BUNG KARNO
Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia
AN
AUTOBIOGRAPHY AS TOLD TO CINDY ADAMS
Dialog
antara Sukarno dengan wartawan Amerika Cindy Adams saat pengasingan menjelang
akhir kekuasaannya
BAB I
Alasan Menulis Autobiografi ini ...(by
Sukarno)
CARA yang
paling mudah untuk melukiskan tentang diri Sukarno ialah dengan menamakannya
seorang yang maha‐pencinta.
Ia mencintai negerinya, ia mencintai rakyatnya, ia mencintai wanita, ia
mencintai seni dan melebihi daripada segala‐galanya ia cinta kepada dirinya sendiri.
Sukarno adalah
seorang manusia perasaan. Seorang pengagum. Ia menarik napas panjang apabila menyaksikan
pemandangan yang indah. Jiwanya bergetar memandangi matahari terbenam di
Indonesia. Ia menangis dikala menyanyikan lagu spirituil orang negro.
Orang
mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia terlalu banyak memiliki darah
seorang seniman. "Akan tetapi aku bersyukur kepada Yang Maha Pencipta,
karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni. Kalau tidak
demikian, bagaimana aku bisa menjadi Pemimpin Besar Revolusi, sebagairnana 105
juta rakyat menyebutku? Kalau tidak demikian, bagairnana aku bisa memimpin bangsaku
untuk merebut kembali kemerdekaan dan hak‐asasinya, setelah tiga setengah abad dibawah penjajahan Belanda?
Kalau tidak demikian bagaimana aku bisa mengobarkan suatu revolusi di tahun
1945 dan menciptakan suatu Negara Indonesia yang bersatu, yang terdiri dari
pulau Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan bagian
lain dari Hindia Belanda?”
Irama suatu‐revolusi adalah menjebol dan membangun. Pembangunan menghendaki
jiwa seorang arsitek. Dan di dalam jiwa arsitek terdapatlah unsur‐unsur perasaan dan jiwa seni. Kepandaian memimpin suatu revolusi
hanya dapat dicapai dengan rnencari ilham dalam segala sesuatu yang dapat dilihat.
Dapatkah orang memperoleh ilham dalam sesuatu, bilamana ia bukan seorang
manusia‐perasaan
dan bukan manusia‐seni
barang sedikit ?
Namun tidak
setiap orang setuju dengan gambaran Sukarno tentang diri Sukarno. Tidak semua
orang menyadari, bahwa jalan untuk mendekatiku adalah semata‐mata melalui hati yang ikhlas. Tidak semua orang menyadari, bahwa
aku ini tak ubahnya seperti anak kecil. Berilah aku sebuah pisang dengan
sedikit simpati yang keluar dari lubuk‐hatimu, tentu aku akan mencintaimu untuk selama‐lamanya.
Akan tetapi
berilah aku seribu juta dollar dan disaat itu pula engkau tampar mukaku
dihadapan umum, maka sekalipun ini nyawa tantangannya aku akan berkata
kepadamu, "Persetan !"
Manusia
Indonesia hidup dengan getaran perasaan. Kamilah satu‐satunya bangsa di dunia yang mempunyai sejenis bantal yang
dipergunakan sekedar untuk dirangkul. Di setiap tempat‐tidur orang Indonesia terdapat sebuah bantal sebagai kalang hulu
dan sebuah lagi bantal kecil berbentuk bulat panjang yang dinamai guling.
Guling ini bagi kami gunanya hanya untuk dirangkul sepanjang malam.
Aku menjadi
orang yang paling menyenangkan didunia ini, apabila aku merasakan arus
persahabatan, sirnpati terhadap persoalan‐persoalanku, pengertian dan penghargaan datang menyambutku.
Sekalipun ia tak diucapkan, ia dapat kurasakan. Dan sekalipun rasa‐tidak senang itu tidak diucapkan, aku juga dapat merasakannya.
Dalam kedua hal itu aku bereaksi menurut instink. Dengan satu perkataan yang
lembut, aku akan melebur. Aku bisa keras seperti baja, tapi akupun bisa sangat
lunak.
Seorang
diplomat tinggi Inggris masih belum menyadari, bahwa kunci menuju Soekarno akan
berputar dengan mudah, kalau ia diminyaki dengan perasaan kasih sayang. Dalam
sebuah suratnya belum lama berselang yang ditujukan ke Downing Street 10, ia
menulis, "Presiden Sukarno tidak dapat dikendalikan, tidak dapat
diramalkan dan tidak dapat dikuasai. Dia seperti tikus yang terdesak.
"Suatu
ucapan yang sangat bagus bagi seseorang yang telah mempersembahkan seluruh
hidupnya kepangkuan tanah airnya, orang yang 13 tahun lamanya meringkuk dalam
penjara dan pembuangan, karena ia mengabdi kepada suatu cita‐cita. Mungkin aku tidak sependapat dan sependirian dengan dia tetapi
seperti seekor tikus? Jantungku berhenti mendenyut ketika surat itu sampai
ditanganku. Ia mengakhiri suratnya dengan mengatakan, bahwa ia telah
mengusahakan agar Sukarno mendapat perlakuan yang paling buruk dalam surat‐surat kabar.
"Aku tidak
tidur selama enam tahun. Aku tak dapat lagi tidur barang sekejap. Kadang‐kadang, dilarut tengah malam, aku menelpon seseorang yang dekat
denganku seperti misalnya Subandrio”, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, "Bandrio,
datanglah ketempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil,
ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik.
Dan kalau saya tertidur, ma'afkanlah." Aku membaca setiap malam,
berpikir setiap malam dan aku sudah bangun lagi jam lima pagi. Untuk
pertamakali dalam hidupku aku mulai makan obat‐tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.
Aku bukan
manusia yang tidak mempunyai kesalahan. Setiap makhluk membuat kesalahan. Di
hari‐hari
keramat aku minta ma'af kepada rakyatku dimuka umum atas kesalahan yang kutahu
telah kuperbuat, dan atas kekeliruan‐kekeliruan yang tidak kusadari. Barangkali suatu kesalahanku ialah,
bahwa aku selalu mengejar suatu cita‐cita dan bukan persoalan‐persoalan yang dingin. Aku tetap mencoba untuk menundukkan keadaan
atau menciptakan lagi keadaan‐keadaan,
sehingga ia dapat dipakai sebagai jalan untuk mencapai apa yang sedang dikejar.
Hasilnya, sekalipun aku berusaha begitu keras bagi rakyatku, aku menjadi korban
dari serangan‐serangan
yang jahat.
Orang bertanya,
"Sukarno, apakah engkau tidak merasa tersinggung bila orang
mengeritikmu?" Sudah tentu aku merasa tersinggung. Aku benci dimaki
orang. Bukankah aku bersifat manusia seperti juga setiap manusia lainnya?
Bahkan kalau engkau melukai seorang Kepala Negara, ia akan lemah. Tentu aku
ingin disenangi orang. Aku mempunyai ego. Itu kuakui. Tapi tak seorangpun tanpa
ego dapat menyatukan 10.000 pulau‐pulau
menjadi satu Kebangsaan. Dan aku angkuh. Siapa pula yang tidak angkuh? Bukankah
setiap orang yang membaca buku ini ingin mendapat pujian?.
Aku teringat
akan suatu hari, ketika aku menghadapi dua buah laporan yang bertentangan
tentang diriku. Kadang‐kadang
seorang Kepala Pemerintahan tidak tahu, mana yang harus dipercayainya. Yang
pertama berasal dari majalah "Look". "Look" menyatakan,
bahwa rakyat Indonesia semua menentangku. Majalah ini memuat sebuah tulisan
mengenai seorang tukang becak yang mengatakan seakan‐akan segala sesuatu di Indonesia sangat menyedihkan keadaannya dan
orang‐orang
kampung pun sekarang sudah muak terhadap Sukarno.
Kusudahi
membaca artikel itu pada jam lima sore dan tepat pada waktu aku telah siap
hendak berjalan jalan selama setengah jam, seperti biasanya kulakukan dalam lingkungan
istana, inilah satu‐satunya
macam gerak badan bagiku seorang pejabat polisi yang sangat gugup dibawa masuk.
Sambil berjalan kutanyakan kepadanya, apa yang sedang dipikirkannya. "Ya,
Pak," ia memulai, "Sebenarnya kabar baik." "Apa maksudmu
dengan sebenarnya kabar baik?" tanyaku. "Ya," katanya,
"Rakyat sangat menghargai Bapak. Mereka mencintai Bapak. Dan terutama
rakyat jelata. Saya mengetahui, karena saya baru menyaksikan sendiri suatu
keadaan yang menunjukkan penghargaan terhadap Bapak. Kemudian ia berhenti.
"Teruslah," desakku, "Katakan padaku.
Darimana engkau
dan siapa yang kautemui dan apa yang mereka lakukan?" "Begini,
Pak," ia mulai lagi. "Kita mempunyai suatu daerah, dimana perempuan‐perempuan lacur semua ditempatkan secara berurutan. Kami memeriksa
daerah itu dalam waktu‐waktu
tertentu, karena sudah menjadi tugas kami untuk mengadakan pengawasan tetap.
Kemarin suatu kelompok memeriksa keadaan mereka dan Bapak tahu apa yang mereka
temui ‐Mereka
menyaksikan potret Bapak, Pak. Digantungkan di dinding." "Dimana aku
digantungkan?" tanyaku kepadanya. "Ditiap kamar, Pak. Ditiap kamar
terdapat, sudah barang tentu, sebuah tempat tidur. Dekat tiap ranjang ada meja
dan tepat diatas meja itu disitulah gambar Bapak digantungkan. "Dengan
gugup ia mengintai kepadaku sambil menunggu perintah. "Pak, kami merasa
bahagia karena rakyat kita memuliakan Bapak, tapi dalam hal ini kami masih ragu
apakah wajar kalau gambar Presiden kita digantungkan di dinding rumah
pelacuran. Apa yang harus kami kerdjakan? Apakah akan kami pindahkan gambar
Bapak dari dinding‐dinding
itu?" "Tidak," jawabku. "Biarkanlah aku disana. Biarkan mataku yang tua dan letih itu
memandangnya! "Tidak seorangpun dalam peradaban modern ini yang menimbulkan
demikian banyak perasaan pro dan kontra seperti Sukarno. Aku dikutuk seperti
bandit dan dipuja bagai Dewa. Tidak jarang kakek‐kakek datang berkunjung kepadaku sebelum mereka mengakhiri
hajatnya. Seorang nelayan yang sudah tua, yang tidak mengharapkan pujian atau
keuntungan, berjalan kaki 23 hari lamanya sekedar hanya untuk sujud dihadapanku
dan mencium kakiku. Ia menyatakan, bahwa ia telah berjanji pada dirinya
sendiri, sebelum mati ia akan melihat wajah Presidennya dan menunjukkan
kecintaan serta kesetiaan kepadanya. Banyak yang percaya bahwa aku seorang
Dewa, mempunyai kekuatan‐kekuatan
sakti yang menyembuhkan.
Seorang petani
kelapa yang anaknya sakit keras bermimpi, bahwa ia harus pergi kepada Bapak dan
minta air untuk anaknya. Hanya air ledeng biasa dan yang diambil dari dapur. Ia
yakin, bahwa air ini, yang kuambil sendiri, tentu mengandung zat‐zat yang menjembuhkan. Aku tidak bisa bersoal jawab dengan dia.
karena orang Jawa adalah orang yang percaya kepada ilmu kebatinan, dan ia yakin
bahwa ia akan kehilangan anaknya kalau tidak membawa obat ini dariku. Kuberikan
air itu kepadanya. Dan seminggu kemudian anak itu sembuh kembali. Aku senantiasa mengadakan
perjalanan ke berbagai pelosok tanah air dari Sabang, negeri yang paling utara
dari pulau Sumatra, sampai ke Merauke di Irian Barat dan yang paling timur.
Beberapa tahun yang lalu aku mengunjungi sebuah desa kecil di Jawa Tengah.
Seorang perempuan dari desa itu mendatangi pelayanku dan membisikkan,
"Jangan biarkan orang mengambil piring Presiden. Berikanlah kepada saya
sisanya. Saya sedang mengandung dan saya ingin anak laki‐laki. Saya mengidamkan seorang anak seperti Bapak. Jadi tolonglah,
biarlah saya memakan apa‐apa
yang telah dijamah sendiri oleh Presidenku."
Di pulau Bali
orang percaya, bahwa Sukarno adalah penjelmaan kembali dari Dewa Wishnu, Dewa
Hujan dalam agama Hindu. Karena, bilamana sajapun Bapak datang ke tempat
istirahat yang kecil, yang kurencanakan dan kubangun sendiri di luar Denpasar,
bahkan sekalipun di tengah musim kemarau, kedatanganku bagi mereka berarti
hujan. Orang Bali yakin, bahwa aku membawa pangestu kepada mereka. Dikala
terakhir aku terbang ke Bali disana sedang berlangsung musim kering. Tepat
setelah aku sampai disana, langit tercurah. Berbicara secara terus‐terang, aku memanjatkan‐do'a syukur kehadirat Yang Maha Pengasih manakala turun hujan
selama aku berada di Tampaksiring. Karena, kalaulah ini tidak terjadi, sedikit
banyak akan mengurangi pengaruhku. Namun, dunia hanya membaca tentang satu
orang tukang becak. Dunia hanya tahu, bahwa Sukarno bukan ahli ekonomi. Itu
memang benar. Aku bukan ahli ekonomi. Tapi apakah Kennedy ahli ekonorni? Apakah
Johnson ahli ekonomi? Apakah itu suatu alasan bagi majalah‐majalah Barat untuk menulis bahwa negeriku sedang menuju kepada
keruntuhan ekonomi? Atau bahwa kami adalah "bangsa yang bobrok". Atau
untuk menjuduli sebuah cerita: "Mari kita bergerak menentang
Sukarno?" Kalau para wartawan membenci Jepang atau Filipina, mereka dapat
menyebut suatu daerah di sana, dimana seluruh keluarga — ibu, bapak dan anak‐anaknya—bunuh diri, karena menderita kelaparan. Ini semua sudah
diketahui orang. Tapi tidak! Hanya mengenai "Orang Jahat dari Asia"
mereka membuat foto‐foto
dari penderitaan rakyat, karena kekurangan makanan oleh musim kering dan hama
tikus, sementara dilatarbelakangnya digambarkan hotelku yang indah. Lalu kepala
karangannya: "Indonesia kepunyaan Sukarno". Tapi itu BUKAN Indonesia
kepunyaan Sukarno. Indonesia kepunyaan Sukarno sekarang adalah suatu bangsa
yang 10051 bebas buta huruf di bawah umur 45 tahun. Pada waktu Negara kami dilahirkan
duapuluh tahun yang lalu hanya 6% dari kami yang pandai baca tulis. Indonesia
kepunyaan Sukarno sekarang adalah suatu bangsa yang dua inci lebih tinggi
daripada generasi terdahulu. Apakah masuk diakal, anak‐anak bisa tumbuh lebih subur dalam keadaan kelaparan?.
Akan tetapi
wartawan‐wartawan
terus saja menulis, bahwa aku ini seorang "Budak Moskow". Marilah
kita perbaiki ini sekali dan untuk selama‐lamanya. Aku bukan, tidak pernah dan tidak mungkin menjadi seorang
Komunis. Aku menyembah ke Moskow? Setiap orang yang pernah mendekati Sukarno mengetahui,
bahwa egonya terlalu besar untuk bisa menjadi budak seseorang—kecuali menjadi
budak dari rakyatnya. Namun para wartawan tidak menulis tentang apa‐apa yang baik dari Sukarno. Pokok pokok yang dibicarakan hanya
tentang yang jelek dari Sukarno. Mereka suka memperlihatkan Hotel Indonesiaku
yang penuh gairah dan di belakangnya gambar‐gambar daerah pinggiran yang miskin. Alasan dari "orang yang
menghamburkan uang" mendirikan gedung itu ialah, untuk memperoleh devisa
yang tidak dapat kami cari dengan jalan lain. Kami menghasilkan dua juta
dollar Amerika setelah hotel itu berjalan selama setahun. Aku sadar, bahwa kami
masih mempunyai daerah pinggiran yang miskin dekat itu. Akan tetapi negeri‐negeri yang kayapun punya hotel yang gemerlapan, empuk dari yang
harganya jutaan dollar, sedang di sudutnya terdapat bangunan‐bangunan yang tercela penuh dengan kotoran, busuk dan jelek. Aku
melihat orang‐orang
kaya dengan segala kemegahannya berjalan dengan sedan sedan yang mengkilap,
akan tetapi aku juga melihat mereka‐mereka yang malang mencakar‐cakar dalam tong sampah mencari kulit kentang. Memang ada daerah
pinggiran yang miskin di seluruh kota di dunia. Bukan hanya di Jakarta
kepunyaan Sukarno. Barat selalu menuduhku terlalu memperlihatkan muka manis kepada
Negara‐Negara
Sosialis. "Ooohh," kata mereka, "Lihatlah Sukarno lagi‐lagi bermain‐main
sahabat dengan Blok Timur."
Yah, mengapa
tidak? Negara‐Negara
Sosialis tak pernah mengizinkan seorangpun mengejekku dalam pers mereka. Negara‐Negara Sosialis selalu memujiku. Mereka tidak membikin aku malu ke
seluruh dunia ataupun tidak memperlakukanku di muka umum seperti seorang anak
yang tercela dengan menolak memberikan lebih banjak jajan sampai aku menjadi
anak yang manis. Negara‐Negara
Sosialis selalu mencoba untuk merebut hati Sukarno. Krushchov mengirimi aku jam
dan pudding dua minggu sekali dan memetikkan appel, gandum dan hasil tanaman
lain dari panennya yang terbaik. Jadi, salahkah aku kalau berterima‐kasih kepadanya? Siapakah yang takkan ramah terhadap seseorang yang
bersikap ramah kepadanya? Aku mengejar politik netral, ya! Akan tetapi dalam
hati kecilnya siapa yang menyalahkanku, jika aku berkata, "Terimakasih
rakyat‐rakyat
Negara Blok Timur, karena engkau selalu memperlihatkan kepadaku tanda
persahabatan.
Terima‐kasih rakyat‐rakyat
Negara Blok Timur, karena engkau berusaha tidak menyakiti hatiku. Terimakasih, karena
engkau telah menyampaikan kepada rakyatmu bahwa Sukamo setidak‐tidaknya mencoba sekuat tenaganya berbuat untuk negerinya. Terima‐kasih atas pemberianmu." Apa yang kuucapkan itu adalah tanda
terima‐kasih,
bukan Komunisme! Aku dicela dalam berbagai soal. Mengapa dia ‐terlalu banyak mengadakan perjalanan, musuh‐musuhku selalu bertanya. Di bulan Juni 1960, pada waktu aku mengadakan
perlawatan selama dua bulan empat hari ke India, Hongaria, Austria, RPA,
Guinea, Tunisia, Marokko, Portugal, Cuba, Puerto Rico, San Francisco, Hawaii
dan Jepang, kepadaku ditujukan kata‐kata baru yang dikarang buat diriku. Aku malahan tidak tahu apa
maksud "Have 707 Will Travel" hingga seorang sahabat bangsa Amerika
menerangkannya.
Memang benar,
bahwa aku adalah satu‐satunya
Presiden yang mengadakan demikian banyak perlawatan. Aku sudah kemana‐mana kecuali ke London, sekalipun Ratu Inggris sudah dua kali mengundangku
untuk berkunjung. Aku mengharapkan, di suatu saat dapat menerima keramahannya
itu. Ada sebabnya aku mengadakan perlawatan itu. Aku ingin agar Indonesia
dikenal orang. Aku ingin memperlihatkan kepada dunia, bagaimana rupa orang
Indonesia. Aku ingin menyampaikan kepada dunia, bahwa kami bukan "Bangsa
yang pandir" seperti orang Belanda berulang‐ulang kali mengatakan kepada kami. Bahwa kami bukan lagi
"Inlander goblok hanya baik untuk diludahi" seperti Belanda
mengatakan kepada kami berkali‐kali.
Bahwa kami bukanlah lagi penduduk kelas kambing yang berjulan menyuruk nyuruk dengan
memakai sarung dan ikat kepala, merangkak‐rangkak seperti yang dikehendaki oleh majikan‐majikan kolonial dimasa yang silam. Setelah Republik Rakyat Tiongkok,
India, Uni Soviet, dan Amerika Serikat, maka kami adalah bangsa yang ke lima di
dunia dalam hal jumlah penduduk. 3000 dari pulau‐pulau kami dapat didiami. Tapi tahukah Saudara berapa banyak rakyat
yang tidak mengetahui tentang Indonesia? Atau dimana letaknya? Atau tentang
warna kulitnya, apakah kami sawomatang, hitam, kuning atau putih?.
Yang mereka
ketahui hanya nama Sukarno. Dan mereka mengenal wajah Sukarno. Mereka tidak
tahu, bahwa negeri kami adalah rangkaian pulau yang terbesar di dunia. Bahwa negeri
kami terhampar sepanjang 5.000 kilometer atau menutupi seluruh negeri‐negeri Eropa sejak dari pantai Barat benuanya sampai keperbatasan
paling ujung di sebelah Timur. Mereka tidak tahu, bahwa kami sesudah Australia adalah
negara keenam terbesar, dengan luas tanah sebesar dua juta mil persegi. Mereka
umumnya tidak menyadari, bahwa kami terletak antara dua benua, benua Asia dan
Australia, dan dua buah Samudra raksasa, Lautan Teduh dan Samudra Indonesia.
Atau, bahwa kami menghasilkan kopi yang paling baik didunia; dari itu timbulnya
ucapan: "A cup of Java". Bahwa setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet
maka Indonesialah penghasil minyak yang terbesar di Asia Tenggara dan penghasil
timah yang kedua terbesar di dunia, negara terkaya di alam semesta dalam hal
sumber alam. Atau, bahwa satu dari empat buah ban mobil, Amerika dibuat dari
karet Indonesia. Namun apa yang mereka mau tahu hanya nama Sukarno.
Departemen Luar
Negeri kami menyatakan kepadaku, bahwa satu kali kunjungan Sukarno sama artinya
dengan sepuluh tahun pekerjaan Duta. Dan itulah alasan, mengapa aku mengadakan
perlawatan dan mengapa aku selalu memberikan kenyataan‐kenyataan tentang tanah airku dalam setiap pidato yang kuucapkan di
setiap penjuru dunia. Aku hendak mengajar orang‐orang asing dan memberikan pandangan pertama selintas lalu tentang
negeriku, yang terhampar menghijau dan tercinta ini laksana untaian zamrud yang
melingkar di sepanjang katulistiwa. Pada suatu hari sekretarisku menyerahkan
sebuah surat yang beralamat singkat "Presiden Sukarno, Indonesia, Asia
Tenggara". Penulis surat ini berkata, ia mendengar bahwa aku ini mengekang
kemerdekaan pers dan apakah itu benar dan kalau memang demikian alangkah
kejamnya aku ini! Orang yang menulis surat picisan ini menamakan aku seorang
yang angkara. Dia mengejek kepadaku, tapi ini tidak kupedulikan. Tahukah
engkau apa yang membuat aku gusar? Kenyataan bahwa dia menganggap kantor pos
tidak tahu dimana letak Indonesia. Dan oleh sebab itu dia menambahkan kata‐kata "Asia Tenggara" pada alamatnya! Pendapat manusia
berjalan bagai gelombang. Dalam tahun '56 ketika aku pertamakali berkunjung ke
Amerika Serikat, setiap orang menyukaiku. Sekarang arusnya menjadi terbalik,
menentang Sukarno. Betapapun, aku telah dijadikan bulan‐bulanan.
Baru‐baru ini diserahkan kepadaku sebuah majalah remaja Amerika. Majalah
itu memperlihatkan gadis striptease setengah telanjang, yang hanya memakai
celana dalam dan berdiri di samping Sukarno berpakaian seragam militer lengkap.
Ini adalah kombinasi yang ditempelkan menjadi satu supaya kelihatan seolah‐olah satu foto dari seorang gadis penari telanjang membuka
pakaiannya dihadapan Presiden Republik Indonesia. Kedua foto ini ditempelkan
satu dengan yang lain. Ini adalah perbuatan kotor yang dilakukan terhadap
seorang Kepala Negara. Apakah aku harus mencintai Amerika, kalau ia melakukan
perbuatan seperti itu terhadap diriku? Aku memperbincangkan muslihat semacam
ini dengan Presiden Kennedy yang sangat kuhormati. John F. Kennedy dan aku
saling menyukai pergaulan kami satu sama lain. Dia berkata, "Presiden
Sukarno, saya sangat mengagumi Tuan. Seperti saya sendiri, Tuan mempunyai
pikiran yang senantiasa menyelidiki dan bertanya‐tanya. Tuan membaca segala‐galanya. Tuan sangat banyak mengetahui." Lalu dia membicarakan
cita‐cita
politik yang kupelopori dan mengutip bagian‐bagian dari pidato‐pidatoku.
Kennedy mempunyai cara untuk mendekati seseorang melalui hati manusia. Kami
banyak mempunyai persamaan. Kennedy adalah orang yang sangat ramah dan menunjukkan
persahabatan terhadapku. Dia membawaku ke tingkat atas, ke kamar tidurnya
sendiri dan disanalah kami bercakap‐cakap. Kukatakan kepadanya, "Tuan Kennedy, apakah Tuan tidak
menyadari, bahwa sementara Tuan sendiri memadu hubungan persahabatan,
seringkali Tuan dapat merusakkan hubungan dengan negara‐negara lain dengan membiarkan ejekan, serangan makian dan
mengizinkan kritik‐kritik
secara tetap terhadap pemimpin mereka dalam pers Tuan? Kadang‐kadang kami lebih condong untuk bertindak atau memberikan reaksi
lebih keras, oleh karena kami dilukai atau dibikin marah. Sesungguhnya apakah
pergaulan internasional itu bukan pergaulan antar manusia dalam hubungan yang
lebih besar? Penggerogotan terus‐menerus
semacam ini merobek‐robek
keseimbangan dan mempertegang lebih hebat lagi hubungan yang sulit antara
negara lain dengan negeri Tuan." Saya setuju dengan Tuan, Presiden
Sukarno. Sayapun telah mendapat kesukaran dengan para wartawan kami," dia
mengeluh. "Apakah kami beruntung atau tidak, namun kemerdekaan pers
merupakan satu bagian dari pusaka peninggalan Amerika." Ketika Alben
Barkley menjadi Wakil Presiden Amerika Serikat, ia mengunjungi tanah air
saya," kataku. Dan saya sendiri berdiri dekat beliau di waktu beliau
dicium oleh serombongan anak‐anak
gadis cantik remaja." Saya yakin, tentu Wakil Presiden Barkley sangat bersenang
hati," kata Kennedy dengan ketawa yang disembunyikan. Sekalipun demikian
tak satupun surat kabar Indonesia mau menyiarkannya.
Dan disamping itu
mereka tak berani mengambil resiko untuk menimbulkan kesusahan terhadap seorang
negarawan ke seluruh dunia. Barkley adalah seorang yang gembira dan barangkali
tidak peduli bila gambarnya itu dimuat. Akan tetapi bukanlah itu soalnya. Yang
pokok adalah bahwa kami berkeyakinan perlunya para pemimpin dunia dilindungi di
negeri kami. "Kennedy sangat seperasaan denganku mengenai soal ini dan
berkata kepadaku dengan penuh kepercayaan, "Tuan memang benar sekali, tapi
apa yang dapat saya lakukan? Sedangkan saya dikutuk di negeri saya
sendiri." Karena itu kataku, "Ya, itulah sistem Tuan. Kalau Tuan
dikutuk di rurnah sendiri, saya tidak dapat berbuat apa‐apa. Akan tetapi saya kira saya tidak perlu menderita penghinaan
seperti itu di negeri Tuan, dimana Kepala Negaranya sendiri harus menderita sedemikian. Majalah Tuan "Time"
dan "Life" terutama sangat kurang ajar terhadap saya. Coba pikir,
"Time" menulis, "Sukarno tidak bisa melihat rok wanita tanpa
bernafsu". Selalu mereka menulis yang jelek‐jelek. Tidak pernah hal‐hal yang baik yang telah saya kerdjakan. "Sekalipun Presiden
Kennedy dan aku telah mengadakan pertemuan pendapat, persetujuan dalam
lingkungan kecil ini tidak pernah tersebar dalam pers Amerika Serikat. Masih
saja, hari demi hari, mereka menggambarkanku sebagai pengejar cinta. Ya, ya,
ya, aku mencintai wanita. Ya, itu kuakui. Akan tetapi aku bukanlah seorang anak
pelesiran sebagaimana mereka tuduhkan padaku.
Di Tokyo aku
telah pergi dengan kawan‐kawan
ke suatu Rumah Geisha. Tiada sesuatu yang melanggar susila mengenai Rumah
Geisha itu. Orang sekedar duduk, makan‐makan, bercakap‐cakap
dan mendengarkan musik. Hanya itu. Akan tetapi dalam majalah‐majalah Barat digembar‐gemborkan seolah olah aku ini Le Grand Seducteur. Tanpa hiburan‐hiburan kecil ini aku akan mati. Aku mencintai hidup. Orang‐orang asing
yang mengunjungi istanaku menyatakan, bahwa aku menyelenggarakan, "suatu istana yang menyenangkan." Ajudan‐ajudanku mempunyai wajah‐wajah yang senyum. Aku berkelakar dengan mereka, menyanyi dengan
mereka. Bila aku tidak memperoleh kegembiraan, nyanyian dan sedikit hiburan
kadang‐kadang,
aku akan dibinasakan oleh kehidupan ini. Umurku sudah 64 tahun. Menjadi
Presiden adalah pekerjaan yang membikin orang lekas tua. Dan kalau orang
menjadi tua, tentu tidak baik bagi seseorang. Karena itu, sesekali aku harus
lari dari keadaan ini, supaya aku dapat hidup seterusnya. Banyak kesenangan‐kesenangan yang sederhana telah dirampas dariku. Misalnya, di masa kecilku
aku telah mengelilingi pulau Jawa dengan sepeda. Sekarang perjalanan semacam
itu tidak dapat kulakukan lagi, karena tentu tidak sedikit orang yang akan
mengikutiku.
Di Hollywood
aku diberi kesempatan untuk rnelihat ‐ lihat di sekitar studio studio film. Waktu meninggalkan halaman studio aku melihat seorang
anak pengantar surat lewat dengan sepeda, lalu menghentikan sepedanya untuk
sesaat. Tiba‐tiba
aku merasa senang dan pikiranku terbuka, karena itu aku naik dan pergi. Aku
bukan hendak memberi kesan kepada siapapun. Hanya karena merasa senang. Yah,
gema dan gambarku ini tersebar ke seluruh dunia ini. Di negeriku sendiripun aku
tak dapat lagi menikmati kesenangan yang paling memuaskan hati, yaitu
menggeledahi toko‐toko
kesenian, melihat lihat benda yang akan dikumpulkan, lalu menawarnya. Kemanapun
aku pergi, rakyat berkumpul berbondong‐bondong. Dokterku telah memperhatikan, bahwa kegembiraan memang mutlak
perlu buat menjaga kesehatanku. Dengan demikian aku bisa terlepas sedikit dari
diriku sendiri dan dari penjaraku. Karena begitulah keadaanku. Seorang tawanan.
Tawanan dari tata cara serba resmi. Tawanan dari tata cara kesopanan. Tawanan
dari perilaku yang baik. Setiap orang harus mencari suatu kesenangan supaya terlepas
dari segala tata laku ini. Presiden Ayub Khan main golf, Kennedy berperahu
layar, Pangeran Norodom Sihanouk mengarang musik, Raja Muang Thai main
saxophone, Lyndon Johnson mempunyai tempat peternakan. Akupun memerlukan kesenangan. Karena itu, bila
aku mengadakan perjalanan, aku mengizinkan diriku sendiri dengan kesenangan
menjalankan tugas dalam mengejar kebahagiaan. Sesuai dengan Undang‐Undang Dasar Amerika Serikat setiap orang berhak mengejarnya.
Menjadi Presiden karena diperlukan menyebabkan orang menjadi terasing.
Kecakapan dan sifat‐sifat
yang memungkinkan orang menduduki jabatan Presiden itu adalah kecakapan dan
sifat itu juga yang menyebabkan ia diasingkan. Akan tetapi, di mata orang luar
aku selalu gembira. Pembawaanku adalah demikian, sehingga perasaan susah yang
teramat sangat tidak pernah memperlihatkan diri. Sekalipun perasaanku hancur luluh
di dalam, orang tak dapat menduganya. Bukankah Sukarno terkenal dengan
"senyumnya"? Apapun juga persoalanku — Malaysia, kemiskinan, lagi‐lagi percobaan pembunuhan—Sukarno dari luar senantiasa gembira.
Seringkali aku duduk‐duduk
seorang diri di beranda Istana Merdeka. Beranda itu tidak begitu indah.
Setengah tertutup dengan layar untuk menghambat panas dan cahaya matahari.
Perabotnya terdiri dari korsi rotan yang tidak dilapis dan tidak dicat dan meja
beralas kain batik halus buatan negeriku. Suatu keistimewaan yang kuperoleh
karena jabatan tinggi adalah sebuah kursi yang menyendiri pakai bantal. Itulah
yang dinamakan "Kursi Presiden". Dan aku duduk disana. Merenung. Dan
memandang keluar ke taman indah yang menghilangkan kelelahan pikiran, taman
yang kutanami dengan tanganku sendiri. Dan batinku merasa sangat sepi. Aku
ingin bercampur dengan rakyat. Itulah yang menjadi kebiasaanku. Akan tetapi aku
tidak dapat lagi berbuat demikian.
Seringkali aku
merasakan badanku seperti akan lemas, napasku akan berhenti, apabila aku tidak
bisa keluar dan bersatu dengan rakyat jelata yang melahirkanku. Kadang‐kadang aku menjadi seorang Harun al Rasyid. Aku berputar‐putar keliling kota. Seorang diri. Hanya dengan seorang ajudan
berpakaian preman di belakang kendaraan. Terasa olehku kadang‐kadang, bahwa aku harus terlepas dari berbagai persoalan untuk
sesaat dan merasakan irama denyut jantung tanah airku. Namun persoalan‐persoalan selalu mengikutiku bagai bayangan besar dan hitam dan
yang datang dengan samar menakutkan di belakangku. Aku takkan bisa lepas
daripadanya. Aku takkan keluar dari genggamannya. Aku takkan dapat maju
dengannya. Ia bagai hantu yang senantiasa mengejar‐ngejar. Pakaian seragam dan peci hitam merupakan tanda pengenalku.
Akan tetapi adakalanya kalau hari sudah malam aku menukar pakaian pakai sandal,
pantalon dan kalau hari terlalu panas aku hanya memakai kemeja. Dan dengan
kacamata berbingkai tanduk rupaku lain samasekali. Aku dapat berkeliaran tanpa
dikenal orang dan memang kulakukan. Ini kulakukan karena ingin melihat
kehidupan ini. Aku adalah kepunyaan rakyat. Aku harus melihat rakyat, aku harus
mendengarkan rakyat dan bersentuhan dengan mereka. Perasaanku akan tenteram
kalau berada diantara mereka. Ia adalah roti kehidupan bagiku. Dan aku merasa
terpisah dari rakyat jelata. Kudengarkan percakapan mereka, kudengarkan mereka
berdebat, kudengarkan mereka berkelakar dan bercumbu‐kasih. Dan aku merasakan kekuatan hidup mengalir keseluruh batang
tubuhku. Kami pergi dengan mobil kecil tanpa tanda pengenal. Adakalanya aku
berhenti dan membeli sate di pinggiran jalan. Kududuk seorang diri di pinggir
trotoar dan menikmati jajanku dari bungkus daun pisang. Sungguh saat‐saat yang menyenangkan. Rakyat segera mengenalku apabila mendengar
suaraku. Pada suatu malam aku pergi ke Senen, di sekitar gudang kereta api,
dengan seorang Komisaris Polisi. Aku berputar‐putar di tengah‐tengah
rakyat dan tak seorangpun memperhatikan kami. Akhirnya, untuk sekedar berbicara
aku bertanya kepada seorang laki‐laki,
"Dari mana diambil batu bata ini dan bahan konstruksi yang sudah
dipancangkan ini?" Sebelum ia dapat memberikan jawaban, terdengar
teriakan, "Hee," teriak suara perempuan, "Itu suara Bapak Ya,
suara.., Elapak Hee, orang‐orang,
ini Bapak Bapak "Dalam beberapa detik ratusan kemudian ribuan rakyat
datang berlari‐lari
dari segala penjuru. Dengan cepat Komisaris itu membawaku keluar dari situ,
masuk mobil kecil kami dan menghilang. Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan
Presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil. Memang ada beberapa
orang kawanku. Tidak banyak. Seringkali pikiran oranglah yang berubah‐ubah, bukan pikiranmu. Mereka memperlakukanmu lain. Mereka turut
menciptakan pulau kesepian ini disekelilingku. Karena itulah, apabila aku
terlepas dari penjaraku ini, aku menyenangkan diriku sendiri.
Di Tokyo aku bisa
pergi ke Kokusai Gekijo, dimana mereka mempertunjukkan di atas panggung
sekaligus empat ratus gadis‐gadis
jelita. Ditahun 1963 aku baru tahu, bahwa Duta Besar Indonesia untuk Jepang di waktu
itu tidak pernah mengunjungi panggung ini. Aku mengumpatnya, "Hei, Bambang
Sugeng, engkau ini Duta Besar yang malang. Seorang diplomat harus mengecap
setiap jenis kehidupan negeri dimana dia ditempatkan. Hayo, Mari kita pergi
melihat gadis‐gadis
itu. "Akupun mengajak seorang Indonesia yang bersusila kawakan, yang kaget
apabila Presidennya mempercakapkan wanita. Orang ini mengerling pada gadis‐gadis yang cantik ini, kemudian bangkit dan berkata, "Saya
tidak dapat menyaksikannya. Saya akan pergi saja. Terlalu menegangkan pikiran
saya." Dia seorang munafik. Aku benci orang‐orang munafik. Sudah barang tentu lagi‐lagi reputasiku menyebabkan aku menjadi korban keadaan. Di Filipina
di tahun 1964, Presiden Diosdado Macapagal menyambutku di lapangan terbang.
Beliau mengiringkanku ke Laurels Mansion dimana aku menginap. Disana tinggal
Tuan Laurels bekas Presiden Filipina, isterinya dan anak cucunya. Untuk lebih
memeriahkan kedatanganku mereka mendatangkan Bayanihan Cultural Ensemble, suatu
perkumpulan paduan suara, yang menyambutku dengan Tari Lenso sebagai tanda
penghormatan. Dua orang wanita muda tampil dari dalam kelompok ensemble itu dan
meminta kepadaku untuk turut menari. Sukar untuk menolaknya, karena itu aku
mulai menari dan GEGER! Kilat lampu! Jepretan karnera! Dan induk karangannya:
"Lihat Sukarno pengejar cinta mulai lagi". Aku menyukai gadis gadis
yang menarik di sekelilingku, karena gadis‐gadis ini bagiku tak ubahnya seperti kembang yang sedang mekar dan
aku senang memandangi kembang. Di tahun 1946, di hari‐hari yang berat itu semasa revolusi fisik, isteri dari sekretaris
duaku datang setiap pagi hanya sekedar untuk membelah telor untuk sarapanku.
Ah, sebenarnya aku sendiri bisa memecahkannya, akan tetapi isteriku tak pernah
bangun begitu pagi dan aku merasa lebih tenang dan kuat disaat‐saat yang tegang seperti itu apabila melihat barang sesuatu tersenyum
disekitarku. Aku merasa terhibur oleh wanita‐wanita muda di sekeliling kantorku. Apabila para tetamu menyiasati
tentang ajudan‐ajudan
wanitaku yang masih muda belia, aku berkelakar kepada mereka, "Perempuan
tak ubahnya seperti pohon karet. Dia tidak baik lagi setelah tigapuluh
tahun." Katakanlah, aku bereaksi lebih baik terhadap wanita. Wanita lebih
mengerti. Wanita lebih bisa turut merasakan. Kuanggap mereka memberikan
kesegaran. Justru wanitalah yang dapat memberikan ini kepadaku. Sekali lagi,
aku tidak berbicara dalam arti jasmaniah. Aku hanya sekedar tertarik pada suatu
pandangan yang lembut atau sesuatu yang kelihatan indah. Sebagai seorang
seniman, aku tertarik menurut pembawaan watak kepada segala apa yang
menyenangkan pikiran. Bila hari sudah larut aku merasa lelah. Seringkali aku
kehabisan tenaga, sehingga sukar untuk menggerakkan persendian. Dan apabila
seorang sekretaris laki‐laki
berbadan besar, tidak menarik, buruk dan botak datang membawa setumpukan tinggi
surat‐surat
untuk ditandatangani, aku akan berteriak kepadanya supaya dia segera pergi dan
membiarkanku seorang diri. Sepihan‐sepihan kulitnya akan rontok dari badannya karena kaget. Aku akan
menggeledek kepadanya. Aku akan bangkitkan petir diatas kepalanya. Akan tetapi
bilamana yang datang seorang gadis sekretaris berbadan ramping, dengan dandan
yang rapi dan meluapkan bau harum menyegarkan tersenyum manis dan berkata
kepadaku dengan lunak, "Pak, silahkan!", tahukah engkau apa yang
terjadi? Bagaimanapun keadaan hatiku, aku akan menjadi tenang. Dan aku akan
selalu berkata, "Baik". Di tahun '61 aku sakit keras. Di Wina para
ahli mengeluarkan batu dari ginjalku. Waktu itu adalah saat memuncaknya
perjuangan kami merebut kembali Irian Barat dan dalam kalangan lawan lawan kami
timbul kegembiraan.
Tidak guna lagi
mengutuk Sukarno dan meminta‐minta
supaya dia mati, karena Sukarno sekarang sedang menuju kematiannya. Karena itu
para dokter melakukan perawatan yang lebih teliti terhadap diriku. Mereka
membujuk hatiku, "Jangan kuatir, Presiden Sukarno, kami akan memberikan
perawat – perawat
yang berpengalaman untuk menjaga Tuan." Hehhhh!! Ketika hal ini
disampaikan kepadaku, keadaanku menjadi lebih payah daripada sewaktu aku mula‐mula masuk. Aku tahu apa yang akan kuhadapi. Aku tidak berkata apa‐apa, karena aku tidak mau menentang dokter. Pendeknya di hari
berikut ia melakukan pembedahan dan aku ingin agar hatinya senang terhadapku
selama ia menjalankan pembedahan itu. Akan tetapi sementara itu aku berpikir
dalam hatiku sendiri, "Aku akan lebih cepat sembuh dengan gadis gadis perawat
yang tidak berpengalaman, karena yang sudah punya pengalaman 40 tahun tentu
setidak tidaknya sekarang sudah berumur 55 ! "Orang mengatakan, bahwa
Sukarno suka melihat perempuan cantik dengan sudut matanya. Kenapa mereka
berkata begitu? Itu tidak benar. Sukarno suka memandangi perempuan cantik
dengan seluruh bola matanya. Akan tetapi ini bukanlah suatu kejahatan. Sedangkan
Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wasallam mengagumi keindahan. Dan sebagai
seorang Islam yang beriman aku adalah pengikut Nabi
Muhammad yang
mengatakan, "Tuhan yang dapat menciptakan makhluk‐makhiuk yang cantik seperti wanita adalah Tuhan Yang Maha Besar dan
Maha Pengasih." Aku setuju dengan ucapan beliau. Seperti yang dikisahkan,
Muhammad mempunyai seorang budak bernama Said. Said, orang yang pertama‐tama masuk Islam, mempunyai isteri yang sangat cantik bernama
Zainab. Ketika Muhammad melihat Zainab, beliau mengucapkan "Allahu
Akbar", Tuhan Maha Besar. Tatkala murid‐muridnya bertanya, mengapa beliau mengucapkan Allahu Akbar ketika
melihat Zainab, maka beliau menjawab, "Aku memuji Tuhan karena telah
menciptakan makhluk‐makhluk
yang cantik seperti perempuan ini." Aku menjunjung Nabi Besar. Aku
mempelajari ucapan‐ucapan
beliau dengan teliti. Jadi, moralnya bagiku adalah: bukanlah suatu dosa atau
tidak sopan kalau seseorang mengagumi seorang perempuan yang cantik. Dan aku
tidak malu berbuat begitu, karena dengan melakukan itu pada hakekatnya aku
memuji Tuhan dan memuji apa yang telah diciptakan‐Nya. Aku hanya seorang pencinta kecantikan yang luar biasa. Aku
mengumpulkan benda‐benda
perunggu karya seni dari Budapest, seni pualam dari Italia, lukisan‐lukisan dari segala penjuru.
Untuk Istana
Negara di Jakarta aku sendiri berbelanja membeli kandil kristal yang berat dan
kursi beludru cukilan emas di Eropa. Aku memungut permadani di Iraq. Aku
membuat sendiri rencana meja kantorku dari satu potong kayu jati Indonesia yang
utuh. Aku merencanakan meja ruang makan Negara dari satu potong kayu jati
Indonesia. Aku menggantungkan setiap kain hiasan dinding, memilih setiap
barang, merencanakan dimana harus diletakkan setiap pot bunga atau karya seni
pahat. Kalau aku melihat sepotong kertas di lantai, aku akan berhenti dan
memungutnya. Anggota Kabinet tertawa melihat bagaimana aku, di tengah‐tengah persoalan yang pelik, datang kepada mereka dan meluruskan
dasinya. Aku senang bila makanan diatur secara menarik di atas meja. Aku
mengagumi keindahan dalam segala bentuk.
Dalam
perkunjungannya ke Istana Negara di Bogor, seorang Texas terpikat hatinya pada
salah satu benda seniku. "Tuan Presiden," katanya tiba‐tiba. "Saya akan menyampaikan apa yang hendak saya kerjakan untuk
Tuan. Saya akan menyerahkan sebuah Cadillac sebagai ganti ini." Kukatakan
kepadanya "Yah, tak soal kata‐kata apa yang telah kuucapkan kepadanya. Tapi pokoknya adalah
"Tidak". Tidak satupun dari benda‐benda indah yang telah kukumpulkan dapat ditukar dengan Cadillac.
Kalau aku senang kepadamu, engkau akan kuberi sebuah lukisan atau barang
tenunan sebagai hadiah. Akan tetapi untuk menjualnya, tidak, sekali‐kali tidak. Semua itu akan kuwariskan kepada rakyat Indonesia,
bilamana aku pergi. Biarlah rakyatku memasukkannya ke dalam Museum Nasional.
Kemudian, apabila mereka lelah atau pikirannya kacau, biarlah mereka duduk
dihadapan sebuah lukisan dan meneguk keindahan dan ketenangannya, sehingga
mengisi seluruh kalbu mereka dengan kedamaian seperti ia juga terjadi terhadap
diriku. Ya, aku akan mewariskan hasil‐hasil seni ini kepada rakyatku. Untuk dijual? Jangan kira! Seorang
orang asing yang mengerti kepadaku adalah Duta besar Amerika di Indonesia,
Howard Jones.
Ia sudah lama
ditempatkan di Jakarta dan menjabat sebagai Ketua dari Korps Diplomatik. Kami
sering terlibat dalam perdebatan‐perdebatan
sengit dan pahit, akan tetapi aku semakin memandangnya sebagai seorang kawan
yang tercinta. Uraian Howard tentang diri pribadiku adalah: "Suatu
perpaduan antara Franklin Delano Roosevelt dan Clark Gable." Apakah orang
heran, apabila aku menyebutnya sebagai seorang kawan yang tercinta? Di suatu
hari Minggu beberapa tahun yang silam, ia dengan isterinya Marylou makan bersama‐sama
denganku dan isteriku Hartini di pavilyun kecil karni di Bogor. Bogor adalah
tempat di daerah pegunungan yang sejuk di luar kota Jakarta. Berlainan dengan
dugaan orang bahwa aku mempunyai kran‐kran dari emas murni seperti sepantasnya bagi Yang Dipertuan di
daerah Timur, maka aku tidak tinggal di Istana Negara yang besar itu. Di
pekarangannya kami mempunyai sebuah bungalow kecil yang besarnya kira‐kira sama dengan yang dipunyai oleh seorang pejabat biasa. Bungalow
ini terdiri dari beberapa kamar‐tidur,
suatu ruang makan kecil dan ruang duduk yang sangat kecil. Ia tidak mewah.
Sederhana sekali. Akan tetapi menyenangkan dan itulah rumahku. Selagi makan Howard
berkata, "Tuan Presiden, saya kira sudah waktunya bagi Tuan untuk melihat
kembali jalan‐jalan
dalam sejarah. Menurut pendapat saya sudah tepat waktunya bagi Tuan untuk
menuliskan sejarah hidup Tuan. "Seperti biasa, apabila seseorang menyebut‐nyebut tentang otobiografi, aku menjawab, "Tidak".
Insya Allah,
jika Tuhan mengizinkan, saatnya masih 10 atau 20 tahun lagi. Bagaimana saya
bisa mengetahui apa yang akan terjadi terhadap diriku? Siapa yang dapat
menceriterakan, bagaimana jalannya kehidupan saya? Itulah sebabnya mengapa saya
selalu menolak hal ini, karena saya yakin bahwa buruk baiknya kehidupan
seseorang hanya dapat dipertimbangkan setelah ia mati." "Terkecuali
Presiden Republik Indonesia," jawabnya. "Disamping telah menjadi
Kepala Negara selama 20 tahun, ia telah dipilih sebagai Presiden seumur hidup.
Ia adalah orang yang paling banyak diperdebatkan dan dikritik di jaman kita
ini. Ia "mempunyai banyak rahasia," kataku dengan senyum yang
disembunyikan. "Akan tetapi dialah satu‐satunya orang yang dapat memberanikan diri untuk mengguratkannya
dan disamping itu menjawab serangan‐serangan dari para pengeritiknya dan kawan‐kawannya. "Pertemuan ini merupakan pertemuan kekeluargaan yang
tidak formil. Aku pakai baju sport dan tidak bersepatu. Hartini membuat nasi
goreng, karena dia tahu bahwa keluarga Jones sangat doyan pada nasi goreng ayam
dan Presiden makan puluk — artinya makan dengan tangan—dan kami duduk disekitar
meja bersama‐sama
menikmati saat‐saat
istirahat yang menyenangkan, yang hanya dapat dilakukan diantara kawan‐kawan lama. "Untuk membuat otobiografi yang sesungguhnya si
penulis hendaknya dalam keadaan yang susah seperti Rousseau ketika dia menulis
pengakuan‐pengakuannya
dan pengakuan yang demikian ternyata sukar bagi saya. Banyak tokoh yang masih
hidup akan menderita, apabila saya menceriterakan semuanya. Dan banyak pemerintahan‐pemerintahan,
dengan mana saya sekarang mempunyai hubungan yang baik, akan mendapat serangan
sejadi‐jadinya
apabila saya menyatakan beberapa hal yang ingin saya ceriterakan." "Walaupun
bagaimana, Tuan Presiden, orang‐orang
asing merubah pendirian mereka setelah bertemu dengan Tuan dan jatuh kedalam
kekuatan pribadi Bung Karno yang terkenal dan menarik seperti besi berani.
Kalau Tuan terus maju dengan daya penarik pribadi Tuan itu, maka saya yakin
kritikus yang paling tajampun kemudian akan berkata, "Hee, dia
sesungguhnya tidak bernapaskan asap dan api seperti naga. Dia sangat menyenangkan." "Itulah sebabnya saya pada
dasarnya ingin berkawan, "kuterangkan kepadanya. "Saya menyukai orang
Timur, saya menyukai orang Barat bahkan Tengku Abdul Rahman sendiri dan orang
Inggris. Pun juga orang‐orang
yang membenci saya. Setiap saat apabila mereka ingin bersahabat, saya lebih
ingin lagi dari itu. Suatu kali saya mengetahui bahwa De Gaulle tidak senang kepada
saya. Sekalipun demikian saya bertemu dengan dia di Wina. Setelah itu sikapnya
berubah. "Itulah maksud saya," Jones melanjutkan. "Tuan tidak
bisa mendatangi sendiri seluruh rakyat di dunia, akan tetapi Tuan dapat datang
kepada mereka dengan melalui halaman‐halaman buku. Tuan menawan hati sejuta pendengar di lapangan
terbuka. Mengapa Tuan tidak menghendaki jumlah pendengar yang lebih besar lagi.
"Percakapan ini berlangsung terus sampai makan perabung, berupa pisang
rebus kesukaanku. "Begini," kataku. "Suatu otobiografi tidak ada
harganya, kecuali jika si penulis merasa kehidupannya tidak berguna apa‐apa. Kalau dia menganggap dirinya seorang besar, karyanya akan
menjadi subjektif. Tidak objektif. Otobiografiku hanya mungkin jika ada
perimbangan dari kedua‐duanya.
Sekian banyak yang baik‐baik
supaya dapat menenangkan egoku dan sekian banyak yang jelek‐jelek sehingga orang mau membeli buku itu. Kalau dimasukkan hanya
yang baik‐baik
saja orang akan menyebutmu egois, karena memuji diri sendiri. Memasukkan hanya
yang jelek‐jelek
saja akan menimbulkan suasana mental yang buruk bagi rakyatku sendiri. Hanya
setelah mati dunia ini dapat ditimbang dengan judjur, 'Apakah; Sukarno manusia
yang baik ataukah manusia yang buruk? ' Hanya di saat itulah dia baru dapat
diadili. "Bertahun‐tahun
lamanya orang mendesakku untuk menuliskan kenang‐kenanganku. Press Officerku, Nyonya Rochmulyati Hamzah, selalu
menjadi perantara. Satu kali aku betul‐betul membentak‐bentak
Roch yang manis itu. Di tahun 1960, ketika Krushchov sedang berkunjung kemari,
ada seratus orang wartawan asing berkerumun dibawah tangga. Disatu saat dia
berkata, "Ma'af, Pak, Bapak jangan marah, karena kami sendiripun tidak
mengetahui sejarah hidup Bapak. Dan Bapak sedikit sekali memberikan wawancara.
Oleh karena itu dapatkah Bapak menenteramkan hati saya barang sedikit dan
menerima seorang wartawan CBS yang ramah sekali dan ingin menulis riwayat hidup
Bapak?" Aku berpaling kepadanya dan menyembur. "Berapa kali aku harus
mengatakan kepadamu, T‐I‐D‐A‐K !! Pertama, aku tidak mengenalnya, akan tetapi kalau aku pada
satu saat menulis riwayat hidupku, aku akan kerjakan dengan seorang perempuan.
Sekarang jauh‐jauhlah
dari penglihatanku. Engkau seperti pesurah wartawan asing." Roch berlari
keluar dan pulang kerumahnya. Kemudian aku merasa menyesal. Ajudanku menelpon
Roch dan. memberitahukan, bahwa aku hendak bertemu dengan dia. Lalu kukirimi
kendaraan untuk menjemputnya. Dia datang dan mengira bahwa akan menerima
semprotan lagi, akan tetapi sebaliknya, Presidennya hendak minta ma'af
kepadanya.
"Ma'afkanlah
aku, Roch," kataku. "Kadang‐kadang aku berteriak dan menyebut nama‐nama buruk, akan tetapi sebenarnya akulah itu. Jangan masukkan kata‐kata itu dalam hatimu. Kalau aku meradang, itu berarti aku mencintaimu.
Aku menyemprot kepada orang‐orang
yang terdekat dan paling kusayangi. Hanya mereka yang menjadi papan
suaraku." Kemudian kucium dia dipipinya, cara yang biasa kulakukan sebagai
salam pertemuan dan perpisahan dengan anak‐anak perempuan sekretarisku—dan dia pergi dengan hati yang senang
sekali. Itu sebabnya, mengapa persoalan‐persoalan Asia harus diselesaikan dengan cara Asia. Caraku bukanlah
sesungguhnya gaya Barat, kukira. Aku tak dapat membayangkan seorang Perdana
Menteri Inggris memeluk sekretaris wanitanya sebagai ucapan selamat pagi atau
ucapan ma'af, setelah mana perempuan itu lari keluar dan membiarkan dia
sendiri. Aku tidak menduga, tidak lama setelah kejadian ini aku bertemu dengan
Cindy Adams. Cindy, seorang wartawan wanita, berada di Jakarta di tahun 1961
dengan suaminya pelawak Joey Adams, yang memimpin Missi Kesenian Presiden
Kennedy ke Asia Tenggara. Wanita Amerika yang riang dan rapi ini, dengan
pembawaannya yang suka berkelakar, menyebabkan aku seperti kena pukau.
Wawancara dengan Cindy menyenangkan sekali dan tidak menyakitkan hati.
Tulisannya jujur dan dapat dipercaya sepen~nja. Bahkan dia nampaknya dapat
merasakan sedikit tentang Indonesia dan persoalan persoalannya dan, yah, dia
adalah seorang penulis yang paling menarik yang pernah kujumpai! Kami orang jawa bekerja
dengan instink. Setahun lamanya aku mencari‐cari seorang wanita yang akan menjabat sebagai press officer, akan
tetapi ketika aku melihat Roch aku segera mengetahui, bahwa dialah yang kucari.
Kupekerjakan dia segera. Begitupun halnya dengan Cindy. Pada kesempatan lain,
ketika Howard Jones memulai lagi pokok pembicaraan tentang sejarah hidupku, aku
memberikan 'surprise' kepadanya. Aku meringis. "Dengan satu syarat. Bahwa
aku mengerjakannya dengan Cindy Adams. "Dan apakah akhirnya yang
menyebabkan aku mengambil keputusan untuk mengerjakan sejarah hidupku? Yah,
mungkin juga benar, sudah mendekat waktu aku harus rnenyadari, bahwa aku sudah
tua.
Sekarang,
mataku yang sudah tua dan malang itu berair. Aku harus memandang gambaran ini
dengan alasan. Disatu pagi yang lain seorang kemenakan datang menemuiku. Aku
biasa memangkunya ketika dia masih kecil. Sekarang beratnya 70 kilo. Aku
menyadari dengan tiba‐tiba,
bahwa aku tidak dapat memangkunya lagi diatas lututku. Mungkin dia akan mematahkan
kakiku yang tua dan lelah itu. Memang wanita cantik dapat membikin hatiku
menjadi muda lagi, akan tetapi bila aku menginsyafi bahwa anak itu sekarang
menjadi ibu dari beberapa orang anak, tahulah aku bahwa aku sudah berangsur tua
juga. Dan begitulah, waktunya sudah datang. Kalau aku hendak menuliskan
kisahku, aku harus mengguratkannya sekarang. Mungkin aku tidak mempunyai
kesempatan nanti. Aku tahu, bahwa orang ingin mengetahui, apakah Sukarno
seorang kolaborator Jepang semasa Perang Dunia Kedua. Kukira hanya Sukarno yang
dapat menerangkan periode kehidupannya itu dan karena itu ia bersedia
menerangkannya. Bertahun tahun lamanya orang bertanya‐tanya, apakah Sukarno seorang Diktator, apakah dia seorang Komunis;
mengapa dia tidak membenarkan kemerdekaan pers; berapa banyak isterinya;
mengapa dia membangun departemen store‐departemen store yang baru, sedangkan rakyatnya dalam keadaan
compang‐amping.......... Hanya Sukarno sendiri yang dapat menjawabnya. Ini adalah
pekerjaan yang sukar bagiku. Suatu otobiografi adalah ibarat pembedahan mental
bagiku. Sungguh berat. Menyobek plester pembalut luka luka dari ingatan
seseorang dan membuka luka‐luka
itu, memang sakit, sekalipun banyak diantaranya yang sudah mulai sembuh.
Tambahan lagi, aku akan melakukannya dalam bahasa Inggris, bahasa asing bagiku.
Terkadang aku membuat kesalahan dalam tata bahasa dan seringkali aku terhenti
karena merasa agak kaku. Akan tetapi, mungkin juga aku wajib menceritakan kisah
ini kepada tanah airku, kepada bangsaku, kepada anak‐anakku dan kepada diriku sendiri. Karenanya kuminta kepadamu,
pembaca, untuk mengingat bahwa, lebih daripada bahasa kata‐kata yang tertulis adalah bahasa yang keluar dari lubuk hati. Buku
ini tidak ditulis untuk mendapatkan simpati atau meminta supaya setiap orang
suka kepadaku. Harapanku hanyalah, agar dapat menambah pengertian yang lebih
baik tentang Sukarno dan dengan itu menambah pengertian yang lebih baik
terhadap Indonesia yang tercinta.
0 komentar:
Posting Komentar