BAB III
Mojokerto:
Kesedihan Di Masa Muda
MASA kanak‐kanakku tidak berbeda dengan David Copperfield. Aku dilahirkan di
tengah‐tengah kemiskinan dan dibesarkan dalam kemiskinan. Aku tidak
mempunyai sepatu. Aku mandi tidak dalam air yang keluar dari kran. Aku tidak
mengenal sendok dan garpu. Ketiadaan yang keterlaluan demikian ini dapat
menyebabkan hati kecil di dalam menjadi sedih. Dengan kakakku perempuan
Sukarmini, yang dua tahun lebih tua daripadaku, kami merupakan suatu keluarga
yang terdiri dari empat orang. Gaji bapak $ 25 sebulan. Dikurangi sewa rumah
kami di Jalan Pahlawan 88, neraca menjadi $ 15 dan dengan perbandingan kurs
pemerintah $ 3,60 untuk satu dolar dapatlah dikira‐kira betapa rendahnya tingkat penghidupan keluarga kami. Ketika aku
berumur enam tahun kami pindah ke Mojokerto. Kami tinggal di daerah yang
melarat dan keadaan tetangga‐tetangga
kami tidak berbeda dengan keadaan sekitar itu sendiri, akan tetapi mereka
selalu mempunyai sisa uang sedikit untuk membeli pepaya atau jajan lainnya.
Tapi aku tidak. Tidak pernah.
Lebaran adalah hari besar bagi umat Islam, hari penutup dari bulan puasa, pada
bulan mana para penganutnya menahan diri dari makan dan minum ataupun tidak
melewatkan sesuatu melalui mulut mulai dari terbitnya matahari sampai ia
terbenam lagi. Kegembiraan di hari Lebaran sama dengan hari Natal. Hari untuk
berpesta dan berfitrah. Akan tetapi kami tak pernah berpesta maupun
mengeluarkan fitrah. Karena kami tidak punya uang untuk itu. Di malam sebelum
Lebaran sudah menjadi kebiasaan bagi kanak‐kanak
untuk main petasan. Semua anak‐anak
melakukannya dan di waktu itupun mereka melakukannya. Semua, kecuali aku.
Di hari Lebaran lebih setengah abad
yang lalu aku berbaring seorang diri dalam kamar‐ tidurku yang kecil yang hanya cukup untuk satu tempat tidur.
Dengan hati yang gundah aku mengintip keluar arah ke langit melalui tiga buah
lubang udara yang kecil‐kecil
pada dinding bambu. Lubang udara itu besarnya kira‐kira sebesar batu bata. Aku merasa diriku sangat malang. Hatiku
serasa akan pecah. Di sekeliling terdengar bunyi petasan berletusan disela oleh
sorak‐sorai kawan‐kawanku
karena kegirangan. Betapa hancur luluh rasa hatiku yang kecil itu memikirkan,
mengapa semua kawan‐kawanku
dengan jalan bagaimanapun dapat membeli petasan yang harganya satu sen itu —
dan aku tidak!.
Alangkah dahsyatnya perasaan itu.
Mau mati aku rasanya. Satu‐satunya
jalan bagi seorang anak untuk mempertahankan diri ialah dengan melepaskan sedu‐sedan yang tak terkendalikan dan meratap diatas tempat tidurnya.
Aku teringat ketika aku menangis kepada ibu dan mengumpat, "Dari tahun ke
tahun aku selalu berharap‐harap,
tapi tak sekalipun aku bisa melepaskan mercon." Aku sungguh menyesali
diriku sendiri. Kemudian di malam harinya datang seorang tamu menemui bapak.
Dia memegang bungkusan kecil ditangannya. "Ini," katanya sambil mengulurkan
bingkisan itu kepadaku. Aku sangat gemetar karena terharu mendapat hadiah itu,
sehingga hampir tidak sanggup membukanya. Isinya petasan. Tak ada harta, lukisan ataupun istana di dunia ini yang dapat memberikan
kegembiraan kepadaku seperti pemberian itu. Dan kejadian ini tak dapat
kulupakan untuk selama‐lamanya.
Kami sangat melarat sehingga hampir tidak bisa makan satu kali dalam sehari.
Yang terbanyak kami makan ialah ubi kayu, jagung tumbuk dengan makanan lain.
Bahkan ibu tidak mampu membeli beras murah yang biasa dibeli oleh para petani.
Ia hanya bisa membeli padi. Setiap pagi ibu mengambil lesung dan menumbuk, menumbuk,
tak henti‐hentinya menumbuk butiran‐butiran berkulit itu sampai menjadi beras seperti yang dijual orang
di pasar. "Dengan melakukan ini aku menghemat uang satu sen," katanya
kepadaku pada suatu hari ketika sedang bekerja dalam teriknya panas matahari
sampai telapak tangannya merah dan melepuh. "Dan dengan uang satu sen kita
dapat membeli sayuran, nak." Semenjak hari itu dan seterusnya selama
beberapa tahun kemudian, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah aku menumbuk
padi untuk ibuku. Kemelaratan seperti yang kami derita menyebabkan orang menjadi
akrab.
Apabila tidak ada barang mainan atau
untuk dimakan, apabila nampaknya aku tidak punya apa‐apa di dunia ini selain daripada ibu, aku melekat kepadanya karena
ia adalah satu‐satunya sumber pelepas kepuasan
hatiku. Ia adalah ganti gula‐gula
yang tak dapat kumiliki dan ia adalah semua milikku yang ada di dunia ini. Yah,
ibu mempunyai hati yang begitu besar dan mulia. Dalam pada itu bapakku seorang
guru yang keras. Sekalipun sudah berjam‐jam,
ia masih tega menyuruhku belajar membaca dan menulis. "Hayo, Karno, hafal
ini luar kepala. Ha—Na—Ca—Ra— Ka Hayo, Karno, hafal ini; A‐B‐C‐D‐E" dan terusmenerus sampai kepalaku yang malang ini merasa
sakit. Lagi‐lagi kemudian, "Hayo Karno,
ulangi abjad Hayo, Karno, baca ini Karno, tulis itu" Tapi ayahku mempunyai
keyakinan, bahwa anaknya yang lahir di saat fajar menyingsing itu kelak akan
menjadi orang. Kalau aku berbuat nakal —ini jarang terjadi— dia menghukumku
dengan kasar. Seperti di pagi itu aku memanjat pohon jambu di pekarangan rumah
kami dan aku menjatuhkan sarang burung. Ayah menjadi pucat karena marah.
"Kalau tidak salah aku sudah mengatakan padamu supaya menyayangi
binatang," ia menghardik. Aku bergoncang ketakutan. "Ya, Pak."
"Engkau dapat menerangkan arti kata‐kata:
'Tat Twan Asi, Tat Twam Asi' ?", "Artinya 'Dia adalah Aku dan Aku
adalah dia; engkau adalah Aku dan Aku adalah engkau.' "Dan apakah tidak
kuajarkan kepadamu bahwa ini mempunyai arti yang penting?" Ya, Pak.
Maksudnya, Tuhan berada dalam kita semua," kataku dengan patuh. Dia
memandang marah kepada pesakitannya yang masih berumur tujuh tahun.
"Bukankah engkau sudah
ditunjuki untuk melindungi makhluk Tuhan?", "Ya,
Pak.","Engkau dapat mengatakan apa burung dan telor itu
?","Ciptaan Tuhan," jawabku dengan gemetar, "tapi dia jatuh
karena tidak disengaja. Tidak saja sengaja. "Sekalipun dengan permintaan
ma'af demikian, bapak memukul pantatku dengan rotan. Aku seorang yang baik
laku, akan tetapi bapak menghendaki disiplin yang keras dan cepat marah kalau
aturannya tidak dituruti. Aku segera mencari permainan yang tidak usah mengeluarkan
uang untuk memperolehnya. Dekat rumah kami tumbuh sebatang pohon dengan daunnya
yang lebar. Daun itu ujungnya kecil, lalu mengernbang lebar di pangkalnya dan
tangkainya panjang seperti dayung. Adalah suatu hari yang gembira bagi anak‐anak, kalau setangkai daun gugur, karena ini berarti bahwa kami
mempunyai permainan. Seorang lalu duduk di bagian daun yang lebar, sedang yang lain
menariknya pada tangkai yang panjang itu dan permainan ini tak ubahnya seperti
eretan. Kadang kadang aku menjadi kudanya, tapi biasanya menjadi kusir. Watakku
mulai berbentuk sekalipun sebagai kanak‐kanak.
Aku menjadikan sungai sebagai
kawanku, karena ia menjadi tempat dimana anak‐anak yang tidak punya dapat bermain dengan cuma‐cuma. Dan ia pun menjadi sumber makanan. Aku senantiasa berusaha
keras untuk menggembirakan hati ibu dengan beberapa ekor ikan kecil untuk
dimasak. Alasan yang tidak mementingkan diri sendiri demikian itu pada suatu
kali menyebabkan aku kena ganjaran cambuk. Hari sudah mulai senja. Ketika
bapakku melihat bahwa hari mulai gelap dan bocah Sukarno tidak ada dirumah, dia
menuntut ibu dengan keras: "Kenapa dia bersenang‐senang tak keruan begitu lama? Apa dia tidak punya pikiran terhadap
ibunya? Apa dia tidak tahu bahwa ibunya akan susah kalau terjadi kecelakaan?","Negeri
begini kecil, Pak, tidak mungkin kita tidak mengetahui kalau terjadi
ketjelakaan," ibu menerangkan. Sekalipun demikian, bapak yang agak keras
kepala marah dan ketika aku sejam kemudian melonjak‐lonjak gembira pulang dengan membawa ikan kakap untuk ibu, bapak menangkapku,
merampas ikan dan semua yang ada padaku, lalu aku dirotan sejadi‐jadinya. Tetapi ibu selalu mengimbangi tindakan disiplin itu dengan
kebaikan hatinya. Oh, aku sangat mencintai ibu. Aku berlari berlindung ke
pangkuan ibu dan dia membujukku. Sekalipun rumput‐rumput kemelaratan mencekik kami, namun bunga‐bunga cinta tetap mengelilingiku selalu. Aku segera menyadari bahwa
kasih sayang menghapus segala yang buruk. Keinginan akan cinta kasih telah
menjadi suatu kekuatan pendorong dalam hidupku.
Disamping ibu ada Sarinah, gadis
pembantu kami yang membesarkanku. Bagi kami pembantu rumah tangga bukanlah
pelayan menurut pengertian orang barat. Di kepulauan kami, kami hidup
berdasarkan azas gotong royong. Kerjasama. Tolong menolong, Gotong royong sudah
mendarah daging dalam jiwa kami bangsa lndonesia. Dalam masyarakat yang asli
kami tidak mengenal kerja dengan upah. Manakala harus dilakukan pekerjaan yang
berat, setiap orang turut membantu engkau perlu mendirikan rumah? Baik, akan
kubawakan batu tembok; kawanku membawa semen. Kami berdua membantumu
mendirikannya. ltulah gotong royong.
Setiap orang turun tangan. Ada tamu
di rumahmu akhir‐akhir
ini? Baik, jangan kuatir, akan kuantarkan kue ke rumahmu secara diam‐diam melalui jalan belakang. Atau beras. Atau nasi goreng. ltulah
gotong royong. Bantu‐membantu.
Sarinah adalah bagian dari rumah tangga kami. Tidak kawin. Bagi kami dia
seorang anggota keluarga kami.
Dia tidur dengan kami, tinggal
dengan kami, memakan apa yang kami makan, akan tetapi ia tidak mendapat gaji
sepeserpun. Dialah yang mengajarku untuk mengenal cinta‐kasih. Aku tidak menyinggung pengertian jasmaniahnya bila aku
menyebut itu. Sarinah mengajarku untuk mencintai rakyat. Massa rakyat, rakyat
jelata. Selagi ia memasak di gubuk kecil dekat rumah, aku duduk disampingnya
dan kemudian ia berpidato, "Karno, yang terutama engkau harus mencintai
ibumu. Akan tetapi kemudian engkau harus mencintai pula rakjat jelata. Engkau
harus mencintai manusia umumnya." Sarinah adalah nama yang biasa. Akan
tetapi Sarinah yang ini bukanlah wanita yang biasa. Ia adalah satu kekuasaan
yang paling besar dalam hidupku. Di masa mudaku aku tidur dengan dia. Maksudku
bukan sebagai suami‐isteri.
Kami berdua tidur di tempat tidur yang kecil. Ketika aku sudah mulai besar,
Sarinah sudah tidak ada lagi. Aku mengisi kekosongan ini dengan tidur bersama‐sama kakakku Sukarmini di tempat tidur itu juga. Kemudian aku tidur
dengan Kiar, suatu campuran dari fox terrier dengan anjing jenis
Indenesia. Aku tidak tahu pasti, akan tetapi dia bukan jenis yang murni. Orang
lslam agaknya tidak menyukai anjing, akan tetapi aku mengaguminya. Dengan
caranya sendiri bapakku mencurahkan kasih sayangnya kepadaku. Ketika aku
berumur sebelas tahun aku diserang penjakit tipus. Dua setengah bulan lamanya
aku berada diambang pintu kematian. Aku hanya bersandar pada kekuatan bapak
yang mendorongku untuk hidup. Selama dua setengah bulan penuh bapak tidur di
bawah tempat tidur bambuku. Ia berbaring di atas lantai semen yang lembab,
dialas dengan tikar pandan yang tipis dan lusuh, tepat di bawah bilah‐bilah tempat tidurku. Sepanjang hari dan sepanjang malam selama dua
setengah bulan bapak berbaring di bawahku. Bukan karena ia tidak dapat
memperoleh tempat barang setumpak untuk menyelip dalam kamarku yang sempit itu.
Tidak. Ini dilakukannya karena
kepercayaan mistik bapak. Ia hendak mendoa terus, memohon siang malam agar aku
diselamatkan dan memohon agar aku mendapat kekuatan‐kekuatan dari Yang Maha Kuasa. Akan tetapi supaya kekuatan
mistiknya dapat memberikan manfa'at secara penuh, yang dicurahkannya langsung
dari badannya ke seluruh tubuhku, maka ia harus berbaring di bawahku. Tempat ayah
berbaring itu hanya beberapa kaki, gelap, lembab dengan udaranya yang tidak
enak dan menyesakkan, siang dan malam sama saja dan disanalah ia selama itu
menelentang hingga aku sehat sama sekali. Sewa rumah kami sangat murah, karena
letaknya kerendahan, dekat sebuah kali. Kalau musim hujan kali itu meluap,
membanjiri rumah dan menggenangi pekarangan kami. Dan dari bulan Desember
sampai April kami selalu basah. Air menggenang yang mengandung sampah dan
lumpur inilah yang menjangkitkan penyakit tipesku. Setelah aku sehat kembali
kami pindah ke jalan Residen Pamudji. Rumah ini tidak lebih baik keadaannya,
akan tetapi setidak‐tidaknya
ia kering. Kamar‐kamarnya
melalui ruangan gelap yang panjang. Yang paling kecil adalah kamarku, yang
mempunyai jendela atap sebagai ganti lobang udara. Untuk memperoleh uang
tambahan beberapa sen kami menerima orang bayar makan; tiga orang guru bantu
dari sekolah bapak dan dua orang kemenakan seumurku.
Nama kelahiranku adalah Kusno. Aku
memulai hidup ini sebagai anak yang penyakitan. Aku mendapat malaria,
disenteri, semua penyakit dan setiap penyakit. Bapak menerangkan, "Namanya
tidak cocok. Kita harus memberinya nama lain supaya tidak sakit‐sakit lagi. "Bapak adalah seorang yang sangat gandrung pada
Mahabharata, cerita klasik orang Hindu jaman dahulu kala. Aku belum mencapai
masa pemuda ketika bapak menyampaikan kepadaku, "Kus, engkau akan kami
beri nama Karna. Karna adalah salah seorang pahlawan terbesar dalam cerita
Mahabharata.", "Kalau begitu tentu Karna seorang yang sangat kuat dan
sangat besar," aku berteriak kegirangan.,"Oh, ya, nak," jawab
bapak setuju. ,"Juga setia pada kawan‐kawannya
dan keyakinannya, dengan tidak mempedulikan akibatnya. Tersohor karena
keberanian dan kesaktiannya. Karna adalah pejuang bagi negaranya dan seorang
patriot yang saleh." Bukankah Karna berarti juga 'telinga?" aku
bertanya agak kebingungan,"Ya, pahlawan perang ini diberi nama itu disebabkan
kelahirannya. Dahulu kala, sebagaimana dikisahkan oleh Mahabharata, ada seorang
puteri yang cantik. Pada suatu hari, selagi bermain‐main dalam taman, puteri Kunti terlihat oleh Surya, Dewa Matahari.
Batara Surya hendak bercinta‐cintaan
dengan puteri itu, oleh sebab itu dia memeluk dan membujuknya dengan keberanian
dan cahaya panasnya.
Dengan kekuatan sinar cintanya,
puteri itupun mengandung sekalipun masih perawan. Sudah tentu perbuatan Dewa
Matahari terhadap perawan yang masih suci itu diluar perikemanusiaan dan menimbulkan
persoalan besar baginya. Bagaimana caranya mengeluarkan bayi tanpa merusak
tanda keperawanan puteri itu. Dia tidak berani memetik gadis itu dengan
memberikan kelahiran secara biasa. Apa akal ......... Apa akal Ah, persoalan
yang sangat besar bagi Batara Surya. Akhirnya dapat dipecahkannya, dengan
melahirkan bayi itu melalui telinga sang puteri. Jadi, karena itulah pahlawan Mahabharata
itu dinamai Karna atau 'telinga'." Sambil memegang bahuku dengan kuat
bapak memandang jauh kedalam mataku. "Aku selalu berdo'a," dia
menyatakan, "agar engkaupun menjadi seorang patriot dan pahlawan besar
dari rakyatnya. Semoga engkau menjadi Karna yang kedua." Nama Karna dan
Karno sama saja. Dalam bahasa Jawa huruf "A" mendjadi "O".
Awalan "Su" pada kebanyakan nama kami berarti baik, paling baik.
Jadi Sukarno
berarti pahlawan yang paling baik. Karena itulah maka Sukarno menjadi namaku
yang sebenarnya dan satu‐satunya.
Sekali ada seorang wartawan goblok yang menulis, bahwa nama awalku adalah
Ahmad. Sungguh menggelikan. Namaku hanya Sukarno saja. Memang dalam masyarakat
kami tidak luar biasa untuk memakai satu nama saja. Waktu di sekolah tanda
tanganku dieja Soekarno — menurut ejaan Belanda. Setelah Indonesia merdeka aku
memerintahkan supaya segala ejaan "OE" kembali ke "U".
Edjaan dari perkataan Soekarno sekarang menjadi Sukarno. Akan tetapi, tidak
mudah untuk merubah tanda tangan setelah berumur 50 tahun jadi kalau aku
sendiri menulis tanda tanganku, aku masih menulis S‐O‐E. Memang aku penyakitan di waktu
kecil. Dan sekalipun umpamanya tidak ada penyakit yang diderita oleh bayi Kusno‐Karno, beban untuk memberi makan dua orang anak masih terlalu berat
bagi bapak. Seringkali kami harus bergantung kepada kebaikan dan keramahan dari
tetangga kami. Keluarga Munandar menempati rumah yang serangkai dengan kami.
Menurut cara Jawa yang sebenarnya, kalau kami tidak punya beras, kami makan
punya mereka. Kalau kami tidak ada pakaian, kami pakai mereka punya. Sewaktu
aku berumur sekitar empat, lima tahun nenekku dari pihak bapak hendak membawaku
ke tempatnya.
"Berikanlah anak itu kepadaku
untuk sementara," katanya. "Aku akan menjaganya." Dan begitulah
aku tinggal di Tulungagung yang letaknya tidak jauh dari Mojokerto. Nenekku
tidak kaya. Siapa diantara kami yang kaya di waktu itu? Tapi memang ada juga
yang sedikit berada. Nenek berdagang batik, jadi setidak tidaknya dia sanggup
memberiku makan. Kakek dan nenek kedua‐duanya
mengatakan bahwa aku mempunyai kekuatan‐kekuatan
gaib. Bilamana ada orang sakit di kampung itu atau mendapat luka yang terasa
sakit, nenek selalu memanggilku dan dengan lidah aku menjilat bagian dimana
terasa sakit. Anehnya, si sakit menjadi sembuh. Nenekpun menduga bahwa aku
dapat melihat apa‐apa
yang gaib, akan tetapi lintasan‐lintasan
penglihatan qalb (hati) itu menghilang ketika aku mulai menemukan kekuatan
pidatoku terhadap rakyat. Nampaknya, apa yang disebut kekuatan ini kemudian
tersalur ke arah lain, Pendeknya, sesudah berumur 17 tahun aku tak pernah lagi
memperoleh penglihatan secara ilmu kebatinan. Watakku tidak berubah sedikitpun
selama hampir enam dasawarsa. Dalam umur tujuh tahun aku sudah menjadi seorang
pemuja seni. Aku memuja Mary Pickford, Tom Mix, Eddie Polo, Fatty Arbuckle,
Beverly Bayne dan Francis X. Bushman. Setiap bungkus rokok Westminster keluaran
Inggris berisi gambar dari seorang bintang sebagai hadiah. Aku mengumpulkan
bungkus‐bungkus rokok yang sudah terbuang dan menempelkan pahlawan‐pahlawan yang kupuja itu di dinding. Aku menjaga kumpulan ini
dengan nyawaku. Ini adalah harta milikku sendiri yang pertama.
Pada waktu berumur 10 tahun jagoan
Karno sudah ternyata mempunyai kemauan yang keras. Dengan kekuatan pribadiku
aku menjadi tokoh yang berkuasa setiap kali berkumpul. Bahkan keluargaku
sendiri berkumpul mengelilingiku dan aku menjadi pusat perhatian. Pada hari
ulang tahunku yang ke‐duabelas,
aku sudah mempunyai pasukan. Dan aku memimpin pasukan ini. Kalau Karno bermain
jangirik dalam debu di lapangan Mojokerto, yang lain‐lain pun turut main. Kalau Karno mengumpulkan perangko, mereka juga
mengumpulkan. Mereka menamakanku seorang "jago" Aku mempunyai sebuah
sumpitan yang kuperoleh dari seorang kawan. Kami menempatkan bambu yang panjang
dan berlobang kecil ini ke mulut dan menembakkan kacang ke arah sasaran.
Tentunya si Karno menjadi jago penyumpit. Kalau kami memanjat pohon, aku
memanjat lebih tinggi dari yang lain. Dan akupun jatuh paling keras pula
daripada anak‐anak lain. Akupun lebih sering
melukai kepalaku dari yang lain.
Tapi setidak‐tidaknya tak ada orang yang dapat mengatakan, bahwa aku tidak
mencobanya. Nasibku adalah untuk menaklukkan, bukan untuk ditaklukkan,
sekalipun pada waktu kecilku. Dalam permainan adu gasing ada sebuah gasing
kepunyaan kawan yang berputar lebih cepat daripada kepunyaanku. Kupecahkan
situasi itu dengan berpikir cepat ala Sukarno kulemparkan gasing itu ke dalam
kali. Bagaimanapun juga, ada permainan dimana seorang anak bangsa Indonesia
dari jamanku tidak dapat menunjukkan keahliannya. Misalnya, Perkumpulan
Sepakbola. Aku bukan hanya tidak bisa menjadi ketuanya, bahkan aku tidak dapat
lama menjadi anggotanya. Anggota yang lain adalah anak‐anak Belanda yang terus terang tidak senang padaku. Anak Belanda
tidak pernah bermain dengan anak Bumiputera. Ini tidak bisa. Mereka orang Barat
yang putih seperti salju, yang asli, yang baik dan mereka memandang rendah
kepadaku karena aku anak Bumiputera atau "inlander". Bagiku
Perkumpulan Sepakbola itu merupakan pengalaman pahit yang membikin hati luka
didalam. Anak‐anak yang berambut jagung menjaga
kedua sisi dari pintu masuk sambil berteriak, "Hei... kauuuu Bruine Hei,
anak kulit coklat goblok yang malang ... Bumiputera ..... inlander ..... anak
kampung Hei, kamu lupa memakai sepatu...." Sedangkan bayi‐bayi pirang sudah tahu meludah kepada kami. Begitu mereka keluar
dari kain bedung orok, inilah pengajaran pertama yang diajarkan
orangtuanya kepada mereka. Di pagi hari aku bergembira, karena aku bersekolah
di sekolah Bumiputera, dimana kami semua sama.
Kami semua tigapuluh orang murid di
Inlandsche School kelas dua. Bapakku menjadi Mantri Guru yang berarti kepala
sekolah. Orang Bumiputera dilarang memakai pangkat Kepala Sekolah. Di waktu itu
belum ada bahasa Indonesia persatuan. Sampai kelas tiga setiap murid berbicara
dalam bahasa Jawa sebagai bahasa daerah. Dari kelas tiga sampai kelas lima guru
memakai bahasa Melayu, bahasa Melayu asli yang telah tersebar ke seluruh bagian
dari Hindia Belanda dan akhirnya menjadi dasar bagi bahasa nasional kami,
bahasa Indonesia. Dua kali seminggu kami diajar bahasa Belanda. Ketika aku naik
ke kelas lima, bapak menerangkan maksudnya. "Cita‐citaku hendak mengirim kau ke sekolah tinggi Belanda, "
katanya. "Karena itu, usaha kita yang pertama ialah memasukkan engkau ke
sekolah rendah Belanda. "Karena teringat kembali akan pengalamanku di
Perkumpulan Sepakbola aku bertanya, "Apakah saya tidak dapat meneruskan
sekolah Bumiputera?","Pendidikan Bumiputera hanya sampai kelas lima.
Tidak ada lanjutannya buat kita.
Kita tidak boleh masuk Sekolah Menengah Belanda kalau tidak keluaran Sekolah
Rendah Belanda dan tanpa ijazah ini orang tidak bisa masuk Sekolah Tinggi
Belanda.","Apakah saya bisa masuk kesana berdasarkan
kepandaian?" aku bertanya dengan perasaan kuatir. "Kau masuk dengan
hak istimewa. Pegawai Gubernemen dan orang kelahiran bangsawan diberi
kesempatan untuk menikmati pendidikan Belanda. Yang lain tidak. "Mengingat
keadaan kami aku bertanya, "Apakah Cuma cuma?"," Mana bisa. Kita
mesti membayar uang sekolah." ,"Belanda juga?","Tidak,
mereka bebas. Akan tetapi dalam penjajahan tak seorangpun dapat mencapai suatu
kedudukan tanpa pendidikan Belanda. Kita harus maju. Aku akan menemui Kepala
Sekolah Rendah Belanda untuk mengajukan permohonan.". Gedung itu bagus
terbuat dari kayu, bukan bambu seperti sekolah kami dan dinding luarnya
berwarna biru muda. Di situ terdapat tujuh kelas. Berlainan dengan meja kami di
Sekolah Bumiputera, maka bangku bangku disini mempunyai tempat tinta dan laci
untuk buku.
Setelah aku menempuh ujian, Kepala
Sekolah memberitahukan kepada bapak, "Anak tuan sangat pintar, akan tetapi
bahasa Belandanya belum cukup baik untuk kelas enam Europeesche Lagere School.
Kami terpaksa mendudukkannya satu kelas lebih rendah. "Ketika kami pergi
kami merasa sangat tertekan. Bapak mengeluh. "Ini suatu pukulan yang hebat
bagi kita. Tapi walaupun bagaimana, tidak ada jalan lain lagi." "Umur
saya sudah empatbelas," aku memprotes. "Terlalu tua untuk kelas lima.
Tentu orang mengira saya tinggal kelas karena bodoh. Saya tentu diberi
malu." "Baiklah," bapak memutuskan disaat itu juga, "Kalau
perlu kita membohong. Akan kita kurangi umurmu satu tahun. Kalau sudah mulai
tahun pelajaran baru engkau didaftarkan dengan umur tiga belas. "Masih ada
satu persoalan mengenai bahasa Belandaku. Sekalipun kami orang yang tidak
mampu, bapak mengambil seorang guru yang mengajar bahasa Belanda di Europeesche
Lagere School ini untuk memberikan pelajaran khusus kepadaku sejam setiap hari.
Aku ingat betul namanya. Juffrouw M.P. De La Riviere. M.P. kependekan dari
Maria Paulina. Katakanlah, bahwa ia orang yang paling tidak menarik di dunia
ini dibandingkan dengan perempuan lain dan karena itu ia tetap melekat dalam
pikiranku. Cara yang paling baik untuk menerangkan arti daripada pendidikan barat
— dan bagaimana bapak telah bersusah payah mengorbankan uang, prinsip dan
segala sesuatu untuk itu — ialah dengan menghubungkannya dengan kisah
percintaanku yang pertamakali. Aku berumur empatbelas tahun dan tidak ragu lagi
hatiku yang muda ini telah tertambat pada Rika Meelhuysen, seorang gadis
Belanda. Rika adalah gadis pertama yang kucium. Dan harus kuakui, bahwa aku
sangat gugup waktu itu. Sejak itu aku lebih ahli dalam hal itu. Tapi, aduh, aku
mencintai gadis itu mati‐matian
dan kuikuti turun naiknya gelombang irama dari seluruh kehidupan anak sekolah.
Aku membawakan buku‐bukunya,
aku dengan sengaja berjalan melalui rumahnya, karena mengharapkan sekilas
pandang dari dia. Dan nampaknya aku selalu secara kebetulan berada dimana dia
ada. Cintaku ini kusimpan dalam kalbuku sendiri. Aku takut mengucapkan sepatah
kata, karena takut ketahuan oleh orangtuaku. Aku yakin, bahwa bapak akan sangat
marah kepadaku kalau sekiranya ia mendengarku bergaul dengan anak gadis kulit
putih. Sungguhpun aku sangat ingin menyampaikan sesuatu tentang hal itu
kepadanya, ketakutan terhadap kemarahannya menyebabkan kata‐kataku membeku di kerongkongan. Karena itu, keinginan yang menyala‐nyala ini hanya kupercayakan kepada diriku yang sedang dimabuk
kepayang.
Pada suatu sore aku berjalan‐jalan naik sepeda dengan Rika Meelbuysen dan ketika membelok di
ujung jalan gang kami tepat menubruk bapak. Aku mulai menggigil karena takut.
Dia bersikap hormat, tapi aku sangat kuatir akan apa yang akan menyusul nanti
kalau aku sudah sampai di rumah. Inilah aku, putera bapak satu‐satunya, yang bercinta‐cintaan
dengan orang Belanda yang dibenci. Sejam kemudian aku menyusup masuk rumah
dalam keadaan masih tergoncang. Bapak segera mendekatiku dan berkata, "Nak,
jangan kau takut tentang perasaanku terhadap teman perempuanmu itu. Itu baik
sekali. Pendeknya, hanya dengan jalan itu engkau dapat memperbaiki bahasa
Belandarnu!" Ketika datang waktunya untuk masuk sekolah menengah, bapak
sudah tahu apa yang harus dikerjakannya. Ia menggunakan pengaruh kawan‐kawannya untuk memasukkanku ke sekolah menengah yang tertinggi di Jawa
Timur, yaitu Hogere Burger School di Surabaya. "Nak," katanya, "
Maksud ini sudah ada dalam pikiranku semenjak kau dilahirkan ke dunia."
Semua telah diaturnya dan aku akan tinggal dirumah H.O.S. Tjokroaminoto, ialah
orang yang kemudian merubah seluruh kehidupanku. "Tjokro," ia
menerangkan padaku, "Adalah kawanku di Surabaya sejak sebelum kau ada. "O,"
kataku gembira, "Saya kira dia keluarga kita." "Tidak,"
jawab bapak., "Oo, barangkali mungkin keluarga yang sangat jauh, tapi
tidak serapat seorang kemenakan atau paman." Kemudian bapak memandang
kepadaku sesaat. "Kau tahu siapa Tjokro?", "Saya hanya tahu, dia
berkeliling untuk mempropagandakan keyakinan politiknya. Saya ingat dia datang
ke kampung kita untuk mengadakan pidato dan menginap, bapak dengan dia
mengobrol sampai waktu subuh." "Tjokro adalah pemimpin politik dari
orang Jawa.
Sungguhpun engkau akan mendapat
pendidikan Belanda, aku tidak ingin darah dagingku menjadi kebarat‐baratan. Karena itu kau kukirim kepada Tjokro, orang yang dijuluki
oleh Belanda sebagai 'Radja Jawa yang tidak dinobatkan. Aku ingin supaya kau
tidak telupakan, bahwa warisanmu adalah
untuk menjadi Karna kedua." Aku tidak membawa apa‐apa ketika berangkat ke Surabaya. Tak ada barang untuk dibawa. Satu‐satunya yang mengikuti kepergianku adalah sebuah tas kecil dengan
pakaian sedikit. Bapak menunjuk salah seorang guru untuk mengiringi
perjalananku di kereta api yang lamanya enam jam itu. Tidak dirayakan, tidak
dipestakan kepergianku itu. Yang kuingat hanya bahwa aku menangis getir. Aku meninggalkan
rumah. Aku meninggalkan ibu. Aku baru seorang anak 15 tahun yang masih takut‐takut. Di pagi itu, di hari keberangkatanku ibu melepasku dengan
peringatan bahwa aku tidak lagi akan kembali untuk tinggal bersama‐sama dengan mereka. Di depan rumah kami dia memerintahkan,
"Berbaringlah di tanah, nak!. Berbaring saja biarpun kotor." Kemudian
ibu melangkahi badanku pulang balik sampai tiga kali. lni sesuai dengan
kepercayaan menurut ilmu kebatinan. Dengan melangkahi anaknya dengan tubuhnya
sendiri dari mana si anak dilahirkan dan yang mengandung kekuatan‐kekuatan sakti dari kehidupan, berarti bahwa si anak mendapat restu
dari ibunya untuk selama‐lamanya.
Seakan‐akan ia berkata setiap kali, "Anak ini berasal dari
kandunganku dan kuberkati dia. "Kemudian dia menyuruhku bangkit. Sekali
lagi ia memutar badanku arah ke Timur dan berkata dengan sungguh‐sungguh, "Jangan sekali‐kali
kaulupakan, anakku, bahwa engkau adalah putera sang fajar."
0 komentar:
Posting Komentar