BAB VII
Bahasa
Indonesia
Sang Saka Merah Putih jauh lebih dulu ada dari pada Garuda Pancasila yang merupakan lambang dari Indonesia
JANJIKU sudah terpenuhi.
Pendidikanku sudah selesai. Mulai saat ini untuk seterusnya tidak ada yang akan
menghalang‐halangiku menjalankan pekerjaan
untuk mana aku dilahirkan. Semenjak aku berdiri diatas jambatan di Surabaya itu
dan mendengarkan jeritan rakyatku, aku menyadari bahwa akulah yang harus
berjuang untuk mereka. Hasrat yang menyala‐nyala
untuk membebaskan rakyatku bukanlah hanya ambisi perorangan. Jiwaku penuh
dengan itu. Ia melewati sekujur badanku. Ia mengisi padat lubang hidungku. Ia
mengalir melalui urat nadiku. Untuk itulah orang mempersembahkan seluruh
hidupnya. Ia lebih dari pada hanya sebagai kewajiban. Ia lebih dari pada
panggilan jiwa. Bagiku ia adalah satu ......kejakinan. Menurut para mahaguru
tesisku tentang konstruksi pelabuhan dan jalanan air ditambah dengan teoriku
tentang perencanaan kota mempunyai "nilai penemuan dan keaslian yang
begitu tinggi", sehingga untukku disediakan jabatan sebagai assisten
dosen. Aku menolaknya. Juga ditawarkan pekerjaan pemerintahan kota. Inipun
kutolak.
Salah seorang mahaguru, Professor Ir. Wolf
Schoemaker, adalah seorang besar. Ia tidak mengenal warna kulit. Baginya tidak ada Belanda atau Indonesia. Baginya tidak ada
pengikatan atau kebebasan. Dia hanya menundukkan kepala kepada kemampuan
seseorang. "Saya menghargai kecakapanmu," katanya. "Dan saya
tidak ingin kecakapan ini tersia‐sia.
Engkau mempunyai pikiran yang kreatif. Jadi saya minta supaya engkau bekerja
dengan pemerintah. "Sungguhpun aku keberatan, ia menyerahkanku kepada
Direktur Pekerjaan Umum yang meminta kepadaku untuk merencanakan suatu proyek
untuk perumahan Bupati. Insinyur kepalanya sudah tentu seorang Belanda yang
tidak mengenal sama sekali kehidupan orang Indonesia dan kebutuhannya. Akan
tetapi oleh karena aku tidak menghendaki pekerjaan ini, kusampaikan kepadanya
pendapatku tentang rencana arsitekturnya, "Maafkan saya, tuan, konsepsi
tuan didasarkan pada semangat pedagang rempah rempah Belanda. Setiap orang
Belanda merencanakan secara teknis salah. Persil‐persil di Bandung hanya 15 meter lebar dan 20 meter ke dalam dan
rumah‐rumahnya sempit. Kota Bandung direncanakan seperti kandang ayam.
Bahkan jalannya sempit, karena ia dibuat menurut cara berpikir Belanda yang
sempit. Sama saja dengan proyek yang tuan rencanakan. Ia tidak mempunyai 'Schwung'.
"Karena aku telah menolak pekerjaan yang diberikan itu, aku merasa wajib member
penjelasan kepada Professor Schoemaker, "Tuan telah menyatakan, bahwa saya
dalam ruang lingkup yang kecil memiliki daya cipta. Yah, saya ingin
mencipta," kataku dengan hebat. "Akan tetapi untuk saya sendiri.
Saja tidak yakin dikemudian hari
akan menjadi pembangun rumah. Tujuan saya ialah untuk menjadi pembangun dari
suatu bangsa. "Politik usang dari Gerakan Kebangsaan kami, yaitu mengadakan
kerjasama dengan pemerintah dengan cara mengemis‐ngemis, hanya menghasilkan janji‐janji
yang.tidak ditepati. Dengan usaha saya, kami baru‐baru ini memulai politik non‐kooperasi.
Ini didasarkan pada kehendak percaya pada diri sendiri dan di bidang ekonomi
terlepas dari bantuan negara asing. "Kawanku itu mendengarkan dengan
tenang, kemudian berkata, "Anak muda, hendaknya bakatmu dipergunakan secara
maksimal. Kalau engkau berdiri sendiri, ini akan memakan waktu bertahun‐tahun untuk bisa maju. Hanya orang‐orang Belanda yang berpangkat tinggi atau pegawai pemerintahlah
yang bisa berhasil mengadakan biro arsitek. Dan mereka tentu keberatan untuk
mempekerjakan seorang muda yang tidak berpengalaman dan juga kebetulan berada
paling atas dalam daftar hitam polisi, karena dianggap sebagai pengacau. Usul
saya ini adalah permulaan yang baik untukmu." Pandangannya itu memang
baik. "Professor, saya menolak untuk bekerja‐sama, supaya tetap bebas dalam berpikir dan bertindak. Kalau saya
bekerja dengan pemerintah, secara diam‐diam
saya membantu politik penindasan dari rezim mereka yang otokratis dan
monopolistis itu. Pemuda sekarang harus merombak kebiasaan untuk menjadi pegawai
kolonial segera setelah memperoleh gelarnya. Kalau tidak begitu, kami tidak
akan merdeka selama‐lamanya."
"Jangan terima pekerjaan jangka
lama, kalau sekiranya perasaan tidak senangmu begitu kuat," ia mempertahankan,
"Akan tetapi buatlah satu rumah ini saja untuk Bupati. Cobalah kerjakan
..... Kerjakanlah atas permintaan saya. "Aku melakukan sebagaimana yang
dimintanya. Pekerjaan ini sangat berhasil dan aku dibanjiri dengan permintaan
untuk mengerjakan karya teknik semacam itu untuk pejabat‐pejabat lain. Sungguhpun bantuan uang dari keluargaku sudah tidak
ada lagi semenjak aku selesai dan sekalipun aku tidak mempunyai jalan yang
nyata untak membantu isteriku, aku menolaknya. Aku membuat rencana Kabupaten
hanya karena sangat menghargai dan menghormati Professor itu. Akan tetapi ini
adalah yang pertama dan terakhir aku bekerja untuk Pemerintah. Kemudian, ketika
Departemen Pekerjaan Umum menawarkan kedudukan tetap kepadaku, aku menolaknya
dengan alas an bahwa aku memperjuangkan non‐kooperasi.
Aku sangat memerlukan uang dan pekerjaan.
Aku sudah tidak mempunyai harapan
sama sekali untuk memperoleh kedua‐duanya
ini ketika aku mendengar lowongan di sekolah Yayasan Ksatrian yang
diselenggarakan oleh pemimpin kebangsaan Dr. Setiabudi. Mereka mencari seorang
guru yang akan mengajar dalam dua mata pelajaran. Yang pertama adalah sejarah,
untuk mana aku sangat berhasrat besar. Mata pelajaran yang lain? Ilmu pasti!
Dan dalam segala segi‐seginya
lagi! Jadi sebagaimana telah kutegaskan dengan segala kejujuran yang pahit,
kalau ada mata pelajaran yang sama sekali tidak bisa kuatasi, maka itulah dia
ilmu pasti. Akan tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain.
Guru yang ditugaskan untuk melakukan
tanya jawab bertanya, "Ir. Sukarno, tuan adalah insinyur yang berijazah,
jadi tentu tuan ahli dalam ilmu pasti, bukankah begitu?" ,"Oh, ya
tuan," aku menyeringai merecik kepercayaan. — "Ya, tuan. Ya, betul.
Saya menguasainya." Baiklah, tuan dapat mengadar ilmu pasti?"
tanyanya. "Mengapa tidak," aku membohong. "Saya menguasai betul
ilmu pasti. Menguasainya sungguh‐sungguh.
Ini mata pelajaran yang saya senangi." Inggit dan aku sudah kering sama
sekali, tidak mempunyai apa‐apa
lagi. Apa yang dapat kami suguhkan kepada tamu hanya secangkir teh encer tanpa gula.
Jadi, apa yang harus kukatakan kepadanya? Bahwa aku sama sekali tidak dapat
mengajar ilmu pasti? Bahwa sesungguhnya aku gagal dalam pelajaran itu?.
Kalau demikian, tentu aku tidak akan
memperoleh pekerjaan itu. Temanku, Dr. Setiabudi, datang sendiri kepadaku dan
sekali lagi bertanya, "Bagaimana pendapatmu sesungguhnya, bisakah engkau
mengajar?" Dan kuulangi dengan suara yang tergoncang dan tersinggung,
"Apakah saya bisa mengajar? Tentu saya bisa mengajar. Tentu saja saya
bisa. Sudah pasti." Ilmu pasti juga?" Ya, ilmu pasti juga."
Aneh, kenyataannya aku menghadapi kesukaran justru dalam pelajaran sejarah.
Kelasku berjumlah 30 orang murid, termasuk Anwar Tjokroaminoto.
Tak seorangpun memberiku petunjuk
dalam cara mengajar. Jadi aku mencobakan caraku sendiri. Sayang, aku tidak
berhasil mendekati metode yang resmi. Dalam pelajaran sejarah aku mempunyai
gayaku sendiri. Aku tidak menyesuaikan sama sekali teori bahwa anak‐anak harus diajar secara kenyataan. Angan‐anganku ialah hendak menggerakkan mereka supaya bersemangat. Aku
lebih berpegang pada pengertian sejarah daripada mengajarkan nama‐nama, tahun dan tempat. Aku tak pernah memusingkan kepala tentang
tahun berapa Columbus menemukan Amerika, atau tahun berapa Napoleon gagal di
Waterloo atau hal‐hal
lain yang sama remehnya seperti apa yang biasanya mereka ajarkan di sekolah. Kalau
seharusnya aku memperlakukan murid‐muridku
sebagai anak‐anak yang masih kecil, yang kemampuannya
dalam mata pelajaran ini terpusat pada mengingat fakta‐fakta, maka aku berfalsafah dengan mereka. Aku memberikan alasan
mengapa ini dan itu terdjadi. Aku memperlihatkan peristiwa peristiwa sejarah
secara sandiwara. Aku tidak memberikan pengetahuan secara dingin dan
kronologis. Ooo tidak, Sukarno tidak memberikan hal semacam itu. Itu tidak bisa
diharapkan dari seorang orator yang berbakat dari lahirnya. Aku mengayunkan
tanganku dan mencobakannya. Kalau aku bercerita tentang Sun Yat Sen, aku betul‐betul berteriak dan memukul meja.
Sudah menjadi aturan dari Departemen
Pengajaran Hindia Belanda, sekolah‐sekolah
dikunjungi oleh penilik‐penilik
sekolah pada waktu‐waktu
tertentu. Pada waktunya yang tepat seorang penilik sekolah datang mendengarkan
pelajaran sejarahku. Dia duduk dengan tenang dibelakang kelas untuk memperhatikan.
Selama dua jam aku mengajar dengan cara yang menurut pikiranku paling baik, sementara
mana aku menyadari bahwa dia mendengarkan dengan saksama. Secara kebetulan
pelajaran kali ini berkenaan dengan Imperialisme. Karena aku sangat menguasai
pokok persoalan ini, aku menjadi begitu bersemangat sehingga aku terlompat‐lompat dan mengutuk seluruh sistemnya. Dapatkah engkau membayangkan?
Di hadapan penilik sekolah bangsa Belanda yang memandang padaku dengan wajah tidak
percaya, aku sungguh‐sungguh
menamakan Negeri Belanda sebagai "Kolonialis yang terkutuk ini"! Ketika
pelajaran dan kisahku kedua‐duanya
selesai, penilik sekolah itu menyatakan dengan seenaknya bahwa menurut
pendapatnya sesungguhnya aku bukan pengajar yang terbaik yang pernah dilihatnya
dan bahwa aku tidak mempunyai masa depan yang baik dalam pekerjaan ini.
Ia berkata kepadaku, "Raden
Sukarno, tuan bukan guru, tuan seorang pembicara!" Dan inilah akhir dari pada
karierku yang singkat sebagai guru. 26 Juli 1926 aku membuka biro teknikku yang
pertama, bekerjasama dengan seorang teman sekelas, Ir. Anwari. Aku tak pernah
lagi mendapat kesempatan untuk memasuki Ruang Keilmuan. Kehidupan segera
memikulkan beban di atas pundakku dan melemparkan aku ke atas tumpukan sampah
dan ke dalam pondok‐pondok
yang bocor dan goyah. Kehidupan melemparkan daku ke pasar‐pasar. Kehidupan membuangku ke hutan‐hutan, ke kampung‐kampung
dan sawah‐sawah. Aku tidak menjadi guru. Aku
menjadi juru khotbah. Mimbarku adalah pinggiran jalan. Kumpulanku? Massa rakyat
menggerumut yang sangat merindukan pertolongan. Di tahun 1926 aku mulai mengkhotbahkan
nasionalisme terpimpin. Sebelum itu aku hanya memberikan kepada pendengarku kesadaran
nasional lebih banyak daripada yang mereka ketahui sebelumnya. Sekarang aku
tidak saja mengoyak‐oyak
mereka untuk bangun, akan tetapi aku memimpin mereka. Aku menerangkan, bahwa sudah
datang waktunya untuk menjelmakan suatu masyarakat baru yang demokratis sebagai
ganti feodalisme yang telah bercokol selama berabad‐abad. Aku berkata kepada para pendengarku, "Kita tidak lagi
akan membiarkan diri kita secara patuh mengikuti cara hidup yang akan membawa
kita kepada kehancuran kita sendiri. Kehidupan yang terdiri dari kelas‐kelas, kasta‐kasta
dan yang punya dan tidak punya menimbulkan perbudakan.
Di dalam kehidupan modern manusia
berjuang untuk meninggikan harkat kehidupan rakyat. Mereka yang tidak
menghiraukan hal ini akan dibinasakan oleh rakyat banyak dan oleh bangsa‐bangsa yang berjuang untuk memperoleh haknya. "Kita memerlukan
persamaan hak. Kita telah mengalami ketidaksamaan selama hidup kita. Mari kita
tanggalkan pemakaian gelar‐gelar.
Walaupun saya dilahirkan dalam kelas ningrat, saya tidak pernah menyebut diriku
raden dan saya minta kepada saudara‐saudara
mulai dari saat ini dan untuk seterusnya supaya saudara‐saudara jangan memanggil saya raden.
Mulai dari sekarang jangan ada
seorangpun menyebutku sebagai Cedaking Kusuma Rembesing Madu "Keturunan
Bangsawan". Tidak, aku hanya cucu dari seorang petani. Feodalisme adalah
kepunyaan masalah yang sudah dikubur. Feodalisne bukan kepunyaan Indonesia di
masa yang akan datang. "Sementara aku mendidik para pendengarku untuk
menghabisi sistem feodal, aku melangkah selangkah maju, ialah ke bidang bahasa.
Dalam bahasa Jawa saja terdapat 13 tingkatan yang pemakaiannya tergantung pada
siapa yang dihadapi berbicara, sedang kepulauan kami mempunyai tidak kurang
dari 86 dialek semacam itu. "Sampai sekarang," kataku, "bahasa
Indonesia hanya dipakai oleh kaum ningrat. Tidak oleh rakyat biasa. Nah, mulai
dari hari ini menit ini mari kita berbicara dalam bahasa Indonesia.
"Hendaknya rakyat Marhaen dan
orang bangsawan berbicara dalam bahasa yang sama. Hendaknya seseorang dari satu
pulau dapat berhubungan dengan saudara‐saudaranya
di pulau lain dalam bahasa yang sama. Kalau kita, yang beranak‐pinak seperti kelinci, akan menjadi satu masyarakat, satu bangsa, kita
harus mempunyai satu bahasa persatuan. Bahasa dari Indonesia
Baru."Sebelurn ini, seorang Jawa dari golongan rendah tidak boleh sekali‐kali menanyakan kepada orang Jawa yang lebih tinggi derajatnya, 'Apakah
engkau memanggil saya?' Dia tidak akan berani mengucapkan begitu saja perkataan
"engkau" kepada orang yang lebih atas. Seharusnya ia memakai
perkataan "kaki tuan" atau "kelom tuan". Dia harus mengucapkan,
"Apakah kelom tuan memanggil saya? "Tingkatan perhambaan semacam
inipun dinyatakan dengan gerak.
Aku menunjuk dengan jari telunjukku,
akan tetapi orang yang lebih rendah tingkatnya dihadapanku akan menunjuk dengan
ibu jari. Keramahan yang demikian itu memberikan kepada si penjajah suatu
senjata rahasia yang membantu melahirkan suatu bangsa "cacing" dan
"katak" seperti mereka menamakannya. Kamipun disebut sebagai
"rakyat yang paling pemalu di dunia. "Bertahun‐tahun kemudian aku tergila‐gila
pada seorang Puteri yang muda dan cantik dari salah satu kraton di Jawa, akan
tetapi penasehat penasehatku menyatakan, bahwa aku sebagai orang yang telah
bergabung dengan rakyat jelata tidak mungkin mengawininya. Sekalipun hatiku
luka, mereka menunjukkan bagaimana aku telah memimpin pemberontakan melawan
feodalisme, jadi tidak bisa sekarang memasuki golongan itu. Dan berahirlah hubungan
ini dengan suatu kisah percintaan secara platonis. Di kalangan kaum bangsawan
di Jawa seorang isteri tidak pernah kehilangan derajatnya yang tinggi. Kalau ia
mengawini seorang lelaki yang lebih rendah derajatnya, suaminya harus
mengajukan permohonan untuk berbuat sesuatu. Bahkan untuk bercintaan dengan
isterinya sendiri, si suami yang boleh jadi bergelar raden, terlebih dulu harus
meminta izin dari isterinya. Mungkin maksudnya baik. Akan tetapi, aku tidak
dapat melihat Sukarno dalam kedudukan yang demikian.
Di jaman Feodal kami tidak mempunyai
bentuk panggilan yang luas seperti Mister, Mistres, Miss atau yang dapat
mencakup seluruh lapisan dan tingkat seseorang. Ketika aku memaklumkan Bahasa Indonesia,
kami memerlukan suatu rangkaian sebutan yang lengkap yang dapat dipakai secara
tidak berubah‐ubah antara tua dan muda, kaya dan
miskin, Presiden dan rakyat tani. Di saat itulah kami mengembangkan sebutan Pak
atau Bapak, Bu atau Ibu dan Bung yang berarti saudara. Di jaman Revolusi Kebudayaan
inilah aku mulai dikenal sebagai Bung Karno. Tahun 1926 adalah tahun dimana aku
memperoleh kematangan dalam tiga segi. Segi yang kedua adalah dalam
kepercayaan. Aku banyak berpikir dan berbicara tentang Tuhan. Sekalipun di
negeri kami sebagian terbesar rakyatnya beragama Islam, namun konsepku tidak
disandarkan semata‐mata
kepada Tuhannya orang Islam. Pada waktu aku
melangkah ragu melalui permulaan jalan yang menuju kepada
kepercayaan, aku tidak melihat Yang Maha Kuasa sebagai Tuhan kepunyaan
perseorangan. Menurut jalan pikiranku maka kemerdekaan bagi seseorang meliputi
juga kemerdekaan beragama. Ketika konsep keagamaanku meluas, ideologi dari Pak Tjokro
dalam pandanganku semakin sempit dan semakin sempit juga. Pandangannya tentang kemerdekaan
untuk tanah air kami semata‐mata
ditinjau melalui lensa mikroskop dari agama Islam. Aku tidak lagi menoleh
kepadanya untuk belajar. Juga kawan‐kawannya
tidak lagi menjadi guruku. Sekalipun aku masih seorang pemuda, aku tidak lagi
menjadi penerima. Aku sekarang sudah menjadi pemimpin. Aku mempunyai pengikut.
Aku mempunyai reputasi. Aku sudah menjadi tokoh politik yang sederajat dengan
Pak Tjokro.
Dalam hal ini tidak terjadi
pemutusan tiba‐tiba. Ini terjadi lebih mirip dengan
pemisahan diri secara pelahan sedikit demi sedikit. Sekalipun antara Pak Tjokro
dan aku terdapat perbedaan yang besar di bidang politik, akan tetapi antara
kami tetap terjalin hubungan yang erat. Orang Asia tidak menemui kesukaran
untuk membedakan ideologi dengan peri‐kemanusiaan.
Ketika seorang nasionalis bernama Hadji Misbach menyerang Pak Tjokro secara
serampangan dalam suatu kongres, kuminta supaya dia minta ma'af kepada kawan
lamaku itu. Hadji Misbach kemudian menyatakan penyesalannya. Menentang seseorang
dalam bidang politik tidaklah berarti bahwa kita tidak mencintainya secara
pribadi. Bagi kami, yang satu tidak ada hubungannya dengan yang lain. Hal ini
tidak dapat diselami oleh pikiran orang Barat, tapi ini senada dengan mentalita
orang Timur. Misalnya saja, kusebut Pak Alimin dan Pak Muso. Keduaduanya sering
bertindak sebagai guruku dalam politik ketika aku tinggal di rumah Pak Tjokro.
Kemudian mereka berpindah kepada Komunisme, pergi ke Moskow dan belakangan di
tahun 1948, setelah aku menjadi Presiden, mengadakan pemberontakan Komunis dan
usaha perebutan kekuasaan.
Mereka merencanakan kejatuhanku.
Akan tetapi orang Jawa mempunyai suatu peribahasa, "Gurumu harus
dihormati, bahkan lebih daripada orangtuamu sendiri." Ketika Pak Alimin
sudah terlalu amat tua dan sakit, aku mengunjunginya. Lalu surat‐surat kabar mengoceh, "Hee, lihat Sukarno mengunjungi seorang
Komunis! "Ya, Pak Alimin telah mencoba menjatuhkanku. Akan tetapi dia
adalah salah‐seorang guruku di hari mudaku. Aku
berterima kasih kepadanya atas segala yang baik yang telah diberikannya kepadaku.
Aku berhutang budi kepadanya. Yang sama beratnya untuk dilupakan ialah
kenyataan, bahwa
dia adalah salah seorang perintis kemerdekaan. Seseorang yang
berjuang untuk pembebasan tanah airnya — tak pandang bagaimana perasaannya
terhadapku kemudian — berhak mendapat penghargaan dari rakyatnya dan dari
Presidennya. Sama juga halnya dengan Pak Tjokro. Sampai di hari aku akan menutup
mata untuk selama‐lamanya,
aku akan tetap menulis namanya dengan hati yang lembut. Dalam bidang politik
Bung Karno adalah seorang Nasionalis. Dalam kepercayaan Bung Karno seorang yang
beragama. Akan tetapi Bung Karno mempunyai kepercayaan yang bersegi tiga. Dalam
bidang ideologi, ia sekarang menjadi sosialis. Kuulangi bahwa aku menjadi
sosialis. Bukan Komunis. Aku tidak menjadi Komunis. Masih saja ada orang yang
berpikir bahwa Sosialisme sama dengan Komunisme. Mendengar perkataan sosialis
mereka tidak dapat tidur. Mereka melompat dan memekik, "Haaa, saya sudah
tahu! Bahwa Bung Karno seorang Komunis!'' Tidak, aku bukan Komunis. Aku seorang
SosiaIis. Aku seorang Kiri.
Orang Kiri adalah mereka yang
menghendaki perubahan kekuasaan kapitalis, imperialis yang ada sekarang. Kehendak
untuk menyebarkan keadilan sosial adalah kiri. Ia tidak perlu Komunis. Orang
kiri bahkan dapat bercekcok dengan orang Komunis. Kiri phobi, penyakit takut akan
cita‐cita kiri, adalah penyakit yang kutentang habis‐habisan seperti Islamophobi. Nasionalisme tanpa keadilan sosial
menjadi nihilisme. Bagaimana suatu negeri yang miskin menyedihkan seperti
negeri kami dapat menganut suatu aliran lain kecuali haluan sosialis? Mendengar
aku berbicara tentang demokrasi, seorang pemuda menanyakan apakah aku seorang
demokrat. Aku berkata, "Ya, aku pasti sekali seorang demokrat."
Kemudian dia berkata, "Akan tetapi menurut pandangan saya tuan seorang
sosialis." Saya sosialis, jawabku. Ia menyimpulkan semua itu dengan,
"Kalau begitu tentu tuan seorang sosialis demokrat." Mungkin ini
salah satu jalan untuk menamaiku. Orang Indonesia berbeda dengan bangsa lain di
dunia. Sosialisme kami adalah sosialisrne yang dikurangi dengan pengertian
rnaterialistisnya yang ekstrim, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang
terutama takut dan cinta kepada Tuhan.
Sosialisme kami adalah suatu campuran. Kami
menarik persamaan politik dari Declaration of Independence dari Amerika. Kami
menarik persamaan spiritual dari Islam dan Kristen. Kami menarik persamaan
ilmiah dari Marx. Kedalam campuran yang tiga ini kami tambahkan kepribadian
nasional: Marhaenisme. Kemudian kami memercikkan ke dalamnya Gotong‐royong yang menjadi jiwa, inti daripada bekerja bersama, hidup bersama
dan saling bantu‐membantu.
Kalau ini dicampurkan semua, maka hasilnya adalah Sosialisme Indonesia.
Konsepsi‐konsepsi ini, yang dimulai semenjak tahun dua puluhan dan tak
pernah aku menyimpang dari padanya, tidak termasuk begitu saja dalam
penggolongan sesuai dengan jalan pikiran orang Barat, tetapi memang orang harus
mengingat, bahwa aku tidak mempunyai jalan pikiran Barat.
Merubah rakyat sehingga mereka
tergolong dengan baik dan teratur ke dalam kotak Barat tidak mungkin dilakukan.
Para pemimpin yang telah mencoba, gagal dalam usahanya. Aku selalu berpikir
dengan cara mentalita Indonesia. Semenjak dari sekolah menengah aku telah
menjadi pelopor. Dalam hal politik aku tidak berpegang kepada salah satu
contoh. Mungkin inilah yang menyebabkan, mengapa aku jadi sasaran dari demikian
banyak salah pengertian. Aliran politikku tidak sama dengan aliran orang lain.
Tapi disamping itu latar belakangku pun tidak bersamaan dengan siapapun juga.
Nenekku memberiku
kebudayaan Jawa dan Mistik. Dari bapak datang Theosofisme dan
Islamisme. Dari ibu Hinduisme dan Buddhisme. Sarinah memberiku Humanisme. Dari
Pak Tjokro datang Sosialisme. Dari kawan‐kawannya
datang Nasionalisme. Aku menambah renungan‐renungan
dari Karl Marxisme dan Thomas Jeffersonisme. Aku belajar ekonomi dari Sun Yat
Sen. Aku belajar kebaikan dari Gandhi. Aku sanggup mensynthese pendidikan
secara ilmu modern dengan kebudayaan animistik purbakala dan mengambil ibarat
dari hasilnya menjadi pesan‐pesan
pengharapan yang hidup dan dapat dihirup sesuai dengan pengertian dari rakyat
kampung.
Hasil yang keluar dari semua ini
dinamakan orang —dalam istilah biasa — Sukarnoisme. Aku tumbuh dari Sarekat
Islam, akan tetapi belum menukarnya dengan partai lain yang formil. Apa yang
disebut organisasi politikku di tahun 1926 adalah pertumbuhan dari Bandung
Studenten Club yang disponsori oleh universitas, agar para mahasiswa dapat
bermain bridge atau bilyar. Ia didirikan untuk pesta‐pesta dan kegembiraan. Anak Bumiputera dibolehkan masuk club itu
akan tetapi, setelah mengikutinya, aku menyadari bahwa kami tidak dapat menjadi
anggota pengurus. "Saya tidak dapat menerima keadaan semacam itu,"
kataku, "Saya akan keluar dari perkumpulan ini." Seperti di
Mojokerto, setiap orang main ikut‐ikutan
dengan pemimpin. Pada waktu Sukarno keluar dari Bandung Studenten Club ini,
anak Indonesia lainnya pun mengikutinya. Dengan lima orang anak Indonesia aku
mendirikan Perkumpulan Studi. Aku memilih bahan bacaan yang bernilai seperti
"Handelingen der Tweede Kamer van de Staten Generaal" (Kegiatan
Tweede Kamer dari Staten Generaal Negeri Belanda) dari perpustakaan. Dan kami secara
berganti‐ganti membacanya seminggu seorang. Pada setiap penutupan lima mingguan
sekali kami mengadakan pertemuan — biasanya di rumahku — dan duduk sepanjang
malam memperdebatkan pokok pokok dari strategi yang ada di dalamnya. Orang
selalu dapat mengetahui, kapan Bung Karno mempelajari buku itu. Kalimat‐kalimat yang perlu, diberi bergaris dibawahnya. Paragraf‐paragraf diberi lingkaran. Siapa saja yang membacanya setelah itu
dapat melihat dengan mudah aliran pikiranku.
Kutuliskan kritik‐kritikku dipinggir pinggir halaman. Aku memberi tanda halaman‐halaman yang kusetujui dan memberi catatan dibawah halaman‐halaman yang tidak kusetujui. Tadinya segar dan bersih dari rak
perpustakaan, jilid‐jilid
yang berharga itu kemudian tidak lagi bersih sesudah itu. Ke dalam Algemeene
Studiclub ini hinggaplah intellektuil‐intellektuil
muda bangsa Indonesia, banyak yang baru saja kembali dari Negeri Belanda dengan
ijazah kesarjanaannya yang gilang‐gemilang
ditangan mereka. Pertukaran buah‐pikiran
dalam bidang politik yang aktif adalah kegiatan kami yang pokok. Cabang‐Cabang dari Studieclub ini tumbuh di Solo, Surabaya dan kota
lainnya di Jawa. Kami kemudian menerbitkan majalah perkumpulan — Suluh
Indonesia Muda — dan, sebagaimana dapat diduga, Ketua Sukarno adalah penyumbang
tulisan yang pertama. Karena aku begitu terikat dalam soalsoal politik sehingga
kurang memikirkan soal‐soal
lain, maka biro teknikku merosot sehingga ia mati sama sekali.
Pikiranku terlalu sangat tertuju kepada segi
yang dalam dari kehidupan ini daripada memikirkan yang tidak berarti, sehingga
dimalam terang bulan yang penuh gairah aku bahkan lebih memikirkan isme daripada
memikirkan Inggit. Pada waktu muda‐mudi
yang lain menemukan kasihnya satu sama lain, aku mendekam dengan "Das
Kapital". Aku menyelam lebih dalam dan lebih dalam lagi. Jadi aku
mendekati akir daripada windu yang ketiga. Sewindu adalah suatu jangka waktu
yang lamanya delapan tahun.
Tahun 1901 sampai 1909 adalah windu
dengan pemikiran kanak‐kanak.
1910 sampai 1918 adalah windu pengembangan. 1919 sampai 1927 windu untuk
mematangkan diri. Aku sudah siap sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar