Indonesia

Indonesia is the beautiful country in the universe

Rabu, 04 Januari 2012

Autobiografi Bung Karno_BAB XXI_Putraku Yang Pertama


BAB XXI
Puteraku Yang Pertama
SEBENARNYA keadaanku tidak dapat dikatakan sehat ditahun 1943, baik jasmani maupun rohani. Ketegangan ketegangan yang timbul telah mengorekngorek jiwa dan ragaku dengan hebat. Sebagai penderita malaria yang melarut aku dimasukkan ke rumah sakit selama bermingguminggu terus menerus. Pada suatu kali, oleh karena tidak ada tempat tidur yang kosong, aku dimasukkan ke Kamar Bersalin.
Perempuan cantik cantik dibawa masuk di sebelahku, akan tetapi keadaanku terlalu payah untuk dapat memperhatikan mereka. Tambahan lagi aku menderita penyakit ginjal. Kadangkadang aku meringkuk dengan kaki rapat ke badan, oleh karena seranganserangan yang tidak tertahankan sakitnya. Adakalanya keluar keringat dingin, bahkan kadangkadang aku tidak dapat berdiri tenang diatas podium. Bukan sekali dua kali terjadi, bahwa setelah selesai berpidato aku harus merangkak dengan kaki dan tangan masuk kendaraan.
Kehidupan pribadipun tidaklah seperti yang diharapkan. Aku menghadapi persoalan persoalan yang sungguh sungguh berat. Kehidupanku diselubungi oleh goncangangoncangan urat syaraf. Hubungan
Inggit denganku tidak baik. Di suatu malam, karena ingin mendapat katakata yang menghibur hati dan ketenangan pikiran, aku menemani seorang kawan ke sebuah Rumah Geisha. Sekembali di rumah, Inggit mengamuk seperti orang gila. Dia berteriak teriak kepadaku. Barang barang beterbangan dan sebuah cangkir mengenai pinggir kepalaku.
Rupanya persoalan Fatmawati masih mengapung apung di antara kami, sekalipun tidak ada kontak antara Fatmawati denganku. Hubungan pos terputus dan memang ada aku mengirim surat sekali untuk mengabarkan bahwa kami sudah selamat sampai di Jakarta. Hanya itu. Surat ini kupercayakan kepada seorang suruhan yang dipercaya yang menitipkannya pula kepada tukang mas dalam perjalanan menuju Sumatra.
Pada waktu itu kami sudah pindah, karena aku tidak senang tinggal di rumah bertingkat. Di rumah baru ini anak kami dengan suaminya Asmara Hadi tinggal bersamasama dengan kami. Pada akhirnya merekapun mengaku, bahwa perhubungan antara Inggit denganku tidak mungkin diteruskan lebih lama lagi. "Bu," Ratna Djuami menangis di hadapan Inggit pada suatu malam. "Bapak kelihatan sekarang sangat pencemas dan penggugup. Pikirannya nampaknya kacau. Dan kesehatannya selalu terganggu."
"Kami kira ini disebabkan kehidupan pribadinya," sambung Asmara Hadi terus terang. "Kalau sekiranya dia tidak dibinasakan dalam bidang kehidupan lain, tentu akan lain halnya. Akan tetapi perasaan tidak bahagia ini yang ditumpukkan ke atas bebannya yang sudah cukup berat itu sangat melemahkan kekuatannya."
Aku meminta pengertian Inggit. "Aku sendiri, akan mencarikanmu rumah. Dan aku akan selalu mengusahakan segala sesuatu yang kauperlukan. Kaupun tahu, diantara kita semakin sering terjadi pertengkaran dan ini tentu tidak baik untukmu."
"Ini jalan satusatunya, Bu," Asmara Hadi mengeluh. "Negeri kita memerlukan bapak. Tidak hanya ibu, ataupun saya maupun Ratna Djuami yang memerlukannya. Dia kepunyaan kita semua. Rakyat memerlukan bapak sebagai pemimpinnya, tidak yang lain. Dan apa yang akan terjadi terhadap Indonesia, kalau dia hancur?"
Setelah perceraian telah disepakati bahwa Inggit kembali ke kota kelahirannya. Di pagi itu ia harus pergi ke dokter gigi dulu. Hatiku senantiasa dekat pada isteriku dan aku tidak akan membiarkannya pergi seorang diri. Karena itu kutemani Inggit. Hari sudah tinggi ketika kami kembali dalam keadaan letih, merasa badan kami tidak enak, dan sesampai di rumah kami mendapati serombongan wanita yang akan bertamu kepada Inggit.
 Sejam lamanya mereka berkunjung, sekalipun tidak banyak yang dipercakapkan. Kuingat di waktu itu aku merasakan kegelisahan yang amat sangat. Saat yang melelahkan sekali. Kemudian aku mengiringkan Inggit ke Bandung, membongkar barangbarangnya, meyakinkan diri kalau kalau ada sesuatu yang kurang, lalu aku mengucapkan selamat tinggal kepadanya .........
Bulan Juni 1943 Fatma dan aku kawin secara nikah wakil. Untuk dapat mengangkutnya beserta orang tuanya ke Jawa urusannya terlalu berbelitbelit dan panjang, pun aku tidak bisa segera menjemputnya ke Sumatra, sedang aku tak mungkin rasanya menunggu lebih lama lagi. Mendadak timbul keinginanku yang keras untuk kawin. Menurut hukum Islam perkawinan dapat dilangsungkan, asal ada pengantin perempuan dan sesuatu yang mewakili mempelai lakilaki.
Aku mempunyai lebih dari pada sesuatu itu. Aku mempunyai seseorang. Kukirimlah telegram kepada seorang kawan yang akrab dan memintanya untuk mewakiliku. la memperlihatkan telegram itu kepada orang tua Fatma dan usul ini mendapat persetujuan. Pengantin dan wakilku pergi menghadap kadi dan sekalipun dia masih di Bengkulu dan aku di Jakarta, dengan demikian kami sudah mengikat tali perkawinan.
Di tahun berikutnya Fatmawati melahirkan seorang putera. Aku tidak sanggup menggambarkan kegembiraan yang diberikannya kepadaku. Umurku sudah 43 tahun dan akhirnya Tuhan Yang Maha Pengasih mengaruniai kami seorang anak. Di saat mendengar bahwa Fatma dalam keadaan hamil, maka ibu, bapak dan kakakku perempuan datang dengan segera dari Blitar. Mereka sangat gembira. Orang tua kami dari kedua belah pihak tinggal dengan kami di paviliun dekat rumah hingga sang bayi lahir. Bapaklah yang mengawasi segala pekerjaan. Dialah yang duduk setiap jam memberi petunjuk kepada Fatma, bagaimana ia harus mempersiapkan dirinya.
Selalu aku melihat mereka duduk bersamasama dan selalu aku dapat mendengar bapak mengatakan sesuatu seperti, "Nah, jangan lupa mencatat bedak bayi, pisau kecil untuk pemotong tali pusarnya dan emban untuk menahan perutmu sendiri."
Di malam Fatma akan melahirkan kami menjamu tamu tamu penting, orang Jepang dan orang Indonesia. Fatmawati sibuk melayani sebagai nyonya rumah, akan tetapi kemudian dia mulai merasa sakit. Aku sendiri membimbingnya ke kamar dan memanggil dokter. Mulai dari saat itu aku tetap berada di sisinya, pun tidak tidur barang satu kejap sampai ia memberikan kepadaku seorang putera yang tidak ternilai itu.
Kududuk di atas tempat tidur mendampinginya, memegang tangannya sementara ia melahirkan. Aku bukanlah orang yang bisa tahan melihat darah, akan tetapi di saat dijadikannya seorang manusia idamanku ini adalah saat yang paling nikmat dari seluruh hidupku. Jam lima waktu subuh, ketika terdengar azan dari mesjid memanggil umat untuk menyembah Tuhannya, anakku yang pertama, Guntur Sukarnoputra, lahirlah.
Tuhan Yang Maha Penyayang dan Maha Bijaksana telah memanjangkan umur bapakku untuk dapat melihat darah dagingku menginjak dunia ini. Setelah itu ia jatuh sakit. Fatma merawatnya berbulanbulan dengan tekun dan setia hingga ia menghembuskan napas yang penghabisan.
Aku teringat akan "Si Tukang Kebun", sebuah buku cerita yang kubaca pada waktu masih berumur 13 tahun. Waktu itu aku tidak mengerti maknanya yang lebih dalam. la menceritakan tentang bagaimana daun daun kayu yang sudah coklat dan kering harus jatuh dan memberikan tempatnya kepada pucuk yang hijau dan baru. 20 tahun kemudian barulah aku mengerti.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More