Indonesia

Indonesia is the beautiful country in the universe

Senin, 19 Desember 2011

Autobiografi Bung Karno_BAB XII_Penjara Sukamiskin


BAB XII
Penjara Sukamiskin



DELAPAN bulan lamanya aku berada dalam penahanan keras. Yang dapat kulihat hanya penjaga selku. Kalau tawanantawanan lain tidak ada lagi di pekarangan, aku baru dibawa keluar sarangku selama setengah jam pagi dan sekali lagi setengah jam diwaktu sore. Aku bahkan tidak diberi kesempatan untuk berbicara dengan Gatot. Belanda dengan sengaja memisahkan kami. Aku tidak pernah mendapat perlakuan yang kejam. Sesungguhnya aku selalu diperlakukan terlalu baik. Kalau tadinya pejabat pemerintah selalu mencatat segala gerakgerikku, maka sekarang petugas penjara selalu menjaga supaya aku tidak mengadakan protes terhadap segala sesuatu. Perlakuan yang berlebihlebihan demikian itu sama saja hebatnya dengan kekejaman, oleh karena yang terakhir ini masih memberi kesempatan untuk berhubungan dengan manusia. Karena mereka kuatir aku akan berhubungan dengan kawankawan senasib dan merusak cara mereka berpikir, aku dipekerjakan dekat Direktur penjara. Dengan demikian penjagaan terhadap diriku lebih diperkuat.
Aku dipekerjakan di pecetakan dimana aku membanting tulang memeras keringat dalam puluhan rim kertas untuk dijadikan buku catatan. Aku menyeret kertas itu
mengepaknya, memuat dan membongkar mesin penggaris dan potong yang besar dan penuh gemuk itu (semacam pelumas).
Mulai dari matahari terbit aku membuat garis di atas kertas. Sehari penuh, hari berganti hari, kerjaku tidak lain dari membuat garisgaris itu. Pekerjaan yang membosankan untuk orang seperti Sukarno. Seharihari hanya membuat garis. Di waktu jam makanpun dianggap terlalu berbahaya untuk mencampurkan "Sukarno orang berbahaya" dengan orang Indonesia lainnya. Aku dicampurkan dengan orang Belanda hukuman tingkat tinggi, seperti mereka yang dihukum karena penggelapan uang jabatan atau korupsi.
Satusatunya yang dapat kubicarakan dengan Belanda kelas tinggi ini adalah mengenai makanan atau keadaan cuaca. Para petugas tetap menjaga agar aku tidak membicarakan soalsoal politik. Di Sukamiskin aku membiasakan diri makan cepat. Bahkan sekarangpun, kalau aku mengadakan jamuan makan kenegaraan, aku sudah selesai makan sebelum setengah dari para tetamuku dilayani.
Coba pikir, kami semuanya ada kirakira 900 orang. Kamarmakan yang berukuran kecil itu hanya mempunjai 25
meja kayu, masingmasing memuat sepuluh orang. Kami makan secara bergiliran. Gong berbunyi, setiap orang masuk dengan membawa piring aluminium, tempat sayur alumimum, cangkir dan sendok. Enam menit kemudian kelompok ini berbaris menuju kran air di luar untuk mencuci alat makannya dan sementara itu rombongan 250 orang yang lain berbaris masuk. Enam menit kemudian rombongan yang
lain lagi. Tak ubahnya seperti membuat barang dalam pabrik saja secara berurutan.
Kami mandi menurut waktu. Aku diberi waktu enam menit untuk rnembersihkan seluruh badan, penuh dengan minyak dari kepala sampai ke kaki yang melekat di tangan, kaki dan pipi. Setiap enam menit giliran yang lain. Dan kami ada setengah lusin orang yang berebut air dibawah satu pancoran.
Banyak kebiasaankebiasaan siang dan malam dalam bui masih terbawabawa olehku dalam 35 tahun ini. Aku sudah terbiasa berbaring di atas tempat yang keras dan tipis, begitupun sekarang Sebagai Kepala Negara aku tidak tidur di atas alas sutera dan kasur empuk. Sesungguhnya aku sering turun dari tempat tidur yang enak dan menggeletak di atas lantai. Aku lebih enak tidur dengan cara begitu.
Setelah beberapa bulan dalam pengasingan ini, aku dibolehkan menerima kue dan telor dari luar. Makanan ini mulamula diperiksa dengan teliti oleh penjaga. Sungguhpun demikian, berita masih dapat lolos dengan pengiriman makanan ini, oleh karena sebelum masuk tahanan aku sudah mengatur tanda tanda, sehingga jikalau terjadi sesuatu yang tak dapat dihindarkan, maka orang yang paling dekat kepadaku masih dapat mengadakan hubungan. Dalam hal kabar buruk Inggit mengirimkan telor asin. Ini terjadi beberapa kali. Akan tetapi yang kuketahui hanyalah bahwa ada kabar buruk. Hanya itu. Dan ini pulalah yang membikinku seperti orang gila, karena tidak mengetahui bala apa yang telah menimpa.
Rupanya sudah menjadi sifat manusia untuk bertahan terhadap kesulitan. Inilah saatsaat yang menyiksa diriku. Isteriku diberi kelonggaran untuk berkunjung hanya dua kali dalam seminggu dan suratsuratku selalu diteliti. Jadi, saluran informasi yang paling banyak bagiku adalah bukubuku agama yang diperkenankan dibawa dari luar. Aku mengakali suatu cara dengan menggunakan lobanglobang jarum. Umpamakan Inggit mengirimiku Quran pada tanggal 24 April. Aku harus membuka Surah 4 halaman 24 dan dengan ujung jari aku meraba dengan teliti. Di bawah hurufhuruf tertentu terdapatlah bintik bekas lobang jarum.n Caranya seperti huruf braille. Dibawah huruf A terasa bintik kecil. Dibawah huruf N sebuah bintik lagi dan seterusnya. Dengan jalan demikian aku dapat mengetahui isi berita di harihari selanjutnya. Kalau isteriku membawakan telor biasa, aku meneliti kulitnya terlebih dulu sebelum memakannya. Satu tusukan peniti berarti "kabar baik". Dua tusukan "seorang kawan ditangkap". Tiga tusukan berarti "Penyergapan besarbesaran. Semua pemimpin ditangkap''.
Ibu dan bapakku tidak pernah datang. Mereka tidak akan sanggup memandangi si anak tersayangnya dikurung dalam kandang yang sempit, yang panjangnya hanya lima belas ubin dan lebar dua belas ubin itu. Mereka tidak akan sanggup melihat aku dikeluarkan seperti binatang yang digiring untuk dianginanginkan. Kakakku Sukarmini datang dua kali, ia bekerja dengan semangat yang bernyalanyala untuk P.N.I. Kami menggunakan gerakan tangan atau lainlain sebagai tanda pemberitaan. Kalau ia menarik telinganya, menyilangkan jarinya aku mengerdipkan mata, ataupun menggerakkan salah satu tangan yang kelihatannya kosong saja atau menggerakkan mukanya, semua ini membawa artinya sendirisendiri. Ia bisa banyak berbicara dengan jalan ini.
Ketika pertama kali melihatku ia surut memandangi wajahku. Selain dari berat badanku yang semakin berkurang, iapun kaget melihat kulitku. Dua kali ia datang, dua kali pula ia memberikan komentar yang sama. "Karno, kau sudah jadi hitam!"
"Memang," aku tersenyum lesu. "Aku sudah jauh lebih hitam dari biasa."
"Kenapa begitu?" ia berteriak. "Kau diapakan oleh mereka ?"
"Tidak diapaapakan, tapi aku yang mernbikin kulitku begini." jawabku. "Dua kali dalam sehari kami diberi kesempatan keluar sel selama beberapa menit. Ada yang menggunakan kesempatan ini untuk berjalan jalan atau gerak badan atau bermain seperti main bola. Ada lagi yang dudukduduk berteduh dibawah pohon."
"Kau bagaimana !" tanyanya.
"Aku berbaringbaring di tanah untuk meresapkan ke dalam tubuhku khasiat dari sinar matahari yang membakar.''
"Aku tak pernah melihatmu berjemur begitu.",,Memang selama ini tidak. Sebetulnya aku pusing karena terlalu banyak cahaya matahari. Tapi aku harus mengeringkan tubuhku. Sel itu sangat dingin, gelap dan lembab, jadi inilah satusatunya jalan untuk memanaskan tulangtulangku yang dalam sekali."
Kekejaman yang paling hebat yang dapat rnengganggu pikiran manusia adalah pengasingan. Sungguh hebat akibatnya! la dapat menggoncangkan dan membelokkan kehidupan orang. Aku menyaksikan kejadiankejadian yang memilukan hati. Aku menyaksikan kawan setahanan menjadi gila karena syahwatnya. Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat mereka melakukan "onani". Pemuasan nafsu terhadap diri sendiri. Aku mengetahui dan telah menyaksikan akibat yang menakutkan dari pada pengasingan terhadap lakilaki yang normal.
Di hadapanku lakilaki melakukan percintaan dengan lakilaki lain. Seorang Belanda yang cerdas dan potongan orang gedegede membantingtulang seperti budak dibagian benatu penjara. Aku sedang berada didekatnya ketika penjaga penjara menyampaikan kepadanya bahwa ia akan dipindahkan bekerja ke tempat yang lebih cocok dengan pembawaan mentalnya daripada pekerjaan membudak yang telah dilakukannya begitu lama.
"Kami akan dipindahkan tuan, besok," kata penjaga itu. "Mulai dari sekarang tuan tidak perlu lagi membungkuk di bak uap dan tangan tuan tidak akan mengelupas lagi dalam air yang mendidih. Karena kelakuan tuan yang baik, tuan diberi pekerjaan ringan di rumah obat."
Belanda itu menjadi takut. Mulutnya bergerak gugup. "O tidak. teriaknya sambil menggapai tangan penjaga itu. "Tidak .... tidak ... ach, tidak. Jangan aku dipindahkan kesana."
Penjaga yang keheranan itu menyangka orang tahanan itu salah dengar. "Tuan tidak mengerti," kata penjaga mengulangi. "Ini suatu keringanan. Keringanan untuk mengerjakan yang lebih mudah".
 "Jangan ... jangan," orang tahanan itu membela pendiriannya. "Percayalah padaku, aku tidak mau keuntungan ini. Kuminta dengan sangat, biarkanlah aku bekerja di bagian benatu. Biar bekerja keras."
"Kenapa ?" tanya penjaga tidak percaya.
"Karena," bisiknya, "Tempatnya tertutup di sini dan aku selalu dilingkungi orang sepanjang waktu. Disini aku bisa berhubungan rapat dengan orangorang di sekelilingku. Sedang di rumahobat aku tak mendapat kesempatan ini dan tidak akan bisa menggeser pada lakilaki lain. Jangan .... jangan pindahkan aku kesana”.
 Inilah akibat pengurungan terhadap manusia. Sungguh banyak persoalan homoseksuil diantara orang kulit putih. Seorang Belanda berambut keriting, dengan pundaknya yang lebar dan sama seperti lakilaki lain yang bisa dilihat dimanamana, telah dijatuhi hukuman empat tahun kerja berat. Kejahatannya, karena bermainmain dengan anakanak muda. Tapi walaupun dihukum berkalikali untuk menginsyafkannya, namun nampaknya ratusan anak lakilaki yang berada di sekelilingnya adalah satusatunya obat bagi penyakitnya, wallahu'alam. Hukumannya telah habis dan di pagi ia meninggalkan penjara, kukira dia bisa baik lagi. Sebulan kemudian dia menonton bioskop. Dia duduk di bangku depan dikelilingi oleh delapan atau sembilan anakanak muda. Orang kulit putih berambut pirang dan berbadan besar duduk di kelas kambing yang disediakan untuk orang Bumiputera tentu mudah diketahui orang. Terutama kalau perhatiannya tidak terpusat kepada film. Jadi, kembalilah ia mengayunkan langkah menuju bui.
 Penjara bukanlah obatnya. Ia kembali ke selnya yang lama sebelum keadaannya berubah. Jenis manusia yang begini berkumpul di suatu tempat di kota. Suatu hari terjadi ributribut di sebuah hotel dan polisi datang. Seorang pemuda kedapatan terbaring di lantai di salah satu kamar menangis dan menjerit. Ia dalam keadaan telanjang dan menjadi apa yang disebut pelacur. Langganannya adalah tiga
orang Belanda berbadan tegap dan kekar. Apakah yang menjadi sebab dari kegemparan ini? Anak pelacur itu kemudian menerangkan sambil tersedusedu, "Mulamula yang satu itu dari Korps Diplomatik ingin dengan saya, lalu kawannya. Sekarang yang ketiga mau dengan saya lagi. Saya capek. Saya katakan, saya tidak sanggup lagi dan apa tindakannya? Dia memukul saya!”.
Orang kulit putih itu dimasukkan ke sel dibawahku. Disini ia berusaha lagi menawarkan kegemarannya itu. Pada waktu tidak ada orang di sekelilingku, kutanyakan hal ini kepadanya. "Kenapa?" tanyaku. "Kenapa engkau mau bercinta denganku ?"
Dan ia menjawab, "Karena disini tidak ,ada perempuan."
Aku mengangguk, "Memang benar. Aku sendiri juga menginginkan kawan perempuan, tapi bagaimana bisa ..........
"Kemudian ia menambahkan, "Yah, apalah perempuan itu kalau dibandingkan dengan lelaki?"
"Ooooh," kataku terengah. "Kau sakit !"
Sudah tidak ragu lagi bahwa, kehidupan dalam kurungan menghancurkan, merobekrobek kehendak yang normal dari pada daging. Ya, bahkan Kitab Injil menyatakan, bahwa seorang Lakilaki akan melekat pada isterinya. Aku senang berada dalam usia yang masih muda dan berkembang dalam kehidupan ini; seorang yang kuat dan perasa ketika pintu besi menutup dibelakangku. Badanku ditawan. Tapi semangatku menjeritjerit didalam. Urat syarafku berteriakteriak oleh siksaan di kesunyian malam.
Keinginan biasa untuk memuaskan diri yang dimiliki oleh lakilaki atas karunia Tuhan Yang Maha Pemurah, tidak padampadamnya, hanya disebabkan oleh karena seorang hakim memukulkan palu dan berkata, "Perkara ditutup !" Setiap hari Natal orangorang dari Bala Keselamatan menyumbangkan makanan yang dibungkus untuk orang tahanan yang diserahkan oleh lelaki dan perempuan berpakaian sopan yang tidak akan membangkitkan berahi kami orang kurungan. Di minggu terakhir tahun 1930 seorang perempuan tua jelek kotor lagi gemuk yang berumur lebih dari 60 tahun terhuyunghuyung masuk selku menyampaikan kemurahan hatinya. Ia memberikan roti Natal. Aku sadar bahwa aku berada dalam keadaan parah, ketika wanita gemuk seperti babi itu kelihatan indah di ruang mataku.
 Selama satu saat dalam perjuangan batin, maka dalam pikiranku ia adalah wanita paling cantik yang pernah kujumpai. Aku dikurung dengan sungguhsungguh di Sukamiskin dengan perlakuan yang sama dengan pelanggar hukum berkebangsaan Belanda, supaya aku tidak "meracuni" udara masyarakat tahanan Indonesia. Sukamiskin adalah tempat bagi penjahatpenjahat besar dan terbagi dalam tiga kelas. Mereka yang terkena satu tahun penjara, termasuk Gatot, Maskun dan Supriadinata. Kemudian terdapat kelas untuk hukuman dari satu sampai sepuluh tahun dan kelompok yang terbesar menjalani hukuman lebih dari sepuluh tahun. Ada seorang pembunuh yang satu meja denganku, akan tetapi dia hanya dikenakan dua puluh tahun. Dan tidak dikenakan seumur hidup, karena yang dibunuhnya hanya seorang Indonesia.
Yang seorang lagi dihukum 15 tahun bersamasama dengan saudaranya karena perampokan bersenjata dan melakukan kekejaman di luar peri kemanusiaan. Nomor selku 233. Menaiki tangga besi di tingkat kedua disudut. Seluruh blok itu dikosongkan buatku.
Tetanggaku yang terdekat adalah seorang pembunuh yang merampas seorang wanita, kemudian membunuhnya dengan tiga orang anaknya. Kawanku yang paling rapat ialah seorang Indo, bapaknya Belanda totok dan ibunya seorang Indonesia dari Priangan. Setiap kali mendekatiku ia selalu mencoba memperlihatkan keramahannya. "Kawan" ini yang sangat sayang kepadaku, dihukum karena membunuh ayahnya yang selalu menyiksa ibunya. Di Sukamiskin nyawa manusia tidak ada harganya, karena ia bisa. melayang untuk memperoleh sebungkus rokok. Setiap orang berada dalam kekurangan dan memerlukan begitu banyak, sehingga orang dapat menyuruh memenggal musuhnya hanya dengan menyodorkan dua batang rokok dan membisikkan, "Kelihatan orang disana itu yang pakai tanda dikuduknya? Bunuh dia dan ini bagianmu."
Percakapan selanjutnya tidak perlu. Dengan jawaban "Baik" yang gembira orang itu lalu berjalanjalan mendekati sasarannya dan menanamkan pisau ke dalam perut orang yang dimaksud. Sukamiskin penuh dengan orang yang kehilangan semangat hidup sebagai tahanan. Ada seorang yang dikenakan 53 tahun penjara. Orang seperti dia ini tidak akan rugi apaapa kalau membunuh seorang kawan dalam kurungan. Terutama kalau dia bisa memperoleh barang mewah dengan cara itu. Begitulah lingkungan dimana putera sang fadjar berada.
Para pembelaku mencoba meminta, agar aku menjalani hukuman di luar dinding tembok itu seperti juga orang hukuman yang lain, akan tetapi permohonan ini ditolak. Hindia Belanda tidak keberatan member kesempatan kepada Jack si Tukang Bunuh untuk menjalani hukuman di luar, akan tetapi untuk Singa Podium hal ini terlalu berbahaya.
Ternyata bahwa masuk bui di suatu saat sama saja dengan yang lain. Otakku menderita kekurangan darah. Kepalaku lekas sekali penuh dan selalu lelah. Sekalipun mereka mencoba untuk menghancurkan otak kami sampai tak seorangpun yang mempunyai kemauan sendiri, namun aku tidak mau mentalku dirobekrobek oleh penjara. Bagaimanapun juga aku membikin harihariku sendiri.
Orang dapat melakukan hal ini kalau kuat mentalnya. Jikalau orang menggantungkan citacitanya setinggi bintang bintang di langit. Aku memaksakan diriku untuk menyadari bahwa citacita yang besar datangnya pada saatsaat yang sepi, lalu aku mencoba membuktikan kebenaran dari katakata mutiara, "Citacita yang besar dapat membelah dinding penjara." Ketika membangkitkan diri secara mental, aku tidak saja menjadi biasa dengan keadaanku, akan tetapi juga kupergunakan keadaan itu untuk menyusun rencana rencana di masa yang akan datang.
Aku bahkan dapat berkata, bahwa aku berkembang dalam penjara. Ketetapan hatiku semakin kuat. Ruang penjara adalah ruang sekolahku. Karena dilarang membaca bukubuku yang berbau politik, maka aku mulai mendalami Islam. Pada dasarnya bangsa kami adalah bangsa beragama. Kami adalah rakyat yang tahu akan kewajiban kami terhadap Tuhan. Ini dapat disaksikan di Bali, dimana seni dan tradisi sama sekali dipersembahkan kepada Yang Maha Kuasa. Kalau orang berjalanjalan di kampungkampung di Jawa Barat, akan terdengar rakyat menyanyijkan ayatayat AlQuranul karim di sore hari. Di Jawa Tengah berdiri sebuah monumen dari kehidupan kerohanian yang tinggi dari nenek moyang kami. Ia itu candi Prambanan sebagai lambang dari puncak peradaban Hindu. 50 kilometer dari situ menjulang candi Borobudur, candi Buddha yang terbesar di seluruh dunia. Orang menjumpai mesjid dan gereja di setiap kampung. Bangsa Indonesia semenjak lahirnya mengabdi kepada Tuhan. Tidak menjadi soal jalan kepercayaan mana yang di tempuh, kami mengakui bahwa hanya kekuasaan Divina Providensialah yang dapat melahirkan kami melalui abadabad penderitaan.
 Kami adalah bangsa yang hidup dari pertanian dan siapakah yang menumbuhkan segala sesuatu? Al Chalik, Yang Maha Pencipta. Kami terima ini sebagai kenyataan hidup. Jadi aku adalah orang yang takut kepada Tuhan dan cinta kepada Tuhan sejak dari lahir dan keyakinan ini telah bersemayam dengan diriku. Aku tak pernah mendapat didikan agama yang teratur karena bapak tidak mendalam di bidang itu. Aku menemukan sendiri agama Islam dalam usia 15 tahun, ketika aku menemani keluarga Tjokro mengikuti organisasi agama dan sosial bernama Muhammadiyah.
Gedung pertemuannya terletak di seberang rumah kami di Gang Peneleh. Sekali sebulan dari jam delapan sampai jauh tengah malam 100 orang berdesakdesak untuk mendengarkan pelajaran agama dan ini disusul dengan tanya jawab. Sungguhpun aku asyik mendengarkan, tapi belumlah aku menemukan Islam dengan betulbetul dan sungguhsungguh sampai aku masuk penjara. Di dalam penjaralah aku menjadi penganut yang sebenarnya.
Tak pernah orang meragukan adanya Yang Maha Esa kalau orang bertahuntahun lamanya terkurung dalam dunia yang gelap. Seseorang merasa begitu dekat kepada Tuhan pada waktu ia mengintip melalui lobang kecil dalam selnya dan melihat bintangbintang, kemudian merunduk disana selama berjamjam dalam kesunyian yang sepi memikirkan akan suatu yang tidak ada batasnya dan segala sesuatu yang ada.
Pengasingan yang sepi mengurung seseorang sama sekali dari dunia luar. Karena pengasingan yang sepi inilah aku semakin lama semakin percaya. Tengah malam kudapati diriku dengan sendirinya bersembahyang dengan tenang. Kepadamu kukatakan, saudarasaudaraku yang membaca buku ini — harapanku, sebagai usaha untuk dapat memahami Sukarno sedikit lebih baik — lima kali sehari aku sujud secara lahir dan batin dalam mengadakan hubungan dengan Maha Pencipta. Mungkinkah orang seperti itu jadi Komunis? Dimanapun aku berada di dunia ini aku sujud menghadap ke Ka'bah di saat datangnya waktu Subuh, Dhuhur, Asar, Magrib dan Isa—dan menyembahNya. Segala sesuatu kujawab dengan "Insja Allah" — kalau Tuhan menghendaki. Tanyalah, "Hei Sukarno, apakah engkau pergi ke Bogor minggu ini?" Aku akan menjawab, "Insya Allah. Kalau Tuhan mengizinkan, saya pergi."
Mungkinkah orang yang demikian dapat menjadi
seorang Komunis?. Aku sungguhsungguh mulai menelan Al Quran di tahun 28. Yaitu, bila aku terbangun aku membacanya. Lalu aku memahami Tuhan bukanlah suatu pribadi. Aku menyadari. Tuhan tiada hingganya, meliputi seluruh jagad. Maha Kuasa. Maha Ada. Tidak hanya disini atau disana, akan tetapi dimanamana. Ia hanya satu — Tuhan ada diatas puncak gunung, di angkasa, di balik awan, di atas bintangbintang yang kulihat setiap malam. Tuhan ada di Venus, dalam radius dari Saturnus. Ia tidak terbagibagi di matahari dan di bulan. Tidak. Ia berada dimanamana, di hadapanku, di belakangku, memimpinku, menjagaku.
 Ketika kenyataan ini hinggap dalam diriku, aku insyaf bahwa aku tidak perlu takuttakut lagi, karena Tuhan tidak lebih jauh daripada kesadaranku. Aku hanya perlu memanjat ke dalam hatiku untuk menemuiNya. Aku menyadari bahwa aku senantiasa dilindungNya untuk mengerjakan sesuatu yang baik. Dan bahwa Ia memimpin setiap langkahku menuju kemerdekaan.
Suatu malam, jauh di larut malam, sambil bersujud aku membisik kepadaNya, "Tuhan," aku berdo'a, "setiap manusia dapat menjadi seorang pemimpin asal saja dari keluarganya sendiri. Akan tetapi saya mengetahui bahwa Engkaulah Gembala yang sesungguhnya. Saya insyaf bahwa satusatunya suara kemanusiaan adalah Kata dari Tuhan. Mulai dari hari ini dan seterusnya saya telah bersiap memikul tanggung jawab dari segala apa yang saya kerjakan, tidak saja terhadap bangsa Indonesia, tapi sekarang juga terhadapMu."
Orang Belanda memandang kami, orang Islam, sama dengan penyembah berhala. Dalam bahasa Injil kami adalah "keturunan yang sesat dan hilang", kata mereka. Yah, penyembah berhala atau tidak, aku seorang Islam yang hingga sekarang telah memperoleh tiga buah medali yang tertinggi dari Vatikan. Bahkan Presiden dari Irlandiapun mengeluh padaku bahwa ia hanya memperoleh satu.
 Dalam penjaraku aku mempelajari semua agama untuk melihat apakah aku ini termasuk salah seorang yang "sesat dan hilang". Kalau ia lebih baik untukku, aku akan mengambilnya. Kupelajari agama Kristen pada Pendeta Van Lith. Aku terutama menaruh perhatian pada "Khotbah di atas Bukit". Inspirasi Yesus menyemangati orangorang syahid yang mulamula, karena itu mereka berjalan menuju kematiannya sambil menyanyikan Zabur pujian untukNya, karena mereka tahu "Kami meninggalkan Kerajaan ini, akan tetapi kami akan memasuki Kerajaan Tuhan".
Aku berpegang teguh pada itu. Aku membaca dan membaca kembali Injil. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak asing lagi bagiku. Aku seringkali mengulang mempelajarinya. Kemudian aku membaca Al Quran. Dan hanya setelah meneguk pikiranpikiran Nabi Muhammad s.a.w. aku tidak lagi mencaricari buku sosiologi untuk memperoleh jawaban atas bagaimana dan mengapa segalagalanya ini terjadi. Aku memperoleh seluruh jawabannya dalam ucapanucapan Nabi. Dan aku sangat puas. Untunglah aku telah menemukan Tuhan dan jadilah Ia kawan yang paling kusayangi dan kupercayai bilamana aku menderita pukulan yang hebat.
Suatu penjara tak ubahnya bagai sebuah jala ikan. Ia mempunyai lubanglubang. Melalui salah satu lubang datanglah berita? bahwa P.N.I.—anak yang dilahirkan dan aku sebagai bapaknya, kuasuh dan kubesarkan sehingga dewasa—telah terpecah menjadi dua dan persatuan terpecah belah. Aku tak sanggup mendengarnya. Untuk inilah kiranya aku dipenjarakan, untuk inilah kiranya aku harus mengalami penahanan yang keras. Aku sudah sanggup melalui siksaan batin, penghinaan dan pengasingan, karena aku senantiasa dapat melihat di ruang mataku tujuan yang suci. Tapi sekarang—keadaan ini melebihi kekuatanku. Aku melakukan sesuatu yang tidak biasa kulakukan dalam hidupku. Aku menangis.
Aku tidak menangis pada waktu ditangkap. Aku tidak mencucurkan air mata ketika aku dipenjarakan. Aku tidak patah hati ketika anak kunci berputar dan rnengurungku dari dunia bebas. Pun tidak barangkali kalau aku merasa tertekan dan menyesal terhadap diriku sendiri dalam liang kuburku. Akupun tidak meratap bila menerima kabar bahwa orang tuaku sakit. Akan tetapi ketika aku mendengar partaiku pecah dan kesempatan kecil bagi tanah airku semakin menipis, kukatakan padamu saudara, aku tak dapat menerimanya. Aku meratap seperti anak kecil. Namun tak sekalipun aku mempunyai pikiran untuk menyerah. Tidak pernah. Kekalahan tak pernah memasuki pikiranku. Aku hanya mendoa, "Insja Allah, saya akan mempersatukannya kembali." Sementara itu, "Indonesia Menggugat" telah tersebar ke seluruh pengadilan di Eropa dan banyak protes resmi datang dari ahliahli hukum.
Pengadilan Austria mengemukakan bahwa, karena tuduhan terhadapku tidak pernah dibuktikan, maka putusan hukuman terhadap Sukarno sangat tidak berperikemanusiaan. Para ahli hukum Belandapun mengeluarkan pendapatnya. Seorang professor hukum di Jakarta, karena kaget oleh kekerasan itu, mengeluarkan pendapatnya dalam sebuah majalah. Ia dipanggil setelah itu oleh Direktur Kehakiman yang marah kepadanya dan menegurnya karena telah berani menentang keputusan Agustus dari Sri Ratu di muka umum. Demikian banyak tekanan telah dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri, sehingga Gubernur Jendral merubah hukumanku menjadi dua tahun.
Sesaat sebelum aku dibebaskan, ada sebuah tulisan dengan judul "Saya Memulai Kehidupan Baru" yang menguraikan tentang diriku dan disebarkan secara luas. Di pagi hari tanggal 31 Desember 1931, pada waktu aku dalam pakaian preman untuk pertama kali selama dua tahun, Direktur Penjara mengiringkanku ke pintu keluar dan bertanya, "lr. Sukarno, dapatkah tuan menerima kebenaran dari katakata ini? Apakah tuan betulbetul akan memulai kehidupan baru?" Sambil memegang dengan tangan kananku tiang pintu menuju kemerdekaan, aku menjawab, "Seorang pemimpin tidak berubah karena hukuman. Saya masuk penjara untuk memperjuangkan kernerdekaan, dan saya meninggalkan penjara dengan pikiran yang sama."

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More