Indonesia

Indonesia is the beautiful country in the universe

Minggu, 25 Desember 2011

Autobiografi Bung Karno_BAB XV_Pembuangan


BAB XV
Pembuangan

Rumah bung Karno saat pengasingan di Endeh Flores

ENDEH, sebuah kampung nelayan telah dipilih sebagai penjara terbuka untukku yang ditentukan oleh Gubernur Jendral sebagai tempat dimana aku akan menghabiskan sisa umurku. Kampung ini mempunyai penduduk sebanjak 5.000 kepala. Keadaannya masih terbelakang. Mereka jadi nelayan. Petani kelapa. Petani biasa. Hingga sekarangpun kota itu masih ketinggalan, ia baru dapat dicapai dengan jip selama 8 jam perjalanan dari kota yang terdekat. Jalan rayanya adalah sebuah jalanan yang tidak diaspal yang ditebas melalui hutan.
Di musim hujan lumpurnya menjadi bungkahbungkah. Dan apabila matahari yang menghanguskan memancar dengan terik, maka bungkahbungkah itu menjadi keras dan terjadilah lobang dan aluran baru. Endeh dapat ditelusuri dari ujung ke ujung dalam beberapa jam saja. Ia tidak mempunyai telpon, tidak punya telegrap. Satusatunya hubungan yang ada dengan dunia luar dilakukan dengan dua buah kapal pos yang keluar masuk sekali sebulan. Jadi, dua kali dalam sebulan kami
menerima suratsurat dan surat kabar dari luar.
Di dalam kota Endeh terdapat sebuah kampung yang lebih kecil lagi, terdiri dari pondokpondok beratap ilalang, bernama Ambugaga. Jalanan Ambugaga itu sangat sederhana, sehingga daerah rambahan dimana terletak rumahku tidak bernama. Tidak ada listrik, tidak ada air leding. Kalau hendak mandi aku membawa sabun ke Wola Wona, sebuah sungai dengan airnya yang dingin dan di tengahtengahnya berbingkah bingkah batu. Di sekeliling dan sebelah menyebelah rumah ini hanya terdapat kebun pisang, kelapa dan jagung. Di seluruh pulau itu tidak ada bioskop, tidak ada perpustakaan ataupun macam hiburan lain.
Dalam segala hal maka Endeh, di Pulau Bunga yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia.
"Kenapa, ya? Kenapa disini?" Inggit bertanya.
"Pulau Muting, Banda atau tempat yang jelek seperti itu, ke tempattempat mana rakyat kita diasingkan, tidak akan lebih baik daripada ini," keluhku dengan berat ketika kami memeriksa rumah yang gelap dan kosong di malam hari kami sampai disana.
Di waktu Belanda mendapat akal untuk mengadakan
pembuangan, mulamula orang kita dibuang keluar Indonesia. Tapi, kemudian mereka menyadari, biar kemanapun kita dieksternir, kita dapat menyusun kekuatan untuk melawan mereka. Belanda akhirnya memutuskan untuk mengasingkan para pemberontak di dalam negeri saja, dimana mereka langsung dapat mengawasi kita.
"Kenapa dipilih Flores?" Inggit mengulangi ketika membuka keranjang buku, satusatunya kekayaan pribadiku yang kami bawa. "Kebanyakan para pemimpin diasingkan ke Digul."
“Itu makanya," kuterangkan sambil mengeluarkan bukubuku sekolah yang kubawa, sehingga setiap pagi dan malam aku dapat mengajar Ratna Djuami di rumah. Di Digul ada 2.600 orang yang dibuang. Tentu aku akan memperoleh kehidupan yang enak di sana. Dapatkah kau bayangkan, apa yang akan diperbuat Sukarno dengan 2.600 prajurit yang sudah disiapkan itu? Aku akan merubah muka Negeri Belanda dari New Guinea yang terpencil itu. Inggit tidak pernah mengeluh. Sudah menjadi nasibnya dalam kehidupan ini untuk memberiku ketenangan pikiran dan memberikan bantuan dengan kasih mesra, bukan menambah persoalan. Akan tetapi aku juga dapat merasakan, bahwa dia susah. Bukan mengenai dirinya sendiri. Dia susah mengenai diriku. Memang terasa lebih berat untuk memandang seseorang yang dicintai terkena siksa dari pada mengalami sendiri siksaan itu.
 Sungguh pedih bagi seorang isteri untuk menyaksikan suaminya direnggutkan dari kekuatan hidupnya, dari citacitanya, dari kegembiraan hidupnya, bahkan direnggutkan sedikit dari kelakilakiannya. Aku menjadi seekor burung elang yang telah dipotong sayapnya. Setiap kali Inggit memandangiku, setiap kali itu pula setetes darah menitik dari uratnya.
Aku tidak pernah mengeluh tentang kesedihanku kepada Inggit. Kalau ada, kami jarang membicarakan soal yang rumit dari hati ke hati. Sekalipun hatiku sendiri gelap dengan keputusasaan, namun aku mencoba menggembirakan hatinya. Aku selalu memperlihatkan wajah yang baik, sehingga wajah itu tidak menunjukkan apa yang sesungguhnya tergurat dalam hatiku. Akh, saat yang sangat tidak menyenangkan bagiku.
 Kedua reserse yang mengantarku menyerahkanku dari kapal seperti menyerahkan muatan ternak yang lain. Pada waktu kapal mereka mengangkat sauh, kedua orang yang hanya diijinkan berbicara padaku, di luar keluargaku, sudah pergi. Setiap orang menyingkir dariku. Endeh kembali menjadi penjaraku, hanya lebih besar dari yang sudahsudah.
Di sini bukan saja aku tidak bisa mendapat kawan, akan tetapi aku malahan kehilangan satu orang yang turut dengan kami. Mertuaku, Ibu Amsi yang baik dan tersayang itu meninggal di atas pangkuanku. Akulah yang membawanya ke kuburan. Ia menderita sakit arteriosclerosis. Pada suatu malam ia pergi tidur. Esok paginya ia tidak bangunbangun. Keesokan harinya tidak bangun. Di hari berikutnyapun tidak. Aku menggoncanggoncang badannya dengan keras, akan tetapi di pagi tanggal 12 Oktober 1935, setelah 5 hari dalam keadaan tidur, ia pergi dengan tenang dalam keadaan belum sadar.
Aku sangat lekat kepada orang tua ini. Di bulanbulan pertama yang sangat menyiksa, di tempat pembuangan itu dikala batin kami dirobekrobek tak kenal ampun setiap jam setiap detik, di waktu itu tidak satupun perkataan yang tidak enak keluar antara mertuaku dan aku sendiri. Bagaimana kami dapat tinggal bersama dengan rukun adalah karena kami orang baikbaik. Aku juga sedikit, barangkali.
Ibu Amsi lebih sederhana lagi daripada anaknya. Ia tidak bisa tulis baca. Tapi ia seorang wanita besar. Aku mencintainya setulus hati. Dengan tanganku sendiri kubuat kuburannya. Aku sendiri membangun dinding kuburan itu dengan batu tembok. Aku seorang diri mencari batu kali, memotong dan mengasahnya untuk batu nisan. Di pekuburan kampung yang sederhana melalui jalanan sempit jauh di tengah hutan berkumpullah beberapa gelintir manusia untuk memberikan penghormatannya yang terakhir.
Ini adalah kemalanganku yang pertama. Dan, terasa berat. Satusatunya manusia yang tinggal, dengan siapa aku dapat berbicara, adalah Inggit. Di suatu malam ketika kami duduk berdua di beranda kecil, hanya berdua —seperti biasanya— Inggit mengalihkan pandangannya sebentar dari jahitannya untuk mengungkapkan, "Tidak mungkin orangorang di sini tidak mengenalmu. Mereka tentu sudah membaca tentang dirimu atau melihat gambarmu di surat kabar. Sudah pasti banyak orang sini yang sudah mengenalmu. Sudah pasti banyak."
"Mereka tahu siapa aku, baiklah. Kalau sekiranya mereka tidak pernah mendengar tentang diriku, tentu Belanda tidak menjalankan tindakan pengamanan untuk merahasiakan kedatangan kita. Rakyat tidak tahu sama sekali kedatangan Sukarno. Bahkan pegawai pemerintahanpun tidak tahu kapan kita sampai disini."
Aku mengerti kemana tujuan Inggit. Ia ingin memperoleh jawaban, mengapa setiap orang menyingkir, seperti aku ini hama penyakit. "Orangorang yang terkemuka disini, tidak mengacuhkanku, bukan karena tidak kenal. Akan tetapi justru karena mereka mengenalku," kataku. "Orangorang terpandang di sini terdiri dari orang Belanda, amtenaramtenar bangsa kita dan orangorang yang memerintah seperti Raja. Mereka sama sekali tidak mau tahu denganku. Bahkan mereka tidak mau terlihat bersamasama denganku. Aku tentu akan menyebabkan mereka kehilangan kedudukannya."
"Lagi pula, negeri ini terlalu kecil," bisiknya.
"Yah," aku mengangguk dengan lesu, "negeri ini terlalu kecil.?"
Kami berdua membisu, akan tetapi bau dari pokok persoalan itu masih saja mengapung dengan berat dalam ruangan itu, seperti bau wangiwangian yang murah. Akulah pertama memecah kesunyian yang pekat itu.
"Orang tinggitinggi ini adalah alat. Boneka Belanda. Mereka tidak mau mendekat, kecuali untuk mematamataiku. Bahkan kaum keluarganya dilarang untuk berkenalan denganku. Dan mereka tidak mau melanggarnya, karena takut masuk daftar hitam Belanda. Setiap orang merasa takut."
Inggit menambahkan, "Kudengar adik Raja tertarik pada pergerakan kebangsaan, sampai Belanda mengusirnya dari sekolah di Surabaya. Kemudian dia dipulangkan kemari, sehingga tidak dapat lagi mempelajari politik."
"Itulah yang kumaksud," kataku. "Mana mungkin ia jadi kawanku. Dia berada disini karena alasan yang sama denganku — sebagai hukuman."
"Tapi rakyat biasapun menyingkir dari kita," Inggit menegaskan dengan suara kecil.
"Aku tahu."
"Jadi bukan karena kita tidak mau kenal."
"Tidak. Bukan karena kita tidak mau kenal."
Inggit sedang menjahit baju kebaya untuk dia sendiri. Sambil meletakkan jahitannya ia memandang kepadaku.
"Coba," aku merenung dengan keras, "di Sukamiskin badanku dikurung. Di Flores semangatku berada dalam kurungan. Disini aku diasingkan dari masyarakat, diasingkan dari orangorang yang dapat mempersoalkan tugas hidupku. Orang disini yang mengerti, takut untuk berbicara. Mereka yang mau berbicara, tidak mengerti. Inilah maksud yang terutama dari pembuangan ini. Baiklah! Kalau begitu keadaannya, aku akan bekerja tanpa bantuan orangorang terpelajar yang tolol ini. Aku akan mendekati rakyat jelata yang paling rendah. Rakyatrakyat yang terlalu sederhana untuk bisa memikirkan soal politik. Rakyatrakyat yang tak dapat menulis dan yang merasa dirinya tidak kehilangan apaapa. Dengan begini, setidaktidaknya ada orang dengan siapa aku berbicara."
Aku membentuk masyarakatku sendiri dengan pemetik kelapa, supir, bujang yang tidak bekerja, inilah kawankawanku. Pertama aku berkenalan dengan saudara Kota, seorang nelayan. Kukatakan padanya bahwa tidak ada larangan berkunjung ke rumahku. Dia datang ke rumahku. Kemudian dia membawa Darham tukang jahit. Setelah itu aku datang ke tempat mereka. Dan begitulah mulanya. Aku mendekat kepada rakyat jelata, karena aku melihat diriku sendiri di dalam orangorang yang melarat ini. Seperti di pagi yang berhujan dalam bulan Mei aku nongkrong seorang diri di sudut beranda yang kecil itu. Ah, aku rnerasa kasihan terhadap diriku! Aku merindukan pulau Jawa, aku merindukan kawankawan untuk mencintaiku. Merindukan hidup dan segala sesuatu yang dirampas dariku.
Selagi duduk di sana aku melihat seorang lelaki lewat. Seorang diri. Dan basahkuyup. Tibatiba ia menggigil. Kukira belas kasihku meliputi seluruh bangsa manusia, karena melihat orang itu menggigil akupun menggigil. Sungguhpun badanku kering, aku sertamerta merasa basah kuyup. Tentu, perasaan ini dapat diterangkan dengan pertimbangan akal, akan tetapi ia lebih daripada itu. Aku sangat perasa terhadap orang yang miskin — baik dia miskin harta maupun miskin dalam jiwanya.
Di samping kekosongan kerja, kesepian dan ketiadaan kawan aku juga menderita suasana tertekan yang hebat sekali. Flores adalah puncak penganiayaan pada harihari pertama itu. Aku memerlukan suatu pendorong sebelum aku membunuh semangatku sendiri. Itulah sebabnya aku mulai menulis cerita sandiwara. Dari 1934 sampai 1938 dapat kuselesaikan 12 buah. Karyaku yang pertama dijiwai oleh Frankenstein, bernama "Dr. Setan". Peran utama adalah seorang tokoh Boris Karloff Indonesia yang menghidupkan mayat dengan memindahkan hati dari orang yang hidup. Seperti semua karyaku yang lain, cerita ini membawakan suatu moral. Pesan yang tersembunyi di dalamnya adalah, bahwa tubuh Indonesia yang sudah tidak bernyawa dapat bangkit dan hidup lagi.
Aku menyusun suatu perkumpulan Sandiwara Kelimutu, dinamai menurut danau yang mempunyai air tiga warna di Pulau Bunga. Aku menjadi direkturnya. Setiap cerita dilatih malam hari selama dua minggu di bawah pohon kayu, diterangi oleh sinar bulan. Kami hanya mempunyai satu naskah, karena itu aku membacakan setiap peran dan para pemainku yang bermain secara sukarela mengingatnya dengan mengulangulang. Kalau orang dalam keadaan kecewa, betapapun besarnya rintangan akan dapat disingkirkannya.
Inilah satusatunya napas kehidupanku. Aku harus menjaganya supaya ia hidup terus. Kalau salah seorang tidak dapat memainkan perannya dengan baik, aku melatihnya sampai jauh malam. Aku malahan berbaring berkalikali di lantai untuk memberi contoh kepada Ali Pambe, seorang montir mobil, bagaimana memerankan dengan baik seseorang yang mati. Untuk melatih anggotaanggota sehingga mencapai hasil baik sungguh banyak kesukaran yang harus ditempuh.
 Pada suatu kali, Ali Pambe memerankan juru bahasa dari bahasa Endeh ke bahasa Indonesia. Tetapi Ali buta huruf. lidah Indonesianya masih kaku. Karena itu aku harus mengajarnya dulu berbahasa Indonesia sebelum aku dapat mengajarkan perannya. Perkumpulan semua terdiri dari lakilaki oleh karena kaum wanita takut dituduh terlalu berani. Cukup aneh, di Pulau Bunga yang terbelakang dan masih kuno itu ada suatu daerah — bernama Keo — dimana sampai sekarang anakanak gadis diizinkan mengadakan hubungan jasmaniah dengan lakilaki. Dan yang paling baik diantara mereka — paling pandai dalam memuaskan lakilaki — itulah jang paling diidamkan untuk perkawinan.
Dalam umur duapuluhan gadisgadis ini adalah yang kuberi istilah "jenis Afrika yang belum beradab, liar dan tidak dapat dijinakkan". Bagiku perempuan dapat disamakan dengan benua. Dalam umur tigapuluh dia seperti Asia — berdarah panas dan menangkap. Dalam usia 40 tahun ia adalah Amerika — unggul dan jagoan. Sampai pada umur limapuluh tahun ia menyamai Eropa— layu dan berjatuhan.
Lepas dari persamaan secara ilmu bumi yang demikian, tak seorangpun wanita Pulau Bunga mau memegang peranan di atas panggung. bahkan juga tidak neneknenek yang sudah berumur 40 tahun yang mengingatkanku pada benua Australia — justru terlalu jauh dari jalan yang ditempuh! Alasan yang pertama, kebiasaan wanita Islam selalu berada dalam bayangan. Yang kedua, wanita ini takut kepadaku. Dari itu, aku memecahkan persoalan ini dengan hampir tidak menulis peran wanita. Dan kalaupun ada, ia dimainkan oleh lakilaki. Aku sendiri menyewa sebuah gudang dari gereja dan menyulapnya menjadi gedung kesenian. Aku sendiri yang menjual karcisnya.
Setiap pertunjukan berlangsung selama tiga hari dan kami bermain di hadapan 500 penonton. Ini adalah suatu kejadian besar dalam masyarakat di sana. Orangorang Belanda juga membeli karcis. Hasilnya dipergunakan untuk menutupi pengeluaran kami. Aku membuat pakaian untuk keperluan ini. Aku menggambar dinding belakang panggung darurat, sehingga ia terlihat seperti hutan atau istana atau apa saja yang hendak kami lukiskan. Aku membuat pitapita reklame dari kertas dan menggantungkannya di tempat tempat umum seperti pasar malam. Aku membuat alat dan perabot kami. Aku melatih dua orang lakilaki dan dua wanita untuk menyanyikan keroncong— lagulagu gembira — yang diperdengarkan di dalam waktu istirahat. Dan aku bersyukur atas usaha ini semua. Ia memberikan keasyikan padaku. Ia mengisi detikdetik yang suram ini.
Setelah tiap kali pertunjukan, kubawa para pemainku makan kerumah. Ya, aku bekerja keras sekali untuk menyelenggarakan sandiwara ini, dan untuk menyenangkan hati pemainpemainnya. Ini besar artinya bagiku. Tidak ada yang dapat menghalanghalangiku bertindak. Aku menjadi seorang penyelundup terkenal dan berpengalaman dan aku juga berhasil memperoleh kelambu untuk kami. Dalam perusahaan pelayaran antar pulau awak kapalnya adalah orangorang Indonesia dan mereka semua menjadi simpatisan.
 Ketika terdengar bahwa Bung Karno memerlukan kelambu, seorang kelasi saudara pribadi menyelundupkan satu untukku dalam pelayaran selanjutnya. Tidak ada kesukaran dalam hal ini. Di suatu pagi yang sayu turunlah dari sebuah kapal yang akan menuju Surabaya seorang stokar berbadan tegap lagi kekar. Ia datang kepadaku di dermaga yang penuhsesak, seperti biasanya kalau kapal datang. Dengan diamdiam dia membisikkan kepadaku, "Bung, katakanlah kepada kami, kami akan menyelundupkan Bung Karno. Tidak ada orang yang akan tahu."
"Terimakasih, saudara. Lebih baik jangan," aku memandang kepadanya dengan perasaan terirnakasih. "Memang seringkali terbuka jalan seperti yang saudara sarankan itu. Dan sering datang pikiran menggoda, untuk lari secara diamdiam dan kembaili bekerja bagi rakyat kita."
“Kalau begitu mengapa tidak dicoba saja?" ia mendesak. "Kami akan sembunyikan Bung Karno dan
membawa Bung ke tempat kawankawan. Kami jamin selamat."
"Kalau saya lari, ini hanya saya lakukan untuk memperjuangkan kemerdekaan. Begitu saya mulai bekerja, saya akan ditangkap lagi dan dibuang kembali. Jadi tidak ada gunanya."
"Apakah Bung Karno tidak bisa bekerja secara rahasia?"
"Itu bukan caranya Bung Karno. Nilaiku adalah sebagai lambang di atas. Dengan tetap tinggal disini rakyat
Marhaen melihat, bagaimana pemimpinnya juga menderita untuk citacita. Saya telah memikirkan bujukan hatiku untuk lari dan mempertimbangkan buruk baiknya. Nampaknya lebih baik bagi Sukarno untuk tetap menjadi lambang dari pada pengorbanan menuju citacita."
"Sekiranya di suatu saat berubah pendirian Bung Karno, tak usah ragu. Sampaikanlah kepada kami."
Aku merangkul kawanku itu ke dadaku dan tanpa raguragu menciumnya pada kedua belah pipinya. "Terima kasih, di satu masa kita semua akan merdeka, begitupun saya."
"Bung betulbetul yakin?" stokar itu bertanya.
Jawabanku khas menurut cara Jawa. Aku menjawab dengan kiasan. "Kalau ada asap di belakang kapal ini, tentu ada apinya. Keyakinan ini didasarkan pada pertimbangan akal. 'llmul yakin. Kalau saya berjalan di belakang kapal ini dan melihat api itu dengan mata kepala sendiri, maka keyakinanku berdasarkan penglihatan.'AinuIyakin. Akan tetapi mungkin penglihatan saya salah. Kalau saya memasukkan tangan saya ke dalam api itu dan tangan saya hangus, maka ini adalah keyakinan yang sungguhsungguh
berdasarkan kebenaran yang tak dapat dibantah lagi. Maka dengan Hakku'lyakin inilah saya memahami, bahwa kita akan merdeka”.
"Belanda berbaris berdampingan dengan keju dan mentega, sedang kita berbaris bersamasama dengan mataharinya sejarah. Di satu hari, betapapun juga, kita akan menang. Dalam fajar itu, saudara, saya tidak akan lari dengan diamdiam, akan tetapi saya akan berpawai keluar dari sini dengan kepala yang tegak."
Dikurangi dengan pajak, maka hasilku dalam pembuangan ini dari pemerintah kurang dari sepuluh dollar seminggu. Kemarin, pertunjukan kami sering kosong. Karena itu aku mencari uang tambahan dengan menjualkan bahan pakaian dari sebuah toko tekstil di Bandung. Mereka memberikan komisi 10% pada setiap barang yang kujualkan. Dengan menjajakannya dari rumah ke rumah membawa contoh, aku berkata, "Nyonya, harga saya lebih murah dari tokotoko disini. Apa nyonya mau memesan sama saya?"
Kemudian kukirim pos wisel ke toko diBandung dan setelah selang beberapa lama, kapal kain itu datang. Lamanya sampai berbulanbulan, akan tetapi satu hal yang ada padaku, yaitu waktu. Apa perlunya aku cepatcepat? Aku malahan mendapat bagian yang kecil dengan seorang pedagang sekutuku. Kami membuat harga rahasia antara kami berdua. Berapa lebih yang dia peroleh itu menjadi bagiannya. Dengan jalan begini dia mendapat keuntungan sedikit dan akupun memperoleh bagianku sedikit.
Hendaknya jangan ada diantara kawankawanku di Jawa yang membanggakan diri, bahwa dia terus menerus membantu kami dengan kiriman makanan dan pakaian selama masa pembuanganku. Ya, mungkin ada satu dua, akan tetapi jarang sekali. Kalaupun ada kiriman yang datang, aku segera meneruskan sebagian besar dari isinya kepada kawankawan yang tidak beruntung di Digul. Ini kulakukan juga kalau aku memperoleh sisa uang beberapa rupiah. Sekalipun kami hanya punya uang sedikit, kami berhasil mencukupi diri sendiri. Aku orang yang sederhana. Kebutuhanku sederhana. Misalnya, aku tidak minum susu atau minuman lain yang datang dari luar negeri, pun tidak makan daging dari binatang berkaki empat. Makananku terdiri dari nasi, sayur, buahbuahan, terkadang ayam atau telor dan ikan asin kering sedikit. Sayuran diambil dari yang kutanam di pekarangan samping rumah. Ikan kudapat dari kawankawanku para nelayan.
Di Endeh aku dibatasi bergerak, juga untuk menikmati kesenangan yang kecilkecil. Aku dibolehkan pergi ke tepi pantai untuk menyaksikan kawankawanku para nelayan, akan tetapi tidak boleh naik perahu untuk berbicara dengan mereka. Naik perahu dapat berarti melarikan diri. Aku juga boleh berkeliaran dalam batas lima kilometer dari rumah. Akan tetapi lewat satu langkap saja, aku jadi sasaran hakuman.
Di kota ini ada delapan orang polisi, jadi sungguhpun berpakaian preman aku mengenal mereka itu. Di samping itu, hanya mereka yang memakai sepeda hitam dengan merek "Hima". Yang terlalu jelas adalah bahwa mereka berada pada jarak yang tetap waktu mengiringku. Kalau seorang Belanda yang misterius selalu berada pada jarak 60 meter di belakangku, aku akan segera menyadarinya.
Aku teringat di suatu sore ketika seorang "preman" membuntutiku di jalan raya yang juga dilalui oleh angsa, kambing, kerbau dan sapi. Aku bersepeda melalui rumahrumah panggung dan menuju ke sungai. Jalan menuju ke situ pendek, jadi dia lalu mendayung mengembusngembus hampir bahumembahu denganku. Pada waktu dia berhenti di sana untuk menjalankan matamata, dua ekor anjing melompat padanya sambil menyalak dan menggeramgeram. Pemaksa hukum yang tinggi kejam ini karena kagetnya memanjat ke atas sepedanya dan berdiri di atas tempat duduk dengan kedua belah tangannya berpegang erat ke pohon.
Sungguhpun aku kepanasan dan dalam keadaan kotor di waktu itu, namun pemandangan ini lebih menyegarkan badanku daripada air sungai yang sejuk. Setelah itu aku memprotes kepada kepala polisi di endeh, "Saya tidak peduli apakah anak buah tuan 'secara rahasia' membayangi saya, akan tetapi saya tidak ingin dia terlalu dekat."
Orang itu menyampaikan penjesalannya. "Ma'af, tuan Sukarno. Kami menginstruksikan kepadanya untuk tetap berada dalam jarak 60 meter."
Aku berada dalam pengawasan tetap. Di suatu sore aku mengajar sekelompok pemuda menyanyikan lagu kebangsaan "Indonesia Raya". Karena lagu tersebut terlarang, untuk keamanan aku memilih suatu tempat di luar rumahku. Bukan karena aku akan kehilangan sesuatu, tidak, aku ingin melindungi anakanak ini. Masih saja ada orang yang melaporkan kejahatan yang sungguhsungguh ini.
Saudara dari Raja lalu diperintahkan untuk memperoleh kepastian, kejahatan apa yang telah dilakukan oleh Sukarno dengan tindakan pengkhianatannya merusak anakanak di bawah umur. Dengan patuh dia menyuarakan akibat psikologis terhadap penduduk preman. Jawabnya adalah, "Tidak ada sama sekali. Mereka tidak dibakar dengan semangat. Mereka bahkan tidak tahu apa arti 'Indonesia Raya'."Sekalipun demikian, aku dipanggil ke kantor polisi, diperiksa dengan keras dan didenda F 5,— yaitu dua dollar.
Pulau Bunga akan tetap kekal melekat dalam kenanganku, karena berbagai alasan. Di sinilah aku mendengar, bahwa Pak Tjokro telah pergi mendahului kami. Sebelum ia pergi, ketika masih dalam sakit keras, aku menulis surat kepadanya, "Bapak, sebagai patriot besar yang menghimpun rakyat kita dalam perjuangan untuk kemerdekaan, tidak akan kami lupakan untuk selamalamanya. Saya mendo'akan agar bapak segera sembuh kembali." Bermingguminggu kemudian, ketika kapal datang membawa surat kabar kami, disampaikanlah suatu kisah tentang bagaimana Pak Tjokro sebelum menghembuskan napas memperlihatkan surat Sukarno kepada setiap orang. Aku menangis mengenang kawanku yang tercinta itu.
Juga terjadi di Pulau Bunga, aku membersihkan diri dari segala tahayul. Selamanya aku percaya pada hari baik dan hari naas, aku percaya pada jimat yang membawa rahmat dan jimat yang mempunyai pengaruh jahat. Di Bandung ada orang yang memberiku sebentuk cincin batu. Dalam batu itu terlihat lobang berisi cairan hitarn yang tidak pernah tenggelam. Seperti biji kecil yang mengapung dan selalu berada di atas. Seorang pengagum memberikan benda yang aneh ini kepadaku dengan ucapan, "Sukarno, semoga engkau tetap berada di atas seperti biji yang mengapung ini." Ia dinodai oleh kekuatan gunaguna, tapi aku mempercayainya. Di waktu itu aku mempercayai apa saja, karena aku memerlukan segala kekuatan yang bisa kuperoleh. "Jangan lupa, Sukarno," katanya, "Batu ini bukan sembarang batu. Dia membawa untung." Baiklah, aku percaya. Tidak lama setelah itu aku dibuang ke Pulau Bunga. Aku tidak begitu percaya lagi kepadanya. Demikianlah, ketika kuyakinkan pada diriku sendiri, kepercayaan yang kegilagilaan ini harus dihentikan. Dan kukatakan pada diriku, "Engkau sudah melihat, penyakit tahayul yang jahat, akan tetapi mengapa engkau tidak pernah makan di piring retak, oleh karena engkau percaya bahwa bencana akan menimpamu kalau engkau melakukannya?"
Harus kuakui bahwa ini benar. Suatu hari aku sengaja minta piring retak. Aku gemetar sedikit karena pikiran sudah cukup ruwet tanpa menambah keruwetan itu dengan pelanggaran kepercayaan yang kuat ini. Akan tetapi kuletakkan juga piring itu diatas meja dan memandangnya. Kemudian aku berpidato kepada piring yang ganjil ini yang begitu berkuasa terhadap jiwaku. Kataku, "Hei engkau .... engkau barang yang mati, tidak bernyawa dan dungu. Engkau tidak punya kuasa untuk menentukan nasibku. Kutantang kau. Aku bebas darimu. Sekarang aku makan dari dalammu."
Beginilah caranya aku mengatasi tiaptiap rasa takut yang mengganggu pikiranku. Aku hadapi rasa takut ini dengan tenang dan sejak itu aku tidak takut lagi. Aaaah, masih saja batu itu ada padaku. Aku sangat ingin mempunyai keberanian untuk melepaskan pembawa untung besar ini. Selagi berpikir keras tentang batu ini, kebetulan uang sedang tidak ada. Sudah menjadi sejarah dari Sukarno bahwa ia tak pernah punya uang, sedangkan ini adalah harta yang senantiasa diperlukannya. Sampai kini keadaannya sama saja.
Keadaanku sangat melarat ketika aku berkenalan dengan seorang saudagar kopra yang makmur di kota itu. Aku memutuskan untuk menjual pembawa untung yang besar ini kepadanya. Dan sebagai penjual yang pandai kutawarkan batu itu dengan perkataan yang mulukmuluk. "Coba lihat," kataku mengadu untung, "Saya punya barang yang susah didapat. Orang akan selalu beruntung besar dengan batu seperti ini, karena batu begini hanya ada satusatunya. Tidak ada duanya di dunia." Kebetulan ucapanku ini memang benar dan aku tidak rnembohong dan kebetulan pula aku sangat memerlukan uang dan ingin memperoleh sebanyak mungkin dari dia. Kemudian aku menekan gas yang terakhir, "Dengarlah, begini. Saudara saya lihat adalah orang yang mempunyai sifatsifat baik, maka dari itu saya menawarkan suatu kesempatan yang sangat istimewa. Kalau saudara menyerahkan seratus limapuluh rupiah, yang tidak berarti bagi saudara, saya akan berikan batu ini."
"Setuju," teriaknya dan segera mengadakan pertukaran. Caraku melakukan jual beli begitu berhasil, sehingga ia betulbetul takut aku akan merubah pendirian lagi. Dan dengan begitu berpindah tanganlah hartaku yang terahir itu, benda pembawa untung dan terjamin kekuatannya. Tidakkah aku harus berterima kasih kepada Pulau Bunga, karena aku dibebaskan dari belenggu tahayul?.
Di Endeh yang terpencil dan membosankan itu banyak waktuku terbuang untuk berpikir. Di depan rumahku tumbuh sebatang pohon keluih. Jam demi jam aku slalu duduk bersandar di situ, berharap dan berkehendak. Dibawah dahandahannya aku mendo'a dan memikirkan akan suatu hari ..... suatu hari ..... Ia adalah perasaan yang sama seperti yang menguasai Mac Arthur dikemudian hari. Dengan menggetarnya setiap jaringan otot dalam seluruh tubuhku, aku menggetarkan keyakinanku, bahwa bagaimanapun juga — di suatu tempat— disuatu hari — aku akan kembali. Hanya patriotisme yang berkobarkobarlah dan yang masih tetap membakar panas dadaku di dalam, yang menyebabkan aku terus hidup.
Inggit selamanya menyakinkan padaku, bahwa dia merasakan di dalam tulangtulangnya aku di satu hari akan menjadi orang yang memegang peranan. Akan tetapi aku tidak pernah mempersoalkannya. Aku tidak pernah berbicara tentang masa depan, aku hanya memikirkannya. Pada setiap jam aku dalam keadaan bangun aku memikirkannya. Kukira, selama tiga setengah abad dibawah penjajahan Belanda dunia luar hanya satu kali mendengar tentang negeri kami. Di tahun 1883 Rakata (Krakatau), gunung kami yang terkenal itu, meletus. Ia memuntahkan batu, kerikil dan abu menempuh orbit yang mengelilingi bumi selama bertahuntahun. Lama setelah itu, ketika langit di Eropa menjadi merah, orang menunjuk kepada gunung Rakata.
 Ini sama halnya denganku. Aku telah membikin ributribut dan sekarang aku disuruh diam. Ketika sekawanan kucing berkandang dekat pohon keluih itu dan karena tempat itu tidak lagi tenang, aku lalu berjalanjalan ke dalam hutan. Aku mencari tempat yang tenang dimana angin mendesirkan daun daunan bagai bisikan, karena bisikan Tuhan ini terdengar seperti nyanyian nina bobok di telingaku. Ialah nyanyian dari pulau Jawaku yang tercinta. Tempat pelarian menyendiri yang kugemari adalah di bawah pohon sukun yang menghadap ke laut. Sukun, sejenis buahbuahan seperti avocado, adalah semacam buah yang kalau dikupas, diiris panjangpanjang seperti ketimun, rasanya menyerupai ubi. Aku lalu duduk dan memandang pohon itu. Dan aku melihat pekerjaan daripada Trimurti dalam agama Hindu. Aku melihat Brahma Yang Maha Pencipta dalam tunas yang berkecambah dikulit kayu yang keabuabuan itu. Aku melihat Wishnu Yang Maha Pelindung dalam buah yang lonjong berwarna hijau. Aku melihat Shiwa Yang Maha Perusak dalam dahandahan mati yang gugur dari batangnya yang besar. Dan aku merasakan jaringanjaringan yang sudah tua dalam badanku menjadi rontok dan mati di dalam.
Kemudian aku dihinggapi oleh penyakit kepala dan merasa tidak sehat sama sekali. Tapi setiap pagi aku masih merangkak keluar tempat tidur untuk dudukduduk dibawah pohon sukun jauh dari rumah. Pohon sukun itu berdiri di atas sebuah bukit kecil menghadapi teluk. Disana, dengan pemandangan ke laut lepas tiada yang menghalangi, dengan langit biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang menggelembung dan dimana sesekali seekor kambing yang sedang bertualang lewat sendirian, disana itulah aku duduk melamun jam demi jam.
Terkadang terasa udara yang dingin di tepi pantai laut itu dan aku kedinginan. Seringkali aku merasa dingin, sedang keadaan udara tidak dingin sama sekali. Tapi masih saja aku duduk di sana. Suatu kekuatan gaib menyeretku ke tempat itu hari demi hari. Aku memandangi samudra bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukul pantai dengan pukulan berirama. Dan kupikirpikir bagaimana laut bisa bergerak tak hentihentinya. Pasang naik dan pasang surut, namun ia terus menggelora secara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya. Revolusi kami, seperti juga samudera luas, adalah hasil ciptaan Tuhan, satusatunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu di waktu itu ..... aku harus tahu sekarang .... bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada.
Di suatu hari aku tidak mempunyai kekuatan untuk duduk di bawah pohon itu seperti biasanya. Aku tak dapat bangun dari tempattidur. Yaitu di hari dokter menyampaikan, bahwa aku mendekati kematianku karena menderita malaria.


Andrias Widiantoro untuk kemajuan bangsa Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More