Indonesia

Indonesia is the beautiful country in the universe

Kamis, 15 Desember 2011

Pemikiran Islam_Telaah Kritis Pemikiran Masdar



Andrias untuk kemajuan bangsa               

Oleh: Jamal Ma’mur Asmani

“Kalau argumen Masdar tentang haji dalam tiga gelombang wuquf berdasar karena adanya masyaqqah, masyaqqah sendiri ada batas-batasnya [al-hudud]. Secara faktual, yang menjadi masyaqqah itu justru bukan pelaksanaan wuquf, namun pada sabil [jalan]. Sehingga solusi dari tumpukan manusia bisa dilakukan dengan pelebaran sabil [jalan], pengembangan terirorial atau dengan menggunakan lif, atau aneka ragam teknologi modern sekarang ini, bukan dengan menghilangkan otentisitas dan orisinalitas pelaksanaan haji sejak Nabi Ibrahim sampai Nabi Muhammad dan sekarang ini”.

Abdurrahman Wahid [Gus Dur] mendefinisikan reaktualisasi sebagai upaya penafsiran kembali yang memiliki validitasnya sendiri. Ia harus dilakukan untuk menampung kebutuhan hidup yang terus berkembang. Konsfigurasi antara nilai-nilai normatif dan reaktualisasi ajaran agama akan tetap menjadi kebutuhan yang nyata, selama kaum Muslimin tetap pada pendirian untuk tidak ‘melangkahi’ ketentuan tekstual, tetapi juga tidak bersedia menarik diri dari pola kehidupan yang senantiasa berubah [Abdurrahman Wahid dalam kata pengantar Ensiklopedi Ijma’, Pustaka Firdaus & P3M, 1987:xvi].
Masdar Farid Mas’udi [Wakil Katib Syuriyah PBNU dan Direktur P3M Jakarta] sudah lama terkenal sebagai sosok lokomotif pembaharu dalam tubuh NU yang dikenal kritis, analitis, progresif, dan kadang kala mengagetkan. Dua bukunya, Agama Keadilan, Risalah Zakat [Pajak] Dalam Islam, dan Reproduksi Wanita adalah salah satu bukti konsistensinya dalam lapangan pembaharuan pemikiran. Pemikiran Masdar inipun banyak yang menular ke bawah. Ulil Abshar, tokoh muda NU dan lokomotif JIL dalam bukunya Membakar Rumah Tuhan menceritakan, ketika Lakpesdam NU mengadakan program pelatihan bagi para kiai muda NU dari seluruh Jawa, ternyata, banyak dari mereka yang sudah mempunyai pemikiran progresif, semisal KH. Husein Muhammad dari Arjawinangun, Cirebon, dan KH. Moh. Ishom Hadizq [al-maghfurlah] dari Tebuireng Jombang. Mereka sudah terbiasa dengan pikiran-pikiran Moh. Arkoun dan Fazlur Rahman. Bedanya, pembaharuan mereka dilakukan secara diam-diam, menghindari ‘tabrakan’ para kiai sepuh. Dalam istilah Ulil menirukan Aswab Mahasin, disebut sebagai ‘pembaharuan tanpa dentuman besar’ atau silent modernism, modernisme yang diam-diam, tak gegap gempita. Ini juga sejalan dengan filosofi pesantren, al muhafadhatu alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah, mempertahankan yang lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik [Ulil Abshar-Abdalla, Membakar Rumah Tuhan, Rosda Karya, Bandung, 1999:181].
Pemandangan ini sangat berbeda dengan gaya pembaruannya Masdar dan Ulil sendiri. Kedua orang ini tidak memakai silent modernism, tapi hard and clear modernism, modernisme yang jelas dan keras. Artinya, pembaruan keduanya sangat jelas [memakai media cetak/elektronik, atau dengan statemen kontroversial di forum-forum ilmiah] sehingga menyebabkan iklim intelektualitas [utamanya kalangan Nahdliyin tradisionalis] menjadi keras dan panas dibuatnya.
Contoh terkininya adalah [selain gagasan Ulil yang heboh di Kompas] gagasan terbaru Masdar [yang katanya sudah mulai disosialisasikan mulai tahun –80-an di Majalah Tempo], yang dimuat Jawa Pos [JP/18/1]. Banyak para kiai, santri dan umat Islam yang saya hubungi pascapemuatan gagasan itu menjadi berang. Mereka menilai Masdar sudah kelewat batas. Ada yang apologi subyektif sehingga menilai negatif, ada juga yang berusaha menilai obyektif dengan mengedepankan kajian argumentatif. Inti pemikiran Masdar adalah menjadikan haji menjadi tiga gelombang, sehingga wuquf di arafah tidak hanya [tidak wajib] dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah [hari arafah] sebagaimana ketentuan yang berlaku. Namun setiap bulan [Syawal, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah] bisa sendiri-sendiri, sehingga ada kloter Syawal, kloter Dzulqa’dah, dan kloter Dzulhijjah. Hal ini selain sesuai dengan petunjuk ayat AlHajju Asyhurun Ma’lumat, haji adalah pada bulan-bulan yang sudah diketahui juga untuk menghindari masyaqqah [kecapean, kerawanan, dan kesulitan]

Problem Pemahaman
Problem yang disampaikan Masdar tentang pertautan antara Alhajju Asyhurun Ma’lumat [Alquran] dengan Alhajju Arafah [Hadits] sebenarnya adalah sebuah misunderstanding, salah pemahaman. Masdar salah memahami bahwa antara dua hal itu tidak ada kontradiksi [al-tanaqudl]. Yang satu –alhajju asyhurun ma’lumat menjelaskan tentang miqat zamani haji, sedangkan yang kedua, al-hajju arafah- menjelaskan rukun haji. Lebih lengkapnya begini, Asyhurun adalah bentuk plural dari syahr, sedangkan ma’lumat adalah qoyyid lazim [batasan tetap] dalam ilmu balaghah. Artinya, haji itu pada bulan-bulan yang sudah sangat maklum. Dari mana maklum di situ? maklum disini adalah kebiasaan atau tradisi yang sudah berlaku selama berabad-abad sebelum turunnya ayat tersebut. Dan kita ketahui bersama, tradisi orang arab adalah pada waktu syawwal, dzulhijjah, dan dzulqa’dah. Oleh sebab itulah, kemujmalan [teks global yang butuh penjelasan, ma kaana muhtajan ila bayani fa mujmalun –lihat Abdul Hamid ibn Muhammad Ali Quds dalam kitab Lathaiful Isyarah hlm. 39-40] lafadz asyhurun disitu sudah tidak ada. Tidak hanya waktu haji, seluruh perilaku haji [termasuk waktu wuquf di arafah] juga sudah masuk dalam ayat tersebut. Hadits Nabi ‘Alhajju Arafah’ hanya sekedar menguatkan tradisi yang sudah ada. Jadi, mubayyan-nya [sesuatu yang menjelaskan] adalah syar’u man qablana, syariat orang sebelum turunnya ayat. Disinilah pentingnya studi sejarah dan kultur lokal arab dalam memahami proses nuzulul wahyi. Syariat ini kemudian diteruskan Nabi Muhammad Saw. [sebagaimana kita tahu, seringkali dalam Alquran ada ayat an ittabi’ millata Ibrahima hanifa, supaya engkau mengikuti syariat Ibrahim yang lurus]. Walaupun begitu tetap saja syariat Nabi Muhammad berdiri sendiri, Wa likullin Ja’alna kum Syir’atan Wa Minhaja, masing-masing Nabi kami jadikan jalan dan metode [yang berdiri sendiri-sendiri].
Karena khawatir ummatnya macam-macam Nabi dengan tegas bersabda, Khudzuu ‘Anni Manasikakum, ambillah dariku bagaimana cara beribadah hajimu. Hadits ini sama dengan hadits “Shallu Kama Raaitumuni Ushalli” shalatlah seperti kamu semua melihatku shalat. Disini ada dimensi ta’abbudi [tunduk mengikuti syari’ah]. Dalam ta’abbudi titik konsentrasinya adalah fadhai’lul a’mal [keutamaan perbuatan], dan hikmah al-tasyri’ wa falsafatuhu [hikmah dan kandungan filosofis disyariatnya sebuah hukum, seperti mengingat sejarah penyembelihan Ibrahim dengan Ismail dan pertemuan Adam dengan Hawa]. Bukan datang dengan tujuan sekedar isqatul uhdatul [menggugurkan kewajiban]. Nuansa spiritualitas dan religisiusitasnya sangat tinggi. Ingat sebelum haji Allah memperingatkan agar para jamaah haji memperhatikan zad [bekal], namun yang disuruh Allah bukan bekal berupa materi, namun taqwa [Watazawwadu fainna khaira al-zadi attaqwa –ayat sesudah alhajju asyhurun ma’lumat, QS. Al-Baqarah, 178]. Artinya, hampir mustahil seseorang yang berangkat haji menjadi seorang muttaqin [ahli taqwa] kalau sebelum berangkat tidak mempersiapkan bekal taqwa. Karena orientasi taqwa, maka ketundukan, kepasrahan, kekhudhu’an, kekhusyu’an, dan kenikmatan beribadah menjadi sangat berarti. Kalau haji hanya sekedar dihitung secara fikih an-sich, tidak ada rasa penghambaan kepada Allah, niscaya kwalitas haji seperti itu kosong dari nilai substansial yang akan membentuk dirinya menjadi sosok haji mabrur. Kalau hanya karena masyaqqah sedikit saja [umpamanya] orang sudah tidak mau lagi, berarti dimensi fikihnya [dhohir] sangat menonjol, kekuatan kejiwaaannya [tasawwuf] amat rendah. Allah hanya minta sekali saja dalam hidup ini untuk wuquf di Arafah.

Arafah
Dalam kitab-kitab klasik atau yang terkenal dengan kitab kuning [classical books] hadits AlHajju Arafah, Arafah di situ berarti Mu’dhomi arkanil hajji al-wuqufu bi arafata, rukun haji yang paling agung adalah wuquf di Arafah [Bajuri, Juz I, hlm. 312]. Kapan waktunya, Imam Bukhari dalam kitabnya, Shahihul Bukhari, Darul Fikri, Juz II, hlm. 175, Imam Syuyuthi dalam Syarh Sunan Tirmidzi, Darul Fikri, Juz 5, hlm. 256-257, Imam Muhammad Ibn Yusuf [yang terkenal dengan Abi Hayyan] dalam kitabnya Tafsir Al-Bahr Al-Muhid, Darul Fikri, Juz II, hlm. 95, Muhammad Ali Al-Shabuni dalam Rawai’ul Bayan, Jilid Awal, hlm. 255-256, dan seluruh kitab Fikih seperti I’anah al-Thalibin, Iqna’, Bajuri, Wahhab, Syarqawi, dan Mughnil Muhtaj, menjelaskan bahwa wuquf adalah mulai tergelincirnya matahari pada hari arafah [tanggal sembilan Dzulhijjah] sampai terbitnya fajar pada hari nahr [tanggal 10 Dzulhijjah].
Salah satu Ibarat dalam kitab Syarh Sunan Tirmidzi karangan Imam Suyuthi [seorang ahli fikih, ahli hadits, ahli tafsir, ahli nahwu, dan hampir seluruh cabang ilmu dikuasainya, karangannya hampir mencapai 500 kitab] sebagai berikut “Akhbarana A’maq ibn Ibrahim Qala Anbaana Waki’, Qala Haddatsana Sufyan An Bakir bin ‘Atha an Abdirrahman bin Ya’mar, QaalaSyahidtu Rasulallah Shallallahu Alaihi Wasallam, Fa ataahu Nasun, Fasa’aluu Anil Hajji Faqaala Rasulullah, Al-Hajju Arafah Faman Adraka Lailata Arafah Qabla Thulu’il Fajri Min Lailati Jam’in Faqad Tamma Hajjuhu. Hadits diceritakan dari A’maq bin Ibrahim, dia berkata, Waki’ menceritakan kepada kita, dia berkata, menceritakan kepada kita Sufyan bin Bakir bin Atha dari Abdurrahman bin Ya’mar, dia berkata, “Saya melihat Rasulullah Saw, didatangi manusia ditanya soal Haji, Rasulullah kemudian menjawab ‘[rukun] Haji [paling agung] adalah wuquf di Arafah, barang siapa yang menemukan [wuquf] pada malam arafah [tanggal 9 Dzulhijjah, di sini sangat jelas] sebelum terbitnya fajar dari malam jam’u [malam berkumpulnya jama’ah haji -malam 10 Dzulhijjah-] maka, sungguh hajinya telah sempurna [Syarh Sunan Tirmidzi, Juz 5, hlm. 256].
Ali Al-Shabuni menyitir hadits yang diriwayatkan dari Ahmad dan Ashabus Sunan yang berbunyi, Al-Hajju Arafah, Man Jaa Lailata Jam’in Qabla Tulu’il Fajri Faqad Adraka, rukun haji yang paling mulia adalah wuquf di Arafah, barang siapa yang datang pada waktu malam jam’u [malam nahr -tanggal 10 Dzulhijjah- ketika jama’ah haji di Muzdalifah] maka dia telah mendapatkannya. – Rawai’ul Bayan, Jilid I, hlm. 255-256-.
Bahkan ada cerita, ketika Habbar ibn Aswad datang pada hari nahr [tanggal 10 Dzulhijjah] berkata pada umat, Wahai Pemimpin umat Islam, kita salah menghitung hari, kami mengira ini adalah hari arafah, Umar kemudian menjawab, pergilah ke Makkah, Tawaflah kamu dan yang menyertaimu. Berkorbanlah jika ada, potonglah, dan kembalilah. Nanti tahun depan hajji lagi [Dr. Musthofa Dib al-Bagha, Al-Tazhib Syarh Bulughul Maram, Beirut, hlm. 119].
Sebenarnya, secara implisit, hal ini juga diterangkan dalam ayat sesudahnya, yakni, Fa Idza Afadltum Min Arafatin Faz Kurullaha Indal Mas’aril Harami, Wadzkuruhu Kama Hadakum Wain Kuntum Min Qablihi Lamina al-Dhalimin [QS. Al-Baqarah, 2:198]. Hadits ini menerangka bahwa wuquf ini dilakukan disamping Masy’aril Haram, sebuah tempat disekitar Arafah. Masy’aril Haram ini ternyata ramai ketika musim kurban, yaitu tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Maka wuquf dilaksanakan sebelum pelaksanaan kurban sehingga para haji tidak terganggu dan dapat menikmatinya [Hasyim Abbas, 2004].
Dari sini dapat disimpulkan bahwa waktu wuquf pada hari arafah adalah manshus [sesuatu yang langsung dinash oleh Nabi]. Atau dalam bahasa ushul fikihnya manthuq, eksplisit, sesuatu yang tidak membutuhkan al-nadhar, analisa mendalam, apalagi kreatifitas yang keluar dari akarnya.
Ketentuan ini kemudian menjadi ijma para Ulama yang ma’lumun min al-din bil dharurah, sesuatu yang sudah jelas tanpa perlu dipikir, dianalisa, atau bahkan direkayasa [dharuri]. Bagi orang yang mengingkarinya hukukmya adalah kafir secara pasti [qat’an], karena ada tendensi membohongi Syari [tidak percaya kepada Allah dan Rasulnya] [lihat- Syeikh Abdul Hamid bin Muhammad Ali dalam kitabnya Lathaiful Isyarah, hlm. 48, Maktabah Thoha Putra Semarang].
KH. MA. Sahal Mahfudz [Rais Am Syuriyah PBNU dan Ketua Umum Pusat MUI] dan KH. A. Musthofa Biysri [Rais Syuriyah PBNU] dalam terjemahan kitab Mausu’atil Ijma’ [Ensiklopedi Ijma’] menjelaskan sebagai berikut :
“Waktu wuquf di Arafah adalah antara saat lingsir matahari di Hari Arafah dan menyingsingnya fajar di Malam Nahr, menurut pendapat segenap ulama kecuali Ahmad. Beliau mengatakan, waktu wuquf adalah antara menyingsingnya fajar di Hari Arafah dan menyingsingnya lagi di Hari Nahr. Ulama juga telah sepakat bahwa wukuf tidak sebelum dhuhur pada hari ke sembilan [tanggal 9] Dzulhijjah dan tidak Hari Nahr, bagi mereka yang tahu bahwa itu hari Nahr, dan sesudahnya. Berdasar ini, ulama sepakat bahwa orang yang berhenti di arafah pada Malam Nahr, sekira dari berhentinya itu sempat salat subuh dengan imam, ia dianggap telah wuquf. Barang siapa berhenti di siang hari dan bertolak sebelum tenggelamnya matahari, dan tidak kembali ke arafah waktu siangnya, itu telah mencukupi sebagai wuqufnya, dan hajinya sah menurut semua ulama, kecuali Malik. Beliau berkata; “Yang muktamad dalam wuquf di Arafah adalah malam hari; kalau tidak mengalami sedikitpun dari malam, maka tertinggalah haji [haji terlepas darinya].” Ini juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Juga telah disepakati bahwa orang yang wuquf di Arafah sebelum tergelincir matahari dan bertolak dari sana sebelum tergelincir matahari, wuqufnya tidak dianggap. Dan bila tidak kembali dan wuquf setelah tergelincir atau wuquf pada sebagian malamnya, sebelum menyingsingkan fajar, maka haji terlepas darinya” [Kesepakatan Ulama dalam Hukum Islam, Ensiklopedi Ijma, Sa’di Abu Habieb, Hakim Agama di Damaskus, Direktur Lembaga Hukum Islam pada Rabithah ‘Alam Islami, kerjasama P3M [Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat] dan Pustaka Firdaus Jakarta, cet. Pertama, April 1987 hlm. 159-160].
Kalau argumen Masdar karena ada masyaqqah, masyaqqah sendiri ada batas-batasnya [al-hudud]. Dan kalau ada masyaqqah [semisal orang yang haji kalau dipaksa wuquf akan mati umpamanya –al-khaufu ala al-nafs- lihat Al-Suyuthi dalam Asybah Wa Al-Nadlair, Maktabah Usaha Keluarga Semarang, hlm. 58], namun solusinya bukan dengan mengubah jadwal haji, melainkan dengan banyak cara, diantaranya, melaksanakan wuquf tidak pada waktu fadilah [malam tanggal sepuluh Dzuhijjah], namun mencari waktu yang longgar melaksanakannya, begitu juga dengan pelaksanaan ramyul jimar. [yang dibatasi dalam haji hanya wuquf, walaupun begitu syara’ memberi kelonggaran, karena dalam wuquf dimanapun sepanjang masih di tanah arafah, baik siang maupun malam, walaupun sebentar adalah sah, lihat Rawai’ul Bayan, Ibid, hlm. 256, Al-Ghazali dalam Al-Wajiz, Darul Fikri, Juz I, hlm. 73]. Jika tetap tidak mampu [sakit keras misalnya] bisa menyuruh orang lain untuk menggantinya [istinabah] dengan syarat-syaratnya. Secara faktual, yang menjadi masyaqqah itu justru bukan pelaksanaan wuquf, namun pada sabil [jalan]. Sehingga solusi dari tumpukan manusia bisa dilakukan dengan pelebaran sabil [jalan], pengembangan terirorial atau dengan menggunakan lif, atau aneka ragam teknologi modern sekarang ini, bukan dengan menghilangkan otentisitas dan orisinalitas pelaksanaan haji sejak Nabi Ibrahim sampai Nabi Muhammad dan sekarang ini.

Posisi Turats
Sebelum mengakhiri catatan ini, ada sebuah cerita menarik, ketika Muhammad Najib, perwakilan dari RMI [asosiasi pondok pesantren] Malang bertanya kepada Nurcholis Madjid [Cak Nur] pada waktu Muktamar Pemikiran Islam NU di Situbondo 3-5 Oktober 2003 yang lalu, “Cak Nur, mengapa Cak Nur kalau menulis buku, makalah, opini di media atau ketika diwawancarai selalu mengutip pendapat ulama sana dan ulama sini, mana pendapat Cak Nur sendiri” Peserta Muktamar dibuat geger dengan pertanyaan menggelitik ini. Dengan tenang, mantap dan penuh hikmah, Cak Nur menjawab pertanyaan anak muda NU yang baru gandrung studi filsafat ini. “Mengapa saya selalu merujuk kitab-kitab dalam semua tulisan saya, karena ada sebuah qaidah, “Al-ashlu fil ibadah al-tahrim illa ma dalla al-dalilu ala ibahatihi, wal ashlu fil mu’amalati al-ibahati illa ma dalla al-dalilu ala tahrimiha”. Asal dari semua ibadah [hubungan vertikal transendental] adalah haram kecuali kalau ada dalil yang memperbolehkannya, dan asal dari mu’amalah [hubungan sosial horisontal] adalah boleh kecuali kalau ada dalil yang mengharamkannya. Oleh sebab itulah saya selalu mengutip maqalah-maqalah para ulama di berbagai kitab, hadits, fikih, tafsir, tajwid, nahwu, dan lain-lain. Tidak mungkin dalam masalah ibadah kita ngawur [tidak berlandaskan teks, murni hasil imaginasi dan kreasi rasio], jadi harus ada landasan teks atau sumber yang jelas, yang autentik [mu’tamad alaihi]. Demikian statemen Cak Nur di hadapan para calon pemikir NU masa depan, dan pada waktu itu hadir Masdar Farid Mas’udi atas nama Syuriyah PBNU.
Kalau Cak Nur sebagai seorang cendekiawan muslim Indonesia yang dikenal sebagai pembaharu saja masih menempatkan turats, warisan ulama masa lalu, berupa lautan kitab kuning [classical books] sebagai pedoman utama dalam merumuskan agenda pembaharuannya, sehingga Cak Nur begitu lihai mengutip dalil dari sumber klasik [hadits, tafsir, nahwu, tajwid, fiqh, tasawuf, dll], berbeda dengan Masdar Farid Mas’udi. Disinilah perbedaan Cak Nur dengan Masdar. Kalau Cak Nur begitu apresiatif dengan kitab kuning sebagai kekayaan intelektual yang sangat berharga, sedangkan Masdar [yang notabene adalah wakil Katib Syuriyah PBNU-sebuah jabatan bergengsi] dalam lontaran pemikirannya tidak mempunyai landasan teks yang autektik, terkesan mengabaikan kitab-kitab kuning [classical books] yang menjadi rujukan utama NU dan pesantren khususnya. Sangat heran kalau Masdar dinobatkan anak-anak muda NU sebagai tokoh post tradisionalisme, yaitu aliran yang melakukan pembaharuan namun tetap berpijak dengan kekuatan tradisi [al-kutub al-shafra’] yang kuat. Karena kenyataannya Masdar terlalu lemah bangunan tradisinya [lihat Tashwirul Afkar, Post Tradisionalisme, Epistemologi dan Metodologi, Lakpesdam Jakarta, Edisi No. 9 Tahun 2000].
Siapakah yang keluar sebagai pemenang nantinya, proses sejarahlah yang akan menentukan. Namun, menurut Abdurrahman Wahid dalam kata pengantar bukunya Masdar [Agama Keadilan, ibid, hlm. xix] ujian yang paling menentukan dari setiap pemikiran, bukanlah dari sudut argumen formal yang semata-mata bersifat teoritik, melainkan ujian dari sudut materialnya yang bersifat empirik. Suatu pemikiran atau ide boleh cumlaude dari sudut teoritik, tapi jika kandas dalam pembuktian empirik, dalam arti tidak jelas manfaat dan kemaslahatannya bagi kehidupan manusia, tidaklah banyak maknanya.
Kalau Masdar mengatakan pemikiran genuine ini sudah dilontarkannya mulai tahun 1980-an di Majalah TEMPO, mengapa sampai sekarang belum menampakkan pengaruh signifikan, baik dalam gelanggang intelektualitas apalagi dalam realitas faktual, apakah karena masyarakat ini terlalu kolot, para kiai dan tokoh agama terlalu konservatif, rigid, eksklusif, eternal dan ekstrim dalam memahami persoalan hukum, atau karena Masdar sendiri yang pondasi dalilnya rapuh, kurang representatif [hanya sekedar Alquran, Qaidah Ushul Fikih dengan mengabaikan ratusan bahkan ribuan karya ulama masa lalu yang begitu kayanya], atau memang sebuah pemikiran membutuhkan alih generasi untuk bisa diterima dan dilaksanakan, atau mungkin, menurut Cak Nur, kita tidak boleh terlalu kreatif dalam masalah ibadah, karena sudah ada ketentuan jelas dan baku dari Syari’, atau mungkin saja umat ini perlu uswah hasanah, artinya Masdar harus memberikan contoh dulu, berangkat haji seperti konsep yang ditawarkan, sepanjang belum dilakukan sendiri oleh Masdar maka sangat sulit mengharapkan orang lain untuk percaya? Wallahu A’lam Bis Shawab.


Jamal Ma’mur Asmani Alumnus Mathali’ul Falah Kajen Pati, Peneliti pada CePDeS, Center for Pesantren And Democracy Studies, dan Staf Pengajar PP Mahasiswa Al-Aqobah Kwaron Diwek Jombang.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More