Indonesia

Indonesia is the beautiful country in the universe

Kamis, 29 Desember 2011

Autobiografi Bung Karno_BAB XVII_Pelarian

BAB XVII
Pelarian
 
         YANG menjadi sasaran pertama dari pendaratan, tentara Jepang adalah kota Palembang, Sumatera Selatan. Tentara Belanda mengundurkan diri. Dia tidak bertempur. Dia lari tungganglanggang, Hanya untuk satu hal Belanda tidak lari, yaitu untuk mengawasi Sukarno. Belanda kuatir meninggalkanku, oleh karena Jepang sudah pasti akan menggunakan bakatku untuk melontarkan kembali segala dendam kesumat terhadap Negeri Belanda, dan dengan demikian juga terhadap Pasukan Sekutu. Merekapun kuatir terhadap masa datang, kalau perang sudah selesai. Lepasnya Sukarno ke tali hati rakyat yang sudah sangat bergetar, berarti bukan, mempermudah jalan untuk menguasai kembali kepulauan Hindia Belanda.
Mereka bahkan lebih menyadari daripada aku, bahwa di Jawa dan dimanamana rakyat masih belum melupkan Sukano. Rakyat masih menempatkan Sukano di puncak impian mereka. Boleh jadi ini disebabkan, karena tidak ada tokoh lain yang dapat menduduki tempat Sukarno di dalam hati rakyat.
Semenjak aku dibuang, maka pergerakan kebangsaan telah berceraiberai. Semua pemimpin dimasukkan ke dalam bui atau diasingkan. Di tahun 1936 sebuah partai yang telah dilemahkan, yaitu Gerindo, bergerak kembali, akan tetapi tidak mempunyai tokoh yang mudah terbakar. Tidak ada pemberontakan rakyat.
Apa yang dapat dilakukan oleh massa hanyalah mengingatingat kembali waktu yang telah silam. Dan ini memang yang mereka lakukan. Selama masa aku dipisahkan dari rakyat, mereka hanya mengenang detikdetik yang memberi pengharapan dan kemenangan di bawah Singa Podium. Ternyata di dalam sejarah agama dan politik, bahwa jika pihak lawan memerangi usaha seorang pemimpin dengan jalan pengasingan atau lainlain, namanya akan semakin beruratberakar dalam hati rakyat. Demikian pula halnya dengan Sukarno. Kepopuleranku di kalangan rakyat sampai sedemikian, sehingga nampaknya seolaholah aku tidak pernah dipisahkan dari mereka itu.
Tersiarlah berita bahwa Jepang sudah bergerak menuju Bengkulu. Sehari sebelum ia menduduki kota ini dua orang polisi dengan tergopohgopoh datang ke tempatku. "Kemasi barangbarang," perintahnya. "Tuan akan dibawa keluar."
"Kapan ?"
"Malam ini juga. Dan jangan banyak tanya. Ikuti saja perintah. Tuan sekeluarga akan diangkut tengah malam nanti. Secara diamdiam dan rahasia. Hanya boleh membawa dua kopor kecil berisi pakaian. Barang lain tinggalkan. Tuan akan dijaga keras mulai dari sekarang, jadi jangan cobacoba melarikan diri."
Sukarti yang berumur delapan tahun itu dapat merasakan ketegangan yang timbul. Karena takut dia bergantung kepadaku dengan kedua belah tangannya.
"Pegang saya, Oom," bisiknya. Oom adalah paman dalam bahasa Belanda. Ketika polisi itu meneriakkan perintahnya, aku membelai kepala anak itu untuk menenangkan hatinya. "Boleh saya bertanya kemana kami akan dibawa?" tanyaku.
"Ke Padang. Tuan akan selamat, karena tentara kita dipusatkan di sana untuk membantu pengungsian. Ribuan pelarian preman dan militer diungsikan ke Padang, yaitu pelabuhan tempat pemberangkatan menuju Australia. Dan juga telah diatur untuk mengangkut tuan dengan kapal pengungsi yang terakhir."
"Berapa lama kita di Padang?"
"Hanya satu malam. Iringiringan kapal sebanyak tujuh buah sudah siap menanti dan akan berangkat di hari berikut setelah tuan sampai. Sekarang buruburu. Kita berlomba dengan waktu."
Kami mendapat kesempatan hanya beberapa jam untuk berkemas. Tidak ada waktu untuk takut atau bingung. Timbul pertanyaan dalam hati, apakah memang menguntungkan bagiku kalau aku disingkirkan dari pendudukan tentara Jepang. Ataukah suatu kerugian, jika tetap berada dalam cengkeraman Belanda. Perasaanku kacau balau. Meninggalkan kota Bengkulu berarti meninggalkan tempat pembuanganku. Mengingat akan hal ini aku gembira. Akan tetapi pergi ke Australia berarti menuju tempat pembuangan yang baru.
Kalau ini kuingat, hatiku jadi susah. Sekarang ini, melebihi dari waktuwaktu yang lain, aku tidak ingin meninggalkan tanah airku yang tercinta. Bagaimana aku bisa membanting tulang demi kemerdekaan negeriku dari tempat yang ribuan mil jauhnya. Kejadiankejadian susulmenyusul begitu cepat, sehingga tidak tersisa waktu untuk berpikir. Aku hanya berhasil mencuri waktu lima menit untuk diriku sendiri. Bengkulu kotanya kecil dan dalam waktu lima menit aku menyelundup ke rumah paman Fatmawati, dimana seluruh keluarga gadis itu berkumpul bersamasama untuk menguatkan hati mereka dalam menghadapi penyerbuan. Aku mengetuk pintunya dengan lunak dan berbicara pelahan, "Saya Sukarno. Bukalah pintu. Saya datang untuk mengucapkan perpisahan."
Aku memperoleh kesempatan selama satu detik yang singkat berhadapan dengan Fatmawati. Kami berpegangan tangan dengan erat dan kataku kepadanya, "Hanya Tuhanlah Yang Maha Tahu apa yang akan terjadi terhadap kita. Mungkin kita tidak akan dapat keluar dari peperangan ini dalam keadaan masih hidup. Mungkin juga kita terdampar di bagian dunia yang berjauhan. Akan tetapi kemanapun jalan yang akan kita tempuh, atau apapun yang akan terjadi terhadapmu dan aku, dimanapun kita terkandas, aku menyadari bahwa Tuhan akan memberkati kita dan memberkati kecintaan kita satu sama lain. Insya Allah, entah kapan .... entah dimana .... kita akan berjumpa lagi."
Jam sebelas malam kami mendengar, bahwa musuh sudah berada di Lubuk linggau, kota penghubung jalan kereta api Palembang — Bengkulu. Di tengah malam itu kepala polisi datang dengan diamdiam. Tidak jauh dari rumah kami di belakang semak belukar dia menyembunyikan sebuah mobil pickup. Di dalamnya ada empat orang polisi. Dalam tempo lima belas menit Inggit, Sukarti, aku sendiri, Riwu — pembantu kami berumur dua puluh tiga tahun yang dibawa dari Flores dan tidak mau ketinggalan — dan barangbarang kami semua dipadatkan dalam kendaraan yang sesak itu.
Dekat rumahku ada dua buah pompa bensin. Yang satu terletak di Fort Marlborough tidak jauh dari situ, yang satu lagi di pekaranganku sendiri, milik Pemerintah, dibawah serumpun pohon kelapa. Belanda mulai menjalankan politik bumi hangusnya. Begitu kami meninggalkan pintu depan, maka persediaan bensin dan minyak pelumas di Fort Marlborough terbang ke udara dengan ledakan yang hebat. Ini sebagai tanda bagi penjaga kami untuk membakar pula drumdrum di rumahku. Tindakan ini mempunyai tujuan ganda. Di samping mencegah, agar ia tidak jatuh ke tangan musuh, iapun memberikan kesenangan.
Ledakannya dapat terdengar ke sekitar sampai bermilmil dan sejauhjauhnya mata memandang di seluruh kota hanya kelihatan lautan api. Dalam lindungan keadaan inilah mereka melarikanku keluar kota Bengkulu.
Untuk menghilangkan jejak, polisi itu mengambil jalan ke arah selatan. Setelah jelas bahwa tidak ada orang yang mengikuti jejak kami, mereka memutar haluan ke utara menuju MukoMuko, sekira 240 kilometer dari Bengkulu di mana kami akan bermalam. Selama dalam perjalanan kami harus mengarungi tiga belas buah sungai yang lebar berlumpur dan banyak buaya. Tidak ada jembatan sama sekali. Kami menyeberanginya dengan rakit dan perahu yang dibuat oleh rakyat setempat.
Di hari berikutnya jam lima sore rombongan yang kelelahan ini sampai di MukoMuko. Kami bermalam di sebuah rumah yang dijaga keras oleh polisi. Jam tiga pagi kami dibangunkan lagi. "Mari kita lanjutkan perjalanan," gerutu salah seorang yang bertugas. "Sekarang berangkat."
"Kenapa begini pagi ?" tanyaku.
"Rantau kita masih jauh dan hari ini harus sampai sejauh mungkin sebelum matahari membakar kepala. Kalau siang sedikit, kita tidak akan tahan panasnya matahari."
Sesampai di jalanan baru kami ketahui, bahwa pengiring kami dari Bengkulu sudah digantikan oleh enam orang pengawal bermuka kaku dari MukoMuko. Selain membawa tempat minum mereka menyandang senapan dan pistol. Ada lagi perubahan yang lain. Kendaraan kami sudah diganti dengan gerobak sapi. Ia dimuat dengan persediaan makanan. Beras dan kalengkaleng. Melebihi persediaan untuk sehari. Cukup untuk seminggu, kukira.
"Perjalanan selanjutnya kita tempuh dengan jalan kaki," kata seorang yang menyandang tempat minum. Isteriku mengangkat kepala karena kaget. "Jalan kaki sampai ke Padang?"
"Betul."
"Sejauh tigaratus kilometer?" tanyanya kehabisan napas.
"Ya, betul," orang itu memotong. "Hayo kita jalan."
"Kenapa tidak dengan mobil saja?" tanyaku, ketika kami menaikkan Sukarti dan barang ke atas gerobak.
"Kita melalui hutan lebat, rapat dan susah dijalani. Satusatunja cara supaya sampai di Padang dengan menempuh jalan setapak yang berkelokkelok berlikuliku dan di beberapa tempat susah dilalui."
Aku bisa tahan berjalan kalau dibandingkan dengan yang lain, oleh karena aku selalu latihan. Akan tetapi Inggitlah yang menimbulkan kekuatiranku. "Jangan kuatir," aku membujuknya. "Polisipolisi yang bebal inipun bukan pejalan marathon, sama saja dengan kau."
Betapapun kekuatiran yang timbul, bagi kami tidak ada pilihan lain. Di belakang kami, tentara Jepang. Di depan, tentara Belanda. Dikirikanan kami enam orang polisi pakai senapan, mendampingi kami setiap saat siang dan malam. Sehingga berjalanlah kami. Terus berjalan. Tak hentihentinya berjalan. Menempuh hutan yang lebat di sepanjang pantai Barat Sumatera Selatan. Aku memakai sepatu. Isteriku hanya pakai sandal terbuka seperti yang biasa dipakai oleh wanita Indonesia, dan tidak bisa diharapkan dapat meringankan perjalanan berharihari melalui hutan rotan dan rumput liar yang kering dan menggores gores kaki setinggi lutut bermilmil jauhnya.
 Kaki Inggit lecet dan bengkak. Kadangkadang ia naik gerobak sapi itu. Akan tetapi jalannan curam dan akhirnya bukan sapi itu yang menolong kami, akan tetapi akulah yang harus menolong sapi itu. Aku menariknya. Dan menolaknya. Seringkali binatang itu hanya berdiri saja dan menantikan Sukarno menarik gerobak itu seorang diri. Di tengah hutan yang demikian sesekali kami menjumpai sebuah pondok yang terpencil kepunyaan pemburu atau pencari kayu bakar.
Jam enam sore kami berhenti di pondok seperti itu. Kami berada ditengahtengah pesawangan, dan kalaupun disuruh berjalan terus tak seorangpun diantara kami yang masih sanggup berjalan. Kami terlalu lelah. Dan kaki bengkakbengkak oleh gigitan serangga. Sukarti tidak memakai topi, badannya terbakar oleh terik matahari. Pondok itu berbentuk rumah panggung, supaya terhindar dari ancaman binatang. Sekalipun demikian kami dapat mencium adanya tamutamu yang tidak diundang. Seekor ular menjalar melalui kaki. Cicak berkeliaran di atas atap. Diatas lantai terhampar sehelai tikar kasar. Aku terkapar di atas tikar itu. Pahaku menjadi bantal Inggit. Dan Sukarti menggolekkan kepalanya diatas badan ibunya.
 Bunyi binatang buas di malam hari di sekeliling tempat pelarian kami membikin badan jadi dingin. Tetangga kami adalah harimau, beruang, kucing hutan, rusa, babihutan dan monyet tak terhitung banyaknya. Teriakan monyet yang membisingkan di atas pohonpohon kayu tidak hentihentinya. "Raja hutan tidak akan menyerang, kecuali kalau dia lapar," cerita polisi yang menyandang tempat minum. Kami mendo'a, semoga binatang binatang itu tidak mengingini kami. Sebagian besar dari keberanianku adalah berkat kawal kehormatan kami yang berkeliling tidak lebih dari beberapa kaki jauhnya.
Di tengah malam Sukarti mengintip di pinggir teratak itu yang tidak berpintu. "Saya takut, Oom," dia menggigil. "Oom tidak takut?"
"Ya, Karti," bisikku menenangkan hatinya. "Oom takut. Tapi polisi ini membikin Oom berani." Aku merangkak dengan Karti ke bagian pinggir dan mengintip ke bawah. "Kaulihat keenam orang itu? Di tengah malam sunyipun polisi menjaga bergantiganti pakai bedil. Polisi berjagajaga. Mereka lebih takut lagi daripada kita kalau tidak menyelamatkan kita dari binatang buas. Sangat besar tanggung jawab polisi untuk menyerahkan Sukarno hiduphidup ke tangan pembesar di Padang. Karena itu mari, marilah kita tidur dan biarlah polisi menjaga keselamatan kita. ya ?"
Di subuh itu kami sarapan dengan buahbuahan dari hutan, nasi dari persediaan yang dibawa oleh pengawal kami dan singkong sedikit. Hari masih gelap ketika kami kembali mengayunkan langkah. Menjelang siang kami jumpai sebuah sungai mengalir. Mandilah kami dengan pakaian yang lekat di badan di air yang jernih lagi sejuk itu dan melepaskan dahaga sepuaspuas hati.
Masuk sedikit lagi ke dalam semakbelukar, dikelilingi oleh sawah yang terhampar, ada sebuah danau. Kami memasuki semak belukar itu untuk tidurtiduran sekedar pelepas kelelahan.
Kami dapat mendengar gemerisik binatang liar pada dedaunan yang tidak bergerak dan kami melangkahi jejak harimau yang tak terhitung banyaknya, namun satusatunya binatang yang menghalangi jalan kami ialah siamang. Kami melihat siamang hampir sebesar orang hutan berdiri tegak seperti manusia. Berdiri di atas kakinya yang belakang, binatangbinatang itu mendekati kami, pada waktu kami lewat dengan langkah yang berat. Akan tetapi kami tidak diapaapakan, selain daripada jantung kami yang memukul mukul dada dengan keras.
Dengan menggunakan korek api yang dibawa oleh polisi, kami memasak nasi dalam kaleng, memasukkan sayuran ke dalamnya dan menambahkan ikan yang ditangkap dari sungai. Ini dibagi diantara kami yang sepuluh orang. Makanan ini tidaklah mewah, tapi kami juga tidak mati kelaparan karenanya. Inggit terlalu amat lelah, sehingga pada suatu kali ia makan sambil berdiri. "Aku terlalu capek," ia mengeluh panjang sambil bersandar lesu ke tebing suatu jurang yang sedang kami lalui. "Kalau aku duduk, takut nanti tidak bisa lagi berdiri."
Di hari ketiga salah seorang polisi Belanda menyerah karena putus asa dan kehabisan tenaga. Kami hanya memikirkan diri kami sendiri, tetapi, di samping matahari yang membakar, haus, kehabisan tenaga dan gangguan binatang, para pengiring kami harus pula mengawal kami. Mereka tidak ada melakukan tindakan yang kejam terhadap kami. Sekalipun kami adalah orang tawanan dan orang yang menawan, kami semua sama merasakan pahit getirnya perjalanan. Tetapi jarang terjadi percakapan. Tiada manusia yang lewat dan kami tidak merasakan kegembiraan. Aku sendiri berusaha untuk berolokolok.
Sudah menjadi pembawaanku untuk selalu bergembira, betapapun suasananya. "Sekalipun ada penyerbuan, akan tetapi saya berterimakasih kepada saudarasaudara, karena sudah memperlihatkan daerah pedalaman ini kepada saya," aku berolokolok.
Seorang yang pendek dan botak tersenyum, "Selama empat tahun di Bengkulu apakah tuan tidak pernah melangkah keluar batas yang dijaga kuat untuk tuan ?"
"Ada, sekali. Saya membuat suatu cerita sandiwara yang dipertunjukkan pada malam amal di suatu tempat diluar batas. Ini terjadi tepat setelah Residen baru menggantikan pejabat lama yang saya kenal baik. Orangnya sejenis manusia yang menghamba kepada peraturan. Saya bertanya kepadanya, 'Tuan Residen, dapatkah tuan mengizinkan saya untuk pergi ke tempat ini yang terletak sedikit diluar batas ?"
"Untuk memutuskan sendiri mengenai persoalan yang sangat penting ini rupanya tidak mungkin baginya. Karena itu dia bersusah payah mengirim telegram kepada Gubernur Jendral di Jawa. Lalu apa jawab Gubernur Jendral. Dia menelegram kembali, menyatakan kegembiraannya mendengar semua itu. Katanya, 'Saya gembira mendengar bahwa Ir. Sukarno tidak lagi berpolitik dan memusatkan perhatiannya pada pertunjukan sandiwara? Apakah ini tidak menggelikan?!"
Polisi itu terpaksa tertawa menunjukkan penghargaan. Ketika Riwu meluncur dari pohon kelapa dan membelah kelapa sehingga kami dapat menikmati airnya yang segar, aku menceritakan kisah Manap Sofiano, seorang pemain yang menjalankan peran primadona dalam pertunjukanku.
"Suatu hari dia membeli piano dalam lelang dan menyampaikan kepada tukang lelang, 'Sukarno akan menjamin pembayarannya.' 'O, baik,' jawab orang itu setuju, 'kalau tuan kawan dari Sukarno, baiklah.' Tiga bulan kemudian Sofiano mengepak barangbarangnya hendak pindah. Sebelum dia pergi saya katakan, 'Hee, tinggalkan dulu surat perjanjian yang diketahui oleh kepala kampung dan yang menyatakan bahwa engkau berjanji hendak membayarnya. Dengan begitu, kalau sekiranya kaulupa, saya mempunyai dasar yang sah.' "Setelah berbulanbulan tidak ada kabarberita dari Sofiano, saya menulis surat kepadanya, 'Sudah sampai waktunya. Bayar sekarang, kalau tidak, akan saya ajukan ke depan pengadilan.' Sofiano kemudian membalas, 'Saya tidak menyusahkan diri saya sendiri, akan tetapi saya mempunyai lima orang anak. Kalau saya masuk penjara, mereka akan terlantar.' "Tentu saya tidak mau menyakiti anakanak yang tidak bersalah, jadi apa lagi yang dapat saya lakukan? Saya kemudian membayar utang sejumlah 60 rupiah itu. Disamping itu," aku tersenyum meringis, "dia seorang pemain yang baik, sehingga saya dapat mema'afkan segalagalanya."
Dengan percakapan ringan demikian ini aku mencoba menaikkan semangat pasukan kami yang melarat itu. Di hari yang keempat kami terlepas dari daerah hutan dan menumpang bis menuju kota. Bertepatan dengan kedatanganku, kapal yang direncanakan untuk mengangkut kami telah meledak menjadi sepihan dekat pulau Enggano, tidak jauh dari pantai. Tentara Jepang berada dalam jarak beberapa hari perjalanan di belakang kami. Angkatan laut Jepang sudah berada beberapa mil dari kami.
Kota Padang diselubungi oleh suasana chaos, suasana bingung dan ragu. Hanya dalam satu hal orang tidak ragu lagi, yaitu bahwa Belanda penakluk yang perkasa itu sedang dalam keadaan panik. Para pedagang meninggalkan tokonya. Terjadilah perampokan, penggarongan, suasana gugup. "Lihat," kata seorang Belanda, yang tingginya satu meter delapan puluh lima, mengejek ketika dia hendak lari membiarkan kami tidak dilindungi, “Belum lagi kami pergi, kamu orang Burniputera sudah tidak sanggup mengendalikan diri sendiri."
Tentara Belanda mencoba untuk mengangkutku dengan pesawat terbang, akan tetapi semuanya terpakai atau rusak. Persoalan Negeri Belanda sekarang bukan bagaimana menyelamatkan Sukarno. Persoalan Negeri Belanda sekarang adalah bagaimana menyelamatkan dirinya sendiri. Mereka seperti pengecut, mereka lari pontang panting. Belanda membiarkan kepulauan ini dan rakyat Indonesia jadi umpan tanpa pertahanan. Tidak ada yang mempertahankannya, kecuali Sukarno.
 Negeri Belanda membiarkanku tinggal. Ini adalah kesalahan yang besar dari mereka. Sesampai di hotel aku mengatakan pada Inggit, "Kau, Riwu, dan Sukarti tinggal dulu. disini." Dimanamana orang berlari dan berteriak dan membuat persiapan terburuburu pada detikdetik terakhir.
"Kau mau kemana?" tanya Inggit gemetar ketakutan.
"Kawanku Waworuntu tinggal disini. Aku harus mencarinya dan berusaha mencari tempat tinggal."
Waworuntu menyambutku dengan tangan terbuka. Dia mernelukku. "Sukarno, saudaraku," dia berteriak dan air mata mengalir ke pipinya. "Saya mendapat rumah bagus disini dan banyak kamarnya, tapi saya sendirian saja. Isteri saya dan anakanak diungsikan dan tidak ada orang tinggal dengan saya. Bawalah keluarga Bung Karno kesini .... bawalah kesini dan anggaplah ini rumah Bung sendiri."
Orang yang baik hati ini dengan kemauannya sendiri pindah dari kamartidurnya yang besar di depan di sebelah ruang tarnu, dan mengosongkannya untuk Inggit dan aku. Ini terjadi beberapa hari sebelum Balatentara Kerajaan Dai Nippon menduduki Padang. Ketika aku berjalanjalan di sepanjang jalan aku menyadari, bahwa saudarasaudaraku yang terlantar, lemah, patuh dan tidak mendapat perlindungan perlu dikurnpulkan. Tidak ada seorangpun yang mengawasinya. Tidak seorangpun, kecuali Sukarno. Tindakantindakan yang benar adalah usaha untuk memenuhi bakti kepada Tuhan. Aku menyadari, bahwa waktunya sudah datang lagi bagiku untuk terus maju dan menjawab Panggilan itu. Segera aku mengambil koper tampuk pimpinan.
Disana ada suatu organisasi dagang setempat. Aku menemui ketuanya dan dia berusaha mengumpulkan orangorangnya. Kemudian aku menyuruh Waworuntu ke satu jurusan dan Riwu ke jurusan lain untuk mengumpulkan yang lain. Diadakanlah rapat umum di lapangan pasar. Disana aku membentuk Komando Rakyat yang bertugas sebagai pemerintahan sementara dan untuk menjaga ketertiban. "Saudarasaudara," aku menggeledek dalam pidatoku yang pertama semenjak sembilan tahun, "Saya minta kepada saudarasaudara untuk mematuhi tentara yang akan datang. Jepang mempunyai tentara yang kuat. Sebaliknya kita sangat lemah. Tugas saudarasaudara bukan untuk melawan mereka. Ingatlah, kita tidak mempunyai senjata. Kita tidak terlatih untuk berperang. Kita akan dihancurleburkan, jikalau kita mencobacoba untuk melakukan perlawanan secara terangterangan”.
"Orang yang tidak bersenjata tidak mungkin melawan prajuritprajurit yang puluhan ribu, akan tetapi sebaliknya ingatlah saudarasaudara, sekalipun semua tentara dari semua negeri di seluruh jagad ini digabung menjadi satu tidak akan mampu untuk membelenggu satu jiwa yang tunggal, karena ia telah bertekad untuk tetap merdeka. Saudarasaudara, saya bertanya kepada saudarasaudara semua : Siapakah yang dapat membelenggu suatu rakyat jikalau semangat rakyat itu sendiri tidak mau dibelenggu?”
"Kita harus mencari kemenangan yang sebesarbesarnya dari musuh ini. Maka dari itu, saudarasaudara, hati hatilah. Rakyat kita harus diperingatkan supaya jangan mengadakan perlawanan. Walaupun bagaimana, hindarkanlah pertumpahan darah di saatsaat permulaan. Jangan panik. Saya ulangi : jangan panik. Ketentuan pertama yang diberikan oleh pemimpinmu adalah untuk mentaati orang Jepang. Dan percaya. Percaya kepada Allah Subhanahuwata'ala, bahwa Ia akan membebaskan kita." Rapat itu diakhiri dengan do'a bersama yang kupimpim sendiri sebagai Imam.
Orang Islam tidak dapat mengkhotbahkan atau mengadukan isi dari pada do'a. Ia harus pasti. Kata demi kata. Sampai pada satu titik, disebabkan karena dadaku terlalu bergolak, aku lupa katakata dari Ayat selanjutnya dan di hadapan ribuan orang yang menunggununggu lanjutannya aku mendesis kepada seorang Haji yang duduk bersila dekat itu, "Ehh — apa lagi terusnya?" Do'a itu berakhir, rakyat bubar, aku kembali ke rumah Waworuntu dan menunggu. Aku tidak perlu lama menunggu. Seminggu kemudian mereka datang. Waktu itu jam empat pagi. Mungkin juga jam lima. Aku berbaring di tempat tidur, akan tetapi aku tidak tidur. Pikiranku tegang. Mataku nyalang sama sekali. Malam itu adalah malam yang sunyi sepi. Tiada terdengar suara yang ganjil. Sesungguhnya, pun tidak terdengar suara yang biasa. Keluargaku tidur dengan tenang.
Tibatiba mereka terbangun oleh bunyi yang semakin santer. Mulamula menderu seperti guntur. Suara yang menggulunggulung itu semakin keras, semakin keras, semakin keras lagi. Bunyi yang menakutkan dan membikin badan jadi dingin membeku adalah gunturnya keretakereta berlapis baja dan tanktank dan balatentara berjalankaki berbaris memasuki kota Padang. Jepang sudah datang.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More