BAB II
Putera Sang Fajar
IBU telah
memberikan pangestu kepadaku ketika aku baru berumur beberapa tahun. Di pagi
itu ia sudah bangun sebelum matahari terbit dan duduk di dalam gelap di beranda
rumah kami yang kecil, tiada bergerak. Ia tidak berbuat apa‐apa, ia tidak berkata apa‐apa, hanya memandang arah ke Timur dan dengan sabar menantikan hari
akan siang. Akupun bangun dan mendekatinya. Diulurkannya kedua belah tangannya
dan meraih badanku yang kecil ke dalam pelukannya. Sambil mendekapkan tubuhku
ke dadanya, ia memelukku dengan tenang. Kemudian ia berbicara dengan suara
lunak, "Engkau sedang memandangi fajar, nak." Ibu katakan kepadamu,
kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari
rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai
menyingsing.
Kita orang Jawa
mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari
terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan lupakan itu, jangan
sekali‐kali
kaulupakan, nak!, bahwa engkau ini putera dari sang fajar. "Bersamaan
dengan kelahiranku menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru dan
menyingsing pulalah fajar dari satu abad yang baru. Karena aku dilahirkan di
tahun 1901. Bagi Bangsa Indonesia abad kesembilan belas merupakan jaman yang
gelap. Sedangkan jaman sekarang baginya adalah jaman yang terang benderang
dalam menaiknya pasang revolusi kemanusiaan. Abad ini adalah suatu jaman dimana
bangsa‐bangsa
baru dan merdeka di benua Asia dan Afrika mulai berkembang dan berkembangnya
negara‐negara
Sosialis yang meliputi seribu juta manusia. Abad inipun dinamakan Abad Atom.
Dan Abad Ruang Angkasa. Dan mereka yang dilahirkan dalam Abad Revolusi Kemanusiaan
ini terikat oleh suatu kewajiban untuk menjalankan tugas‐tugas kepahlawanan.
Hari lahirku
ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam, bulan enam. Adalah menjadi
nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang
kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku
bisa lunak dan aku bisa cerewet. Aku bisa keras laksana baja dan aku bisa
lembut berirama. Pembawaanku adalah paduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan.
Aku seorang yang suka mema'afkan, akan tetapi akupun seorang yang keras‐kepala. Aku menjebloskan musuh‐musuh Negara ke belakang jeruji besi, namun demikian aku tidak
sampai hati membiarkan burung terkurung di dalam sangkar. Pada suatu kali di
Sumatra aku diberi seekor monyet. Binatang itu diikat dengan rantai. Aku tidak
dapat membiarkannya! Dia kulepaskan ke dalam hutan. Ketika Irian Barat kembali
kepangkuan kami, aku diberi hadiah seekor kanguru. Binatang itu dikurung. Kuminta
supaya dia dibawa kembali ke tempatnya dan dikembalikan kemerdekaannya. Aku
menjatuhkan hukuman mati, namun aku tak pernah mengangkat tangan untuk memukul
mati seekor nyamuk. Sebaliknya aku berbisik kepada binatang itu, "Hayo,
nyamuk, pergilah, jangan kaugigit aku." Sebagai Panglirna Tertinggi aku
mengeluarkan perintah untuk membunuh. Karena aku terdiri dari dua belahan, aku
dapat memperlihatkan segala rupa, aku dapat mengerti segala pihak, aku memimpin
semua orang. Boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan. Boleh jadi juga
pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu menjadikan aku
seseorang yang merangkul semuanya.
Masih ada pertanda
lain ketika aku dilahirkan. Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat
kami, meletus. Orang yang percaya kepada tahayul meramalkan, "Ini adalah
penyambutan terhadap bayi Sukarno." Sebaliknya orang Bali mempunyai
kepertcayaan lain; kalau gunung Agung meletus ini berarti bahwa rakyat telah
melakukan maksiat. Jadi, orangpun dapat mengatakan bahwa gunung Kelud sebenarnya
tidak menyambut bayi Sukarno. Gunung Kelud malah menyatakan kemarahannya,
karena anak yang begitu jahat lahir ke muka bumi ini. Berlainan dengan pertanda‐pertanda yang mengiringi kelahiranku itu, maka kelahiran itu
sendiri sangatlah menyedihkan. Bapak tidak mampu memanggil dukun untuk menolong
anak yang akan lahir. Keadaan kami terlalu ketiadaan. Satu‐satunya orang yang menghadapi ibu ialah seorang kawan dari keluarga
kami, seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Dialah, dan tak ada orang lain
selain dari orang tua itu, yang menyambutku menginjak dunia ini. Di Bogor ada
sebuah plaket timbul yang terbuat dari batu pualam putih lagi bersih, yang
melukiskan kelahiran Hercules. Ia tergantung di ruang gang yang menuju
keruangan resepsi Negara. Plaket ini memperlihatkan bayi Hercules dalam
pangkuan ibunya dikelilingi oleh empatbelas orang wanita‐wanita cantik — semua dalam keadaan telanjang. Cobalah bayangkan,
betapa bahagianya untuk dilahirkan di tengah‐tengah empatbelas orang wanita cantik seperti ini!, Akan tetapi
Sukarno tidak sama beruntungnya dengan Hercules. Pada waktu aku dilahirkan, tak
seorangpun yang akan mengambilku ke dalam pangkuannya, kecuali seorang kakek
yang sudah terlalu amat tua.
Lalu 50 tahun
kemudian. Ini bukanlah lelucon sebagai bahan tertawaan. Di tahun 1949 Republik
kami yang masih muda menginjak tahun keempat dari revolusi kami melawan
Belanda. Suatu perjuangan yang hebat dengan menggunakan berbagai muslihat.
Pihak sana di Negeri Belanda benci kepadaku habishabisan seperti mereka habis‐habisan membenci neraka. Mereka menentangku melalui radio. Dan mereka
menentangku melalui pers. Sebuah majalah membuat suatu pengakuan dengan
menyatakan bahwa, "Sukarno adalah seorang yang bersemangat, dinamis dan
berlainan sama sekali dengan orang Jawa yang lamban dan lambat berpikir.
Sukarno dapat berbicara dalam tujuh bahasa dengan lancar. Kita hendaknya bisa
melihat kenyataan dan kenyataan adalah, bahwa Sukarno sesungguhnya seorang pemimpin."
Dalam tulisan ini diuraikan segala sifat dan tanda yang baik mengenai diriku.
Dengan segera aku menyadari maksud tujuannya. Tulisan itu akhirnya
menyimpulkan, "Pembaca yang budiman, tahukah pembaca mengapa Sukarno
memiliki sifat‐sifat
yang luar‐biasa
itu? Karena Sukarno bukanlah orang Indonesia asli. Itulah sebabnya. Dia adalah
anak yang tidak sah dari seorang tuan kebun dari perkebunan kopi yang
mengadakan hubungan gelap dengan seorang buruh perempuan Bumiputera, kemudian menyerahkan
anak itu kepada orang lain sebagai anak‐angkat. "Sayang! Satu‐satunya saksi untuk bersumpah kepada bapakku yang sesungguhnya dan
untuk menjadi saksi bahwa aku dilahirkan oleh ibuku yang sebenarnya bukan oleh pekerja
di perkebunan kopi sudah sejak lama meninggal.
Melalui
generasi demi generasi darah Indonesia sudah bercampur dengan orang India,
Arab, Polynesia asli dan sudah barang tentu dengan orang Tionghoa. Pada
dasarnya kami adalah suku bangsa rumpun Melayu. Dari kata asal Ma timbul kata‐kata Manila, Madagaskar, Malaya, Madura, Maori, Himalaja. Nene moyang
kami berpindah‐pindah
di sepanjang daerah Asia, menetap di tigaribu pulau yang kemudian menjadi orang
Bali, Jawa, Aceh, Ambon, Sumatra dan seterusnya. Aku adalah anak dari seorang
ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idayu, asalnya dari keturunan
bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir adalah paman ibu. Bapakku berasal dari
Jawa. Nama lengkapnya Raden Sukemi Sosrodihardjo. Dan bapak berasal dari
keturunan Sultan Kediri. Lagi‐lagi,
merupakan suatu kebetulan ataupun suatu takdir padaku bahwa aku dilahirkan
dalam lingkungan kelas yang berkuasa. Namun betapapun asal kelahiranku ataupun
nasibku, pengabdianku untuk kemerdekaan rakyatku bukanlah suatu keputusan yang
tiba‐tiba.
Aku mewarisinya. Semenjak tahun 1596, yaitu pada waktu Belanda pertama kali
menyerbu kepulauan kami, maka tindakan Belanda menguasai daerah kami dan
perlawanan kami yang sia‐sia
dalam merebut kembali tanah pusaka kami telah membikin hitam lembaran‐lembaran dalam sejarah kami. Kakek dan moyangku dari pihak ibu
adalah pejuang‐pejuang
kemerdekaan yang gagah. Moyangku gugur dalam Perang Puputan, suatu daerah di
pantai utara Bali di tempat mana terletak Kerajaan Singaraja dan dimana telah
berkobar pertempuran sengit dan bersejarah melawan penjajah. Ketika moyangku
menyadari, bahwa semuanya telah hilang dan tentaranya tidak dapat menaklukkan
lawan, maka ia dengan sisa orang Bali yang bercita‐cita mengenakan pakaian serba putih, dari kepala sampai kekaki.
Mereka menaiki kudanya, masing masing menghunus keris, lalu menjerbu musuh.
Mereka
dihancurkan. Raja Singaraja yang terakhir secara licik dikeluarkan oleh Belanda
dan kerajaannya. Kekayaannya, tempat tinggal, tanah dan semua miliknya
dirampas. Mereka mengundangnya ke sebuah kapal perang untuk berunding. Begitu
sampai di atas kapal, Belanda menahannya secara paksa, lalu berlayar dan
menjebloskannya ke tempat pembuangan. Setelah Belanda menduduki istananya dan merampas
miliknya, keluarga ibu jatuh melarat. Karena itu kebencian ibu terhadap Belanda
tak habis habisnya dan ini disampaikannya kepadaku. Di tahun 1946, ketika itu
umur ibu sudah lebih dari 70 tahun, Republik kami yang masih muda terlibat
dalam pertempuran‐pertempuran
jarak dekat dengan musuh. Dalam suatu pertempuran, pasukan kami berkumpul di
pekarangan belakang rumah ibu di Blitar. Kisah ini kemudian diceritakan oleh
pejuang gerilya kepadaku, "Di tempat ini keadaan gerakan kami tenang sekali.
Kami semua tiarap menunggu. Rupanya ibu tidak mendengar apa‐apa dari pihak kita. Tidak ada tembakan, tidak ada teriakan. Dengan
mata yang bernyala‐nyala
beliau keluar mendatangi kami, "Kenapa tidak ada tembakan?" Kenapa
tidak bertempur? Apa kamu semua penakut?.
Kenapa kamu
tidak keluar menembak Belanda, Hayo, terus, semua kamu, keluar dan bunuh
Belanda‐ Belanda
itu!'" Pihak bapakpun adalah patriot‐patriot ulung. Nenek dari nenek bapak kedudukannya dibawah seorang
Puteri, namun dia seorang pejuang puteri di samping pahlawan besar kami,
Diponegoro. Dengan menaiki kuda dia mendampingi Diponegoro sampai menemui
ajalnya dalam Perang Jawa yang besar itu, yang berkobar dari tahun 1825 sampai
tahun 1830. Sebagai kanak‐kanak
aku tidak mendapat cerita‐cerita
seperti di televisi atau cerita Wild West yang dibumbui. Ibu selalu
menceritakan kisah‐kisah
kebangsaan dan kepahlawanan. Kalau ibu sudah mulai bercerita, aku lalu duduk
dekat kakinya dan dengan haus meneguk kisah‐kisah yang menarik tentang pejuang‐pejuang kemerdekaan dalam keluarga kami. Ibupun menceritakan
tentang bagaimana bapak merebutnya. Semasa mudanya ibu menjadi seorang gadis
pura yang pekerjaannya membersihkan rumah ibadat itu setiap pagi dan petang.
Bapak bekerja sebagai guru sekolah rendah gubernemen di Singaraja dan
setelah selesai sekolah sering datang ke lubuk di muka pura tempat ibu bekerja
untuk menikmati ketenangannya.
Pada suatu hari
ia melihat ibu. Pada kesempatan lain ketika duduk lagi dekat lubuk itu ia
melihat ibu sekali lagi. Setelah sore demi sore berlalu, ia menegur ibu
sedikit. Ibu menjawab. Segera ia merasa tertarik kepada ibu dan ibu kepadanya.
Seperti biasanya menurut adat, bapak mendatangi orang tua ibu untuk meminta ibu
secara beradat. "Bolehkah saya meminta anak ibu‐bapak?" Orangtua ibu lalu menjawab, "Tidak bisa. Engkau
berasal dari Jawa dan engkau beragama Islam. Tidak, sekali‐kali tidak! Kami akan
kehilangan anak kami. 'Seperti halnya dengan keadaan sebelum Perang
Dunia Kedua, perempuan Bali tidak ada yang mengawini orang luar. Yang kumaksud
bukan orang luar dari negara lain, akan tetapi orang luar dari pulau lain.
Waktu itu tidak ada perkawinan campuran antara satu suku dengan suku lain sama
sekali. Kalaupun terjadi bencana semacam ini, maka pengantin baru itu
diasingkan dari rumah
Orang tuanya sendiri. Suatu keistimewaan dari Sukarno, ia dapat
menyatukan rakyatnya. Warna kulit kami mungkin berbeda, bentuk hidung dan dahi
kami mungkin berlainan lihat orang Irian hitam, lihat orang Sumatra sawomatang,
lihat orang Jawa pendek‐pendek,
orang Maluku lebih tinggi, lihat orang Lampung mempunyai bentuk sendiri, rakyat
Pasundan mempunyai ciri sendiri, akan tetapi kami tidak lagi jadi inlander atau
menganggap diri kami orang‐asing
satu sama lain. Sekarang kami sudah menjadi orang Indonesia dan kami satu.
Semboyan negeri kami Bhineka Tunggal Ika "Berbeda‐beda tapi satu jua". Kembali kepada kisah bapakku, betapa
sukarnya situasi ketika ia hendak mengawini ibu. Terutama karena ia resminya
seorang Islam, sekalipun ia menjalankan Theosofi. Untuk kawin secara Islam,
maka ibu harus menganut agama Islam terlebih dulu. Satu‐satunya jalan bagi mereka ialah kawin lari. Kawin lari menurut
kebiasaan di Bali harus mengikuti tata cara tertentu.
Kedua merpati
itu bermalam di malam perkawinannya di rumah salah seorang kawan. Sementara itu
dikirimkan utusan ke rumah orangtua si gadis untuk memberitahukan bahwa anak
mereka sudah menjalankan perkawinannya. Ibu dan bapakku mencari perlindungan di
rumah Kepala Polisi yang menjadi kawan bapak. Keluarga ibu datang menjemputnya,
akan tetapi Kepala Polisi itu tidak mau melepaskan. "Tidak, dia berada
dalam perlindungan saya," katanya. Bukanlah kebiasaan kami untuk
menghadapkan pengantin kemuka pengadilan, sekalipun orangtua tidak setuju. Akan
tetapi kejadian ini adalah keadaan yang luar biasa ketika itu. Bapak seorang
Islam Theosofi dan ibu seorang Bali Hindu‐Budha. Pada waktu perkara itu diadili, ibu ditanya, "Apakah
laki‐laki
ini memaksamu, bertentangan dengan kemauanmu sendiri?" Dan ibu menjawab,
"Tidak, tidak. Saya mencintainya dan melarikan diri atas kemauan saya sendiri.
"Tiada pilihan lain bagi mereka, kecuali mengizinkan perkawinan itu.
Sekalipun demikian pengadilan mendenda ibu 25 ringgit, yang nilainya sama
dengan 25 dolar. Ibu mewarisi beberapa perhiasan emas dan untuk membayar denda
itu ibu menjual perhiasannya. Karena bapak merasa tidak disukai orang di Bali,
ia kemudian mengajukan permohonan kepada Departemen Pengajaran untuk
dipindahkan ke Jawa. Bapak dikirim ke Surabaya dan disanalah putera sang fajar
dilahirkan.
0 komentar:
Posting Komentar