Indonesia

Indonesia is the beautiful country in the universe

Jumat, 30 Desember 2011

Autobiografi Bung Karno_BAB XVIII_Jepang Mendarat

BAB XVIII
Jepang Mendarat
UDARANYA panas malam itu, akan tetapi aku berbaring di sana dengan badan gemetar. Aku melihat sambaran petir ini sebagai gemuruhnya pukulan genderang kebangkitan. Ia adalah tanda berakhirnya suatu jaman.
Esok paginya aku bangun di waktu subuh dan berjalan dengan tenang sepanjang jalanan kota. Jepang membuka tokotoko dengan paksa tanpa ada yang menjaga. Perbuatan ini menggerakkan hati rakyat untuk menyerbu isi tokotoko itu. Kesempatan pertama bagi rakyat yang miskin untuk menikmati kemewahan. Dalam pada itu Jepang dengan cerdik memerintahkan polisi Belanda untuk menertibkan keadaan di jalanjalan, dengan demikian menambah kebencian terhadap kekuasaan kulit putih. Di setiap jalanan Jepang disambut dengan soraksorai kemenangan.
"Apa sebabnya ini!" tanya Waworuntu.
"Rakyat benci kepada Belanda. Lebihlebih lagi karena Belanda lari terbiritbirit dan membiarkan kita tidak berdaya. Tidak ada satu orang Belanda yang berusaha untuk melindungi kita atau melindungi negeri ini. Mereka bersumpah akan bertempur sampai tetesan darah yang penghabisan, tapi nyatanya lari ketakutan."
"Coba pikir," kataku ketika kami melangkah pelahan. "Faktor pertama yang menyebabkan penyambutan yang spontan ini adalah adanya perasaan dendam terhadap tuantuan Belanda, yang telah dikalahkan oleh penakluk baru. Kalau engkau membenci seseorang tentu engkau akan mencintai orang yang mendupaknya keluar. Disamping itu, tuantuan kulit putih kita yang sombong dan maha kuat itu bertekuklutut secara tidak bermalu kepada suatu bangsa Asia. Tidak heran, kalau rakyat menyambut Jepang sebagai pembebas mereka."
Waworuntu, kawan baik dan kawanku yang sesungguhnya, yang sekarang sudah tidak ada lagi, melihat tenang kepadaku. "Dan apakah Bung juga menyambutnya sebagai pembebas?”
"Tidak! Saya tahu siapa mereka. Saya sudah melihat perbuatan mereka di masa yang lalu. Saya tahu bahwa mereka orang Fasis. Akan tetapi sayapun tahu, bahwa inilah saat berakhirnya Imperialisme Belanda. Pun seperti yang saya ramalkan, kita akan mengalami satu periode pendudukan Jepang, disusul kemudian dengan menyingsingnya fadjar kemerdekaan, dimana kita bebas dari segala dominasi asing untuk selamalamanya."
Di seberang jalan kami lihat serdadu Jepang memukul kepala seorang Indonesia dengan popor senapan. "Lalu maksud Bung akan memperalat Jepang" tanya Waworuntu dengan cepat.
Kami terus berjalan. Kami tidak dapat berbuat apaapa. "Sudah tentu," jawabku dengan suara redup. "Saya mengetahui semua tentang kekurangajaran mereka. Saya mengetahui tentang kelakuan orang Nippon di daerah pendudukannya — tapi baiklah. Saya sudah siap sepenuhnya untuk menjalani masa ini selama beberapa tahun. Saya harus mempertimbangkan dengan akal kebijaksanaan, apa yang dapat dilakukan oleh Jepang untuk rakyat kita."
Kita harus berterimakasih kepada Jepang. Kita dapat memperalat mereka. Kalau manusia berada dalam lobang Kolonialisme dan tidak mempunyai kekuatan yang radikal supaya bebas dari lobang itu atau untuk mengusir penjajahan, sukar untuk mengobarkan suatu revolusi. Waworuntu memandangku, matanya terbuka lebar. Kebenaran katakata itu nampak meresap dalam hatinya. "Coba pikir, Bung," kataku, "Keadaan chaos, suasana kebingungan dan perasaan yang menyalanyala ini, ataupun perubahan ini sendiri — perlu sekali guna mencapai tujuan, untuk mana saya membaktikan seluruh hidupku." Kami terus berjalan, bungkem. Masingmasing sibuk dengan pikiran sendiri.
 Kemudian kawanku memberikan pendapat, "Mungkin rakyat kita akan selalu memandangnya sebagai pembebas dan tetap tinggal proJepang, dan oleh sebab itu akan mempersulit usaha untuk melepaskan negeri kita dari cengkeramannya”.
"Tidak mungkin," jawabku menerangkan. "Pandirlah suatu bangsa penjajah kalau mereka mengimpikan akan dicintai terus atau mengkhayalkan bahwa masyarakat yang terjajah akan tetap puas dibawah telapak dominasinya. Tidak pandang betapa lemah, mundur atau lalimnya penjajah yang lama dan tidak pandang betapa baiknya penjajah yang baru dalam tingkah laku atau kecerdasannya, maka rakyat yang sekali sudah terjajah selalu menganggap hilangnya dominasi asing sebagai pembebasan. Inipun akan terjadi disini."
"Kapan ini akan terjadi ?"
"Kalau kita sudah siap," kataku ringkas.
Aku tidak mengadakan suatu gerakan. Aku hanya menunggu. Sehari kemudian, Kapten Sakaguchi, Komandan dari daerah Padang datang ke rumah Waworuntu dan memperkenalkan dirinya. Berbicara dalam bahasa Perancis, ia berkata, ,,Estce vous pouves parler Francais "
"Oui," jawabku. “Je sais Francais."
"Je suis Sakaguchi," katanya.
"Bon," kataku.
Bungkem sesaat, lalu, ”Vous etes Ingenieur Sukarno, n'estce pas?"
“Oui. Vous avez raison."
Menunjukkan tanda pengenal resminya ia menerangkan, “Saya anggota dari Sendenbu, Departemen Propaganda."
"Apakah yang tuan kehendaki dari saya?" aku bertanya dengan hatihati.
"Tidak apaapa. Saya mengetahui bahwa saya perlu berkenalan dengan tuan dan begitulah saya datang. Hanya itu. Saya datang bukan menyampaikan perintah kepada tuan." Sakaguchi tersenyum lebar.
Agaknya tidak perlu bagi seorang penakluk untuk bersikap begitu menarik hati karena itu aku bertanya, "Mengapa tuan justru datang kepada saya?"
"Menemui tuan Sukarno yang sudah terkenal adalah tugas saya yang pertama. Kami mengetahui semua mengenai tuan. Kami tahu tuan adalah pemimpin bangsa Indonesia dan orang yang berpengaruh."
"Itukah sebabnya tuan menemui saya disini, dan bukan meminta saya datang ke kantor tuan ?" Betul," ia Membungkuk”. “Suatu kehormatan bagi kami untuk menghargai tuan sebagaimana mestinya. Tuan Sukarno terkenal di seluruh kepulauan ini."
"Boleh saya bertanya dari mana tuan mendapat keterangan ini ?"
"Tuan lupa, tuan Sukarno, sebelum perang banyak orang Jepang tinggal disini dan banyak yang kembali kesini dalam tentara Jepang."
”Oo."
"Kami mempunyai jaring matamata yang paling rapi. Kami mengetahui segalagalanya mengenai semua orang, begitu pula tempattempatnya. Segera setelah menduduki Bengkulu kami menyelidiki dimana tuan berada. Tindakan kami, yang pertamatama ialah untuk datang kepada tuan."
"Dan tindakan yang kedua?"
"Menjaga tuan."
Ketika tentara Jepang datang, Padang mengibarkan bendera Merah Putih. Rakyat menyangka mereka "dibebaskan". Setelah berabadabad larangan, sungguh menggetarkan hati menyaksikan bendera kami Sang MerahPutih yang suci itu melambailambai dengan megahnya. Akan tetapi tidak lama, segera keluar pengumuman yang ditempelkan di pohonpohon dan di depan tokotoko, bahwa hanyalah bendera Matahari Terbit yang boleh dikibarkan. Serentak dengan kejadian ini, yang terasa sebagai suatu tamparan, Jepang menguasai suratsurat kabar. "Pembebasan" kota Padang tidak lama umurnya. Aku pergi ke kantor Sakaguchi dan minta agar perintah penurunan bendera itu diundurkan.
"Perintah ini sangat berat untuk kami terima dan akan mempersulit keadaan," kataku. "Kalau tidak dilakukan secara sebijaksana mungkin hal ini dapat memberi akibat yang serius untuk kedua belah pihak."
Sakaguchi menunjukkan bahwa ia mengerti persoalan itu, akan tetapi memperingatkan. "Barangkali, tuan Sukarno, hendaknya jangan terlalu menundanunda hal ini."
Ini adalah hari yang gelap bagi rakyat dan bagi Sukarno. Mulamula aku pergi ke mesdjid dan aku sembahyang. Kemudian dalam suatu rapat aku menginstruksikan kepada saudarasaudaraku untuk menurunkan bendera sampai datang waktunya dimana kita dapat mengibarkan bendera kita sendiri, bebas dari segala dominasi asing.
Setiap bendera turun ke bawah. Aku benci kepada Hitler, akan tetapi kejadian ini dengan tidak sadar mengingatkan aku pada salah satu ucapannya: Gross sein heisst es Massen bewegen k.nnen" Besarlah seseorang yang mampu menggerakkan massa untuk bertindak. Kalau bukan Sukarno yang berbicara, mungkin mereka akan berontak, karena terlalu tibatiba seperti tersentak dari tidur mereka menyadari, bahwa puteraputera dari negara MatahariTerbit bukanlah pahlawanpahlawan sebagaimana mereka bayangkan. Dan aku kuatir akan terjadinya pemberontakan.
Kami adalah rakyat yang tidak berpengalaman untuk pada saat itu biasa menendang kekuatan yang terlatih baik seperti tentara Jepang. Tiga hari kemudian Sakaguchi datang lagi. Sekali lagi kami berbicara dalam bahasa Perancis. Berbulan bulan kemudian aku baru mengetahui, bahwa Sakaguchi pandai berbahasa Indonesia. "Monsicur Sukarno," katanya "Saya membawa pesan. Le Commandant de Bukittinggi memohon kehadiran tuan."
"Memohon?" aku mengulangi.
"Oui, Monsieur. Memohon."
Dari sikap kapten Sakaguchi yang merendah jelaslah,  bahwa ketakutan Belanda akan menjadi kenyataan. Jepang akan mengusulkan agar supaya aku bekerja dengan mereka. Komandan dari divisi yang kuat itu yang memasuki kota Padang di malam pendaratan adalah Kolonel Fujiyama, Komandan Militer kota Bukittinggi. Dialah yang minta disampaikan supaja "memohon" tuan Sukamo untuk datang. Tuan Sukarnopun datang.
Kami berangkat dengan kereta api dan dengan cepat tersiar kabar, bahwa Sukarno ada dalam kereta api. Mereka yang berada dalam gerbong kami menyampaikan kepada gerbonggerbong yang lain. Ketika berhenti di Padang panjang setiap orang di pelataran stasiun mulai bersorak memanggil Sukarno. Gerbong kami diserbu orang, sehingga aku terpaksa mengeluarkan kepalaku di jendela dan berpidato dengan singkat untuk menenangkan rakyat. Tak satupun dari ini yang tidak berkesan pada Sakaguchi.
Jauhnya satu setengah jam perjalanan ke kota pegunungan yang sejuk itu. Pusat dari Minangkabau ini terkenal dengan bendinya yang riang menyenangkan dan digunakan sebagai alat angkutan di jalanan yang mendaki. Dan ia terkenal dengan rumah adat bergonjong bewarnawarni, simbolik daripada seni bangunan Minangkabau.
Bukittinggi adalah kota yang sangat penting. Letaknya strategis, dan hanya dapat dicapai dari tiga jurusan, dan letaknya di daerah pegunungan itu sedemikian, sehingga penduduknya menguasai semua lalu lintas keluar masuk. Markas Kolonel Fujiyama, gedung besar bekas kepunyaan seorang Belanda yang kaya, pun terletak secara strategis. Letaknya ketinggian di atas puncak Lembah Ngarai, sebuah lembah yang dalam dengan bukitnya yang tinggi pada kedua belah sisinya berbentuk dinding batu terjal dan gundul menjulang kea tas. Di bawah, di dalam lembah itu merentang seperti pita sebuah sungai yang dengan seenaknya mencari jalannya sendiri. Di sekeliling Ngarai itu tumbuh pepohonan dan tumbuhan menghijau dengan lebat. Kalau orang memandang keluar, dari jendela rumah Fujiyama, beriburibu kaki jauhnya ke bawah terlihatlah suatu pemandangan indah yang sangat mengagumkan.
Disanalah aku mengadakan pertemuan yang sampai sekarang tidak banyak orang mengetahuinya, akan tetapi sesungguhnya merupakan pertemuan yang maha penting. Pertemuan yang sangat besar artinya. Pertemuan yang menentukan strategiku selanjutnya selama peperangan. Pertemuan yang sampai sekarang memberikan cap kepadaku sebagai "Kollaborator Jepang". Komandan Fujiyama berbicara dalam bahasanya. Di dalam ruangan itupun hadir seorang juru bahasa berkebangsaan Amerika yang dibawa mereka dari Singapura.
"Tuan Sukarno," kata Fujiyama sambil menyilakanku duduk. "Peperangan ini bertujuan untuk membebaskan Asia dari penaklukan kolonialisme Barat."
Aku menyadari, bahwa mereka sedang menduga isi hatiku dan aku memilih katakataku dengan hatihati sekali. Setiap patah kata yang keluar dari mulutku akan mereka saring, mereka timbangtimbang dan mereka uji. Aku mengetahuinya. "Orang Jepang mempunyai satu semboyan yang berbunyi, 'Asia. Bebas'. Benarkah ini?" tanjaku setelah beberapa saat.
"Ya, tuan Sukarno," sahutnya sambil menyodorkan rokok kepadaku. "Itu benar."
Dengan lamban kuisap rokok itu dan kemudian berkata seperti tidak acuh, "Dan apakah tuan bermaksud hendak berpegang pada semboyan itu?"
"Ya, tuan Sukarno, kami akan berpegang pada semboyan itu," katanya memandang kepadaku dengan teliti. "Yah, kalau begitu, apakah tuan berpendapat bahwa Indonesia adalah satu bagian dari Asia?"
"Tentu, tuan Sukarno."
Aku menarik napas panjang. "Kalau demikian, saya dapat menarik kesimpulan bahwa tujuan tuan juga hendak membebaskan Indonesia, betulkah itu?"
Belum sampai satu debaran jantung antaranya, "Ya, tuan Sukarno. Tepat sekali."
Sementara berlangsung pembicaraan tingkat tinggi ini seorang prajurit Jepang berperawakan kecil beringsut menyuguhkan air teh. Syarafku sangat tegang dan aku mencarikcarik kuku jariku, suatu kebiasaanku kalau sedang gelisah. Kami menunggu sampai bunyi mangkok teh yang gemerinting tidak terdengar lagi. Bahkan setelah prajurit itu pergi, bunyi gemerincing seolaholah masih saja mengapung di udara yang hening. Setidaktidaknya, dalam diriku. Gigiku dan tulangbelulangku semua gemerincing. Hidup atau matinya tanah airku tergantung kepada sukses atau tidaknya pembicaraan ini.
Setelah dia pergi, Fujiyama kemudian melanjutkan. "Di dalam rangka pengertian inilah kami ingin mengetahui, apakah tuan mempunyai keinginan untuk memberikan bantuan kepada tentara Dai Nippon."
"Dengan cara bagaimana ?"
"Dalam memelihara ketenteraman."
"Bolehkah saya bertanya, bagaimana caranya saya seorang diri dapat memelihara ketenteraman untuk tentara Jepang?"
Panglima Tentara ke 25 dari Angkatan Darat Kerajaan Jepang ini tersenjum. Pada tingkatannya mereka banyak melakukan seperti ini. "Kami mengetahui, bahwa Sukarno sendirilah yang menguasai massa rakyat. Karena itu, cara yang paling mudah untuk mendekati rakyat adalah mendekati Sukarno. Tugas kami bukanlah untuk mendekati rakyat Indonesia yang berjutajuta. Tugas kami adalah untuk memenangkan satu orang Indonesia. Yaitu, tuan sendiri. Harapan kami agar tuan mendekati rakyat yang jutaan itu untuk kami."
Sikapnya memperlihatkan dengan jelas, bahwa dia harus memenangkan Sukarno. Di luar, di jalanan rakyat kami tidak lagi bersoraksorai begitu keras menyambut rakyatnya. Kegembiraan yang pertama sudah mulai luntur. Dia tahu, kalau dia berbalik menentangku dan melukaiku dengan salah satu jalan, kalau dia mencobacoba memaksaku, seluruh rakyat akan bangkit melawannya. Jepang memerlukan tenagaku dan ini kuketahui.
Akan tetapi akupun memerlukan mereka guna mempersiapkan negeriku untuk suatu revolusi. Ini tidak ubahnya seperti permainan volley. Hanya yang dipertarungkan itu adalah kemerdekaan. Kolonel Fujiyama pertama memukul bola. Sekarang giliranku. Tuhan, aku mendo'a dalam hati, tunjukkanlah kepadaku, jalan yang benar.
"Nah," kataku. "Sekarang saya mengetahui apa yang tuan inginkan, saya kira tuan mengetahui keinginan saya."
"Tidak, tuan Sukarno, saya tidak tahu. Apakah sesungguhnya yang dikehendaki oleh rakyat Indonesia.?"
"Merdeka."
"Sebagai seorang patriot yang mencintai rakyatnya dan menginginkan kemerdekaan mereka, tuan harus menyadari bahwa Indonesia Merdeka hanya dapat dibangun dengan bekerja sama dengan Jepang," ia membalas.
"Ya," aku mengangguk. "Sekarang sudah jelas dan terang bagi saya bahwa tali hidup kami berada di Jepang ...... Maukah pemerintah tuan membantu saya untuk kemerdekaan Indonesia?"
"Kalau tuan menjanjikan kerjasama yang mulak selama masa pendudukan kami, kami akan berikan janji yang tidak bersyarat untuk membina kemerdekaan tanah air tuan."
"Dapatkah tuan menjamin bahwa, selama saya bekerja untuk kepentingan tuan, saya juga diberi kebebasan bekerja untuk rakyat saya dengan pengertian, bahwa tujuan saya yang terakhir adalah di satu waktu ....... dengan salahsatu jalan ........ membebaskan rakyat dari kekuasaan Belanda — maupun Jepang?"
"Kami menjamin. Pemerintah Jepang tidak akan menghalanghalangi tuan."
Aku memandang kepadanya. Kami saling berpandangan. Saling menakar isihati satu sama lain. "Jadi, tuan Sukarno," ia melanjutkan menyatakan pengakuannya dengan hatihati. "Saya seorang penguasa pemerintahan. Negeri tuan adalah suatu bangsa dengan latar kebudayaan, keturunan, agama dan berbagai adat kebiasaan Jawa, Bali, Hindu, Islam, Buddha, Belanda, Melayu, Polynesia, Tiongkok, Filipina, Arab dan lainlain. Negeri tuan terbentang luas. Perhubungan dari satu ke tempat lain sukar. Tugas saya adalah untuk mengendalikan daerah ini dalam keadaan tertib dan lancar dengan segera. Cara yang paling tepat ialah dengan memelihara ketenteraman rakyat dan menjalankan segala sesuatu dengan harmonis. Untuk mencapai tujuan ini, kepada saya disampaikan bahwa saya harus bekerja dengan Sukarno. Sebaliknya saya menjanjikan kerjasama yang resmi dan aktif di dalam bidang politik."
Mau tidak mau aku harus mempercayai orang yang berperawakan kecil ini, oleh karena aku melihat kunci persoalan ada di tangannya. "Baiklah," kataku. "Kalau ini yang tuan janjikan, saya setuju. Saya akan berikan bantuan saya sepenuhnya. Saya akan menjalankan propaganda untuk tuan. Tapi hanya kalau ia berlangsung menurut garis menuju pembebasan Indonesia dan hanya dengan pengertian, bahwa sambil bekerjasama dengan tuan sayapun berusaha untuk memperoleh kemerdekaan bagi rakyat saya."
"Setuju," katanya. "juga dengan pengertian bahwa janji, dalam mana saya tetap tidak dikekang dalam usaha saya yang tidak hentihentinya untuk nasionalisme, tidak hanya diketahui oleh tuan sendiri melainkan juga oleh seluruh Komando Atasan."
"Pemerintah saya tentu akan diberitahu mengenai hal itu. Di atas dasar inilah kita bekerjasama, saling bantumembantu satu sama lain."
Sebagai kelanjutan dari pertemuan yang bersejarah ini yang berlangsung selama dua jam, mereka menjanjikan sukiyaki. Inilah pertama kali aku mencobanya. Dan rasanya enak sekali, kukira.
Keinginan mereka untuk bersikap ramahtamah tidak berakhir sampai disini saja. Aku tidak disuruh pergi, melainkan ditanyai kapan bermaksud hendak pulang. Setelah menunjukkan bahwa aku sudah siap, aku diiringkan sampai di luar. Disana Sakaguchi memandangku dengan muka berseri, "Izinkan kami untuk menyediakan kendaraan untuk tuan," dan menunjuk ke arah sebuah mobil Buick hitam berkilat.
Kendaraan seperti ini tidak banyak terdapat di Bukittinggi, jadi ini sudah pasti diambil dari seorang saudagar kaya dan dimanapun ia berada disaat ini, tentu ia tidak dapat melakukan perjalanan pakai kendaraan.
"Buick ini adalah untuk tuan," Sakaguchi membungkuk dengan hormat, "Diserahkan kepada tuan selama tuan menghendakinya."
Kusampaikan padamu, kawan, aku sungguhsungguh bangga. Inilah aku, baru saja lepas dari pembuangan, sebuah Buick yang cantik menantikanku. Sudah tentu ia tidak ada bensin. Isinya hampir tidak cukup untuk dilarikan ke Padang. Mereka telah memberikan kehormatan kepadaku, mereka memberiku makan dan mereka telah memberiku kendaraan —akan tetapi tidak ada bensin. Kawankawan — dan mereka yang bukan kawanku, akan tetapi yang kuharapkan dapat memahami Sukarno lebih baik setelah membaca buku ini — ini adalah pertamakali aku menceritakan kisahku tentang bagaimana, bilamana dan dimana, dan mengapa aku mengambil keputusan untuk menyeret diriku berdampingan dengan Jepang.
 Boneka ..... pengkhianat ..... aku tahu semua katakata itu. Akan tetapi jika tidak dengan syarat, bahwa mereka turut membantu dalam usaha mencapai kebebasan negeriku, aku pasti takkan melakukannya. Sampai kepada detik ini hal ini tak pernah diterangkan sebagaimana mestinya. Dunia luar tidak mengerti. Mereka hanya tahu Sukarno seorang collaborator. Bagiku untuk menuntut lebih banyak lagi kebebasankebebasan politik, aku terpaksa mengerjakan berbagai hal yang merobekrobek jantungku. Dengan hati yang berat aku melakukannya. Kalau aku tidak menepati janjiku, mereka tidak akan menepati janji mereka pula. Di suatu pagi Sakaguchi datang kepadaku. Dia menyenangkan, akan tetapi keras. "Kami menghadapi persoalan beras yang rumit," katanya dengan berkerut. "Nampaknya beras di Padang susah. Sebenarnya hampir tidak ada. Saya memberi peringatan kepada tuan, kalau orang Jepang tidak dapat beras, orang Indonesia tidak akan dapat apaapa. Bukanlah keinginan kami untuk mengambil dengan kekerasan dari orangorang yang mengendalikannya, oleh karena tindakan ini akan menimbulkan kekacauan dan bertentangan dengan cara kerjasama yang kita usahakan. Setidaktidaknya cara yang baik, yang sampai sekarang telah kita coba untuk melakukannya. Tentu ada jalan lain, tuan Sukarno, karena saya yakin tuan mengetahui. Saya menyarankan, supaya tuan mendesak rakyat kepala batu agar berpikir sedikit."
Aku segera minta bantuan saudagarsaudagar beras. Kuterangkan, bahwa aku memerlukan sekian ton dan segera! Yah, selama masih Sukarno yang memintanya, aku memperolehnya. Sebanyak yang kuminta dan secepat yang kuingini. Memenuhi permintaanku berarti memecahkan persoalan setiap orang. Jepang terhindar dari kelaparan. Bangsa Indonesia terhindar dari siksaan. Suatu krisis yang lain ialah mengenai kehidupan seks dari para prajurit Jepang. Rupanya mereka tidak memperoleh apaapa selama beberapa waktu. Ini adalah sematamata persoalan mereka, akan tetapi mereka berada di tanah airku. Perempuan yang mereka inginkan untuk dirusak adalah perempuan perempuan bangsaku.
 Suku Minangkabau orang yang ta'at beragama. Perempuannya dididik dan dibesarkan dengan hatihati sekali. Kuperingatkan kepada Fujiyama, "Kalau anak buah tuan mencobacoba berbuat sesuatu dengan anakanak gadis kami, rakyat akan berontak. Tuan akan menghadapi pemberontakan besar di Sumatra."
Aku menginsyafi, bahwa aku tidak dapat membiarkan tentara Jepang bermainmain dengan gadis Minang. Dan akupun menginsyafi, bagaimana sikap Jepang kalau persoalan ini tidak dipecahkan, dan aku akan dihadapkan pada persoalan yang lebih besar lagi. Kuminta pendapat seorang kiai. "Menurut agama Islam," kataku memulai, "Lakilaki tidak boleh bercintaan dengan gadis, kalau dia tidak bermaksud mengawininya. Ini adalah perbuatan dosa."
"Itu benar," katanya.
Aku tidak seratus persen pasti bagaimana harus mengucapkan maksudku, karena itu aku berpikir sebentar, lalu berkata, "Mungkinkah aturan ini dikesampingkan dalam keadaan keadaan tertentu?"
"Tidak. Tidak mungkin. Untuk Bung Karno sendiripun tidak mungkin," protes orang alim itu dengan kaget. Kemudian kubentangkan rencana itu. "Sematamata sebagai tindakan darurat, demi nama baik anak anak gadis kita dan demi nama baik negeri kita, saya bermaksud hendak menggunakan layanan dari para pelacur di daerah ini. Dengan demikian orangorang asing itu dapat memuaskan hatinya dan tidak akan menoleh untuk merusak anak gadis kita."
"Dalam keadaankeadaan yang demikian," kata orang alim itu dengan ramah, "sekalipun seseorang harus membunuh, perbuatannya tidak dianggap sebagai dosa."
Dengan berpegang kepada jaminan ini, bahwa rencanaku tidak akan ditafsirkan sebagai dosa yang besar, maka aku mendatangi para pelacur. "Saya tidak akan menyarankan saudarasaudara untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaanmu," aku menegaskan, "akan tetapi rencana ini sejalan dengan pekerjaan saudarasaudara sendiri."
"Saya dengar, Jepang kayakaya dan royal dengan uang," salah seorang tertawa gembira, nampaknya senang dengan usulku ini. "Benar," aku menyetujui. “Mereka juga punya jam tangan dan perhiasan lainnya."
"Saya menganggap rencana ini saling menguntungkan dalam segala segi," ulas perempuan yang jadi juru bicara. "Tidak hanya kami akan menjadi patriot besar, tapi ini juga suatu perjanjian yang menguntungkan."
Kukumpulkanlah 120 orang di satu daerah yang terpencil dan menempatkan mereka dalam kamp yang dipagar tinggi sekelilingnya. Setiap prajurit diberi kartu dengan ketentuan hanya boleh mengunjungi tempat itu sekali dalam seminggu. Dalam setiap kunjungan kartunya dilubangi. Barangkali cerita ini tidak begitu baik untuk dikisahkan. Maksudku, mungkin nampaknya tidak baik bagi seorang pemimpin dari suatu bangsa untuk menyerahkan perempuan. Memang, aku mengetahui satu perkataan untuk member nama jenis manusia seperti itu. Akan tetapi persoalannya sungguhsungguh gawat ketika itu, yang dapat membangkitkan bencana yang hebat. Karena itu aku mengobatinya dengan cara yang kutahu paling baik. Hasilnyapun sangat baik, kutambahkan keterangan ini dengan senang hati. Setiap orang senang sekali dengan rencana itu.
Oleh karena Jepang memerlukan tenagaku untuk memecahkan setiap persoalan pemerintahan, mereka senantiasa berusaha supaya aku tidak kekurangan apaapa. Fujiyama menawarkan apa saja. Semua tawaran kutolak. Aku menerima hanya yang perluperlu saja. Tugasku dalam menghubungi rakyat menghendaki untuk berkeliling mendatangi masyarakat yang jauh jauh. Dalam mengadakan perjalanan keliling ini sudah tentu aku memercikkan harapanharapan kepada kepalakepala setempat. Dan kepada rakyat. Dan menghidupkan kesadaran nasional mereka untuk hari depan.
Perjalanan ini memerlukan bensin. Fujiyama dalam waktuwaktu tertentu membekaliku dengan satu drum isi 200 liter. Diapun memberikan kartu panjang yang dicoretcoret dalam bahasa Jepang dengan memberikan keterangan, kalau pergi ke tempat iniini dan dijalan iniini, aku akan diberi persediaan bensin. Sungguhpun demikian aku menjaga, agar meminta tidak lebih daripada yang diperlukan. Seringkali orangorangku masuk duapuluh kilometer ke daerah pedalaman untuk mencari gudang bensin yang disembunyikan oleh Belanda. Aku mencoba setiap sesuatu dan segala sesuatu supaya tidak bergantung lebih banyak kepada Jepang. Tidak lupa Fujiyama setiap kali bertanya, "Apakah tuan Sukarno memerlukan uang?" Dan kujawab dengan, "Tidak, terimakasih. Rakyat memberikan segalagalanya kepada saya. Ketika saya sakit barubaru ini, tersebarlah berita kepada rakyat. Di jalanjalan terdengarlah rakyat meneruskan berita dari yang satu kepada yang lain, 'Hee, tablet kalsium Bung Karno sudah habis. Dia memerlukan lagi. Coba carikan.' Dan dalam waktu satu jam diantarkanlah satu botol lagi kerumahku.”
"Darimana diperolehnya?" dia bertanja tak acuh.
"Saya tidak tahu," jawabku tak acuh pula. Yang tidak kusampaikan kepadanya ialah, bahwa di Padang banyak orang Tionghoa punya toko yang bisa mencarikan apa saja kalau mereka mau. Dan kalau untuk Sukarno mereka mau.
"Baiklah, apakah tuan Sukarno perlu rumah tempat tinggal yang lain?"
Dan aku menjawab, "Tidak, terimakasih. Saya tinggal di rumah Waworuntu tidak membayar. Rumah itu cukup buat kami. Saya tidak memerlukan perlakuan yang istimewa."
"Bolehkah saya membantu tuan dengan ajudan sebagai pembantu tuan?".
"Tidak usah, terimakasih. Bangsa lain tidak dapat memahami cara bantuan kami yang diberikan dengan sukarela, namun itulah cara kami. Saya mempunyai lebih dari cukup tenaga pembantu." Seorang wartawan setempat menjadi supirku. Namanya Suska. Suska, ketika buku ini ditulis, adalah Duta besar Indonesia di India. Seorang lagi yang pernah menjadi ketua Partindo dari daerah berdekatan bersedia secara sukarela untuk memberikan tenaga tanpa bayaran. Gunadi, orang dari Bengkulu, bekerja sebagai sekretaris penuh tanpa gaji.
Karena ia tidak dapat membujukku kecuali dengan bensin, maka Kolonel Fujiyama kemudian, menanyakan kepada yang lainlain apa yang kuperlukan. Mereka selalu kuberitahu supaya menjawab, "Terimakasih, Bung Karno tidak memerlukan apaapa. Rakyat memberikan apa saja yang diperlukannya."
Aku tidak banyak minta, jadi kalau menuntut sesuatu biasanya aku memperolehnya. Dan tidak lama kemudian aku mau tidak mau memulai dengan tuntutan. Tanggal 1 Maret Jepang menyerbu pulau Jawa dengan cara yang sama seperti Sumatra: Belanda lari puntangpanting. Jepang sekarang berkuasa atas seluruh kepulauan Indonesia. Segera terasa kesombongan mereka. Sebagai balasannya mulailah timbul kegiatan gerakan bawah tanah dari para nasionalis yang sangat anti Jepang.
 Beberapa orang yang terlibat dalam sabotase dan permusuhan secara terangterangan ditangkap oleh Polisi Rahasia yang sangat ditakuti. Salah satu dari yang malang ini kukenal baik. Namanya Anwar. Orang ini disiksa. Kenpeitai ingin menjadikannya sebagai contoh perbuatan jahat, oleh karena dialah orang subversif yang pertamatama ditangkap, Jepang mencabut kuku jarinya. Aku cepatcepat pergi ke Bukit tinggi dan menyimpan tasku di rumah Munadji seorang kawan, dan pergi menemui para pembesar.
 Sementara itu pencuri memasuki rumah Munadji dan melarikan barangku yang sedikit itu, karena aku tidak pernah punya barang banyak. Melayanglah tasku itu, di dalamnya kalung emas kepunyaan Inggit dengan liontin dengan berlian.
Di Bukittinggi, kalau Sukarno mengagumi sesuatu maka pemilik toko memaksanya untuk menerima barang itu tanpa bayaran. Di Bukittinggi, mereka hanya mau memberikan dan tidak mau menerima sesuatu dariku. Jadi polisi menduga, pencuri itu tentu orang pendatang. Menjalarlah dari mulut ke mulut bahwa Bung Karno menjadi korban pencurian dan dua hari kemudian harta itu kembali secara ajaib.
Untuk menghindari hukuman, si pencuri seorang Tionghoa bernama Lian, mengatur dengan seorang alim untuk menyembunyikan barang itu di sudut sebidang sawah, setelah mana orang alim itu harus pergi kesana untuk mendo'a dan ...... lihat! dia menemukan milik Bung Karno. Begitulah kejadiannya. Dua hari telah berjalan aku kembali memperjuangkan persoalan Anwar kepada Jepang. Kataku, "Saya kenal baik kepadanya. Selama tuan menepati janji untuk kerjasama dengan aspirasi nasional Indonesia, dia dan orangorang nasionalis yang lain tidak akan berkomplot menentang tuan. Dia hanya salah terima mengenai penurunan bendera Merah Putih dan peristiwaperistiwa lain yang terjadi sebagai pertanda dari pemutusan janji tuan. Dia tidak bermaksud apaapa terhadap tuan pribadi. Kalau tuan mengeluarkannya, saja yakin saya dapat menggunakan tenaganya dengan baik. Saya sendiri memberikan jaminan akan jiwa patriotismenya."
Dua jam setelah kunjungan yang kedua ini mereka melepaskannya.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More