedisi. Tenno Heika sendirilah yang berhak menentukan, apakah negeri tuan akan diberi otonomi dalam arti yang luas dibawah lindungan pemerintahNya. Ataukah akan memperoleh kemerdekaan sebagai negarabagian dalam suatu federasi dengan Dai Nippon. Ataupun menjadi negara merdeka dan berdaulat penuh. Saya tidak dapat memberikan janji yang tepat tentang bentuk kemerdekaan yang akan diberikan kepada negeri tuan. Keputusan yang demikian itu tidak dapat diambil sebelum peperangan ini selesai. Sungguhpun demikian, kami dapat memahami citacita dan syaratsyarat tuan, dan ini sejalan dengan citacita kami."
 Kalimatku selanjutnya adalah, "Terimakasih, Jendral. Terima kasih karena tuanlah orang yang mendupak Belanda yang terkutuk itu keluar. Saya mencobanya selama bertahun tahun. Negeri saya mencoba selama berabad abad. Akan tetapi Imamuralah orang yang berhasil." ,
“Boleh saya bercerita, Ir. Sukarno, bagaimana saya menaklukkan orang Kulit putih yang kuat perkasa itu dari pantai daratan tuan. Dengan gertak. Itulah! Sematamata gertak."
Wajahku di waktu itu tentu mencerminkan kebingungan, karena Jendral itu berkenan untuk tersenyum dan kemudian dengan riang menceriterakan kemenangan itu.
"Pada waktu tentara saya mendarat di Jawa, pasukan saya hanya tinggal beberapa batalyon dan saya harus memecahmecahnya lagi. Sebagian mendarat di Jawa Barat, sebagian di Jawa Tengah, sebagian di Jakarta, beberapa lagi di Banten. Yang langsung dibawah pimpinan saya mendarat di Kalijati. Dan pasukan ini compangcamping. Orangorang saya punya senapan, tapi tidak punya uniform. Sebelum pendaratan kami, Gubemur Jendral sudah terbang ke Bandung."
"Kota itu dilindungi oleh gununggunung, tentu dia menganggap kota itu dapat dipertahankan."
"Betul,"
Imamura mengangguk. "Lalu saya mengadakan hubungan dengan Bandung dan memerintahkannya ke Kalijati untuk suatu perundingan perdamaian. Dia datang. Dan segera lagi, Saya bemarkas di sebuah kamar yang kecil. Dengan suarasuara yang gaduh, tapi tanpa pasukan untuk menyokong keberanian saya, saya menuntut, 'Nah, apakah tuan sekarang akan menyerah? Kalau tidak, saya akan membom tuan sampai lenyap dari permukaan bumi. Dengan demikian dia dengan stafnya segera terburuburu dan menyerah."
"Dengan sisa tentara yang terpecahpecah dan melarat," kataku kepada penakluk yang menghadapiku, “tuan mengusir orangorang yang akan selalu dianggap sebagai penindaspenindas sejati dari Indonesia. Saya berterimakasih kepada tuan untuk selamalamanya."
Drama yang kupertunjukkan ini mengingatkan daku kepada pahlawan Filipina, Jendral Aguinaldo. Dia melawan Spanyol selama bertahuntahun, dan ketika Amerika menaklukkan bekas penakluk itu, yang pertamatama diucapkan oleh Aguinaldo kepada orang Amerika adalah, "Terimakasih." Kemudian ketika Amerika Serikat bermaksud hendak tetap berkuasa di Filipina, Aguinaldo menyepakkannya keluar dengan keras.
"Berapa lama menurut pikiran tuan tentara akan memegang ke kuasaan pemerintahan disini?" tanyaku.
"Terusterang saya tidak tahu. Saya tidak mempunyai rencana sampai ke situ."
Nah, dia belum. Tapi aku sudah punya. Dan aku mulai dengan siasat yang pertama. "Untuk memimpin rakyat kami sesuai dengan pemerintahan militer, saya memerlukan orang sebagai pembantu pimpinan. Urusan pemerintahan hanya dapat dilancarkan, kalau orangorang Indonesia di tempatkan pada jabatanjabatan pemerintahan. Hanya orang Indonesialah yang mengetahui daerah, bahasa bahasa daerah dan adat istiadat saudara saudaranya."
"Kalau ini pemecahan yang terbaik untuk memajukan kemakmuran dan kesejahteraan, maka orang Indonesia akan diberi kesempatan untuk ikut dalam menyelesaikan urusan dalam negeri secara meningkat. Jabatanjabatan dalam pemerintahan akan diberikan kepada bangsa Indonesia dengan segera."
Kalau dilihat dari konsesikonsesi yang diberikan kepadaku di bidang politik, maka kekuasaan berada di tanganku. Sang Jendral adalah seorang pemimpin militer. la mengetahui tentang senjata. Aku seorang pemimpin politik. Aku mengetahui tentang pembinaan bangsa. Di dalam tanganku ia seorang bayi. Kugariskan rencanaku kepada Hatta malam itu juga. "Dengan biaya pemerintah Jepang akan kita didik rakyat kita sebagai peyelenggara pemerintahan. Mereka akan dididik untuk memberi perintah tidak hanya menerima perintah. Rakyat dipersiapkan menjadi kepala. kepala dan administratoradministrator.
Mereka dididik untuk memegang roda pemerintahan guna suatu hari yang akan datang, pada waktu mana kita mengambil alih kekuasaan dan menyatakan kemerdekaan. Kalau tidak begitu bagaimana mungkin kita melengkapkan susunan pemerintahan tanpa personil.
Tanpa menunggu jawaban atas keterangan itu, aku melanjutkan, "Dulu setiap kepala adalah orang Belanda dimanamana Belanda.... Belanda ...... pendeknya setiap satu jabatan diduduki oleh si Belanda buruk!" ,,Dan rakyat kita cukup jadi pengantar surat saja atau pesuruh,"
 Hatta menambahkan, "Selalu dalam kedudukan menghambakan diri, Selalu patuh."
Sekarang rakyat yang kurus kering, diinjakinjak lagi bebal ini akan menjadi pejabat pejabat dalam pemerintahan. Mereka akan belajar membuat keputusan, mereka akan mempelajari bagaimana melancarkan tugas, mereka akan mempelajari bagaimana memberikan perintah. Saya sudah menanamkan bibitnya dan Jepang akan memupuknya. Aku meludah ke tanah. "Itulah sebabnya mengapa setiap orang yang cerdas membenci Belanda. Orang Belanda mengharapkan kerjasama kita, akan tetapi tidak sedikitpun memberi kesempatan pada kita yang menguntungkan dari kerjasama itu”.
“Kalau saya mengingatingat perangai Belarida yang munafik, saya mau muntah. Apakah yang dikerjakan Belanda untuk kita? Nol besar! Saya menyadari, tentu ada orang yang menentang saya, karena saya bekerjasama dengan Jepang. Tapi, apa salahnya? Memperalat apa yang sudah diletakkan di depan saya adalah taktik yang paling baik. Dan itulah sebabnya mengapa saya bersedia menerimanya."
Bulan November Gerakan TigaA dibekukan. Bulan Maret aku pertamakali memegang jabatan resmiku dalam suatu badan baru yang bernama PUTERA. Tokyo menganggap "Pusat Tenaga Rakyat" ini sebagai alat dari Sukarno untuk mengerahkan bantuan rakyat di garis belakang bagi kepentingan peperangan mereka. Tapi Sukarno mengartikannya sebagai alat yang nomor dua paling baik untuk melengkapkan suatu badan penggerak politik yang sempurna.
Sebagai Ketua dari PUTERA tugasku ialah meringankan kesulitankesulitan yang timbul di dalam negeri. Ambillah misalnya persoalan tekstil yang rumit. Oleh ketiadaan kain rakyat Marhaen memakai baju dari karung atau bagor. Anakanak yang baru lahir dibungkus dengan taplak meja. Aku pergi berkeliling menyampaikan seruan kepada rakyat desa. Kataku, "Di negeri kita tumbuh semacam tanaman yang bernama rosella. Seratnya bisa ditenun menjadi kain. Hayo kita tanami rosella. Mari kita tenun kain dari rosella."
Rakyat mendengarkan seruanku itu. Kalau rakyat terpaksa mencari akal untuk menutupi kekurangan, mereka melakukannya. Akan tetapi sementara aku menjalankan gerakan itu, aku memilih patriotpatriot yang dipercaya dan memperkerjakannya pada pembesarpembesar setempat. Kataku, "Pekerjaan ini akan lebih berhasil, kalau orang Indonesia ditugaskan untuk melaksanakannya. Ini orangnya, jadikanlah dia sebagai kepala dari gerakan ini. Saya sendiri menjamin kesetiaannya."
Kami tidak mempunyai sabun. Kusampaikanlah kepada tetangga kami, supaya membuat sabun dari minyak kelapa dan abu daun kelapa yang dibakar. Abu itu mengandung bahan kimia yang berbuih jika dicampur dengan minyak. Kemudian kupilih salah seorang pengikutku yang paling dipercaya, Ialu kusampaikan kepada pejabat yang berhubungan dengan itu, "Saya mempunyai seorang kawan disini yang mengetahui bagaimana melakukannya. Tariklah dia untuk mengatasi persoalan tuan."
Kami tidak punya listrik. Untuk mengatasi ini keluar pulalah seruanku, "Hayo kita tanam jarak. Tanaman ini mudah tumbuh seperti tanaman pagar. Dari bijinya kita dapat membuat minyak kastroli yang bisa menyala dengan terang." Apa sebabnya aku mengetahui hal ini? Oleh karena aku orang Jawa. Oleh karena keluargaku melarat dan terpaksa memakainya. Oleh karena selama sebagian dari hidupku aku harus membakar biji jarak karena tidak mampu membeli bola lampu.
Itulah sebabnya mengapa para penakluk memerlukan pimpinan dari daerah yang diduduki itu. Hanya penduduk aslilah yang tahu, bagaimana memecahkan persoalan penduduk. Musuh tidak dapat menduduki suatu negeri tanpa bantuan dari pemimpin negeri itu ini selalu dimana saja bilamana saja.
Kami tidak mempunyai obatobatan. "Pakailah obat asli peninggalan nenek moyang kita," aku menganjurkan. "Untuk penyakit malaria pakailah daun ketepeng. Untuk demam panas buatlah teh dari alangalang." Rakyat Indonesia sampai sekarang masih menggunakan penemuanpenemuan ini.
Kekurangan makanan merupakan kesulitan yang paling rumit untuk diatasi. Tentara Jepang merampas setiap butir beras. Kalau bukan orang penting jangan diharap akan memperolehnya sekalipun satu kilo. Di Bali orang mati karena kelaparan. Aku berhasil mengumpulkan sejumlah besar biji pepaya dan membagikannya kepada setiap orang masingmasing dua butir. Buahbuahan yang enak ini kemudian tumbuh di setiap penjuru pulau.
 Untuk memerangi kelaparan, maka tentara Jepang membuat jaringan radio yang tetap dengan menempatkan pengeras suara di setiap desa, sehingga setiap orang yang sebelum itu hanya mendengar nama Sukarno sekarang dapat mendengar suara Sukarno. "Saudarasaudara kaum wanita," terdengar suara Sukarno mendengung melalui tiap pengeras suara, "Dalam waktu saudara yang terluang, kerjakanlah seperti yang dikerjakan oleh Ibu Inggit dan saya sendiri. Tanamlah jagung. Di halaman muka saudara sendiri saudara dapat menanamnya cukup untuk menambah kebutuhan keluarga saudara." Nah, karena Sukarno yang mengatakan ini kepada mereka, mereka menanamnya. Dan di setiap halaman bertunaslah buah jagung. Usaha ini adasangat membantu.
Mau tidak mau aku harus membelokkan kebencian rakyat terhadap orang Jepang, karena kekurangan makanan ini. Karena itu aku mengadakan pidatopidato seperti ini. "Agenagen musuh membisikkan di telinga saudara, bahwa Dai Nippon yang menjadi sebab kesulitan kita. Itu tidak benar. Berbulanbulan yang lalu dunia mengetahui, bahwa India diamuk oleh kelaparan. Negaranegara Sekutupun menderita kemelaratan dan setiap hari rakyat mereka berbaris untuk memperoleh sepotong roti. Jika mereka mengatakan 'Tidak' itu adalah bohong besar. Dan kalau saudarasaudara percaya kepada berita bohong ini, maka saudara sama saja seperti katak di bawah tempurung. Bertahuntahun yang lalu Winston Churchil sudah mengeluh tentang kekurangan bahan makanan di Inggris. Jadi, saudarasaudara, peperangan mengakibatkan kekurangan dimanamana”.
"Dulu Belanda mengimpor beras dari Birma dan Muangthai. Akan tetapi kapalkapal pengangkut itu sudah ditenggelamkan ke dasar laut. Kekurangan makanan adalah kejadian yang biasa dalam peperangan. Akan tetapi siapakah yang bersalah, sehingga kita harus mengimpor beras selama ini? Belanda. Bukan Dai Nippon Teikoku. Negeri Belanda dengan paksa merubah sawahsawah kita menjadi kebun tebu, tembakau atau hasil lain uang bisa diekspor untuk menggendutkan dirinya sendiri. Maka dari itu, sampai di hari kita berdiri sendiri bebas dari penghisapan imperialisme kita tergantung kepada impor beras."
Aku ditugaskan untuk menyerang Sekutu, memuji negaranegara Asia yaitu sekutu Jerman dan Jepang menimbulkan kebencian terhadap musuhmusuh kita Inggris, Amerika dan Belanda, dan bantulah Dai Nippon. Akan tetapi, sekalipun pidatopidatoku diteliti terlebih dulu dengan kaca pembesar oleh Bagian Propaganda, kalau dipelajari sungguhsungguh ternyatalah bahwa 75% dari isi pidato itu sematamata menanamkan kesadaran nasional.
Misalnya saja, sambil menunjuk kepada seorang prajurit Jepang yang sedang mengawal dengan senapan dan sangkur, aku berkata, "Lihat, dia menjalankan tugasnya oleh karena dia cinta kepada tanah airnya. Dia berperang untuk bangsanya. Dia bersedia mati demi kehormatan tanah airnya. Begitupun .... kita ......harus! Kemudian aku menanamkan kepada rakyat tentang kebesaran negeri kami sebelum mengalami penjajahan. "Kerajaan Majapahit memperoleh kemenangan yang gilanggemilang setelah digembleng dengan penderitaan dalam peperanganpeperangan melawan Kublai Khan. Sultan Agung Hanjokrokusumo membikin negara Mataram menjadi negara yang kuat setelah mengalami cobaan cobaan di dalam perang Senapati. Dan orang Islam di jamannya. Keemasannya barulah menjadi kuat setelah mengalami Perang Salib. Tuhan Yang Maha Kuasa berfirman dalam Quran: "Ada masamasa dimana kesukaranmu sangat berguna dan perlu."
Aku pandai memilih katakata sehingga orangasing, sekalipun bisa berbahasa Indonesia, tidak dapat menangkap arti kiasan yang khas menurut daerah. Aku memetik ceritacerita dari Mahabharata, oleh karena 80% dari bangsa Indonesia sudah biasa dengan cerita itu. Mereka tahu, bahwa Arjuna adalah pahlawan dari Pandawa Lima, dimana kerajaan mereka telah direbut secara licik dalam suatu peperangan besar. Pandawa Lima ini melambangkan kebaikan. Yang menaklukkan mereka adalah lambang kejahatan.
Setiap nama mencerminkan watak manusia di dalam pikiran kami. Arjuna perlambang dari pengendalian diri sendiri. Saudaranya, Werkudara, melambangkan seseorang yang kuat berpegang kepada kebenaran. Sebutlah Gatutkaca, sertamerta orang teringat kepada Sukarno. Mendengar Buta Cakil, orang tahu bahwa itu raksasa yang jahat. Dalam pewayangan maka tokohtakoh yang baik selalu duduk di kanan, yang jahat di sebelah kiri. Mukamuka yang berwarna keemasan putih atau hitam menunjukkan orang yang baikbaik dan yang merah banditbanditnya. Dengan mudah sekali aku membawakan jalan pikiranku dalam perumpamaan ini.
Cara yang lain ialah dengan perlambang hewan. Dari tulisantulisanku yang dibuat sebelum perang. Rakyat mengetahui bahwa aku menganggap negeri Jepang sebagai imperialis modern di Asia. Jadi, dalam masa inilah aku mencetak satu perumpamaan yang terkenal: "Di bawah Matahari Terbit, manakala Liong Barongsai dari Tiongkok bekerjasama dengan Gajah Putih dari Muang Thai, dengan Karibu dari Filipina, dengan Burung Merak dari Birma, dengan Lembu Mandi dari India, dengan Ular Hydra dari Vietnam, dan sekarang, dengan Banteng dari Indonesia, maka Imperialisme akan hancur lebur dari permukaan benua kita !"
Menurut cara berpikir orang Indonesia ini cukup jelas. Maksudnya ialah bahwa daerahdaerah yang diduduki bersatu dalam tekad untuk melenyapkan agressi. Aku tidak mengatakan kita bekerjasama dengan Matahari Terbit. Aku mengatakan, kita bekerjasama DIBAWAH Matahari Terbit. Imamura senang sekali dengan kepandaianku berpidato, yang dianggapnya sematamata sebagai alat untuk dapat mempertahankan daerah taklukannya. Ketika aku minta izin untuk "menulis dan berkeliling guna meringankan kesulitankesulitan di daerah yang tidak bisa dicapai", dia menyediakan suratsurat kabar dan pesawat terbang untuk itu. Dia mengizinkanku untuk mengadakan rapatrapat raksasa Aku berpidato dihadapan 50.000 orang dalam suatu rapat, aku berpidato di hadapan 100.000 orang dalam rapat yang lain.
Tidak hanya nama Sukarno, melainkan juga wajah Sukarno telah menjalar ke seluruh pelosok kepulauan Indonesia. Untuk ini aku harus berterima kasih kepada Jepang. Sekali lagi aku menggelorakan hati rakyat. Aku membangkitkan semangat rakyat. Aku mengoyakoyak kesadaran rakyat. Dan Dai Nippon semakin memerlukan bantuanku.
Sungguhpun demikian, janganlah orang mengira bahwa karena kedudukan itu keadaanku empuk dan mewah selama peperangan. Tidak. Kalau rakyat lapar, Sukarnopun lapar. Kalau tidak ada makanan, Sukarno juga tidak mempunyai makanan. Aku sendiri terpaksa mencari beras untuk memberi makan keluargaku.
Pemimpin dari suatu bangsa pergi ke kampungkampung untuk mengumpulkan lima kilo beras, tak ubahnya dengan rakyat desa yang paling miskin. Dan pada suatu kali aku tidak lekas memadamkan lampu pada waktu penggelapan. Secelah kecil cahaya selama satu detik tampak bersinar dari luar yang gelap. Segera setelah aku mematikannya, terdengarlah suara orang menggedorgedor pintu dengan keras. Dengan cepat Inggit menjawabnya dan ia berhadapan dengan sekelompok Polisi Militer.
"Ada apa?" tanya Inggit gemetar. Kaptennya menggeram, "Siapa yang punya rumah ini?"
“Saya," jawab Inggit
Tidak," teriaknya, "Kami maksud tuan rumah. Siapa suami nyonya?"
Aku sedang berada jauh di dalam, akan tetapi aku keluar juga Kapten itu membentakbentak kepadaku karena cahaya lampu yang sedetik itu, kemudian tangannya melayang plang .... plang ..... plang ....plang, kemplangannya dengan cepat melekat di mukaku. Melihat pemandangan itu Inggit berlutut dan menjerit, "Aduh .... Aduh.... jangan tampar dia. Saya yang harus bertanggung jawab. Itu bukan salahnya. Oooo, ma'afkanlah dia. Saya yang lalai ...... !"
Orangorang itu tidak peduli. Mereka lebih mau menghukumku. Mukaku pecahpecah. Dari bibir dan hidungku banyak mengalir darah. Akan tetapi tidaklah aku mengucapkan sepatah kata. Aku tidak bertahan untuk diriku sendiri. Aku hanya menahankannya dengan tenang sambil berkata kepada diriku sendiri, "Sukarno, kesakitan yang kaurasakan sekarang hanyalah merupakan kerikil di jalan raya menuju kemerdekaan. Langkahilah dia. Kalau engkau jatuh karenanya, berdirilah engkau kembali dan terus berjalan."
Aku melaporkan kejadian ini kepada Kolonel Nakayama, Kepala Bagian Pemerintahan, dan tentu saja dia minta maaf dan menyatakan, "Kapten itu tidak mengetahui siapa tuan" dan selanjutnya katanya, "segera akan diambil tindakan terhadap orang itu";, akan tetapi orangorang itu tetap mengawasiku setiap saat.
Pada suatu kesempatan Imamura berpidato di hadapan rakyat. Sambutan rakyat lembek. Aku menterjemahkannya dengan semangat yang berkobarkobar dan dengan memberikan beberapa putar balik katakata gaya Sukarno. Rakyatku jadi gila karenanya. Pada setiap ucapan mereka bersorak dan berteriak dan bertepuk. Hal ini membangkitkan kecurigaan Kenpeitai. Aku diiringkan ke markasnya, dimana aku dibentak, disenggak dan diancam. Aku merasa yakin dalam diriku, bahwa aku akan digantung. Tapi untunglah.
 Seorang juru bahasa yang mereka pakai dibawa masuk untuk menghadapiku. Akan tetapi orang ini setia kepadaku dan dia menjamin ucapanucapanku. Kemudian setelah mengalami detikdetik yang menakutkan selama berjamjam aku dibebaskan kembali.
Kemanapun aku pergi, aku diiringi oleh perwiraperwira Jepang atau menelitiku secara diamdiam. Seringkali Kenpeitai datang di waktu yang tidak tertentu. Aku harus menjaga diriku setiap saat. Orang Jepang tidaklah bodoh. Mereka tidak pernah mempercayaiku sepenuhnya. Kaki tangan kami dalam gerakan bawah tanah mengabarkan, bahwa ada rencana Jepang untuk membunuh semua pemimpin bangsa Indonesia. Pun orang mengatakan, bahwa Jepang masih memerlukan tenagaku guna mengambil hati rakyat untuk kepentingan mereka. Akan tetapi di saat tugas ini selesai, gilirankupun akan datang pula. Aku senantiasa dalam bahaya.
Berbahaya atau tidak, namun aku tetap mengadakan hubungan rahasia dengan gerakan bawah tanah. Kadang kadang jauh tengah malam, pada waktu semua lampu sudah padam dan semua orang sudah menutup pintunya, aku mengadakan pembicaraan di klinik Dr. Suharto. Adakalanya aku mengadakan kontak dengan seorang penghubung di luar tempat terbuka secara beramahtamah, kelihatan tersenyum seolaholah kami berbicara dengan senang. Kemudian di hari berikutnya secara berbisikbisik tersebarlah instruksi kepada anggotaanggota bawah tanah, "Ini boleh kita kerjakan .... ini tidak."
 Perintahperintah ini datangnya dariku. Aku sendirilah yang memiliki faktafakta tertentu. Aku merupakan saluran informasi ke kedua jurusan. Akan tetapi Jepang mempunyai caracara untuk melemahkan semangat seseorang. Orang yang tertangkap karena memakai bahasa Belanda dipukuli. Perempuanperempuan ditarik dari rumahnya dan diangkut dengan kapal, katanya ke "tempat pendidikan", tapi kemudian mereka dijerumuskan ke dalam rumah perzinaan. Lakilaki dan perempuan yang tidak membungkukkan badan pada waktu melewati seorang penjaga di jalanan mendapat tamparan. Dari cara hukuman yang demikian karena kesalahan kecilkecil dapatlah orang membayangkan, bagaimana hukuman yang harus dihadapi oleh orangorang yang kedapatan bergerak di bawah tanah. Dan kenyataan ini memaksa orang untuk bertindak hatihati sekali.
Cucunguk ada di manamana. Dengan menyamar sebagai tukang sate mereka berjalan sepanjang waktu, sambil mendengardengarkan suara titit ..... titit dari radio, yang berarti bahwa ada seseorang yang sedang menerima 'atau mengirim berita. Kemenakan Suharto ditangkap karena ketahuan mendengarkan radio gelap. la dijatuhi hukuman mati. Dr. Suharto, seorang kawan seperjuanganku yang akrab dan kawan sesungguhnya, tidak minta pertolonganku supaya berusaha melepaskannya, oleh karena dia menganggap tuduhan itu terlalu berat dan jika aku turut membelanya dapat mendjerumuskan ku ke dalam bahaya yang besar.
Akan tetapi aku mempunyai mata dan telinga dalam Kenpeitai. Mereka selalu mengetahui sebelumnya, kalau ada kekeruhan tugas merekalah untuk menyalurkan berita itu kepadaku. Berita disampaikan secara lisan. Tidak ada yang berani menyatakannya dengan tertulis. Berita itu diteruskannya kepada seorang agen yang bekerja di Sendenbu, yang kemudian menghubungi pula seorang kawan di PUTERA.
Akhirnya sampailah kabar kepadaku, bahwa telah terjadi penggerebekan dan Dr. Darmasetyawan ini ditahan dan disiksa. Aku mendengar, bahwa tanggal ia akan menjalani hukuman mati telah ditetapkan. Dan pada suatu hari Suharto mendapati kemenakannya sudah kembali lagi dan sedang duduk di beranda depan rumahnya.
Semuanya terjadi dengan sangat cepat, tidak dengan ributribut. Orang Indonesia mempunyai keluarga yang besar dan ratusan sanak saudara, sehingga berita dapat berjalan dari desa ke desa ke seluruh pelosok pulau dalam waktu beberapa hari. Cara ini lebih baik daripada telpon. Dengan cara berita dari mulut ke mulut ini datanglah pesan yang lain: "Pengacara Sujudi ditahan. Sampaikan kepada Sukarno." Sujudi telah mengorbankan reputasinya untukku.
Di rumahnyalah aku ditangkap dalam bulan Desember tahun 1929. Aku mengadakan hubungan dengan para pembesar yang mengurus perkaranya, memberikan diriku sendiri sebagai jaminan untuk menyelamatkan Sujudi. "Tidak mungkin dia mengadakan komplot menentang Dai Nippon," aku mempertahankan. "Tuduhan ini tentu keliru. Sujudi adalah nasionalis yang setia dan takkan mau melawan Dai Nippon yang kami hormati, karena Nipponlah yang membantu kami untuk kemerdekaan." Setelah itu ia bebas. Sampai pula laporan kepadaku bahwa Amir Sjarifuddin, salah seorang pemimpin kami dari gerakan bawah tanah, selama bermingguminggu telah digantung oleh Kenpetai dengan kakinya ke atas. Dia disuruh meminum air kencingnya sendiri. Dia takkan dapat tahan lebih lama lagi. Aku merundingkan pembebasannya dengan menegaskan kepada para pejabat yang bersangkutan, "Bebaskan dia atau kalau tidak, jangan diharap lagi kerjasama dari saya." Untuk dapat membuat pernyataan seperti itu, sungguh sungguh diperlukan hati yang kuat. Akan tetapi untuk dapat memandangi keadaan Amir Sjarifuddin ketika Jepang mengeluarkannya, memerlukan kekuatan hati yang lebih besar lagi.
Badannya kurus seperti lidi. Orang tidak dapat percaja, bahwa seseorang masih sanggup menahankan penderitaan seperti itu dan masih mungkin keluar daIam keadaan bernyawa. Aku telah banyak menyelesaikan persoalanpersoalan demikian ini. Sampai sekarang ia terkubur jauh di dalam hatiku. Tidaklah kusoraksorakkan jasa yang telah kuberikan kepada orang lain dari atas atap rumah, betapapun juga banyaknya. Selama hidupku aku telah menjalankan amal jariah kepada semua manusia, apabila aku sanggup melakukannya. Aku tahu. Dan Tuhan pun tahu. Itulah yang penting bagiku.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More