Indonesia

Indonesia is the beautiful country in the universe

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Marhaen

Marhaenisme adalah orang orang miskin yang bekerja untuk dirinya sendiri dan menggunakan sumberdaya, prasarana dan tenaga kepunyaannya sendiri

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 30 Desember 2011

Autobiografi Bung Karno_BAB XVIII_Jepang Mendarat

BAB XVIII
Jepang Mendarat
UDARANYA panas malam itu, akan tetapi aku berbaring di sana dengan badan gemetar. Aku melihat sambaran petir ini sebagai gemuruhnya pukulan genderang kebangkitan. Ia adalah tanda berakhirnya suatu jaman.
Esok paginya aku bangun di waktu subuh dan berjalan dengan tenang sepanjang jalanan kota. Jepang membuka tokotoko dengan paksa tanpa ada yang menjaga. Perbuatan ini menggerakkan hati rakyat untuk menyerbu isi tokotoko itu. Kesempatan pertama bagi rakyat yang miskin untuk menikmati kemewahan. Dalam pada itu Jepang dengan cerdik memerintahkan polisi Belanda untuk menertibkan keadaan di jalanjalan, dengan demikian menambah kebencian terhadap kekuasaan kulit putih. Di setiap jalanan Jepang disambut dengan soraksorai kemenangan.
"Apa sebabnya ini!" tanya Waworuntu.
"Rakyat benci kepada Belanda. Lebihlebih lagi karena Belanda lari terbiritbirit dan membiarkan kita tidak berdaya. Tidak ada satu orang Belanda yang berusaha untuk melindungi kita atau melindungi negeri ini. Mereka bersumpah akan bertempur sampai tetesan darah yang penghabisan, tapi nyatanya lari ketakutan."
"Coba pikir," kataku ketika kami melangkah pelahan. "Faktor pertama yang menyebabkan penyambutan yang spontan ini adalah adanya perasaan dendam terhadap tuantuan Belanda, yang telah dikalahkan oleh penakluk baru. Kalau engkau membenci seseorang tentu engkau akan mencintai orang yang mendupaknya keluar. Disamping itu, tuantuan kulit putih kita yang sombong dan maha kuat itu bertekuklutut secara tidak bermalu kepada suatu bangsa Asia. Tidak heran, kalau rakyat menyambut Jepang sebagai pembebas mereka."
Waworuntu, kawan baik dan kawanku yang sesungguhnya, yang sekarang sudah tidak ada lagi, melihat tenang kepadaku. "Dan apakah Bung juga menyambutnya sebagai pembebas?”
"Tidak! Saya tahu siapa mereka. Saya sudah melihat perbuatan mereka di masa yang lalu. Saya tahu bahwa mereka orang Fasis. Akan tetapi sayapun tahu, bahwa inilah saat berakhirnya Imperialisme Belanda. Pun seperti yang saya ramalkan, kita akan mengalami satu periode pendudukan Jepang, disusul kemudian dengan menyingsingnya fadjar kemerdekaan, dimana kita bebas dari segala dominasi asing untuk selamalamanya."
Di seberang jalan kami lihat serdadu Jepang memukul kepala seorang Indonesia dengan popor senapan. "Lalu maksud Bung akan memperalat Jepang" tanya Waworuntu dengan cepat.
Kami terus berjalan. Kami tidak dapat berbuat apaapa. "Sudah tentu," jawabku dengan suara redup. "Saya mengetahui semua tentang kekurangajaran mereka. Saya mengetahui tentang kelakuan orang Nippon di daerah pendudukannya — tapi baiklah. Saya sudah siap sepenuhnya untuk menjalani masa ini selama beberapa tahun. Saya harus mempertimbangkan dengan akal kebijaksanaan, apa yang dapat dilakukan oleh Jepang untuk rakyat kita."
Kita harus berterimakasih kepada Jepang. Kita dapat memperalat mereka. Kalau manusia berada dalam lobang Kolonialisme dan tidak mempunyai kekuatan yang radikal supaya bebas dari lobang itu atau untuk mengusir penjajahan, sukar untuk mengobarkan suatu revolusi. Waworuntu memandangku, matanya terbuka lebar. Kebenaran katakata itu nampak meresap dalam hatinya. "Coba pikir, Bung," kataku, "Keadaan chaos, suasana kebingungan dan perasaan yang menyalanyala ini, ataupun perubahan ini sendiri — perlu sekali guna mencapai tujuan, untuk mana saya membaktikan seluruh hidupku." Kami terus berjalan, bungkem. Masingmasing sibuk dengan pikiran sendiri.
 Kemudian kawanku memberikan pendapat, "Mungkin rakyat kita akan selalu memandangnya sebagai pembebas dan tetap tinggal proJepang, dan oleh sebab itu akan mempersulit usaha untuk melepaskan negeri kita dari cengkeramannya”.
"Tidak mungkin," jawabku menerangkan. "Pandirlah suatu bangsa penjajah kalau mereka mengimpikan akan dicintai terus atau mengkhayalkan bahwa masyarakat yang terjajah akan tetap puas dibawah telapak dominasinya. Tidak pandang betapa lemah, mundur atau lalimnya penjajah yang lama dan tidak pandang betapa baiknya penjajah yang baru dalam tingkah laku atau kecerdasannya, maka rakyat yang sekali sudah terjajah selalu menganggap hilangnya dominasi asing sebagai pembebasan. Inipun akan terjadi disini."
"Kapan ini akan terjadi ?"
"Kalau kita sudah siap," kataku ringkas.
Aku tidak mengadakan suatu gerakan. Aku hanya menunggu. Sehari kemudian, Kapten Sakaguchi, Komandan dari daerah Padang datang ke rumah Waworuntu dan memperkenalkan dirinya. Berbicara dalam bahasa Perancis, ia berkata, ,,Estce vous pouves parler Francais "
"Oui," jawabku. “Je sais Francais."
"Je suis Sakaguchi," katanya.
"Bon," kataku.
Bungkem sesaat, lalu, ”Vous etes Ingenieur Sukarno, n'estce pas?"
“Oui. Vous avez raison."
Menunjukkan tanda pengenal resminya ia menerangkan, “Saya anggota dari Sendenbu, Departemen Propaganda."
"Apakah yang tuan kehendaki dari saya?" aku bertanya dengan hatihati.
"Tidak apaapa. Saya mengetahui bahwa saya perlu berkenalan dengan tuan dan begitulah saya datang. Hanya itu. Saya datang bukan menyampaikan perintah kepada tuan." Sakaguchi tersenyum lebar.
Agaknya tidak perlu bagi seorang penakluk untuk bersikap begitu menarik hati karena itu aku bertanya, "Mengapa tuan justru datang kepada saya?"
"Menemui tuan Sukarno yang sudah terkenal adalah tugas saya yang pertama. Kami mengetahui semua mengenai tuan. Kami tahu tuan adalah pemimpin bangsa Indonesia dan orang yang berpengaruh."
"Itukah sebabnya tuan menemui saya disini, dan bukan meminta saya datang ke kantor tuan ?" Betul," ia Membungkuk”. “Suatu kehormatan bagi kami untuk menghargai tuan sebagaimana mestinya. Tuan Sukarno terkenal di seluruh kepulauan ini."
"Boleh saya bertanya dari mana tuan mendapat keterangan ini ?"
"Tuan lupa, tuan Sukarno, sebelum perang banyak orang Jepang tinggal disini dan banyak yang kembali kesini dalam tentara Jepang."
”Oo."
"Kami mempunyai jaring matamata yang paling rapi. Kami mengetahui segalagalanya mengenai semua orang, begitu pula tempattempatnya. Segera setelah menduduki Bengkulu kami menyelidiki dimana tuan berada. Tindakan kami, yang pertamatama ialah untuk datang kepada tuan."
"Dan tindakan yang kedua?"
"Menjaga tuan."
Ketika tentara Jepang datang, Padang mengibarkan bendera Merah Putih. Rakyat menyangka mereka "dibebaskan". Setelah berabadabad larangan, sungguh menggetarkan hati menyaksikan bendera kami Sang MerahPutih yang suci itu melambailambai dengan megahnya. Akan tetapi tidak lama, segera keluar pengumuman yang ditempelkan di pohonpohon dan di depan tokotoko, bahwa hanyalah bendera Matahari Terbit yang boleh dikibarkan. Serentak dengan kejadian ini, yang terasa sebagai suatu tamparan, Jepang menguasai suratsurat kabar. "Pembebasan" kota Padang tidak lama umurnya. Aku pergi ke kantor Sakaguchi dan minta agar perintah penurunan bendera itu diundurkan.
"Perintah ini sangat berat untuk kami terima dan akan mempersulit keadaan," kataku. "Kalau tidak dilakukan secara sebijaksana mungkin hal ini dapat memberi akibat yang serius untuk kedua belah pihak."
Sakaguchi menunjukkan bahwa ia mengerti persoalan itu, akan tetapi memperingatkan. "Barangkali, tuan Sukarno, hendaknya jangan terlalu menundanunda hal ini."
Ini adalah hari yang gelap bagi rakyat dan bagi Sukarno. Mulamula aku pergi ke mesdjid dan aku sembahyang. Kemudian dalam suatu rapat aku menginstruksikan kepada saudarasaudaraku untuk menurunkan bendera sampai datang waktunya dimana kita dapat mengibarkan bendera kita sendiri, bebas dari segala dominasi asing.
Setiap bendera turun ke bawah. Aku benci kepada Hitler, akan tetapi kejadian ini dengan tidak sadar mengingatkan aku pada salah satu ucapannya: Gross sein heisst es Massen bewegen k.nnen" Besarlah seseorang yang mampu menggerakkan massa untuk bertindak. Kalau bukan Sukarno yang berbicara, mungkin mereka akan berontak, karena terlalu tibatiba seperti tersentak dari tidur mereka menyadari, bahwa puteraputera dari negara MatahariTerbit bukanlah pahlawanpahlawan sebagaimana mereka bayangkan. Dan aku kuatir akan terjadinya pemberontakan.
Kami adalah rakyat yang tidak berpengalaman untuk pada saat itu biasa menendang kekuatan yang terlatih baik seperti tentara Jepang. Tiga hari kemudian Sakaguchi datang lagi. Sekali lagi kami berbicara dalam bahasa Perancis. Berbulan bulan kemudian aku baru mengetahui, bahwa Sakaguchi pandai berbahasa Indonesia. "Monsicur Sukarno," katanya "Saya membawa pesan. Le Commandant de Bukittinggi memohon kehadiran tuan."
"Memohon?" aku mengulangi.
"Oui, Monsieur. Memohon."
Dari sikap kapten Sakaguchi yang merendah jelaslah,  bahwa ketakutan Belanda akan menjadi kenyataan. Jepang akan mengusulkan agar supaya aku bekerja dengan mereka. Komandan dari divisi yang kuat itu yang memasuki kota Padang di malam pendaratan adalah Kolonel Fujiyama, Komandan Militer kota Bukittinggi. Dialah yang minta disampaikan supaja "memohon" tuan Sukamo untuk datang. Tuan Sukarnopun datang.
Kami berangkat dengan kereta api dan dengan cepat tersiar kabar, bahwa Sukarno ada dalam kereta api. Mereka yang berada dalam gerbong kami menyampaikan kepada gerbonggerbong yang lain. Ketika berhenti di Padang panjang setiap orang di pelataran stasiun mulai bersorak memanggil Sukarno. Gerbong kami diserbu orang, sehingga aku terpaksa mengeluarkan kepalaku di jendela dan berpidato dengan singkat untuk menenangkan rakyat. Tak satupun dari ini yang tidak berkesan pada Sakaguchi.
Jauhnya satu setengah jam perjalanan ke kota pegunungan yang sejuk itu. Pusat dari Minangkabau ini terkenal dengan bendinya yang riang menyenangkan dan digunakan sebagai alat angkutan di jalanan yang mendaki. Dan ia terkenal dengan rumah adat bergonjong bewarnawarni, simbolik daripada seni bangunan Minangkabau.
Bukittinggi adalah kota yang sangat penting. Letaknya strategis, dan hanya dapat dicapai dari tiga jurusan, dan letaknya di daerah pegunungan itu sedemikian, sehingga penduduknya menguasai semua lalu lintas keluar masuk. Markas Kolonel Fujiyama, gedung besar bekas kepunyaan seorang Belanda yang kaya, pun terletak secara strategis. Letaknya ketinggian di atas puncak Lembah Ngarai, sebuah lembah yang dalam dengan bukitnya yang tinggi pada kedua belah sisinya berbentuk dinding batu terjal dan gundul menjulang kea tas. Di bawah, di dalam lembah itu merentang seperti pita sebuah sungai yang dengan seenaknya mencari jalannya sendiri. Di sekeliling Ngarai itu tumbuh pepohonan dan tumbuhan menghijau dengan lebat. Kalau orang memandang keluar, dari jendela rumah Fujiyama, beriburibu kaki jauhnya ke bawah terlihatlah suatu pemandangan indah yang sangat mengagumkan.
Disanalah aku mengadakan pertemuan yang sampai sekarang tidak banyak orang mengetahuinya, akan tetapi sesungguhnya merupakan pertemuan yang maha penting. Pertemuan yang sangat besar artinya. Pertemuan yang menentukan strategiku selanjutnya selama peperangan. Pertemuan yang sampai sekarang memberikan cap kepadaku sebagai "Kollaborator Jepang". Komandan Fujiyama berbicara dalam bahasanya. Di dalam ruangan itupun hadir seorang juru bahasa berkebangsaan Amerika yang dibawa mereka dari Singapura.
"Tuan Sukarno," kata Fujiyama sambil menyilakanku duduk. "Peperangan ini bertujuan untuk membebaskan Asia dari penaklukan kolonialisme Barat."
Aku menyadari, bahwa mereka sedang menduga isi hatiku dan aku memilih katakataku dengan hatihati sekali. Setiap patah kata yang keluar dari mulutku akan mereka saring, mereka timbangtimbang dan mereka uji. Aku mengetahuinya. "Orang Jepang mempunyai satu semboyan yang berbunyi, 'Asia. Bebas'. Benarkah ini?" tanjaku setelah beberapa saat.
"Ya, tuan Sukarno," sahutnya sambil menyodorkan rokok kepadaku. "Itu benar."
Dengan lamban kuisap rokok itu dan kemudian berkata seperti tidak acuh, "Dan apakah tuan bermaksud hendak berpegang pada semboyan itu?"
"Ya, tuan Sukarno, kami akan berpegang pada semboyan itu," katanya memandang kepadaku dengan teliti. "Yah, kalau begitu, apakah tuan berpendapat bahwa Indonesia adalah satu bagian dari Asia?"
"Tentu, tuan Sukarno."
Aku menarik napas panjang. "Kalau demikian, saya dapat menarik kesimpulan bahwa tujuan tuan juga hendak membebaskan Indonesia, betulkah itu?"
Belum sampai satu debaran jantung antaranya, "Ya, tuan Sukarno. Tepat sekali."
Sementara berlangsung pembicaraan tingkat tinggi ini seorang prajurit Jepang berperawakan kecil beringsut menyuguhkan air teh. Syarafku sangat tegang dan aku mencarikcarik kuku jariku, suatu kebiasaanku kalau sedang gelisah. Kami menunggu sampai bunyi mangkok teh yang gemerinting tidak terdengar lagi. Bahkan setelah prajurit itu pergi, bunyi gemerincing seolaholah masih saja mengapung di udara yang hening. Setidaktidaknya, dalam diriku. Gigiku dan tulangbelulangku semua gemerincing. Hidup atau matinya tanah airku tergantung kepada sukses atau tidaknya pembicaraan ini.
Setelah dia pergi, Fujiyama kemudian melanjutkan. "Di dalam rangka pengertian inilah kami ingin mengetahui, apakah tuan mempunyai keinginan untuk memberikan bantuan kepada tentara Dai Nippon."
"Dengan cara bagaimana ?"
"Dalam memelihara ketenteraman."
"Bolehkah saya bertanya, bagaimana caranya saya seorang diri dapat memelihara ketenteraman untuk tentara Jepang?"
Panglima Tentara ke 25 dari Angkatan Darat Kerajaan Jepang ini tersenjum. Pada tingkatannya mereka banyak melakukan seperti ini. "Kami mengetahui, bahwa Sukarno sendirilah yang menguasai massa rakyat. Karena itu, cara yang paling mudah untuk mendekati rakyat adalah mendekati Sukarno. Tugas kami bukanlah untuk mendekati rakyat Indonesia yang berjutajuta. Tugas kami adalah untuk memenangkan satu orang Indonesia. Yaitu, tuan sendiri. Harapan kami agar tuan mendekati rakyat yang jutaan itu untuk kami."
Sikapnya memperlihatkan dengan jelas, bahwa dia harus memenangkan Sukarno. Di luar, di jalanan rakyat kami tidak lagi bersoraksorai begitu keras menyambut rakyatnya. Kegembiraan yang pertama sudah mulai luntur. Dia tahu, kalau dia berbalik menentangku dan melukaiku dengan salah satu jalan, kalau dia mencobacoba memaksaku, seluruh rakyat akan bangkit melawannya. Jepang memerlukan tenagaku dan ini kuketahui.
Akan tetapi akupun memerlukan mereka guna mempersiapkan negeriku untuk suatu revolusi. Ini tidak ubahnya seperti permainan volley. Hanya yang dipertarungkan itu adalah kemerdekaan. Kolonel Fujiyama pertama memukul bola. Sekarang giliranku. Tuhan, aku mendo'a dalam hati, tunjukkanlah kepadaku, jalan yang benar.
"Nah," kataku. "Sekarang saya mengetahui apa yang tuan inginkan, saya kira tuan mengetahui keinginan saya."
"Tidak, tuan Sukarno, saya tidak tahu. Apakah sesungguhnya yang dikehendaki oleh rakyat Indonesia.?"
"Merdeka."
"Sebagai seorang patriot yang mencintai rakyatnya dan menginginkan kemerdekaan mereka, tuan harus menyadari bahwa Indonesia Merdeka hanya dapat dibangun dengan bekerja sama dengan Jepang," ia membalas.
"Ya," aku mengangguk. "Sekarang sudah jelas dan terang bagi saya bahwa tali hidup kami berada di Jepang ...... Maukah pemerintah tuan membantu saya untuk kemerdekaan Indonesia?"
"Kalau tuan menjanjikan kerjasama yang mulak selama masa pendudukan kami, kami akan berikan janji yang tidak bersyarat untuk membina kemerdekaan tanah air tuan."
"Dapatkah tuan menjamin bahwa, selama saya bekerja untuk kepentingan tuan, saya juga diberi kebebasan bekerja untuk rakyat saya dengan pengertian, bahwa tujuan saya yang terakhir adalah di satu waktu ....... dengan salahsatu jalan ........ membebaskan rakyat dari kekuasaan Belanda — maupun Jepang?"
"Kami menjamin. Pemerintah Jepang tidak akan menghalanghalangi tuan."
Aku memandang kepadanya. Kami saling berpandangan. Saling menakar isihati satu sama lain. "Jadi, tuan Sukarno," ia melanjutkan menyatakan pengakuannya dengan hatihati. "Saya seorang penguasa pemerintahan. Negeri tuan adalah suatu bangsa dengan latar kebudayaan, keturunan, agama dan berbagai adat kebiasaan Jawa, Bali, Hindu, Islam, Buddha, Belanda, Melayu, Polynesia, Tiongkok, Filipina, Arab dan lainlain. Negeri tuan terbentang luas. Perhubungan dari satu ke tempat lain sukar. Tugas saya adalah untuk mengendalikan daerah ini dalam keadaan tertib dan lancar dengan segera. Cara yang paling tepat ialah dengan memelihara ketenteraman rakyat dan menjalankan segala sesuatu dengan harmonis. Untuk mencapai tujuan ini, kepada saya disampaikan bahwa saya harus bekerja dengan Sukarno. Sebaliknya saya menjanjikan kerjasama yang resmi dan aktif di dalam bidang politik."
Mau tidak mau aku harus mempercayai orang yang berperawakan kecil ini, oleh karena aku melihat kunci persoalan ada di tangannya. "Baiklah," kataku. "Kalau ini yang tuan janjikan, saya setuju. Saya akan berikan bantuan saya sepenuhnya. Saya akan menjalankan propaganda untuk tuan. Tapi hanya kalau ia berlangsung menurut garis menuju pembebasan Indonesia dan hanya dengan pengertian, bahwa sambil bekerjasama dengan tuan sayapun berusaha untuk memperoleh kemerdekaan bagi rakyat saya."
"Setuju," katanya. "juga dengan pengertian bahwa janji, dalam mana saya tetap tidak dikekang dalam usaha saya yang tidak hentihentinya untuk nasionalisme, tidak hanya diketahui oleh tuan sendiri melainkan juga oleh seluruh Komando Atasan."
"Pemerintah saya tentu akan diberitahu mengenai hal itu. Di atas dasar inilah kita bekerjasama, saling bantumembantu satu sama lain."
Sebagai kelanjutan dari pertemuan yang bersejarah ini yang berlangsung selama dua jam, mereka menjanjikan sukiyaki. Inilah pertama kali aku mencobanya. Dan rasanya enak sekali, kukira.
Keinginan mereka untuk bersikap ramahtamah tidak berakhir sampai disini saja. Aku tidak disuruh pergi, melainkan ditanyai kapan bermaksud hendak pulang. Setelah menunjukkan bahwa aku sudah siap, aku diiringkan sampai di luar. Disana Sakaguchi memandangku dengan muka berseri, "Izinkan kami untuk menyediakan kendaraan untuk tuan," dan menunjuk ke arah sebuah mobil Buick hitam berkilat.
Kendaraan seperti ini tidak banyak terdapat di Bukittinggi, jadi ini sudah pasti diambil dari seorang saudagar kaya dan dimanapun ia berada disaat ini, tentu ia tidak dapat melakukan perjalanan pakai kendaraan.
"Buick ini adalah untuk tuan," Sakaguchi membungkuk dengan hormat, "Diserahkan kepada tuan selama tuan menghendakinya."
Kusampaikan padamu, kawan, aku sungguhsungguh bangga. Inilah aku, baru saja lepas dari pembuangan, sebuah Buick yang cantik menantikanku. Sudah tentu ia tidak ada bensin. Isinya hampir tidak cukup untuk dilarikan ke Padang. Mereka telah memberikan kehormatan kepadaku, mereka memberiku makan dan mereka telah memberiku kendaraan —akan tetapi tidak ada bensin. Kawankawan — dan mereka yang bukan kawanku, akan tetapi yang kuharapkan dapat memahami Sukarno lebih baik setelah membaca buku ini — ini adalah pertamakali aku menceritakan kisahku tentang bagaimana, bilamana dan dimana, dan mengapa aku mengambil keputusan untuk menyeret diriku berdampingan dengan Jepang.
 Boneka ..... pengkhianat ..... aku tahu semua katakata itu. Akan tetapi jika tidak dengan syarat, bahwa mereka turut membantu dalam usaha mencapai kebebasan negeriku, aku pasti takkan melakukannya. Sampai kepada detik ini hal ini tak pernah diterangkan sebagaimana mestinya. Dunia luar tidak mengerti. Mereka hanya tahu Sukarno seorang collaborator. Bagiku untuk menuntut lebih banyak lagi kebebasankebebasan politik, aku terpaksa mengerjakan berbagai hal yang merobekrobek jantungku. Dengan hati yang berat aku melakukannya. Kalau aku tidak menepati janjiku, mereka tidak akan menepati janji mereka pula. Di suatu pagi Sakaguchi datang kepadaku. Dia menyenangkan, akan tetapi keras. "Kami menghadapi persoalan beras yang rumit," katanya dengan berkerut. "Nampaknya beras di Padang susah. Sebenarnya hampir tidak ada. Saya memberi peringatan kepada tuan, kalau orang Jepang tidak dapat beras, orang Indonesia tidak akan dapat apaapa. Bukanlah keinginan kami untuk mengambil dengan kekerasan dari orangorang yang mengendalikannya, oleh karena tindakan ini akan menimbulkan kekacauan dan bertentangan dengan cara kerjasama yang kita usahakan. Setidaktidaknya cara yang baik, yang sampai sekarang telah kita coba untuk melakukannya. Tentu ada jalan lain, tuan Sukarno, karena saya yakin tuan mengetahui. Saya menyarankan, supaya tuan mendesak rakyat kepala batu agar berpikir sedikit."
Aku segera minta bantuan saudagarsaudagar beras. Kuterangkan, bahwa aku memerlukan sekian ton dan segera! Yah, selama masih Sukarno yang memintanya, aku memperolehnya. Sebanyak yang kuminta dan secepat yang kuingini. Memenuhi permintaanku berarti memecahkan persoalan setiap orang. Jepang terhindar dari kelaparan. Bangsa Indonesia terhindar dari siksaan. Suatu krisis yang lain ialah mengenai kehidupan seks dari para prajurit Jepang. Rupanya mereka tidak memperoleh apaapa selama beberapa waktu. Ini adalah sematamata persoalan mereka, akan tetapi mereka berada di tanah airku. Perempuan yang mereka inginkan untuk dirusak adalah perempuan perempuan bangsaku.
 Suku Minangkabau orang yang ta'at beragama. Perempuannya dididik dan dibesarkan dengan hatihati sekali. Kuperingatkan kepada Fujiyama, "Kalau anak buah tuan mencobacoba berbuat sesuatu dengan anakanak gadis kami, rakyat akan berontak. Tuan akan menghadapi pemberontakan besar di Sumatra."
Aku menginsyafi, bahwa aku tidak dapat membiarkan tentara Jepang bermainmain dengan gadis Minang. Dan akupun menginsyafi, bagaimana sikap Jepang kalau persoalan ini tidak dipecahkan, dan aku akan dihadapkan pada persoalan yang lebih besar lagi. Kuminta pendapat seorang kiai. "Menurut agama Islam," kataku memulai, "Lakilaki tidak boleh bercintaan dengan gadis, kalau dia tidak bermaksud mengawininya. Ini adalah perbuatan dosa."
"Itu benar," katanya.
Aku tidak seratus persen pasti bagaimana harus mengucapkan maksudku, karena itu aku berpikir sebentar, lalu berkata, "Mungkinkah aturan ini dikesampingkan dalam keadaan keadaan tertentu?"
"Tidak. Tidak mungkin. Untuk Bung Karno sendiripun tidak mungkin," protes orang alim itu dengan kaget. Kemudian kubentangkan rencana itu. "Sematamata sebagai tindakan darurat, demi nama baik anak anak gadis kita dan demi nama baik negeri kita, saya bermaksud hendak menggunakan layanan dari para pelacur di daerah ini. Dengan demikian orangorang asing itu dapat memuaskan hatinya dan tidak akan menoleh untuk merusak anak gadis kita."
"Dalam keadaankeadaan yang demikian," kata orang alim itu dengan ramah, "sekalipun seseorang harus membunuh, perbuatannya tidak dianggap sebagai dosa."
Dengan berpegang kepada jaminan ini, bahwa rencanaku tidak akan ditafsirkan sebagai dosa yang besar, maka aku mendatangi para pelacur. "Saya tidak akan menyarankan saudarasaudara untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaanmu," aku menegaskan, "akan tetapi rencana ini sejalan dengan pekerjaan saudarasaudara sendiri."
"Saya dengar, Jepang kayakaya dan royal dengan uang," salah seorang tertawa gembira, nampaknya senang dengan usulku ini. "Benar," aku menyetujui. “Mereka juga punya jam tangan dan perhiasan lainnya."
"Saya menganggap rencana ini saling menguntungkan dalam segala segi," ulas perempuan yang jadi juru bicara. "Tidak hanya kami akan menjadi patriot besar, tapi ini juga suatu perjanjian yang menguntungkan."
Kukumpulkanlah 120 orang di satu daerah yang terpencil dan menempatkan mereka dalam kamp yang dipagar tinggi sekelilingnya. Setiap prajurit diberi kartu dengan ketentuan hanya boleh mengunjungi tempat itu sekali dalam seminggu. Dalam setiap kunjungan kartunya dilubangi. Barangkali cerita ini tidak begitu baik untuk dikisahkan. Maksudku, mungkin nampaknya tidak baik bagi seorang pemimpin dari suatu bangsa untuk menyerahkan perempuan. Memang, aku mengetahui satu perkataan untuk member nama jenis manusia seperti itu. Akan tetapi persoalannya sungguhsungguh gawat ketika itu, yang dapat membangkitkan bencana yang hebat. Karena itu aku mengobatinya dengan cara yang kutahu paling baik. Hasilnyapun sangat baik, kutambahkan keterangan ini dengan senang hati. Setiap orang senang sekali dengan rencana itu.
Oleh karena Jepang memerlukan tenagaku untuk memecahkan setiap persoalan pemerintahan, mereka senantiasa berusaha supaya aku tidak kekurangan apaapa. Fujiyama menawarkan apa saja. Semua tawaran kutolak. Aku menerima hanya yang perluperlu saja. Tugasku dalam menghubungi rakyat menghendaki untuk berkeliling mendatangi masyarakat yang jauh jauh. Dalam mengadakan perjalanan keliling ini sudah tentu aku memercikkan harapanharapan kepada kepalakepala setempat. Dan kepada rakyat. Dan menghidupkan kesadaran nasional mereka untuk hari depan.
Perjalanan ini memerlukan bensin. Fujiyama dalam waktuwaktu tertentu membekaliku dengan satu drum isi 200 liter. Diapun memberikan kartu panjang yang dicoretcoret dalam bahasa Jepang dengan memberikan keterangan, kalau pergi ke tempat iniini dan dijalan iniini, aku akan diberi persediaan bensin. Sungguhpun demikian aku menjaga, agar meminta tidak lebih daripada yang diperlukan. Seringkali orangorangku masuk duapuluh kilometer ke daerah pedalaman untuk mencari gudang bensin yang disembunyikan oleh Belanda. Aku mencoba setiap sesuatu dan segala sesuatu supaya tidak bergantung lebih banyak kepada Jepang. Tidak lupa Fujiyama setiap kali bertanya, "Apakah tuan Sukarno memerlukan uang?" Dan kujawab dengan, "Tidak, terimakasih. Rakyat memberikan segalagalanya kepada saya. Ketika saya sakit barubaru ini, tersebarlah berita kepada rakyat. Di jalanjalan terdengarlah rakyat meneruskan berita dari yang satu kepada yang lain, 'Hee, tablet kalsium Bung Karno sudah habis. Dia memerlukan lagi. Coba carikan.' Dan dalam waktu satu jam diantarkanlah satu botol lagi kerumahku.”
"Darimana diperolehnya?" dia bertanja tak acuh.
"Saya tidak tahu," jawabku tak acuh pula. Yang tidak kusampaikan kepadanya ialah, bahwa di Padang banyak orang Tionghoa punya toko yang bisa mencarikan apa saja kalau mereka mau. Dan kalau untuk Sukarno mereka mau.
"Baiklah, apakah tuan Sukarno perlu rumah tempat tinggal yang lain?"
Dan aku menjawab, "Tidak, terimakasih. Saya tinggal di rumah Waworuntu tidak membayar. Rumah itu cukup buat kami. Saya tidak memerlukan perlakuan yang istimewa."
"Bolehkah saya membantu tuan dengan ajudan sebagai pembantu tuan?".
"Tidak usah, terimakasih. Bangsa lain tidak dapat memahami cara bantuan kami yang diberikan dengan sukarela, namun itulah cara kami. Saya mempunyai lebih dari cukup tenaga pembantu." Seorang wartawan setempat menjadi supirku. Namanya Suska. Suska, ketika buku ini ditulis, adalah Duta besar Indonesia di India. Seorang lagi yang pernah menjadi ketua Partindo dari daerah berdekatan bersedia secara sukarela untuk memberikan tenaga tanpa bayaran. Gunadi, orang dari Bengkulu, bekerja sebagai sekretaris penuh tanpa gaji.
Karena ia tidak dapat membujukku kecuali dengan bensin, maka Kolonel Fujiyama kemudian, menanyakan kepada yang lainlain apa yang kuperlukan. Mereka selalu kuberitahu supaya menjawab, "Terimakasih, Bung Karno tidak memerlukan apaapa. Rakyat memberikan apa saja yang diperlukannya."
Aku tidak banyak minta, jadi kalau menuntut sesuatu biasanya aku memperolehnya. Dan tidak lama kemudian aku mau tidak mau memulai dengan tuntutan. Tanggal 1 Maret Jepang menyerbu pulau Jawa dengan cara yang sama seperti Sumatra: Belanda lari puntangpanting. Jepang sekarang berkuasa atas seluruh kepulauan Indonesia. Segera terasa kesombongan mereka. Sebagai balasannya mulailah timbul kegiatan gerakan bawah tanah dari para nasionalis yang sangat anti Jepang.
 Beberapa orang yang terlibat dalam sabotase dan permusuhan secara terangterangan ditangkap oleh Polisi Rahasia yang sangat ditakuti. Salah satu dari yang malang ini kukenal baik. Namanya Anwar. Orang ini disiksa. Kenpeitai ingin menjadikannya sebagai contoh perbuatan jahat, oleh karena dialah orang subversif yang pertamatama ditangkap, Jepang mencabut kuku jarinya. Aku cepatcepat pergi ke Bukit tinggi dan menyimpan tasku di rumah Munadji seorang kawan, dan pergi menemui para pembesar.
 Sementara itu pencuri memasuki rumah Munadji dan melarikan barangku yang sedikit itu, karena aku tidak pernah punya barang banyak. Melayanglah tasku itu, di dalamnya kalung emas kepunyaan Inggit dengan liontin dengan berlian.
Di Bukittinggi, kalau Sukarno mengagumi sesuatu maka pemilik toko memaksanya untuk menerima barang itu tanpa bayaran. Di Bukittinggi, mereka hanya mau memberikan dan tidak mau menerima sesuatu dariku. Jadi polisi menduga, pencuri itu tentu orang pendatang. Menjalarlah dari mulut ke mulut bahwa Bung Karno menjadi korban pencurian dan dua hari kemudian harta itu kembali secara ajaib.
Untuk menghindari hukuman, si pencuri seorang Tionghoa bernama Lian, mengatur dengan seorang alim untuk menyembunyikan barang itu di sudut sebidang sawah, setelah mana orang alim itu harus pergi kesana untuk mendo'a dan ...... lihat! dia menemukan milik Bung Karno. Begitulah kejadiannya. Dua hari telah berjalan aku kembali memperjuangkan persoalan Anwar kepada Jepang. Kataku, "Saya kenal baik kepadanya. Selama tuan menepati janji untuk kerjasama dengan aspirasi nasional Indonesia, dia dan orangorang nasionalis yang lain tidak akan berkomplot menentang tuan. Dia hanya salah terima mengenai penurunan bendera Merah Putih dan peristiwaperistiwa lain yang terjadi sebagai pertanda dari pemutusan janji tuan. Dia tidak bermaksud apaapa terhadap tuan pribadi. Kalau tuan mengeluarkannya, saja yakin saya dapat menggunakan tenaganya dengan baik. Saya sendiri memberikan jaminan akan jiwa patriotismenya."
Dua jam setelah kunjungan yang kedua ini mereka melepaskannya.

Kamis, 29 Desember 2011

Autobiografi Bung Karno_BAB XVII_Pelarian

BAB XVII
Pelarian
 
         YANG menjadi sasaran pertama dari pendaratan, tentara Jepang adalah kota Palembang, Sumatera Selatan. Tentara Belanda mengundurkan diri. Dia tidak bertempur. Dia lari tungganglanggang, Hanya untuk satu hal Belanda tidak lari, yaitu untuk mengawasi Sukarno. Belanda kuatir meninggalkanku, oleh karena Jepang sudah pasti akan menggunakan bakatku untuk melontarkan kembali segala dendam kesumat terhadap Negeri Belanda, dan dengan demikian juga terhadap Pasukan Sekutu. Merekapun kuatir terhadap masa datang, kalau perang sudah selesai. Lepasnya Sukarno ke tali hati rakyat yang sudah sangat bergetar, berarti bukan, mempermudah jalan untuk menguasai kembali kepulauan Hindia Belanda.
Mereka bahkan lebih menyadari daripada aku, bahwa di Jawa dan dimanamana rakyat masih belum melupkan Sukano. Rakyat masih menempatkan Sukano di puncak impian mereka. Boleh jadi ini disebabkan, karena tidak ada tokoh lain yang dapat menduduki tempat Sukarno di dalam hati rakyat.
Semenjak aku dibuang, maka pergerakan kebangsaan telah berceraiberai. Semua pemimpin dimasukkan ke dalam bui atau diasingkan. Di tahun 1936 sebuah partai yang telah dilemahkan, yaitu Gerindo, bergerak kembali, akan tetapi tidak mempunyai tokoh yang mudah terbakar. Tidak ada pemberontakan rakyat.
Apa yang dapat dilakukan oleh massa hanyalah mengingatingat kembali waktu yang telah silam. Dan ini memang yang mereka lakukan. Selama masa aku dipisahkan dari rakyat, mereka hanya mengenang detikdetik yang memberi pengharapan dan kemenangan di bawah Singa Podium. Ternyata di dalam sejarah agama dan politik, bahwa jika pihak lawan memerangi usaha seorang pemimpin dengan jalan pengasingan atau lainlain, namanya akan semakin beruratberakar dalam hati rakyat. Demikian pula halnya dengan Sukarno. Kepopuleranku di kalangan rakyat sampai sedemikian, sehingga nampaknya seolaholah aku tidak pernah dipisahkan dari mereka itu.
Tersiarlah berita bahwa Jepang sudah bergerak menuju Bengkulu. Sehari sebelum ia menduduki kota ini dua orang polisi dengan tergopohgopoh datang ke tempatku. "Kemasi barangbarang," perintahnya. "Tuan akan dibawa keluar."
"Kapan ?"
"Malam ini juga. Dan jangan banyak tanya. Ikuti saja perintah. Tuan sekeluarga akan diangkut tengah malam nanti. Secara diamdiam dan rahasia. Hanya boleh membawa dua kopor kecil berisi pakaian. Barang lain tinggalkan. Tuan akan dijaga keras mulai dari sekarang, jadi jangan cobacoba melarikan diri."
Sukarti yang berumur delapan tahun itu dapat merasakan ketegangan yang timbul. Karena takut dia bergantung kepadaku dengan kedua belah tangannya.
"Pegang saya, Oom," bisiknya. Oom adalah paman dalam bahasa Belanda. Ketika polisi itu meneriakkan perintahnya, aku membelai kepala anak itu untuk menenangkan hatinya. "Boleh saya bertanya kemana kami akan dibawa?" tanyaku.
"Ke Padang. Tuan akan selamat, karena tentara kita dipusatkan di sana untuk membantu pengungsian. Ribuan pelarian preman dan militer diungsikan ke Padang, yaitu pelabuhan tempat pemberangkatan menuju Australia. Dan juga telah diatur untuk mengangkut tuan dengan kapal pengungsi yang terakhir."
"Berapa lama kita di Padang?"
"Hanya satu malam. Iringiringan kapal sebanyak tujuh buah sudah siap menanti dan akan berangkat di hari berikut setelah tuan sampai. Sekarang buruburu. Kita berlomba dengan waktu."
Kami mendapat kesempatan hanya beberapa jam untuk berkemas. Tidak ada waktu untuk takut atau bingung. Timbul pertanyaan dalam hati, apakah memang menguntungkan bagiku kalau aku disingkirkan dari pendudukan tentara Jepang. Ataukah suatu kerugian, jika tetap berada dalam cengkeraman Belanda. Perasaanku kacau balau. Meninggalkan kota Bengkulu berarti meninggalkan tempat pembuanganku. Mengingat akan hal ini aku gembira. Akan tetapi pergi ke Australia berarti menuju tempat pembuangan yang baru.
Kalau ini kuingat, hatiku jadi susah. Sekarang ini, melebihi dari waktuwaktu yang lain, aku tidak ingin meninggalkan tanah airku yang tercinta. Bagaimana aku bisa membanting tulang demi kemerdekaan negeriku dari tempat yang ribuan mil jauhnya. Kejadiankejadian susulmenyusul begitu cepat, sehingga tidak tersisa waktu untuk berpikir. Aku hanya berhasil mencuri waktu lima menit untuk diriku sendiri. Bengkulu kotanya kecil dan dalam waktu lima menit aku menyelundup ke rumah paman Fatmawati, dimana seluruh keluarga gadis itu berkumpul bersamasama untuk menguatkan hati mereka dalam menghadapi penyerbuan. Aku mengetuk pintunya dengan lunak dan berbicara pelahan, "Saya Sukarno. Bukalah pintu. Saya datang untuk mengucapkan perpisahan."
Aku memperoleh kesempatan selama satu detik yang singkat berhadapan dengan Fatmawati. Kami berpegangan tangan dengan erat dan kataku kepadanya, "Hanya Tuhanlah Yang Maha Tahu apa yang akan terjadi terhadap kita. Mungkin kita tidak akan dapat keluar dari peperangan ini dalam keadaan masih hidup. Mungkin juga kita terdampar di bagian dunia yang berjauhan. Akan tetapi kemanapun jalan yang akan kita tempuh, atau apapun yang akan terjadi terhadapmu dan aku, dimanapun kita terkandas, aku menyadari bahwa Tuhan akan memberkati kita dan memberkati kecintaan kita satu sama lain. Insya Allah, entah kapan .... entah dimana .... kita akan berjumpa lagi."
Jam sebelas malam kami mendengar, bahwa musuh sudah berada di Lubuk linggau, kota penghubung jalan kereta api Palembang — Bengkulu. Di tengah malam itu kepala polisi datang dengan diamdiam. Tidak jauh dari rumah kami di belakang semak belukar dia menyembunyikan sebuah mobil pickup. Di dalamnya ada empat orang polisi. Dalam tempo lima belas menit Inggit, Sukarti, aku sendiri, Riwu — pembantu kami berumur dua puluh tiga tahun yang dibawa dari Flores dan tidak mau ketinggalan — dan barangbarang kami semua dipadatkan dalam kendaraan yang sesak itu.
Dekat rumahku ada dua buah pompa bensin. Yang satu terletak di Fort Marlborough tidak jauh dari situ, yang satu lagi di pekaranganku sendiri, milik Pemerintah, dibawah serumpun pohon kelapa. Belanda mulai menjalankan politik bumi hangusnya. Begitu kami meninggalkan pintu depan, maka persediaan bensin dan minyak pelumas di Fort Marlborough terbang ke udara dengan ledakan yang hebat. Ini sebagai tanda bagi penjaga kami untuk membakar pula drumdrum di rumahku. Tindakan ini mempunyai tujuan ganda. Di samping mencegah, agar ia tidak jatuh ke tangan musuh, iapun memberikan kesenangan.
Ledakannya dapat terdengar ke sekitar sampai bermilmil dan sejauhjauhnya mata memandang di seluruh kota hanya kelihatan lautan api. Dalam lindungan keadaan inilah mereka melarikanku keluar kota Bengkulu.
Untuk menghilangkan jejak, polisi itu mengambil jalan ke arah selatan. Setelah jelas bahwa tidak ada orang yang mengikuti jejak kami, mereka memutar haluan ke utara menuju MukoMuko, sekira 240 kilometer dari Bengkulu di mana kami akan bermalam. Selama dalam perjalanan kami harus mengarungi tiga belas buah sungai yang lebar berlumpur dan banyak buaya. Tidak ada jembatan sama sekali. Kami menyeberanginya dengan rakit dan perahu yang dibuat oleh rakyat setempat.
Di hari berikutnya jam lima sore rombongan yang kelelahan ini sampai di MukoMuko. Kami bermalam di sebuah rumah yang dijaga keras oleh polisi. Jam tiga pagi kami dibangunkan lagi. "Mari kita lanjutkan perjalanan," gerutu salah seorang yang bertugas. "Sekarang berangkat."
"Kenapa begini pagi ?" tanyaku.
"Rantau kita masih jauh dan hari ini harus sampai sejauh mungkin sebelum matahari membakar kepala. Kalau siang sedikit, kita tidak akan tahan panasnya matahari."
Sesampai di jalanan baru kami ketahui, bahwa pengiring kami dari Bengkulu sudah digantikan oleh enam orang pengawal bermuka kaku dari MukoMuko. Selain membawa tempat minum mereka menyandang senapan dan pistol. Ada lagi perubahan yang lain. Kendaraan kami sudah diganti dengan gerobak sapi. Ia dimuat dengan persediaan makanan. Beras dan kalengkaleng. Melebihi persediaan untuk sehari. Cukup untuk seminggu, kukira.
"Perjalanan selanjutnya kita tempuh dengan jalan kaki," kata seorang yang menyandang tempat minum. Isteriku mengangkat kepala karena kaget. "Jalan kaki sampai ke Padang?"
"Betul."
"Sejauh tigaratus kilometer?" tanyanya kehabisan napas.
"Ya, betul," orang itu memotong. "Hayo kita jalan."
"Kenapa tidak dengan mobil saja?" tanyaku, ketika kami menaikkan Sukarti dan barang ke atas gerobak.
"Kita melalui hutan lebat, rapat dan susah dijalani. Satusatunja cara supaya sampai di Padang dengan menempuh jalan setapak yang berkelokkelok berlikuliku dan di beberapa tempat susah dilalui."
Aku bisa tahan berjalan kalau dibandingkan dengan yang lain, oleh karena aku selalu latihan. Akan tetapi Inggitlah yang menimbulkan kekuatiranku. "Jangan kuatir," aku membujuknya. "Polisipolisi yang bebal inipun bukan pejalan marathon, sama saja dengan kau."
Betapapun kekuatiran yang timbul, bagi kami tidak ada pilihan lain. Di belakang kami, tentara Jepang. Di depan, tentara Belanda. Dikirikanan kami enam orang polisi pakai senapan, mendampingi kami setiap saat siang dan malam. Sehingga berjalanlah kami. Terus berjalan. Tak hentihentinya berjalan. Menempuh hutan yang lebat di sepanjang pantai Barat Sumatera Selatan. Aku memakai sepatu. Isteriku hanya pakai sandal terbuka seperti yang biasa dipakai oleh wanita Indonesia, dan tidak bisa diharapkan dapat meringankan perjalanan berharihari melalui hutan rotan dan rumput liar yang kering dan menggores gores kaki setinggi lutut bermilmil jauhnya.
 Kaki Inggit lecet dan bengkak. Kadangkadang ia naik gerobak sapi itu. Akan tetapi jalannan curam dan akhirnya bukan sapi itu yang menolong kami, akan tetapi akulah yang harus menolong sapi itu. Aku menariknya. Dan menolaknya. Seringkali binatang itu hanya berdiri saja dan menantikan Sukarno menarik gerobak itu seorang diri. Di tengah hutan yang demikian sesekali kami menjumpai sebuah pondok yang terpencil kepunyaan pemburu atau pencari kayu bakar.
Jam enam sore kami berhenti di pondok seperti itu. Kami berada ditengahtengah pesawangan, dan kalaupun disuruh berjalan terus tak seorangpun diantara kami yang masih sanggup berjalan. Kami terlalu lelah. Dan kaki bengkakbengkak oleh gigitan serangga. Sukarti tidak memakai topi, badannya terbakar oleh terik matahari. Pondok itu berbentuk rumah panggung, supaya terhindar dari ancaman binatang. Sekalipun demikian kami dapat mencium adanya tamutamu yang tidak diundang. Seekor ular menjalar melalui kaki. Cicak berkeliaran di atas atap. Diatas lantai terhampar sehelai tikar kasar. Aku terkapar di atas tikar itu. Pahaku menjadi bantal Inggit. Dan Sukarti menggolekkan kepalanya diatas badan ibunya.
 Bunyi binatang buas di malam hari di sekeliling tempat pelarian kami membikin badan jadi dingin. Tetangga kami adalah harimau, beruang, kucing hutan, rusa, babihutan dan monyet tak terhitung banyaknya. Teriakan monyet yang membisingkan di atas pohonpohon kayu tidak hentihentinya. "Raja hutan tidak akan menyerang, kecuali kalau dia lapar," cerita polisi yang menyandang tempat minum. Kami mendo'a, semoga binatang binatang itu tidak mengingini kami. Sebagian besar dari keberanianku adalah berkat kawal kehormatan kami yang berkeliling tidak lebih dari beberapa kaki jauhnya.
Di tengah malam Sukarti mengintip di pinggir teratak itu yang tidak berpintu. "Saya takut, Oom," dia menggigil. "Oom tidak takut?"
"Ya, Karti," bisikku menenangkan hatinya. "Oom takut. Tapi polisi ini membikin Oom berani." Aku merangkak dengan Karti ke bagian pinggir dan mengintip ke bawah. "Kaulihat keenam orang itu? Di tengah malam sunyipun polisi menjaga bergantiganti pakai bedil. Polisi berjagajaga. Mereka lebih takut lagi daripada kita kalau tidak menyelamatkan kita dari binatang buas. Sangat besar tanggung jawab polisi untuk menyerahkan Sukarno hiduphidup ke tangan pembesar di Padang. Karena itu mari, marilah kita tidur dan biarlah polisi menjaga keselamatan kita. ya ?"
Di subuh itu kami sarapan dengan buahbuahan dari hutan, nasi dari persediaan yang dibawa oleh pengawal kami dan singkong sedikit. Hari masih gelap ketika kami kembali mengayunkan langkah. Menjelang siang kami jumpai sebuah sungai mengalir. Mandilah kami dengan pakaian yang lekat di badan di air yang jernih lagi sejuk itu dan melepaskan dahaga sepuaspuas hati.
Masuk sedikit lagi ke dalam semakbelukar, dikelilingi oleh sawah yang terhampar, ada sebuah danau. Kami memasuki semak belukar itu untuk tidurtiduran sekedar pelepas kelelahan.
Kami dapat mendengar gemerisik binatang liar pada dedaunan yang tidak bergerak dan kami melangkahi jejak harimau yang tak terhitung banyaknya, namun satusatunya binatang yang menghalangi jalan kami ialah siamang. Kami melihat siamang hampir sebesar orang hutan berdiri tegak seperti manusia. Berdiri di atas kakinya yang belakang, binatangbinatang itu mendekati kami, pada waktu kami lewat dengan langkah yang berat. Akan tetapi kami tidak diapaapakan, selain daripada jantung kami yang memukul mukul dada dengan keras.
Dengan menggunakan korek api yang dibawa oleh polisi, kami memasak nasi dalam kaleng, memasukkan sayuran ke dalamnya dan menambahkan ikan yang ditangkap dari sungai. Ini dibagi diantara kami yang sepuluh orang. Makanan ini tidaklah mewah, tapi kami juga tidak mati kelaparan karenanya. Inggit terlalu amat lelah, sehingga pada suatu kali ia makan sambil berdiri. "Aku terlalu capek," ia mengeluh panjang sambil bersandar lesu ke tebing suatu jurang yang sedang kami lalui. "Kalau aku duduk, takut nanti tidak bisa lagi berdiri."
Di hari ketiga salah seorang polisi Belanda menyerah karena putus asa dan kehabisan tenaga. Kami hanya memikirkan diri kami sendiri, tetapi, di samping matahari yang membakar, haus, kehabisan tenaga dan gangguan binatang, para pengiring kami harus pula mengawal kami. Mereka tidak ada melakukan tindakan yang kejam terhadap kami. Sekalipun kami adalah orang tawanan dan orang yang menawan, kami semua sama merasakan pahit getirnya perjalanan. Tetapi jarang terjadi percakapan. Tiada manusia yang lewat dan kami tidak merasakan kegembiraan. Aku sendiri berusaha untuk berolokolok.
Sudah menjadi pembawaanku untuk selalu bergembira, betapapun suasananya. "Sekalipun ada penyerbuan, akan tetapi saya berterimakasih kepada saudarasaudara, karena sudah memperlihatkan daerah pedalaman ini kepada saya," aku berolokolok.
Seorang yang pendek dan botak tersenyum, "Selama empat tahun di Bengkulu apakah tuan tidak pernah melangkah keluar batas yang dijaga kuat untuk tuan ?"
"Ada, sekali. Saya membuat suatu cerita sandiwara yang dipertunjukkan pada malam amal di suatu tempat diluar batas. Ini terjadi tepat setelah Residen baru menggantikan pejabat lama yang saya kenal baik. Orangnya sejenis manusia yang menghamba kepada peraturan. Saya bertanya kepadanya, 'Tuan Residen, dapatkah tuan mengizinkan saya untuk pergi ke tempat ini yang terletak sedikit diluar batas ?"
"Untuk memutuskan sendiri mengenai persoalan yang sangat penting ini rupanya tidak mungkin baginya. Karena itu dia bersusah payah mengirim telegram kepada Gubernur Jendral di Jawa. Lalu apa jawab Gubernur Jendral. Dia menelegram kembali, menyatakan kegembiraannya mendengar semua itu. Katanya, 'Saya gembira mendengar bahwa Ir. Sukarno tidak lagi berpolitik dan memusatkan perhatiannya pada pertunjukan sandiwara? Apakah ini tidak menggelikan?!"
Polisi itu terpaksa tertawa menunjukkan penghargaan. Ketika Riwu meluncur dari pohon kelapa dan membelah kelapa sehingga kami dapat menikmati airnya yang segar, aku menceritakan kisah Manap Sofiano, seorang pemain yang menjalankan peran primadona dalam pertunjukanku.
"Suatu hari dia membeli piano dalam lelang dan menyampaikan kepada tukang lelang, 'Sukarno akan menjamin pembayarannya.' 'O, baik,' jawab orang itu setuju, 'kalau tuan kawan dari Sukarno, baiklah.' Tiga bulan kemudian Sofiano mengepak barangbarangnya hendak pindah. Sebelum dia pergi saya katakan, 'Hee, tinggalkan dulu surat perjanjian yang diketahui oleh kepala kampung dan yang menyatakan bahwa engkau berjanji hendak membayarnya. Dengan begitu, kalau sekiranya kaulupa, saya mempunyai dasar yang sah.' "Setelah berbulanbulan tidak ada kabarberita dari Sofiano, saya menulis surat kepadanya, 'Sudah sampai waktunya. Bayar sekarang, kalau tidak, akan saya ajukan ke depan pengadilan.' Sofiano kemudian membalas, 'Saya tidak menyusahkan diri saya sendiri, akan tetapi saya mempunyai lima orang anak. Kalau saya masuk penjara, mereka akan terlantar.' "Tentu saya tidak mau menyakiti anakanak yang tidak bersalah, jadi apa lagi yang dapat saya lakukan? Saya kemudian membayar utang sejumlah 60 rupiah itu. Disamping itu," aku tersenyum meringis, "dia seorang pemain yang baik, sehingga saya dapat mema'afkan segalagalanya."
Dengan percakapan ringan demikian ini aku mencoba menaikkan semangat pasukan kami yang melarat itu. Di hari yang keempat kami terlepas dari daerah hutan dan menumpang bis menuju kota. Bertepatan dengan kedatanganku, kapal yang direncanakan untuk mengangkut kami telah meledak menjadi sepihan dekat pulau Enggano, tidak jauh dari pantai. Tentara Jepang berada dalam jarak beberapa hari perjalanan di belakang kami. Angkatan laut Jepang sudah berada beberapa mil dari kami.
Kota Padang diselubungi oleh suasana chaos, suasana bingung dan ragu. Hanya dalam satu hal orang tidak ragu lagi, yaitu bahwa Belanda penakluk yang perkasa itu sedang dalam keadaan panik. Para pedagang meninggalkan tokonya. Terjadilah perampokan, penggarongan, suasana gugup. "Lihat," kata seorang Belanda, yang tingginya satu meter delapan puluh lima, mengejek ketika dia hendak lari membiarkan kami tidak dilindungi, “Belum lagi kami pergi, kamu orang Burniputera sudah tidak sanggup mengendalikan diri sendiri."
Tentara Belanda mencoba untuk mengangkutku dengan pesawat terbang, akan tetapi semuanya terpakai atau rusak. Persoalan Negeri Belanda sekarang bukan bagaimana menyelamatkan Sukarno. Persoalan Negeri Belanda sekarang adalah bagaimana menyelamatkan dirinya sendiri. Mereka seperti pengecut, mereka lari pontang panting. Belanda membiarkan kepulauan ini dan rakyat Indonesia jadi umpan tanpa pertahanan. Tidak ada yang mempertahankannya, kecuali Sukarno.
 Negeri Belanda membiarkanku tinggal. Ini adalah kesalahan yang besar dari mereka. Sesampai di hotel aku mengatakan pada Inggit, "Kau, Riwu, dan Sukarti tinggal dulu. disini." Dimanamana orang berlari dan berteriak dan membuat persiapan terburuburu pada detikdetik terakhir.
"Kau mau kemana?" tanya Inggit gemetar ketakutan.
"Kawanku Waworuntu tinggal disini. Aku harus mencarinya dan berusaha mencari tempat tinggal."
Waworuntu menyambutku dengan tangan terbuka. Dia mernelukku. "Sukarno, saudaraku," dia berteriak dan air mata mengalir ke pipinya. "Saya mendapat rumah bagus disini dan banyak kamarnya, tapi saya sendirian saja. Isteri saya dan anakanak diungsikan dan tidak ada orang tinggal dengan saya. Bawalah keluarga Bung Karno kesini .... bawalah kesini dan anggaplah ini rumah Bung sendiri."
Orang yang baik hati ini dengan kemauannya sendiri pindah dari kamartidurnya yang besar di depan di sebelah ruang tarnu, dan mengosongkannya untuk Inggit dan aku. Ini terjadi beberapa hari sebelum Balatentara Kerajaan Dai Nippon menduduki Padang. Ketika aku berjalanjalan di sepanjang jalan aku menyadari, bahwa saudarasaudaraku yang terlantar, lemah, patuh dan tidak mendapat perlindungan perlu dikurnpulkan. Tidak ada seorangpun yang mengawasinya. Tidak seorangpun, kecuali Sukarno. Tindakantindakan yang benar adalah usaha untuk memenuhi bakti kepada Tuhan. Aku menyadari, bahwa waktunya sudah datang lagi bagiku untuk terus maju dan menjawab Panggilan itu. Segera aku mengambil koper tampuk pimpinan.
Disana ada suatu organisasi dagang setempat. Aku menemui ketuanya dan dia berusaha mengumpulkan orangorangnya. Kemudian aku menyuruh Waworuntu ke satu jurusan dan Riwu ke jurusan lain untuk mengumpulkan yang lain. Diadakanlah rapat umum di lapangan pasar. Disana aku membentuk Komando Rakyat yang bertugas sebagai pemerintahan sementara dan untuk menjaga ketertiban. "Saudarasaudara," aku menggeledek dalam pidatoku yang pertama semenjak sembilan tahun, "Saya minta kepada saudarasaudara untuk mematuhi tentara yang akan datang. Jepang mempunyai tentara yang kuat. Sebaliknya kita sangat lemah. Tugas saudarasaudara bukan untuk melawan mereka. Ingatlah, kita tidak mempunyai senjata. Kita tidak terlatih untuk berperang. Kita akan dihancurleburkan, jikalau kita mencobacoba untuk melakukan perlawanan secara terangterangan”.
"Orang yang tidak bersenjata tidak mungkin melawan prajuritprajurit yang puluhan ribu, akan tetapi sebaliknya ingatlah saudarasaudara, sekalipun semua tentara dari semua negeri di seluruh jagad ini digabung menjadi satu tidak akan mampu untuk membelenggu satu jiwa yang tunggal, karena ia telah bertekad untuk tetap merdeka. Saudarasaudara, saya bertanya kepada saudarasaudara semua : Siapakah yang dapat membelenggu suatu rakyat jikalau semangat rakyat itu sendiri tidak mau dibelenggu?”
"Kita harus mencari kemenangan yang sebesarbesarnya dari musuh ini. Maka dari itu, saudarasaudara, hati hatilah. Rakyat kita harus diperingatkan supaya jangan mengadakan perlawanan. Walaupun bagaimana, hindarkanlah pertumpahan darah di saatsaat permulaan. Jangan panik. Saya ulangi : jangan panik. Ketentuan pertama yang diberikan oleh pemimpinmu adalah untuk mentaati orang Jepang. Dan percaya. Percaya kepada Allah Subhanahuwata'ala, bahwa Ia akan membebaskan kita." Rapat itu diakhiri dengan do'a bersama yang kupimpim sendiri sebagai Imam.
Orang Islam tidak dapat mengkhotbahkan atau mengadukan isi dari pada do'a. Ia harus pasti. Kata demi kata. Sampai pada satu titik, disebabkan karena dadaku terlalu bergolak, aku lupa katakata dari Ayat selanjutnya dan di hadapan ribuan orang yang menunggununggu lanjutannya aku mendesis kepada seorang Haji yang duduk bersila dekat itu, "Ehh — apa lagi terusnya?" Do'a itu berakhir, rakyat bubar, aku kembali ke rumah Waworuntu dan menunggu. Aku tidak perlu lama menunggu. Seminggu kemudian mereka datang. Waktu itu jam empat pagi. Mungkin juga jam lima. Aku berbaring di tempat tidur, akan tetapi aku tidak tidur. Pikiranku tegang. Mataku nyalang sama sekali. Malam itu adalah malam yang sunyi sepi. Tiada terdengar suara yang ganjil. Sesungguhnya, pun tidak terdengar suara yang biasa. Keluargaku tidur dengan tenang.
Tibatiba mereka terbangun oleh bunyi yang semakin santer. Mulamula menderu seperti guntur. Suara yang menggulunggulung itu semakin keras, semakin keras, semakin keras lagi. Bunyi yang menakutkan dan membikin badan jadi dingin membeku adalah gunturnya keretakereta berlapis baja dan tanktank dan balatentara berjalankaki berbaris memasuki kota Padang. Jepang sudah datang.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More