Indonesia

Indonesia is the beautiful country in the universe

Rabu, 28 Desember 2011

AutoBiografi Bung Karno_BAB XVI_Bengkulu

BAB XVI
Bengkulu
KETIKA terdengar kabar di Jakarta, bahwa Sukarno dalam keadaan sakit keras, Thamrin lalu mengajukan protes dalam Dewan Rakyat. Katanya, "Pemerintah harus bertanggung jawab atas keselamatan diri Sukarno. Dia harus dipindahkan ke negeri yang lebih besar dan lebih sehat, dan keadaannya hendaklah mendapat perhatian yang lebih besar."
"Kita harus mencari terlebih dahulu tempat lain di mana rakyatnya tidak berpolitik," jawab ketua berlindung.
"Ya, ya, dan yang juga primitif serta terbelakang, sehingga ia tidak membangkitkan tantangan.
Ya, saya mengetahui semua itu. Akan tetapi saya memperingatkan kepada tuan sekarang, andaikata Sukarno mati, maka Indonesia dan seluruh dunia akan menuding kepada tuan sebagai orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan itu. Pulau Bunga adalah sarang malaria. Sukarno sakit parah. Hidup matinya sekarang terletak di tangan pemerintah Belanda. Dia harus dipindahkan. Dan dengan secepat mungkin."
Den Haag sertamerta mengambil tindakan. Hal ini kuketahui di suatu malam seminggu kemudian. Aku sedang berbaring dengan tenang di rumah ketika Darham, tukang jahit, tibatiba masuk dengan cepat. Ia terengahengah karena berlari. "Saya baru dari toko De Leeuw", katanya dengan napas turunnaik.
"Toko rempahrempah itu dari sini ada satu kilometer jauhnya. Kau berlari sejauh itu ?" tanyaku.
"Ya," katanya masih terengah. "Bung Karno tentu tahu, toko itu kepunyaan Lie Siang Tek saudagar kopra yang sangat kaya."
"Ya, ya," jawabku hendak mengetahui persoalannya, "tapi apa hubungannya sampai engkau berlarilari kesini?"
"Orangnya cukup kaya untuk dapat memiliki radio," Darham melanjutkan tanpa menghiraukan ketidak sabaranku.
"Tadi jam setengah delapan, sewaktu berbelanja, saya mendengar berita radio yang menyatakan bahwa Ir. Sukarno akan dipindahkan ke tempat lain."
Kudengarkan berita itu dengan tenang. Sesungguhnya aku terdiam sebentar oleh karena bersyukur kepada Tuhan. Kemudian kutanyakan dengan segala ketenangan hati, "Kemana katanya?"
"Bengkulu."
"Di Sumatera Selatan ?"
"Ya."
"Apakah disebutkan kapan?"
"Tidak, hanya itu yang diumumkan."
Ini terjadi di bulan Februari 1938. Sudah hampir lima tahun aku tinggal di Pulau Bunga. Di saat kami meninggalkan Endeh banyak orang datang untuk melepasku. Ada yang datang untuk mengucapkan selamat jalan. Ada lagi yang mendo'akanku yang tidak baik. Yang lain lagi hanya sekedar untuk melihatlihat saja. Beberapa diantaranya malahan meminta untuk bisa ikut. Salah seorang dari mereka adalah pelayan kami. Selama dalam perjalanan aku diasingkan. Riwu dengan tenang tidur di lantai dekat tempat tidurku dan selalu berada di situ seperti seekor anjing yang memperlihatkan kesetiaannya. Yang seorang lagi adalah Darham yang tidak mau ketinggalan. Dia membuatkan kemeja dan sepasang piyama berwarna kuning gading sebagai hadiah perpisahan, tapi kemudian diapun berlayar bersamasama dengan kami.
Belanda berusaha sebaikbaiknya mengelabui saat kedatangan kami, karena takut rakyat akan datang beramairamai. Dalam siaran radio diberitakan, bahwa kedatangan kami diharapkan jam empat sore, sedangkan di pagi hari itu sesungguhnya kami sudah sampai. Surabaya, pelabuhan yang biasa ramai, masih sepi seperti di kesunyian malam ketika kapal kami menurunkan sauh. Polisi menutup daerah cerocok, sehingga rakyat tidak dibolehkan berada di daerah sekitar itu.
 Ketika aku menginjakkan kaki ke anak tangga yang paling bawah dan mengisi penuh dadaku dengan helaan napas panjang yang pertama dari negeri kelahiranku yang tercinta, pintu dari kendaraan yang telah menunggu terbuka dan aku dimasukkan ke dalam. Aku dilarikan dengan keretaapi malam menuju Merak, negeri yang paling ujung di
Jawa Barat. Di sana, dengan secara cepat dan diamdiam, aku ditolakkan ke atas kapal dagang menuju Bengkulu.
Bengkulu adalah negeri yang bergununggunung dilingkungi oleh Bukit Barisan dan merupakan kota pedagang kecil dan pemilik perkebunan kecil. Di samping kembang raksasanya, Raflesia Arnoldi yang lebarnya sampai tiga kaki, negeri ini tidak mempunyai arti penting. Pun tidak dalam hal persahabatan. Daerah yang merupakan benteng Islam itu masih sangat kolot. Wanitanya menutupi badannya dengan rapi. Mereka jarang menemani suaminya.
 Pada waktu aku pertama menghadiri pertemuan kekeluargaan, aku bertanya, "Mengapa dipasang tabir untuk memisahkan perempuan dari lakilaki?" Tidak seorang juga yang menjawab, karena itu aku menyingkirkan penghalang itu. Tidak lama kemudian sebuah tabir memisahkanku dari penduduk kota itu.
Mesjid kami keadaannya kotor, kolot dan tua. Aku kemudian membuat rencana sebuah mesjid dengan tiangtiang yang cantik, dengan ukiran timbul sederhana dan pagar tembok putih yang tidak ruwet dan kubujuk mereka untuk mendirikannya. Orang tuatua di kota itu tidak suka kepada orang yang menginginkan perubahan. Keluarlah ucapanucapan yang tidak enak diantara kami dan pada permulaan aku membuat musuh.
 Hal ini terasa olehku sangat pedih. Terutama karena aku begitu haus akan kawan. Polisi keamanan tetap mengawasi rumahku siang malam. Setiap tamu dicatat namanya, esok harinya dipanggil menghadap untuk ditanyai, kemudian dibayangi oleh reserse. Sungguh diperlukan suatu keberanian untuk dapat memperlihatkan keramahan pada Sukarno. Kawanku yang satusatunya adalah seorang kepala sekolah rakyat yang seringkali datang meskipun tahu bahwa ia ditandai oleh Pemerintah,— dan membawa seorang anak gadis cilik yang selalu kupeluk di atas pangkuanku.
Aku tak pernah melupakan keramahannya ini. Pada waktu aku sudah menjadi Presiden, kepadanya kutanyakan, "Apa yang dapat saya lakukan untuk saudara? Katakanlah keinginan saudara." Temanku sedang mendekati ajalnya, tapi jawabnya hanya, "Tolonglah keluarga saya kalau saya pergi. Lindungilah anak gadis saya." Pesannya ini kupenuhi sebaikbaiknya. Aku bahkan mencarikan suami buat anaknya.
Banyak bayi yang dulu pernah kutimang di atas pangkuanku sekarang sudah menjadi wanitawanita cantik dan kemudian orang tuanya datang kepadaku memohon, "Tolonglah, Pak, tolong pilihkan jodoh buat anak saya." Aku telah mencarikan isteri Hatta untuknya. Aku mencarikan isteri kawanku Rooseno untuknya. Sekarang aku rnempunyai daftar terdiri dari anak gadis seperti itu. Dan aku adalah satu satunya Kepala Negara yang juga menjadi calo dalam mengatur perkawinan, kukira.
Kebetulan dalam masamasa itu perkawinanku sendiripun perlu diatur kembali. Kemungkinan disebabkan oleh cara hidup orang Indonesia yang merasa tidak sernpurna kalau tidak memperoleh keturunan dari perkawinannya. Malahan kebanyakan dari orang Indonesia yang beristeri satu, anaknya segerobak. Setiap tahun jumlah jiwa kami bertambah dengan dua juta lebih. Barangkali tidak ada hal lain yang dapat diperbuat oleh rakyat kami yang miskin. Barangkali juga karena kami adalah bangsa yang bernafsu besar dan berdarah panas, dan mengisi malamrnalam kami yang panas itu dengan berkasihkasihan.
 Pada suatu kali Jendral Romulo menyatakan, "Saya kira dari seluruh bangsa Asia kami orang Filipinalah bangsa yang paling bagus.'' Katanya
Aku menjawab "Mungkin juga, akan tetapi diantaranya orang Indonesialah yang paling bernafsu !"
Di antara kami terdapat keluarga yang mempunyai 11, 13, 18 orang anak. Saudara perempuan bapakku melahirkan 23 anak. Setiap orang mempunyai anak. Setiap orang, kecuali Sukarno. Inggit tidak dapat melahirkan, karena itu sebagian dari diriku dan sebagian dari hidupku tetap dalam keadaan kosong. Kehendakku belum terpenuhi. Sudah hampir 20 tahun kami kawin. Namun masih belum memperoleh seorang putera.
Terasa olehku, bahwa selama ini sudah begitu banyak kebahagiaan yang telah dirampas dari diriku ... Mengapa keinginan inipun harus didjauhkan pula ? Ketika perasaan yang menekan ini mulai memukulmukul dadaku selama 24 jam dalam sehari, kucoba menghilangkannya dengan merapati anakanak pada setiap kesempatan yang kuperoleh. Di Pulau Bunga aku mengambil dua orang anak angkat lagi —Sukarti, anak seorang pegawai berasal dari Jawa dan Jumir, anak keluarga jauh Inggit, yang pada waktu sekarang sudah mempunyai enam orang anak.
 Di Bengkulu aku memperlakukan anak orang lain seperti anakku sendiri. Tetangga kami, keluarga Soerjomihardjo, mempunyai seorang anak lakilaki berumur 10 tahun. Berjamjam lamanya aku menghabiskan waktu bersamasama dengan Ahmad ini. Kalau ada anak Belanda meludahinya, akulah yang mengeringkan air matanya dan menguatkan hatinya dengan katakata, "Ahmad, negeri ini kita punyya. Disatu waktu kita jadi tuan di negeri kita sendiri. Di satu waktu kita bisa berbuat menurut kemauan kita, bukan menurut yang diperintahkan kepada kita. Jangan kuatir."
Kemudian aku menjadi seorang pendidik. Ketua Muhammadiyah setempat, Pak Hassan Din, datang di suatu pagi dengan tidak memberi tahu lebih dulu, seperti yang telah menjadi kebiasaan kami. "Disini," ia memulai, "Muhammadiyah menyelenggarakan sekolah rendah agama dan kami sedang kekurangan guru. Selama di Endeh kami tahu Bung Karno telah mengadakan hubungan rapat dengan 'Persatuan Islam' di Bandung dan kami dengar Bung Karno sepaham dengan Ahmad Hassan, guru yang cerdas itu. Apakah Bung bersedia pula membantu kami sebagai guru ?"
"Saya menganggap permintaan ini sebagai rahmat," jawabku.
"Tapi ...... ingatlah ...... jangan membicarakan soal politik."
"Ah, tidak," aku tersenyum menyeringai, "hanya saya akan menyinggung tentang Nabi Besar Muhammad yang selalu mengajarkan kecintaan terhadap tanah air."
Dalam kelasku terdapat Fatmawati, puteri dari Pak Hassan Din. Fatma berarti "Teratai". Wati" berarti  "kepunyaan". Rambutnya yang seperti sutera dibelah ditengah dan menjuntai kebelakang berjalin dua. Fatmawati
berasal dari keluarga biasa di Jurup, sebuah kampung beberapa kilometer dari Bengkulu. Ia setahun lebih muda dari Ratna Djuami. Dan ketika ia mengikuti Ratna Djuami memasuki sekolah rumah tangga di Bengkulu — yang merupakan sekolah tertinggi yang ada di daerah itu — ia mencari tempat tinggal. Dengan senang hati aku menyambutnya sebagai anggota keluarga kami. Aku senang terhadap Fatmawati. Kuajar dia main bulutangkis. Ia berjalanjalan denganku sepanjang tepi pantai yang berpasir dan, sementara alunan ombak yang berbuih putih memukulmukul kaki, kami mempersoalkan kehidupan atau mempersoalkan Ketuhanan dan agama Islam.
Dalam kesempatan yang demikian itulah ia menanyakan, "Mengapa orang Islam dibolehkan mempunyai isteri lebih dari satu?"
"Di tahun 650 Nabi Muhammad s.a.w. mengembangkan Islam, kemudian mempertahankannya terhadap orang Arab dari suku Mekah, pun terhadap kaum keluarganya sendiri," jawabku. "Semboyan yang dipakai di jaman itu 'Pedang di satu tangan dan Al Quran di tangan yang lain'. Diantara lakilaki banyak terdapat korban”.
"Ini berarti banyak janda," kata Fatmawati pelahanlahan.
"Pasti," kataku, "Akan tetapi untuk menghindarkan hawa nafsu kehewanan atau perkelahian perempuan diantara mereka sendiri, maka Nabi menerima wahyu dari Tuhan yang mengizinkan lakilaki mempunyai isteri sampai empat orang agar tercapai suasana yang tenang. Tapi di Bali orang menjalankan poligami yang tidak terbatas. Seorang pangeran yang sudah berumur 76 tahun belum lama ini mengawini isterinya yang ke36. Umurnya 16."
"Usia yang cocok untuk perkawinan," kata Fatmawati yang berumur lima belas setengah tahun mengemukakan pendapatnya. Di Bante Pandjang arusnya di dalam deras sekali dan banyak terdapat ikan hiu. Orang tidak dibolehkan berenang disana, akan tetapi ada sebuah batu karang yang bersegi tiga yang merupakan kolam. Pada waktu kami mengarunginya ia bertanja, "Tidak adilkah hukum Islam terhadap perempuan?"
"Sebaliknya, ajaran Nabi menaikkan derajat perempuan. Sebelum itu kedudukan perempuan seperti dalam neraka. Orang tua menguburkan anakanak gadis hiduphidup oleh karena dianggap tidak penting. Lakilaki hanya menyerahkan mas kawin kepada si bapak dan membeli anak gadisnya untuk dijadikan isteri. Pada waktu sekarang perempuan tidak dibeli seperti membeli kambing. Perempuan sekarang menjadi teman hidup yang sama kedudukannya dalam perkawinan”.
"Hukum perkawinan di Asia disesuaikan menurut keadaan setempat. Disini lebih banyak jumlah
perempuan daripada lakilaki. Perempuan yang kelebihan ini berhak atas kehidupan perkawinan, karena
itu Islam memberi kesempatan kepada mereka untuk menjadi isteriisteri yang sah dan terhormat dalam masyarakat. Akan tetapi di Tibet, dimana lakilaki lebih banyak daripada perempuan, mereka mempraktekkan poliandri. Inilah bukti penyesuaian hukum agama dengan hukum masyarakat di Timur."
"Bagaimana orang Barat mengata sinya?", Seringkali orang Barat mempunyai nyai. Kerugiannya, anak anak yang mereka peroleh disingkirkan di masyarakat atau ditutuptutup atau mendapat nama yang jelek seumur hidupnya. Dalam masyarakat kita anak dari isteri kedua dan selanjutnya mendapat kedudukan yang baik dan dihormati dalam masyarakat.
Fatmawati bungkem sambil berjalan sepanjang pantai, kemudian bertanya, "Perlukah seorang Islam mendapat persetujuan dari isteri pertama sebelum mengawini isteri yang kedua?"
"Tidak wajib. Hal ini tidak disebutsebut dalam Quran. Ini ditambahkan kemudian dalam Fiqh, ..."
".... hukumhukum yang ditambah oleh manusia di tahuntahun 700 dan 800an yang, menurut pertimbangan akal, didasarkan pada Al Quran dan Hadith, yaitu qiyas."
"Benar" kataku tersenyum kepada muridku yang kecil itu lagi cerdas. Dalam kehidupanku di Bengkulu pada masa itu aku memperoleh kedudukan sebagai orang cerdik pandai dari kampung. Orang datang, kepadaku untuk minta nasehat. Seperti misalnya persoalan kerbau kepunyaan seorang Marhaen yang dituntut oleh seorang pegawai. Marhaen. itu menjadi hampir putus asa, karena kerbau ini sangat besar artinya bagi dirinya. Ia datang padaku sebagai "Dukun"nya. Aku menasehatkan kepadanya, "Ajukan persoalan ini ke pengadilan dan saya akan mendo'akan.'' Tiga hari kemudian kerbau itu kembali. Ada lagi perempuan yang datang menangisnangis kepadaku, "Saya sudah tujuh bulan tidak haid."
"Apa yang dapat saya lakukan? Saya bukan dokter," kataku.
"Bapak menolong semua orang. Bapak adalah juru selamat kami. Saya percaya kepada bapak dan saya merasa sangat sakit. Tolonglah .... tolonglah ..... tolonglah saya."
Kepercayaannya kepadaku luar biasa, dan aku tidak dapat berbuat sesuatu yang akan menimbulkan kekecewaannya. Karena itu kubacakan untuknya Surah pertama dari Quran ditambah dengan do'a yang maksudnya sama dengan 'Bapak kami yang ada disorga'. Kemudian perempuan itu sembuh dari penyakitnya.
Tetanggaku, seorang pemerah susu, sangat membutuhkan uang. Dia yakin, bahwa dengan mengemukakan persoalannya itu kepadaku, bagaimanapun juga akan dapat dipecahkan. Memang ia benar. Aku keluar dan menggadaikan bajuku untuk memenuhi tiga rupiah enampuluh sen yang diperlukannya. Jadi di mata orang kampung yang bersahaja itu lambat laun aku dipandang seperti Dewa.
Apa yang ditunjukkan Fatmawati kepadaku adalah pemujaan kepahlawanan. Umurku lebih dari 20 tahun daripadanya dan ia memanggilku Bapak, pun untuk seterusnya. Bagiku ia hanya seorang anak yang menyenangkan, salahseorang dari begitu banyak anakanak yang mengelilingiku untuk menghilangkan kesepian yang jadi melarut dalam hatiku. Yang kuberikan kepadanya adalah kasih sayang seorang bapak. Inggit tidak melihat hal itu dengan cara yang demikian. Kami mempunyai radio di kamar belakang. Di suatu malam kawankawan mendengarkannya bersamasama kami. Fatmawatipun datang mendengarkan. Ada tempat kosong di sebelahku diatas dipan, jadi ia duduk dekatku. Malam itu juga Inggit menyatakan, "Aku merasakan ada percintaan sedang menyala di rumah ini. Jangan cobacoba menyembunyikan. Seseorang tidak bisa membohong dengan sorotan matanya yang rnenyinar, kalau ada orang lain mendekat."
"Jangan begitu," jawabku dengan bernafsu. "Dia itu tidak ubahnya seperti anakku sendiri."
"Menurut adat kita, perempuan tidak begitu rapat kepada lakilaki. Anakanak gadis menurut kebiasaan lebih rapat kepada si ibu, bukan kepada si bapak. Hatihatilah, Sukarno, supaya mendudukkan hal ini menurut cara yang sepantasnya."
Maka terjadilah, kalau ada pertengkaran antara Fatmawati dengan Sukarti atau Ratna Djuami, Inggit selalu memihak kepada anak yang berhadapan dengan Fatmawati. Karena itu aku mau tidak mau berdiri di pihaknya. Lalu menjulanglah suatu dinding pemisah yang tidak terlihat, antara kami, dan aku didesak memihak kepada Fatmawati.
Setelah dua tahun ia pindah ke rumah neneknya tidak jauh dari situ. Sungguhpun demikian kami masih saja dalam satu lingkungan, karena bibinya kawin dengan kemenakanku dan adanya pestapesta, kemudian berkumpul bersamasama di hari libur dan sebagainya. Tahun berganti tahun dan Fatmawati tidak lagi anakanak. Ia sudah menjadi seorang perempuan cantik. Umurnya sudah 17 tahun dan terdengar kabar bahwa dia akan dikawinkan. Isteriku sudah mendekati usia 53 tahun. Aku masih muda, kuat dan sedang berada pada usia yang utama dalam kehidupan.
Aku menginginkan anak. lsteriku tidak dapat memberikannya kepadaku. Aku menginginkan kegembiraan hidup. Inggit tidak lagi memikirkan soalsoal yang demikian. Di suatu pagi aku terbangun dengan keringat dingin. Aku menyadari bahwa aku tentu akan kehilangan Fatmawati, sedangkan aku memerlukannya. Kemudian aku menyadari pula, bahwa aku berbalik kembali ke masa duapuluh tahun yang silam. Kembali ke tengah kancah perjuangan ituitu juga, perjuangan antara baik dan jahat. Aku memikirkan tentang Arjuna, pahlawan Mahabharata, yang bertanya kepada Dewa, Batara Krishna, "Hai, dimana engkau?"
Maka Krishna menjawab "Aku berada di dalam sang bayu. Aku ada di dalam air. Aku berada di bulan. Aku ada di dalam sinarnya sang candra. Akupun ada dalam senyumnya gadis yang menyebabkan engkau tergilagila."
Kemudian aku bersoal dalam diriku sendiri, kalau di dalam senyuman indah dari gadis cantik itu terdapat pula Tuhan apakah dengan mengagumi senyuman itu aku berdosa karena berbuat kejahatan? Tidak. Kalau begitu, apabila aku mencintai senyuman indah gadis cantik itu, apabila senyum itu suatu pancaran dari Tuhan dan Dia menciptakan gadis cantik itu sedangkan aku hanya mengagumi ciptaanNya itu, mengapalah dianggap dosa kalau aku memetiknya!.
Sekali lagi, ini adalah peperangan kekal antara baik dan jahat, mencoba memakan habis kesenangan kecil yang kuperoleh di tengahtengah kekosongan dalam hidupku. Ketika berjalanjalan di suatu sore, Fatmawati bertanya kepadaku, "Jenis perempuan mana yang Bapak sukai?"
Aku memandang kepada gadis desa ini yang berpakaian baju kurung merah, dan berkerudung kuning diselubungkan dengan sopan. "Saya menyukai perempuan dengan kasliannya. Bukan wanita modern pakai rok pendek, baju ketat dan gincu bibir yang menyilaukan. Saya lebih menyukai wanita kolot yang setia menjaga suaminya dan senantiasa mengambilkan alas kakinya. Saya tidak menyukai wanita Amerika dari generasi baru, yang saya dengar menyuruh suaminya mencuci piring”.
" Saya setuju," dia membisikkan, mengintip kemalumaluan padaku melalui bulumata yang merebah. "Dan saya menyukai perempuan yang merasa berbahagia dengan anak banyak. Saya sangat mencintai anakanak."
"Saya juga," katanya.
Minggu berganti bulan dan bulanpun silih berganti, perasaan cobacoba dalam hati bersemi menjadi kasih. Walaupun bagaimana kucoba sekuatku memadamkan hati muda yang sedang bergolak, karena rasa penghargaan yang besar terhadap Inggit. Tiada maksudku hendak melukai hatinya.
"Ini semua kesalahanku," dia mengulangi berkali kali ketika mengemukakan persoalan ini di suatu malam yang tidak menyenangkan.
"Inilah jadinya, kalau menaruh anak orang lain di rumah. Tapi aku tak pernah membayangkan akan kejadian seperti ini. Dia seperti anakku sendiri."
"Aku sangat bersyukur mengenai kehidupan kita berdua," aku menerangkan. "Selama ini kau jadi tulang punggungku dan menjadi tangan kananku selama separuh dari umurku. Tapi bagaimanapun juga, aku ingin merasakan kegembiraan mempunyai anak. Terutama aku berdo'a, di satu hari untuk memperoleh anak lakilaki."
"Dan aku tidak bisa beranak, itukah yang dimaksud?"
"Ya," aku mengakui.
"Aku tidak bisa menerima isteri kedua. Aku minta cerai."
Kami tahu, bukanlah dia yang menentukan pilihan, akan tetapi aku merasa tidak enak memutuskan sendiri.
"Aku tidak berrnaksud menceraikanmu,'' kataku.
"Aku tidak memerlukan kasihanmu," bentaknya.
"Tidak ada maksudku untuk menyingkirkanmu," aku melanjutkan, "Adalah keinginanku untuk menempatkanmu dalam kedudukan yang paling atas dan keinginankulah supaya engkau tetap menjadi isteri yang pertama, jadi memegang segala kehormatan yang bersangkut dengan ini dalam kebiasaan kita, sementara aku menjalankan hukum agama dan hukum sipil dan mengambil isteri yang kedua untuk melanjutkan keturunanku."
"Tidak."
"Untuk kawin lagi adalah suatu keharusan bagiku, akan tetapi aku mengajukan satu usul. Sekalipun aku cinta terhadap Fatmawati, akan kulupakan dia kalau kaudapatkan perempuan lain yang menurut perkiraanmu lebih cocok untukku. Tunjuklah seorang yang tidak seperti anak lagi dan dengan demikian dapat membebaskanmu dari kebencian yang kaurasakan sekarang."
Airmata menggenangi mataku pada waktu aku bersoal dengan dia. Kalau sekiranya aku menjalani hidup yang normal dengan kegembiraan yang normal pula, mungkin aku dapat menerima kekosongan ini tanpa keturunan. Akan tetapi aku tidak mengalami selain dari pada kemiskinan dan kesukarankesukaran hidup.
Umurku sekarang sudah, 40. Dalam usia 28 aku sudah disingkirkan. Dua belas tahun dari masa muda seorang lakilaki kuhabiskan dalam kehidupan pengasingan. Di suatu tempat .... dengan jalan apapun ..... tentu akan ada imbalannya. Kurasakan, bahwa aku tidak dapat menahankan jika yang inipun dirampas dariku.
Ratna Djuami kembali ke Jawa untuk melanjutkan sekolahnya. Inggit dan aku boleh dikatakan kesepian. Hubungan kami tegang, akan tetapi itu kami lanjutkan juga. Aku tidak tahu apa yang harus diperbuat oleh karena itu kucari keasyikan dengan bekerja. Aku mengerjakan rencana rumah untuk rakyat. Aku mengajar guruguru Muhammadiyah. Aku mengorganisir Seminar AlimUlama Antar Pulau Sumatera Jawa dan berhasil mengemukakan kepada mereka rencana memodernkan Islam.
Akupun menerima calon menantu dari Residen sebagai murid dalam pelajaran bahasa Jawa, karena dia bekerja sebagai asisten kebun di suatu perkebunan teh dan para pekerjanya berasal dari Jawa. Dan di Bengkulu hanya Sukarno yang menguasai bahasa daerah itu. Pemuda ini dan aku menjadi sahabat karib. Ketika Jimmy akhirnya melangsungkan perkawinannya aku ditunjuknya untuk bertindak sebagai walinya, akan tetapi Residen itu rnenolak dengan minta maaf, dan mengatakan, "Tidak mungkin seorang tawanan utama dari negeri ini menjadi wali dalam perkawinan anak saya."
Sekalipun, demikian dia mengundangku menghadiri upacara perkawinan itu. Setelah satu tahun, aku tidak mau menerima pembayaran, Jimmy menghadiahkan kepadaku dua ekor Dachshaund. Aku sayang sekali kepada anjinganjing itu. Ia kubawa tidur. Aku memanggilnya dengan mengetukngetukkan lidahku. "Tuktuk tuktuk" dan karena aku tidak pernah memberinya nama, lalu binatangbinatang ini dikenal sebagai "Ketuk Satu" dan "Ketuk Dua".
Aku mencoba mengalihkan pikiranku dari persoalan pribadi dengan memelihara hewanhewan lain. Aku memperoleh 50 ekor burung gelatik dengan harga sangat murah. Kemudian kubeli sangkar yang besar dan menambahkan burung baraubarau sepasang, jadi dia tidak kesepian. Tapi kesenangan inipun tidak menyenangkan hatiku. Kulepaskan binatangbinatang ini. Aku tidak sampai hati melihat makhluk yang dikurung dalam sangkar. Karena sekumpulan binatang ini tidak memuaskan hatiku, aku berpindah pada pekerjaan memperindah halaman belakang. Jalanan menuju ke jalan besar ditutupi dengan batu karang. Aku mempekerjakan dua orang kuli untuk mengangkatnya.
Ketua organisasi pemuda setempat mengetahui apa yang kukerjakan dan di suatu hari Minggu dia datang dengan selusin kawankawan dan dalam tempo dua jam mereka menyelesaikan segalagalanya. Ketika pekerjaan ini selesai, dan kepedihan dalam hati masih tetap bersarang, aku mengadakan kelompok perdebatan setiap malam Minggu. Kami mempersoalkan "Teori Evolusi Darwin" atau "Mana yang lebih baik, beras atau jagung — dan mengapa?" atau pokok pembicaraan seperti "Apa pengaruh bulan terhadap tingkah laku perempuan". Aku menyusun pendapatku sambil berdebat.
 Terkadang aku percaya apa yang kuucapkan, terkadang tidak. Terkadang aku hanya mencoba untuk menyalakan api dibawah semangatku sendiri. Aku juga meminyaki otakku dengan menulis artikel. Karena ini terlarang, kupergunakan nama samara Guntur atau Abdurrahman. Satu kesukaranku ialah karena aku tidak mengetik dan tulisanku yang sangat jelas dan mudah dibaca sudah diketahui orang.
 Tulisan tangan membukakan watak seseorang. Usaha untuk merubahnya sedikit masih memperlihatkan tulisan yang sarna, karena itu aku merubahnya sama sekali dengan huruf cetak atau menulisnya dengan tangan kiri.
 Di bulan Mei 1940 Hitler menyerbu Negeri Belanda. Pemerintah segera memanggilku ke markas di Fort Marlborough, sebuah benteng dari batu dan besi menghadap ke sebuah tebing yang curam. Mukamuka mereka kelihatan suram. "Insinyur Sukarno," mereka berkata. "Kami hendak memperingati kejadian yang menyedihkan ini. Sebagai satusatunya seniman di Bengkulu tuan ditunjuk untuk membuat tugu peringatan”.
“Maksud tuan, setelah menguberuber saya karena saya menghendaki kemerdekaan untuk rakyat saya, tibatiba sekarang meminta saya, sebagai tawanan tuan, untuk membuat tugu karena bangsa lain merebut kemerdekaan negeri tuan?"
"Ya."
Betapapun aku berhasrat hendak memuaskan selera seniku, namun apa yang kuperbuat hanyalah menumpukkan tiga buah batu, yang satu diatas yang lain. Dan itulah seluruhnya yang kukerjakan. Untuk menyatakan pendapat Belanda itu dengan katakata manis: mereka jijik melihatnya. Akan tetapi sebenarnya tidak timbul perasaanku untuk menciptakan suatu yang indah bagi mereka.
Menyinggung tentang peperangan, sewaktu masih di Bandung aku telah melihat lebih dulu pengaruh dari keteganganketegangan di Eropa dan berkembangnya Hitlerisme. Pada pertengahan tahuntahun tiga puluhan aku meramalkan bahwa Jepang akan mengikuti Hitler untuk melawan Inggris dan Amerika di Lautan Teduh dan bahwa dengan lindungan peristiwa ini Indonesia akan memperoleh kemerdekaannya.
Sejak dari waktu itu aku memperhitungkan, kapan perang Asia akan berkobar dan berapa lama perang itu berlangsung dan aku menyimpulkan, bahwa mata rantai yang lemah dari rantai imperialisme Jepang adalah Indonesia. Negeri kami yang terbentang luas adalah yang paling mudah untuk diputuskan. Lalu di Flores, di tahun 1938 aku meramalkan bahwa Indonesia akan mendesak ke depan dan memutuskan belenggunya di tahun 1945.
 Aku bahkan menulis suatu cerita sandiwara mengenai keyakinanku berjudul "Indonesra '45". Sementara aku menunggu, menahankannya dengan sabar, aku gelisah dan takut. Aku menjadi pembantu tetap dari surat kabar Anwar Tjokroaminoto. Tapi kini aku menulis dengan memakai namaku sendiri, karena walaupun hanya untuk sementara waktu, perasaanku membawaku ke satu pihak yang sama dengan Negeri Belanda. Di bulan Juli 1941 aku menulis dalam "Harian Pemandangan" sebagai berikut: "Patriotisme tidak boleh disandarkan pada nasionalisme dengan pengertian kebangsaan yang sempit yang — seperti Italia dan Jerman — meletakkan kepentingan bangsa dan negeri di atas kepentingan kesejahteraan manusiamanusia di dalamnya. Saya berdo'a kepada Allah Ta'ala agar melindungi kita dari kefasikan untuk mempercayai fasisme dalam menuju kemerdekaan”.
 "Pemboman rumahrumah, pembunuhan perempuan dan anakanak, penyerangan terhadap negerinegeri yang lemah, penangkapan orangorang yang tidak bersalah, penyembelihan terhadap jutaan orang Yahudi, itulah ISME yang hendak berkuasa sendiri. Fasisme tidak mengizinkan adanya parlemen. Fasisme adalah usaha terakhir untuk menyelamatkan kapitalisme.
"Seluruh manusia harus membenci HitlerHitler dan MussoliniMussolini yang ada di permukaan bumi ini. Dan panjinya citacita Indonesia haruslah AntiNazisme dan AntiFasisme. Hari ini saya mengangkat pena saya guna memuntahkan saya punya kebencian terhadap penyakit ini yang mau tidak mau menyeret kita ke dalam peperangan dan bencana besar.
"Kebejatan moral ini tidak saja menghinggapi orang kulit putih. Akan tetapi Jepangpun dihinggapi oleh nafsu untuk memperoleh kekuasaan ini, yang memerlukan konsesi minyak. Batu bara dan minyak pelumas untuk armadanya dan yang menyebabkan rakyatnya lupa akan kesatriaan mereka dalam usahanya hendak mencengkeramkan kukunya kepada saudarasaudaranya”.
"Jepang, itu naga pembawa bencana dengan keserakahan untuk mencaplok dalam waktu yang tidak lama lagi akan terjun ke dalam peperangan buas yang membahayakan perdamaian dan keselamatan bangsabangsa Asia dalam perlombaannya melawan Barat. Laksana tiga ekor raja singa berhadapan satusama lain yang sudah siap untuk menerkam, Inggris siap di Singapura, Jepang mempersiapkan senjata dalam lingkungan perbatasannya dan di kepulauan Mariana, Amerika dengan bentengbentengnya di Hawaii, Guam, Manila, Pearl Harbour”.
"Saudarasaudara, waktunya sudah dekat, di saat mana air biru dari Samudra Pasifik akan menjadi korban berdarah yang tidak ada tandingannya di dalam sejarah dunia!"
Akan tetapi peperangan ini yang kuperhitungkan akan memenuhi seluruh harapan dan impianku masih jauh di depan. Jadi ketika itu aku menyimpannya dalam pikiranku saja untuk mempersenjatai ragaku melawan peperangan yang mengamukamuk di dadaku.
Di akhir tahun 1941 aku mengawinkan Ratna Djuami dan tunangannya Asmara Hadi, seorang pengikut lamaku, untuk datang ke Bengkulu sehingga kami dapat mempersoalkan kehidupan pribadiku. Kami bertiga berjalanjalan sepanjang Bante Pandjang.
 "Kuharapkan kalian mengerti," aku mengemukakan.
"Aku ini hanya seorang manusia, Aku ingin kawin lagi. Cobalah, bagaimana pendapatmu keduanya?"
Asmara Hadi menyatakan, "Secara pribadi saya setuju dengan bapak. Saya mempersamakan bapak dengan Napoleon dan para pemimpin besar lainnya dalam sejarah, yang— saya baca — secara fisik sangat kuat. Akan tetapi, dilihat dari segi politik hal ini tidak baik. Sungguhpun bapak diasingkan jauh semenjak tahun 1934, bapak tetap menjadi lambang kami. Rakyat mendo'akan agar bapak segera bangkit lagi dan memimpin mereka kembali. Dan rakyat tahu dari tulisantulisan bapak, bahwa waktunya sudah dekat. Apa kata rakyat nanti kalau bapak sekarang menceraikan ibu Inggit di waktu dia sudah tua dan yang setia mendampingi bapak selama masa penjara dan pembuangan? Bagaimana jadinya nanti?"
"Coba, Umi," kataku sungguhsungguh kepada Ratna Djuami, menyebutnya dengan nama kecilnya. "Dapatkah kau memahami kepedihanku?".
"Saya sepaham dengan Asmara Hadi. Meskipun hati saya dapat merasakan kepedihan bapak, tapi saya rasa ini akan meruntuhkan bapak dalam bidang politik."
"Tapi engkau masih muda. Engkau hendaknya lebih mengerti daripada ibumu," aku mempertahankan. "Dan engkau tidak usah kuatir tentang dirimu. Kalaupun aku mengawini Fatmawati, aku masih tetap mencintaimu. Gelombanggelombang yang berbuih putih ini akan mendjadi saksi."
Sebelum diperoleh suatu keputusan, Jepang menyerbu Sumatra. Harinya adalah 12 Februari 1942.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More