Indonesia

Indonesia is the beautiful country in the universe

Senin, 19 Desember 2011

Autobiografi Bung Karno_BAB XI_Pengadilan


BAB XI
Pengadilan


16 JUNI 1930, berita surat kabar tentang pidato Gubernur Jendral pada pembukaan sidang Dewan Rakyat memuat pengumuman bahwa "Sukarno akan dihadapkan di muka pengadilan dengan segera. "Tanggalnya sudah ditetapkan untuk pengadilan ini. Hanya tiga minggu sebelum aku bertemu dengan pembelapembelaku yang kupilih sendiri: Suyudi S.H., ketua P.N.I. cabang Jawa Tengah, yaitu tuan rumah dimana aku ditangkap; Sartono S.H., seorang rekan dari Algemeene Studieclub yang lama dan tinggal di Jakarta dan menjadi Wakil Ketua yang mengurus soal keuangan partai; Sastromuljono S.H., seorang kawan dan patriot yang tinggal di Bandung. Tidak dengan bayaran. Dan memang tidak ada uang untuk membayar. Para pembelaku bahkan menanggung pengeluaran mereka masingmasing.
Dalam pertemuanku yang pertama dengan Sartono aku mengatakan, "Terlintas dalam pikiran saya bahwa menjadi kewajibankulah untuk mempersiapkan pembelaanku sendiri."
"Bung maksud dari segi politik?"
"Ya, sedang tanggung jawab Bung mempersiapkan segi juridisnya."
Ia kelihatan memikirkan soal itu. "Saya tahu," ia mengerutkan dahi, "bahwa dalam kedudukan Bung sebagai Ketua Partai, bagian Propaganda Politik, tak seorangpun yang sanggup mempersiapkan pokokpokok persoalan seperti Bung. Akan tetapi menurut pendapat Bung, apakah prosedur ini lazim dalam pengadilan?"
Aku memandang dalam kemata kawanku yang kelihatan suram memikirkan soal ini. Ia kelihatan seperti memerlukan lebih banyak bantuan dari pada yang kuperlukan. Aku menempatkan sebelah tanganku ke atas bahunya untuk menyenangkan hatinya. "Sartono," kataku, "bukan maksud saya untuk membanggakan diri saya. Akan tetapi ketika saya masuk bui, begitulah yang kuputuskan. Kalau sudah nasib saya untuk menahankan siksaan, biarkanlah saya. Bukankah lebih baik Sukarno menderita untuk sementara daripada Indonesia menderita untuk selamalamanya?"
"Saya masih berpikir apakah ini jalan yang paling baik agar Bung bebas dari tuntutan hukum," katanya dengan sedih.
Ia tahu dan aku tahu, bahwa aku takkan bisa bebas. Kami diizinkan untuk bertemu antara empat mata di suatu ruangan tersendiri selama satu jam dalam seminggu. Tiada seorangpun yang mendengarkan kami, jadi akulah yang pertama harus mengajak untuk membicarakan apa yang terselip dalam pikiran kami berdua. "Bung tahu betul," aku mulai dengan lunak, "bahwa semuanya hanya akan berpurapura saja. Berita bahwa kepada saya sudah dijatuhkan hukuman, telah menetes dari kawankawan kita di Negeri Belanda. Sekalipun informasi yang demikian tidak dikirimkan kepada saya, tapi saya tahu bahwa pengaduan ke depan pengadilan ini hanya sandiwara saja. Bung pun tahu. Mereka harus menghukum kita. Terutama saya. Saya adalah biang keladinya."
"Ya," keluhnya, "Saya sudah membaca berita pers di surat kabar.",,Seperti misalnya kepala berita harian "Sukarno PASTI dihukum' dan 'Tidak mungkin membebaskan Sukarno dari tuntutan kata para pembesar.' Saya tahu. Sayapun membacanya." Sartono membuka kaca matanya, membersihkannya lalu memakainya kembali.
"Semenjak tanggal 29 Desember suasana hangat dari masyarakat di sini dan di Negeri Belanda tidak hentihentinya menghasut," aku menyatakan, "Kedua negeri ini menoleh padaku untuk buka suara. Aku tidak dapat menyerahkan hal ini kepada orang lain. Ya, memang ada Bung dan pehasehatpenasehat lainnya, akan tetapi saudarasaudara mempunyai segisegi hukumnya sendiri untuk diajukan. Tinggal dua minggu lagi ke depan pengadilan."
"Cepatcepat saja datang kemari, segera setelah mendengar kabar," ia minta maaf, "Akan tetapi polisi mempersulit persoalannya. Nampaknya untuk beberapa waktu seakanakan saya sendiri berada dalam bahaya penahanan."
Aku melihat kepadanya dengan mata berlinang karena terimakasih. "Sartono, saya menghargai segala usahamu. Namun, cara ahli hukum bekerja tidak menyimpang dari ketentuan hukum. Dia sangat terikat untuk menjalankan hukum. Suatu revolusi melemparkan hukum yang ada dan maju terus tanpa menghiraukan hukum itu. Jadi sukar untuk merencanakan suatu revolusi dengan ahli hukum. Kita memerlukan getaran perasaan kemanusiaan. Inilah yang akan saya kemukakan."
Aku menyediakan kertas dari rumah. Tinta dari rumah. Sebuah kamus dari perpustakaan penjara. Pekerjaan ini sungguh meremukkan tulangpunggung. Aku tidak punya meja untuk dapat bekerja dengan enak. Selain daripada tempat tidur, satusatunya perabot yang ada dalam selku adalah sebuah kaleng tempat buang air. Kaleng yang menguapkan bau tidak enak itu adalah perpaduan dari tempat buang air kecil dan tempat melepaskan hajat besar. Ia terbagi dua untuk masingmasing keperluan itu. Perkakas yang buruk ini tingginya sekira dua kaki dan lebar dua kaki. Setiap pagi aku harus menyeretnya dari bawah tempat tidur, kemudian menjinjingnya ke kakus dan membersihkan kaleng itu.
Malam demi malam dan tak henti hentinya selama sebulan setengah aku mengangkat kaleng itu ke atas tempat tidur. Aku duduk bersila dan rnenempatkannya dihadapanku. Ia kualas dengan beberapa lapis kertas sehingga tebal dan aku mulai menulis. Dengan cara begini aku bertekun menyusun pembelaanku yang kemudian menjadi sejarah politik Indonesia dengan nama "lndonesia Menggugat". Dalam buku ini aku mengungkapkan secara terperinci penderitaan yang menyedihkan dari rakyatku sebagai akibat penghisapan selama tiga setengah abad di bawah penjajahan Belanda. Thesis tentang kolonialisme ini, yang kemudian diterbitkan dalam selusin bahasa di beberapa negara dan yang diguratkan dengan kata yang bernyalanyala, adalah asil penulisan di atas kaleng tempat buang air yang berfungsi ganda itu. 18 Agustus 1930, setelah delapan bulan meringkuk dalam tahanan. perkara ini dihadapkan di muka pengadilan. Secara formil aku dituduh melanggar Pasal 169 dari Kitab Undangundang Hukum Pidana dan menyalahi pasal 161, 171 dan 153. Ini adalah 'de Haatzaai Artikelen' yaitu pasalpasal pencegah penyebaran rasa benci. Secara formil aku dituduh "mengambil bagian dalam suatu organisasi yang mempunyai tujuan menjalankan kejahatan di samping ... usaha menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda ....."
Gedung pengadilan yang terletak di Jalan Landraad penuh sesak oleh manusia. Udara di dalam terasa menyesakkan. Langitlangit papan yang berwarna suram bahkan menambah pekatnya kesuraman dari udara yang melemaskan dalam ruang pengadilan itu. Ketika aku memulai pidatoku tiada satupun terdengar suara lain. Tiada satupun yang bergerak. Tiada gemerisik. Hanya putaran lembut dari kipas angin di atas kepala terdengar merintih. Sambil berdiri di atas bangku pesakitan yang ditinggikan aku menghadap ke meja hijau hakim dan aku mulai berbicara. Aku berbicara berjamjam. Pokokpokok dakwaan terhadap Belanda kukemukakan menurut yang sesungguhnya. Setelah hampir mendekati akhir, ketenanganku yang biasa melebur menjadi pernyataan kekecewaan. Aku teringat kembali ketika terpaksa berhenti sebentar dan berusaha menguasai pikiranku. Kemudian aku mempersihkan kerongkonganku lalu mencetuskan perasaan.
"Pengadilan menuduh kami telah menjalankan kejahatan. Kenapa? Dengan apa kami menjalankan kejahatan, tuantuan Hakim yang terhormat? Dengan pedang? Dengan bedil? Dengan bom? Senjata kami adalah rencana, rencana untuk mempersamakan pemungutan pajak, sehingga rakyat Marhaen yang mempunyai penghasilan maksimum 60 rupiah setahun tidak dibebani pajak yang sama dengan orang kulit putih yang mempunyai penghasilan minimum 9.000 setahun”.
"Tujuan kami adalah exorbitante rechten, hakhak luar biasa dari Gubernur Jendral, yang singkatnya secara perikemanusian tidak lain daripada pengacauan yang dihalalkan. Satusatunya dinamit yang pernah kami tanamkan adalah suara jeritan penderitaan kami. Medan perjuangan kami tak lain dari pada gedunggedung pertemuan dan suratsurat kabar umum. Tidak pernah kami melanggar batasbatas yang ditentukan oleh undangundang. Tidak pernah kami mencoba membentuk pasukan serdaduserdadu rahasia, yang berusaha atas dasar nihilisme. Kami punya modus operandi ialah untuk menyusun dan menggerakkan kekuatan kami dalam caracara yang legal”.
"Ya, kami memang kaum revolusioner. Kata 'revolusioner' dalam pengertian kami berarti 'radikal', mau mengadakan perubahan dengan lekas. Istilah itu harus diartikan sebagai kebalikan kata 'sabar', kebalikan kata 'sedang'. Tuantuan Hakim yang terhormat, sedangkan seekor cacing kalau ia disakiti, dia akan menggeliat dan berbalikbalik. Begitupun kami. Tidak berbeda daripada itu, Kami mengetahui, bahwa kemerdekaan memerlukan waktu untuk mencapainya. Kami mengetahui bahwa kemerdekaan itu tidak akan tercapai dalam satu helaan nafas saja. Akan tetapi kami masih saja dituduh, dikatakan 'menyusun suatu komplotan untuk mengadakan revolusi berdarah dan terluka, agar kami dapat merebut kemerdekaan penuh ditahun 30'. Jikalau ini memang benar, penggeledahan massal yang tuantuan lakukan terhadap rumahrumah kami akan membuktikan satu tempat persembunyian senjatasenjata gelap. Tapi, tidak sebilah pisaupun yang dapat diketemukan”.
"Golok. Bom. Dinamit. Keterlaluan! Seperti tidak ada senjata yang lebih tajam lagi dari pada golok, bom dan dinamit itu. Semangat perjuangan rakyat yang berkobarkobar akan dapat menghancurkan manusia lebih cepat daripada ribuan armada perang yang dipersenjatai lengkap. Suatu negara dapat berdiri tanpa tank dan meriam. Akan tetapi suatu bangsa tidak mungkin bertahan tanpa kepercayaan. Ya, kepercayaan, dan itulah yang kami punyai. Itulah senjata rahasia kami".
“Baiklah, tentu orang akan bertanya, 'Akan tetapi sekalipun demikian, bukankah kemerdekaan yang engkau perjuangkan itu pada suatu saat akan direbut dengan pemberontakan bersenjata?' Tanya hakim.
 "Saya akan menjawab: "Tuantuan Hakim yang terhormat, dengan segala kejujuran hati kami tidak tahu bagaimana atau dengan apakah langkah terakhir itu akan dilakukan. Mungkin juga Negeri Belanda akhirnya mengerti, bahwa lebih baik mengakhiri kolonialisme secara damai. Mungkin juga kapitalisme Barat akan runtuh”. Jawabku.
"Mungkin juga, seperti sudah sering saya ucapkan, Jepang akan membantu kami. Imperialisme bercokol di tangan bangsa kulit kuning maupun di tangan bangsa kulit putih. Sudah jelas bagi kita akan kerakusan kerajaan Jepang dengan menaklukkan semenanjung Korea dan menjalankan pengawasan atas Manchuria dan pulaupulau di Lautan Pasifik. Pada suatu saat yang tidak lama lagi Asia akan berada dalam bahaya penyembelihan besarbesaran dari Jepang. Saya hanya mengatakan, bahwa ini adalah keyakinan saya jikalau ekor daripada naga raksasa itu sudah memukulmukul ke kiri dan ke kanan, maka Pemerintah Kolonial tidak akan sanggup menahannya".
Oleh karena itu, siapakah yang dapat menentukan terlebih dulu rencana kemerdekaan dari negeri kami, jikalau kita tidak tahu apa yang akan terjadi dalam masa yang akan datang. Yang saya ketahui, bahwa pemimpinpemimpin P.N.I. adalah pencinta perdamaian dan ketertiban. Kami berjuang dengan kejujuran seorang satria. Kami tidak menginginkan pertumpahan darah. Kami hanya menghendaki kesempatan untuk membangun harga diri dari pada rakyat kami.
"Saya menolak tuduhan mengadakan rencana rahasia untuk mengadakan suatu pemberontakan bersenjata. Sungguhpun begitu, jikalau sudah menjadi Kehendak Yang Maha Kuasa bahwa gerakan yang saya pimpin akan memperoleh kemajuan yang lebih pesat dengan penderitaan saya dari pada dengan kebebasan saya, maka saya menyerahkan diri dengan pengabdian yang setinggitingginya ke hadapan Ibu lndonesia dan mudahmudahan ia menerima nasib saya sebagai pengorbanan yang harum semerbak di atas pangkuan persadanya. Tuantuan Hakim yang terhormat, dengan hati yang berdebardebar saya, bersamasama dengan rakyat dari bangsa ini siap sedia mendengarkan putusan tuantuan Hakim!"
Ketika aku dibawa kembali ke rumah penjara, wakil penuh dari Pemerintah menunjukkan keramahannya dengan mengulurkan tangan kepadaku. Esok paginya sebuah surat kabar menulis tentang kejadian ini dengan judul "Meester ir. Kievet de Jonge kelihatan berjabatan tangan dengan pengacau kotor". Sesudah tiap sidang yang banyaknya 19 kali itu, maka ada seorang Belanda yang berani memuat tulisantulisan di surat kabarnya Het Indische Volk mengenai perlakuan yang sungguhsungguh tidak adil terhadapku.
Dengan semakin hangatnya tajuk rencana yang dibuatnya, maka kerut dahi rekanrekannya semakin dalam. Mr. J.E. Stokvis banyak kehilangan kawan karena persoalanku. Di malam akan dijatuhkan putusan pengadilan, enam orang kawan tanpa pemberitahuan terlebih dulu pergi ke rumah Dr. Sosrokartono, seorang ahli kebatinan yang sangat dihormati di Bandung. Kemudian diceritakan kepadaku, bahwa keenam orang itu ingin menenangkan pikirannya dan sungguhpun hari sudah lewat malam, mereka datang juga ke rumah ahli kebatinan itu, tanpa ada perjanjian terlebih dulu.
Sesampai di sana seorang pembantu membukakan pintu dan menyampaikan, "Pak Sosro sudah menunggununggu" dan mengiringkan mereka masuk, dimana telah tersedia dengan rapi enam buah korsi dalam setengah lingkaran. Kawankawanku itu tentu heran. Dengan tidak bertanya terlebih dulu akan maksud kedatangan mereka, ahli kebatinan itu hanya mengucapkan tiga buah kalimat: "Sukarno adalah seorang Satria. Pejuang seperti Satria boleh saja jatuh, akan tetapi ia akan bangkit kembali.
Waktunya tidak lama lagi."
Di hari berikutnya Gatot Mangkupraja, Maskun, Supriadinata dan Sukarno dijatuhi hukuman. Hukuman Sukarno yang paling berat. Aku dikenakan empat tahun kurungan dalam sel dengan ukuran satu setengah kali dua seperempat meter. Empat tahun lamanya aku tidak melihat matahari.
Pembelapembelaku naik banding ke Rand van Justitie, akan tetapi pengadilan tinggi ini tetap berpegang kepada keputusan hukuman. Tidak lama setelah itu kami dipindahkan ke dalam lingkungan dinding tembok yang tinggi dari penjara Sukamiskin.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More